24 Jun 2008

Mbah Maryati

Mbah Maryati berjalan tertatih-tatih karena kaki kirinya pincang. Kaki kirinya terpeleset dan jatuh saat mencoba menyelamatkan diri dari gempa 27 mei 2006 kemarin. Saat itu suaminya masih hidup dan tepat saat Syawal tahun itu pula suaminya meninggal. Mbah Maryati kini sendiri, tidak ada laki-laki yang selama 50 tahun lebih menemaninya mereguk teh nasgitel tiap pagi. Tidak ada laki-laki yang dulu dengan gagah memboncengkannya dengan 'sepeda onthel'. Laki-laki tua yang kadangkala masih juga mencerminkan masa kanak, tertawa memperlihatkan gigi-gigi yang telah ompong, menerima omelan-omelannya seperti 'radio transistor' tua yang selalu tak bosan mendendangkan 'uyon-uyon monosuko' dari gelombang AM.
Mbak Maryati terpaksa pindah dari rumah lama, karena rumah induk menjadi kasus hak waris, pindah dari rumah satu anaknya ke anaknya yang lain. Kemudian pada saat rumah anaknya tengah dipugar, Maryati terpaksa pindah ke rumah Cucunya.
Di rumah Cucunya, Mbah Maryati saban hari menyibukkan diri mencuci baju-bajunya yang hanya 3 stel kebaya, 2 lembar batik, 2 lembar kerudung dan satu mekena. Kini ia tak bisa menyiapkan teh hangatnya seorang diri. Menunggu dari salah satu cucunya untuk menghidangkannya, menyiapkan sarapan dan mendengarkan 'cerita-ceritanya' yang jalan berulang-ulang.
Bagiku, Mbah Maryati bukan nama sebenarnya, karena aku lebih akrab memanggilnya 'Simbok'. 'Simbok' yang melahirkan 7 anak pinak yang salah satunya adalah Ibuku. Kadangkala pada wajah letih, penuh dengan kerutan dan helai-helai rambut beruban yang tersisa itu, aku mencoba menerka-nerka bagaimanakah wajah 'simbok' di masa mudanya?
Aku memanggilnya 'simbok', juga karena imej 'simbok' adalah simbol seorang ibu dari ibu. 'Simbok' yang kukenal semenjak aku lahir seperti hampir tak pernah berubah; tubuh yang sudah agak bungkuk, kebaya motif bunga-bunga, kutang dari kain, stagen, bawahan kain batik dan sandal jepit.
'Simbok' terkadang datang dalam mimpi-mimpiku, karena dulu 'simbok' pernah menjadi sosok pencerita sebelum tidurku. 'Simbok' punya banyak stok ceritera dan legenda dari 'timun mas', 'kancil nyolong timun', 'ande-ande lumut' sampai ceritera tentang 'laki-laki' muda yang berjalan kaki dari Anyer sampai Jogja dengan tanpa alas kaki, suaminya sendiri.
"Nini, nini sing mususi, sopo ngerti popok beruk keli... Paman-paman sing ngguyang sapi, sopo ngerti popok beruk keli..."

'Simbok' adalah bayangan masa lalu, tapi juga terkadang ketakutanku di masa depan. Karena, kalau toh aku sampai pada usia tua, setidaknya akan sebijaksana 'simbokkah?

20 Jun 2008

Bencana

Ngomong soal ancaman bencana, aku teringat dengan guru SD ku dulu, Pak Bambang namanya, bertubuh gempal dengan kumis tipis dan rambut yang senantiasa klimis mirip Harmoko (hey dimana sekarang pak Harmoko berada? yuhuiii). Nah, Pak Harmoko, eh Pak Bambang selalu antusias saat memaparkan tentang 'Nusantara' yang diapit dua samudra, dua benua, garis weber dan wallace sampai dengan pertemuan dua sabuk api (sirkum pasifik dan sirkum mediteranian). Sampai pada titik itu, Pak Bambang menyambung soal banyaknya gunung-gunung berapi di Indonesia, mirip bisul, sewaktu-waktu bisa meletus. Semenjak itu aku mulai akrab melihat gunung Merapi di utara Yogya yang saban hari terlihat mengepul-kepul tanpa henti.
Kejadian gempa Bumi 27 Mei di Yogya kemarin adalah pengalaman yang mencekam. Meski seluruh keluarga selamat, tapi bagian belakang rumah dan atap rumah porak poranda. Selama 2 pekan aku hanya berani tidur di emperan rumah dengan tenda 'biru'. Selama dua pekan itu pula gempa-gempa susulan terus menerus muncul berangsur-angsur dan memicu reflek untuk 'mendadak' lari keluar. 'Ini lebih menegangkan dari film die hard 3 ', pikirku saat itu.
Yah, mau tidak mau, telinga kita saban hari juga mendengar soal bencana ini. Panen 'bencana' yang dipetik bencana oleh media massa pun macam-macam, tergantung pada tempatnya, meskipun tidak tergantung pada musim. Dari gempa di Aceh, di padang, gunung meletus, tanah longsor, banjir di Jakarta, banjir di pantura, rob di semarang, kerusuhan di Jakarta, kebakaran hutan di Kalimantan, lumpur lapindo, dan seterusnya. Semuanya muncul bertubi-tubi dan acak seperti rumus 'fraktal'.


3 Jun 2008

das community haus



Rumah itu berada di tengah-tengah kampung di pinggiran kota. Lurus memasuki jalan yang membelah kampung pinggiran kota itu, jalan beraspal kasar dengan permukaannya sudah bopeng-bopeng, di kanan kiri jalan rumah-rumah khas kampung pinggiran kota yang sangat beragam, seakan akan berlomba menunjukkan status; rumah si kaya dibangun bertingkat dengan garasi dan pagar yang tinggi, sedang pada rumah orang-orang kebanyakan adalah rumah-rumah tembok, centang perentang dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda.
Tetapi rumah di tengah-tengah kampung itu, kira-kira 300 meter masuk ke lorong jalan gang yang membelah kampung, mempunyai bentuk yang berbeda. Temboknya corat moret warna-warni yang hampit tiap taun berganti warna, yang memiliki rerimbun tanaman pagar 'teh-tehan', pohon jambu klutuk, pohon pelem sampai melati. Sekilas rumah itu adalah dua buah rumah yang berbeda yang dihubungkan dengan lorong berpintu. Memang, dulunya adalah dua rumah berbeda yang dibangun pada waktu yang berbeda pula. Bagian rumah yang lebih besar dulunya joglo semi permanen dengan dinding gedeg kutangan dari anyaman bambu yang kini setelah dijadikan satu turut dibangun tembok, menyatu dengan bangunan sebelahnya yang usianya lebih baru. Bagian rumah yang lebih kecil usianya muda, tetapi konstruksinya hanya dinding yang terlalu banyak campuran gamping, sehingga mudah untuk dilubangi dengan paku.
Nah, di rumah itulah tinggal diriku sendiri, dua kakak laki-laki yang dulu sempat kuliah di ISI, seorang kakak Ipar perempuan , satu keponakan kecil dan dua ekor kucing bernama Paijo dan Bejo. Tentang dua ekor kucing ini, si Bejo kucing berbulu putih dengan sedikit totol-totol hitam tumbuh besar, kupelihara sejak kecil, sebagai satu-satunya pertalian kucing terakhir yang turun temurun induk semang kucing belang bermata sipit. Si bejo punya 2 saudara kembar lain yang satu demi satu mati saat masih kecil. Meskipun kupelihara semenjak kecil, si Bejo punya sifat liar, keluar masuk rumah dengan leluasa, mengobrak-abrik genting, sampai dengan mencuri lauk pauk tetangga. Si bejo yang liar tidak pernah mau dipegang.
Satu kucing lagi, Si Paijo adalah kucing yang sekonyong-konyong ada semenjak gempa 27 mei 2006 kemarin. Sebagai kucing pulung 'gempa', Si Paijo punya perawakan besar, kecoklatan dan sangat pemalas. Saking malasnya, sehingga gampang menemu Si Paijo ini, kalau tidak tidur melingkar di sudut-sudut rumah, paling ia sedang duduk termenung di atas jok motor atau kursi. Jika sudah begitu, walau dikagetkanpun si Paijo cuek saja……
Das Haus adalah ekosistem yang unik
Nama Das communiy haus berarti rumah komunitas, bukan nama yang mengada-ada. Di Das Community haus, selain anak pinak, satu kemenakan kecil dan dua ekor kucing yang hilir mudik itu, ada banyak orang-orang berdatangan, pergi, datang, pergi, lalu datang lagi untuk kembali lagi atau untuk pamit selama-lamanya. Das Community haus, adalah nama yang diberikan seorang Jerman Bernama Jakob yang dalam kurun waktu 6 bulan pernah hilir mudik dan tinggal di rumah ini.
Setelah ibunda meninggal, ayahku yang tinggal dengan istri baru dan keluarga baru, anak-anak baru, masalah-masalah kelaurga baru, dari C1 sampai bayar SPP, dari arisan sampai ronda, dari digerutui mertua sampai digerutui istri yang nagih uang belanja. Lantas sekurun waktu kami anak berpinak, satu ipar, satu kemenakan dan dua ekor kucing ini jadi maklum kalau sang ayah, the godfather yang dulu terkenal galak dan tegas itu, lambat laun jarang inspeksi ke rumah ini.
Dengan begitu Suasana das community haus makin cair, tak ada ‘the god father’, figur partonisme yang galak, kalaupun ada sudah pasrah pada anak-pinak, satu ipar, satu kemenakan dan dua ekor kucing untuk mengelolanya.
Pada hari-hari biasa, kakak iparku jadi ‘the only beutifull women’ di Das Community Haus. Dengan, kompisisi gender yang tak setimbang ini maka bisa dibayangkan bagaimana ekosistem rumah adalah ‘kapal pecah’ dengan bagian-bagiannya lebih banyak menonjolkan hal-hal maskulin, seperti tumpukan-tumpukan baju, tumpukan-tumpukan barang bekas, centang-perentang perkakas, dapur yang penuh dengan perkakas kotor.
Komunitas-komunitas yang pertama muncul adalah 'sanggar bakat anak salam' atau yang disingkat SABANA yang hadir pada sekitaran tahun 1998 sampai 2000. Di dalamnya adalah dua kakakku, teman-teman main yang dulu juga teman sekolah, anak-anak muda dari kampung dan teman-teman dari kampus. Gerombolan kawan-kawan itu masing-masing juga membawa kawan-kawan lain atau pacar yang sengaja di gandeng masuk das community haus. Walhasil, sanggar SABANA ini jadi penuh berjejal dengan anak-anak muda dari berbagai bentuk. SABANA mengalami perpecahan yang sporadis, untuk bahasa halusnya bubar tanpa kejelasan, setelah sukses besar menyelenggarakan Lomba Lukis 'Jogja Ceria'.

Ide terus bergulir dalam Das Commuity haus, seperti halnya usaha-usaha mandiri 'jatuh bangun ' diusahakan oleh dua orang kakakku dan teman-temannya. Deretan usaha itu dari tukang sablonase kaos, spanduk, stiker sampai bandana beralih ke tukang buat reklame. Kemudian beralih lagi membuat aneka kerajinan dari kayu dengan yang pernah mencatat sukses memperkerjakan ibu-ibu dan perempuan di kampung ponggalan dengan upah Rp. 125 rupiah tiap merakit souvenir pulpen kayu. Sayang ekspor 'pulpen kayu' yang konon ke Norwegia itu dengan omset pertama sampai bilangan 7 jutaan gagal di tengah pengiriman karena kena 'ngengat'.
Gagal dengan usaha kerajinan pertama, berpindah nama dari Sanggar Sabana menjadi Studio Bebekku. Nama ini asal comot dari usaha ternak bebek 3 ekor yang hanya menghasilkan telur-telur yang selalu jadi rebutan buat sarapan. 3 ekor bebek itupun setelah berbulan-bulan lamanya berakhir tragis jadi 'potong bebek' di 'bakar' pakai kecap pada pesta ulang tahun dari siapa, sudah tak ingat!
Dengan kibaran nama baru Studio Bebekku, usaha beralih jadi tukang buat tas. Berawal dari seseorang yang 'ndak jelas' kedatangannya yang mempunyai keahlian 'bikin tas' dan memulai 'hidup baru'nya di Das community haus. Usaha tas berkembang pesat, dari mulai memenuhi pesanan personal, tas gunung, tas kantor sampai pesanan tas-tas seminar. Bahkan sampai menambah tenaga tukang jahit yang didatangkan dari bandung, Asep namanya. Usaha ini berakhir dengan perginya sik tukang Jahit dan memilih kontrak usaha sendiri setelah menikah. Lalu, bubar dengan usaha produksi tas, beralih ke usaha cetak fiberglass. Usaha fiberglass ini mencatat sukses dengan membuat berbagai macam souvenir yang kemudian mesti gulung tikar karena gagal produksi membuat helm dari fiberglass. Helm yang kalah harga dengan helm berbahan plastik yang cuma dijual Rp. 25.000 per kepala.