19 Des 2008

Nangkringan lembaga


Angkringan jadi merek dagang Yogyakarta, meskipun kini di kota lain sudah muncul wujud serupa. Tetapi riwayat Angkringan tak bisa lekang dari kemunculannya di Yogyakarta. Angkringan tidak hanya jadi ajang transaksi mencari penngganjal perut penhapus dahaga, tetapi jadi ruang publik dan menjadi titik pertemuan tumpah ruah pendapat, ide, grundelan, gosip bahkan strategi politik.

Fungsi itu sungguh kontras dengan wujud angkringan sendiri yang bersahaja, berupa gerobak kayu dengan dua roda sepeda yang menempel di kedua sisi kanan kiri, tempat duduk dari papan kayu sederhana dan tenda dari terpal plastik (biasanya warna biru atau oranye) untuk mengayomi keseluruhan areal angkringan. Untuk tempat duduk para klien hanya disediakan tiga buah kursi kayu yang disedikan, ditaruh mengelilingi gerobak angkringan, selebihnya bakul (penjual) angkringan menaruh tikar untuk lesehan.

Tak ada peraturan untuk membedakan siapa yang lebih berhak menempati kursi kayu itu, pengunjung yang datang lebih awal atau pengunjung yang datang belakangan. Walhasil semakin malam, karena angkringan umumnya buka pada sore hari, pegunjung semakin berdesak-desakkan. Tetapi sambil berdesak-desakkan seperti itu konsumen bisa menikmati menu khas Warung angkringan berupa racikan wedhang jahe, aneka gorengan dari mendoan sampai tahu, sampai makanan yang menurut orang eropa agak radikal; kepala ayam, ceker ayam, sate usus, sate kerang, sampai sate kikil. Makanannya pun serba porsi mini, seperti nasi ‘kucing’ untuk sebungkus nasi sekepalan tangan dengan sekelumit sambal atau oseng-oseng tempe di pucuknya, atau bungkusan beberapa butir kacang sampai dengan rokok yang bisa meng-ngecer. Tak ada larangan tentang seberapa lama pengunjung bisa menongkrong disitu, artinya siapapun boleh duduk disitu hanya dengan menghadap segelas wedang jahe dan mengecer rokok semaunya.

Tak ada undang-undang tentang apa saja topik pembicaraan yang boleh muncul disana. Sebatas pembicaraan itu bisa nyambung ke kepala orang lain, maka topik perbincangan akan melesat dari persoalan utang, gosip para artis sampai dengan masalah hangat kancah perpolitikan Nasional. Angkringan jadi ruang bebas dan kadangkala menjadi jendela informasi mengenai apa yang tengah hangat dibicarakan di lingkungan setempat.

Si penjual angkringan atau yang disebut bakul angkringan umumnya terkenal diantara konsumen fanatik setempat. Pembawaan bakul angkringan yang besahaja, enak diajak omong atau kadangkala sering curhat soal topik-topik sederhana di kesehariaanya akan menjadi daya tarik tersendiri. Sebaliknya, sering bakul angkringan adalah mediator, keranjang sampah tempat uneg-uneg, teman curhat dengan jaminan kerahasiaan, tempat menitip salam tempel, sampai dengan spionase untuk mencari-cari informasi tentang seorang target percintaan. Tetapi peran-peran khusus bakul angkring itu sendiri sangat tergantung dengan dimana letak angkringan itu berada.

Nangkringan lembaga

Angkringan lembaga adalah angkringan yang terletak tak jauh atau melekat dengan suatu kantor atau sekretariat. Sebagai mana hukum ekonomi klasik, supply mengikuti demand alias pernwaran mengikuti penawaran, maka alasan sebuah angkringan menyondorkan gerobaknya di tempat tertentupun bisa dijelaskan dengan hal itu. Apalagi kini dengan semakian ketatnya persaiangan antara bakul angkring, bak kemunculan franchise yang menggurita dimana-mana, maka si gerobak dengan tiga cerek air ini pun tak melewati tiap titik peluang yang ada. Kalau disitu ditengarai ada koloni masyarakat atau tempat hilir midik orang-orang, bisa dipastikan ada angkringan disana. Begitupun sebuah lembaga, atau komunitas yang ramai dengan hilir mudik manusia dengan berbagai kepentingan, berbagai omongan, angkringan menjadi tempat santai sambil yang terlepas keluar dari kotak formal bernama ‘kantor’, rapat atau ‘pekerjaan’. Walhasil angkringan lembaga adalah tempat alternative. Angkringan juga menjadi ajang untuk melepas gerundelan, kecemasan, atau ketidak puasan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kantor sampai dengan intrik-intrik seputar hubungan sesama rekan kerja di kantor.

Angkringan Lik Yanto IOM

Sang bakul, adalah Lik Yanto, Pria berbadan gempal, kumis tipis yang selalu mengenakan kemeja di outlet angkringannya. Dari caranya berpakaian yang selalu mengenakan kemeja, seakan-akan mencerminkan bagaimana Lik Yanto begitu mencintai profesinya sebagai bakul angkringan. Melayani para konsumennya yang datang dengan racikan khas wedang Jahe gula Jawa, atau teh dekok gula batu. Wedang Jahe pun diracik dengan dibakar terlebih dulu, lalu dikupas sampai bersih, baru diracik dalam segelas wedang.Lik Yanto adalah tipikal orang yang tak banyak omong, bahkan jarang tertawa lebar, kecuali ia akan menyambung pembicaraan tentang hal-hal umum keseharian seperti minyak tanah yang lenyap atau sepakbola.

Angkringan Pak Yanto menempel di sebelah kantor IOM. Dulunya, angkringan ini hanya meliputi tiga kursi panjang dengan daya kekuatan 3 cerek teko, kini semenjak berdiri kantor IOM yang penuh dengan hilir mudik relawan, ankringan LIk Yanto harus menambah kapasitas menjadi sekitar 6 buah cerek teko, 2 buah tungku arang yang dipersiapkan khusus untuk pembakaran apapun dari menu yang tersedia. Untuk tempat duduk ditambah dua unit kursi dengan bangku lebar.

Angkringan Lik Sugeng ‘Gelanggang’

Sebenarnya ada 2 awak angkringan yang me-nangkring di areal Gelanggang UGM. Tetapi kedua bakul nya berasal dari tempat yang sama, yakni Klaten (konon kebanyakan bakul angkringan berasal dari Klaten) dan disuplai dari tempat yang sama; gorengan, sate usus, bacem cakar sampai kerupuk jamur (disuplai oleh ‘Mungil’ soerang mantan aktivis gelanggang).

Satu awak angkringan, terletak dekat pintu masuk sebelah Utara Gelanggang UGM dimana kebanyakan yang berkumpul di sana koloni dari Unit Selam UGM, Unit Seni rupa dan koloni aktivis UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang berdekatan dengan tempat itu. Sedangkan Angkringan Lik Sugeng, letaknya membujur di sebelah barat dekat pintu masuk Barat. Jam buka keduanya nyaris sama, sekitaran jam 5 sore, tetapi angkringan Lik Sugeng yang agaknya paling malas datang, biasanya datang lebih terlambat daripada awak angkringan yang lain.

Lik Sugeng menghafali betul satu persatu nama dan wajah pelanggannya. Apalagi di Gelanggang UGM banyak bercokol wajah-wajah lama, yakni para mahasiswa yang muasalnya dan ‘takdirnya’ sudah tak kentara lagi, masih hilir mudik berkunjung di angkringan Lik Sugeng. Sebenarya tak ada menu khas dari Angkringan Lik Sugeng, kecuali ada tambahan mie rebus saja. Tetapi koloni di situ sangat kondusif untuk pembicaraan-pembicaraan ‘idelis’, diskursus, diskusi dan menyusun gerakan. Karenanya Angkringan Lik Sugeng setia melayani sampai dini hari, bahkan terkadang sampai lewat shubuh. Medan di sekitaran Gelangang yang berpetak petak, penuh dengan UKM-UKM yang berdesakan dan hilir mudik mahasiswa antah berantah sudah dihapali betul oleh Lik Sugeng. Kini, Lik Sugeng menambahi layanan delivery service, tak kalah dengan pizza Hut. Para Gelanggangers (Julukan untuk orang-orang penghuni Gelanggang UGM) bisa memesan lewat aneka wedhang SMS, Lik Sugeng akan menghantarkannya sampai ke sudut-sudut areal.

Bagi mahasiswa-mahasiswa di sana, angkringan Lik Sugeng adalah tempat untuk mencurahkan ide, mengagasan rencana kegiatan atau sekedar menitipkan salam tempel pada mahasiswa baru. Konon, banyak gagasan besar muncul dari sana

Angkringan ‘Umar Kayam’

Berbeda dengan angkringan yang lain yang kemunculannya alamiah, Angkringan Umar Kayam dibuka oleh pengelola yayasan Umar Kayam. Bakul Angkringannya juga merangkap penjaga kantor yayasan itu, sehingga kini kalau pas ada kegiatan apapun di tempat itu, angkringan selalu menjadi menu utama. DI Angkringan ini penyajiannya dikemas lebih modern dengan tempat yang dipasang ‘hot spot’, sebuah gitar, kotak catur dan televisi. Pengunjung bisa bercokol dan berkerumun dimana saja, di sekitar areal yayasan umar kayam.

Kebanyakan orang-orang yang datang kesana adalah anak-anak muda dari kalangan Fakultas Sastra, komunitas Blogger, atau komunitas tertentu yang ingin mencari tempat untuk Rapat. Tempatnya memang agak tertutup sehingga tak banyak orang di luar komunitas itu yang datang mengunjunginya.

Angkringan Mbak Dina ‘Trekkers’

Angkringan ini belum genap satu tahun ‘nangkring’ di depan toko Trekkers. Toko Trekkers sendiri adalah sebuah toko sepatu dan alat alat pendakian yang dimiliki oleh Ferry, seseorang aktivis LSM, aktivis lingkungan yang sekarang tengah getol turut mengkampanyakan gerakan bersepeda ke kantor (B2W). Angkringan Trekkers melengkapi dirinya dengan ‘hot spot’ dan beberapa alternatif tempat duduk dengan meja meja kecil. Karena latar belakang pengelolanya sendiri yang memiliki jaringan di lingkaran LSM Lingkungan, maka kebanyakan yang datang disana adalah para aktvisis-aktivis Lingkungan. Penjualnya sendiri salah satunya adalah Mbak Dina yang kalau siang hari masih aktif bekerja di sebuah kantor yayasan. Kini, angkringan itu juga menjadi ajang pertemuan diantara rekan-rekan aktivis lingkungan.

Angkringan kang Sulis ‘Lingkar’

Angkringan kang Sulis ‘Lingkar’ adalah angkringan yang terletak di seberang kantor Lingkar (sebuah LSM yang baru 2 tahun berdiri pasca gempa 29 Mei 2006). Angkringan ini dimiliki oleh kang Sulis, pra gempal berkacamata asli Muntilan. Angkringan ini berdiri persis di tengah-tengah kampung Banteng Baru yang umumnya lebih banyak rumah-rumah dari pendatang daripada penduduk asli dari sana. Dulu sewaktu di Lingkar masih banyak relawan-relawan, Angkringan kang Sulis menjadi tempat yang saban sore selalu ramai dikunjungi relawan Lingkar.


15 Des 2008

Sunset di tengah hujan

Jam 2 dini hari, aku terjebak Hujan. Perjalanan yang sudah kumulai semenjak jam 9 malam terpotong-potong karena hukan yang ber-fluktuasi seperti naik turunnya saham, dari lebat ke mereda lalu melebat lagi. Perjalanan sebenarnya adalah sekitar 30 km membelah kota Yogya yang sebenarnya dalam kondisi normal bisa ditempuh dalam waktu 45 menit dengan rata-rata kecepatan tercepat mesin turbo motor bobrok warna merah jambuku. Tapi mesin motorku di saat cuaca hujan begini bisa teramat manja, suka batuk-batuk dan mendadak mogok karena kemasukan biang air. Aku tak mau menemupuh resiko dan memilih berangkat dengan siasat "kutu loncat" alias bergerak dan berhenti dari satu titik emperan dan emperan lain. Karena malam yang sudah dini, dan semua deretan toko, kantor sudah tutup, sangat memudahkanku untuk memilih emperan mana yang bisa aku masuki. Alasan lain karena aku memang tak membawa jas hujan, sebuah kesialan (atau ketololan) yang lain yang tak mau kuterangkan dengan teliti karena ini sudah terjadi berkali-kali. Tapi kadangkala (seperti firasatku malam ini) pastinya aku akan menemukan pengaalaman yang dasyat malam ini.

Melirik pada jam di layar handphone aku tersentak, angka digital sudah menunjuk jam 2 dini hari, ini berarti, berarti sudah 5 jam aku terjebak Hujan. Berteduh dari satu emperan ke emperan lain, aku saksikan beberapa orang nekat lewat menembus hujan tanpa jas hujan. Pada jam segini, dini hari orang-orang masih keluyuran, seperti aku. Beberapa orang menggerombol di bawah tenda warung angkringan dengan cahaya lampu kerlap-kerlip dan tiga ceret di atas bara tungku yang mengepul-kepul. Aku jadi ingin menyeberang jalan dan menerobos hujan menuju ke sana. Tapi keinginan itu kuurungkan karena hujan mereda lagi dan aku segera menyepak starter motorku, tancap gas, meluncur di aspal yang basah penuh dengan aliran sungai-sungai kecil itu. Tempias hujan seperti ribuan jarum-jarum jatuh, masih turun dan memedihkan kedua mataku. Ya, aku jadi teringat dengan selarik sajak Gunawan Muhammad ;

"Gerimis turun seperti jarum-jarum jatuh /Seribu gugur dari sebuah jam yang jauh...."

Hanya selepas lemparan batu, hujan melebat lagi dan aku segera memutar manuver mencari emperan-emperan bangunan, rumah dan toko yang telah kesemuanya tutup. Sebuah toko kelontong dengan rolling door besi dan plat bertuliskan "dilarang parkir di depan pintu " kuhampiri. Di depanku deretan toko toko yang lain, dengan tumpukan billboard aneka warni, lampu-lampu neon yang berbendar dan lampu merkuri yang membayang pada aspal seperti bayang-bayang sunset warna kuning. Sunset? kenapa terbayang dikepalaku sebuah sunset yang hangat dan megah pada bayang-bayang kuning merkuri itu?

Sepi benar dini hari itu dan aku hampir terlupa ketika suara-suara hujan yang lebat turun membentuk kegaduhan diantara genting-genting, tembok-tembok, asbes dan plat-plat seng. Suaranya menggemuruh, tapi anehnya tidak memekakkan telingaku.

Aku memerosokkan diriku di pojok emperan toko, menyudut di situ, berjongkok, mengusap-usap kedua telapak tanganku dan mengumpati diriku sendiri saat tak kutemukan 'pematik api'. Ada rokok tapi tak ada pematik api adalah kesialan sempurna di bagi perokok di saat cuaca dingin begini.

Dari tikungan jalan kulihat seorang pengendara motor bergegas menghampiri sebuah emperan yang lain di seberang jalan ini.

"Hey kenapa ia tidak memilih emperan ini dan aku bisa meminjam pematik api darinya?"

Hujan makin lebat dan orkes hujan makin berdentum dengan hebat, persis disebelahku baru kusadari sebuah sepeda onthel dengan keranjang bambu bertengger dan dibawahnya sesosok orang terbuntal dalam sarung lusuh di atas alas kardus. Sepasang sandal jepit nampak tertata rapi (seperti sandal jepit yang sengaja di lepas di depan pintu masuk sebuah rumah) diletakkan di tepiannya.

Diam-diam aku mengambil fotonya. Dalam hati kupikir ;"Jahat benar mengambil foto orang lain tanpa ijin"

Sesosok yang tengah tidur pulas dalam buntalan sarung. Sedang bermimpi apakah dia? Di keranjang bambu itu tak penuh dengan muatan. Apakah ia seorang penjual? apa yang ia jual? Darimanakah asalnya? satu demi satu pertanyaan itu muncul.

Sesosok dalam buntalan sarung itu tak bergeming sama sekali. Tidur pulas di emperan toko yang kalau siang seingatku adalah toko kelontong yang penuh dengan hiruk pikuk orang dan tumpukan barang-barang. Berarti tinggal 4 jam lagi saat toko itu buka dan kalau sosok dalam buntalan sarung itu belum bangun, sesuatu akan terjadi.

Aku menggigil kedinginan, mungkin karena tak bergerak. Tetapi tak bisa bagiku untuk meniru sesosok dalam buntalan sarung itu. Untuk manusia sepertiku, tidur yang nyenyak hanya bisa dilakukan saat aku sudah tiba di Rumah dengan dinding bantal, kasur yang empuk dan selimut yang hangat.

Ya, Seperti biasa, aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali bersyukur aku masih lebih baik dari dia. Hujan pun reda dan aku segera menancap kunci, menyepak starter motor dan meluncur pulang ke "rumah". Rumah dengan dinding, kasur empuk, kopi hangat dan dua ekor kucing rumah yang melingkar. Mungkin segera kulupakan malam yang dingin ini dan sesosok dengan buntalan sarung itu.

"Selamat tinggal sesosok tidur dengan buntalan sarung, Aku mau pulang ke rumahku, semoga engkau tak terlambat bangun"