14 Mei 2009

Celana Kepar 1001

celana kepar 1001 Kisah celana kepar 1001 adalah kisah seorang opas bernama Kusno di sekitaran tahun 1943'an. Ayah Kusno adalah juga seorang opas yang tak ingin anaknya menjadi opas, di tengah jaman yang serba sulit kala itu, setelah keluar masuk melamar di berbagai kantor pemerintahan, Kusno pada akhirnya diterimakan pekerjaan sebagai Opas lagi. Tak ada pilihan! Meski Ayah Kusno telah menyekolahkan Kusno ke sekolah rakyat, ternyata tak merubah keadaan. Bahkan bekal celana kepar 1001 yang dibelikan Ayah Kusno tak cukup menaikkan derajat keluarga itu ke lingkaran keluarga Opas. Begitu pula dengan nasib celana kepar 1001 yang dipakai kusno saban hari. Makin hari makin buluk dengan benang-benanya mulai meretas satu demi satu. Warnanya melapuk menjadi kuning kecoklat-coklatan dari warna dasarnya yang putih. Sampai pada suatu kali, ketika Kusno dipecat setelah menuntut majikannya dibelikan celana baru, Kusno didera pilihan pahit. Pilihannya adalah ia harus menjual celana satu-satunya untuk mengganjal perutnya yang lapar atau mau menahan lapar demi mempertahankan celana satu-satunya yang menutupi auratnya.

Cerpen karya Idrus ‘Pujangga 45’ ini kutemui pertama kali waktu masih sekolah SD di sebuah buku paket pelajaran bahasa Indonesia. Entah,apakah buku paket yang sekarang menampilkan celana kepar 1001 ini masih ada atau tidak. Tetapi ingatan akan celana kepar 1001 begitu mencekam dan terekam benar dalam benakku. Begitipun dengan kisah 'celana kepar 1001' ku…..

---

Nun jauh di di pinggiran kali code, tepatnya bersebelahan sebuah jembatan besi yang dibangun waktu jaman kompeni, berdiri sebuah SMP Negeri, tempat aku bersekolah. SMPN 10 namanya. Bantaran kali itu sampai kini masih disibuki oleh pendulang pasir yang dulu menjadi tempat favorit aku dan murid-murid lain untuk membolos sekolah sambil bersembunyi di tepian jembatan dan mengamati para pendulang pasir itu.

Menginjak sekolah SMP aku dititipkan di rumah Eyangku di bilangan Kotagede. Untuk melaju ke sekolah mengendarai sepeda BMX atau jalur 11 dengan ongkoes 100 rupiah. Eyangku tipe orangtua ‘jadul’ yang terkadang membekaliku berangkat sekolah dengan ransum makanan. Kisah celana kepar 1001 ku dimulai dari kelas 2 SMP ketika satu demi satu dari ke-2 stel seragam sekolahku yang berwarna putih abu-abu memulai pemerosotan kualitas.

Di kelas 3 SMP aku menemukan celana seragamku yang berwarna biru tinggal 1 potong, karena 2 potong celana lain sudah tak muat aku pakai. Begitupun nasib 1 potong celana seragamku yang lain, kini telah menghuni dapur eyangku dijadikan ‘gombal’. Tak ayal ini karena liburan kenaikan kelas ini aku disunat oleh Eyangku. Sebuah usia sunat yang terlambat dan seperti ‘mitos’ mengenai efek pemotongan ‘daging keramat’ ini begitupun berlaku bagiku. Pada awalnya aku tidak percaya setelah sunat tubuhku akan mengembang drastis, tetapi setelah nasib 2 potong celana terakhirku itu dan melihat teman-temanku cewekku pada melongo keheranan melihat tinggi badanku kini melebihi mereka, maka akupun percaya.

1 tahun adalah 360 hari, dengan 6 hari masuk sekolah, dikurangi jatah 1 hari yakni hari jum’at maka aku memiliki 5 hari sibuk dengan 1 sisa celana seragamku. Pada hari jumat celanaku sisa satu-satunya itu bisa bernapas lega, karena pada hari itu aku memakai seragam khusus 'putih abu-abu’.

Hari senin adalah hari ‘apes’ bagi kami. Karena seperti biasa, hari senin adalah saat upacara bendera. kami para murid murid harus berderet rapi dengan seragam dan topi dijemur terik matahari dan menghapalkan lima butir pancasila, mendengarkan pidato ‘cwa-cwa-cwa’, sampai dengan menyanyikan lagu ‘Indonesia raya’.

Upacara dimulai semenjak pukul 7 di lapangan sekolah dan lebih apes bagi nasib celana kepar 1001 ku. Suatu kali, aku menemukan celana keparku harus kupaksa kering dengan kusetrika. Waktu setrika di rumah Eyangku masih menggunakan tehnologi non listrik alias menggunakan arang sebagai pemanasnya. Sementara celana keparku 1001 ku yang berbahan semi katun itu tenyata menimbulkan bau yang ‘angit’ yang tak sedap kalau sengaja dikeringkan dengan setrika. Lantas, saat upacara bendera, terjadilah kejadian memalukan itu. Teman-teman yang berdiri di depanku mencium aroma tak sedap yang menusuk hidung mereka. Pada awalnya hanya segelitir orang yang menggerak-gerakkan hidungnya mengisyaratkan gangguan aroma di hidung mereka, namun akhirnya semuanya sepakat bahwa gangguan aroma yang ‘dahsyat’.

Namun, dengan bertekad bulat baja, membela harga diri dan celana kepar 1001 ku satu-satunya itupun aku berpura mengendus-enduskan hidungku. Berpura-pura mencari sumber bau yang sebenarnya menyeruak seperti radiasi yang bersumber dari celana keparku 1001 ku itu. Semakin angin berhembus, semakin terik meninggi semakin pula hatiku was-was teman-temanku mengetahuinya. Pun, saat lagu Hymne ‘pada mu Negeri’, yang dinyanyikan di menit-menit terakhir upacara bendera, sambil menundukkan kepala, Aku lirik celanaku. Dengan napas kembang kempis dan sesenggukan, ini bukanlah karena menghayati ‘mengheningkan cipta’ untuk para pahlawan, tetapi prihatin sedalam-dalamnya pada celanaku itu.

Tak hanya sekali dua kali kulalui saat upacara bendera dan saat mendebarkan bersama celana kepar 1001 ku itu, tetapi berkali-kali. Dan berkali-kali itupun aku bertanya-tanya apa yang menyebabkan bau tak sedap dari celanaku itu? Apakah karena bahannya kah? apakah karena setrika? ataukah karena hidung teman-temanku yang tak normal? Sampai sekarang akupun tak tau jawabannya. Dan mungkin jika ada salah seorang teman seangkatanku SMP yang dulu pernah berdiri satu deret berupacara bendera, jika ia mungkin masih mengngatnya, tahukah anda jawabannya?

Lulus SMP adalah saat perpisahanku dengan celana kepar 1001 ku, celana seragam abu-abu yang kini permukannya telah bladus, dengan ujung penuh jurai-jurai benang dan ukurannya telah setinggi setengah betisku. Akupun waktu itu tak bisa membayangkan kalau aku duduk di sekolah SMA, aku akan memakai celana panjang, sebuah bentuk celana baru yang waktu itu aku benar-benar tak menyukainya yang aku merasa sangat risih memakainya yang membuat diriku seperti tak siap menjadi dewasa yang aku membuatku berjalan dengan sikap yang aneh.

Sampai pada suatu ketika aku aku manggut-manggut pada Kusno dan celana kepar 1001 nya bahwa celana bukan hanya soal penutup aurat, tetapi celana juga soal mempertahankan hidup dan harga diri, sampai akhirnya kita menyerah kalah (Chairil-deru tjampur-debu) . Sampai akhirnya celana seragam putih biru ku itu lunas tugasnya, beralih fungsi jadi seonggok ‘gombal’ di dapur eyangku menemani seonggok gombal bekas celana ku yang lain yang telah lebih dulu mendahulu.

9 Mei 2009

Uang Saku

Di suatu petang aku berbincang dengan seorang kawan yang terpaut sekitar 4 tahun denganku. Ia sudah berkeluarga dan punya profesi yang sama denganku sebagai pekerja sosial (untuk menyebut kata lain bekerja di LSM).

"Apakah beda pekerja sosial dengan pekerja seks komersial?"

Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu kali ini, karena itu adalah banyolan lama tentang perdebatan makna kata 'melacur' menurut pekerja LSM dan makna 'melacur' dalam makna harfiah sebagai PSK. Lantas aku bisa menebak kecapaian di matanya atau mungkin kejenuhannya pada karena diburu oleh laporan-laporan kelembagaan. Karenanya petang itu aku segera bergerak hati membuatkannya secangkir kopi kental panas dengan sedikit gula. Dan mungkin karena terganggu aroma kopi yang mengepul-kepul di hidungnya lantas ia mengubah topik pembicaraan.

"Berapa uang sakumu waktu jaman SD?"katanya sambil menyeruput kopi

"100 rupiah, itu tahun 1986-an" jawabku dengan tegas padanya. Dan benakku lantas meluncur pada waktu itu, seratus rupiah adalah sekantong plastik es sirup dengan potongan nanas dan bakso penthol tusuk. Hmm....

------

Aku menjalani sekolah dasar di sebuah SD Negeri di kampung yang mulai beranjak menjadi kota. Sebuah kampung yang berjarak cukup dekat dengan terminal utama Yogyakarta dan sebuah kompleks lokalisasi yang sangat terkenal bernama 'Sanggrahan'. Kini lokalisasi ini telah ditutup dan disulap jadi terminal induk yang baru. Tak ada bangunan yang tersisa kecuali sebuah beringin besar di ujung simpangan jalan yang dulu menjadi tempat bertengger deretan tukang becak yang ngantri menunggu penumpang 'pria hidung belang', mucikari, sampai perempuan-perempuan yang bekerja jadi penjual jasa disitu. Konon katanya meski telah disulap jadi terminal, lorong-lorong kampung itu, juga hotel-hotel kelas melati yang berdiri di situ tetap membuka layanan jasa 'terselubung'.

Hidup di kampung yang berbenah jadi kota, aku menyaksikan sawah-sawah yang dijual pemiliknya, diurug dan lambat laun berdirilah bangunan-bangunan baru. orang-orang berdatangan, warung-warung, toko-toko dan centang perentang aneka penjual jasa dari tukang tambal ban sampai penjual bensin eceren.

Gambar Rp.25, Rp.50 dan Rp. 100 (sejoemlah oeang sakokoe doleo di sekolah dasar kelas 1 sampai kelas 6 tahoean 80an)

Pertama kali aku masuk sekolah dasar, kalau tidak salah sekitar th 1987, uang sakuku 50 rupiah. Besaran uang saku itu adalah separo dibandingkan Rp.100 rupiah yang didapat 3 kakakku yang lain menginjak di kelas 3, 5 dan 6.

"Nanti kalau kamu sudah kelas 3, uang sakumu naik 100 rupiah", kata ibundaku dulu.

Memang ketika kelas 3 nanti, seperti kakaku, aku bakal pulang lebih siang, yakni jam 12.00 siang dan aku akan mendapatkan dua kali jam istirahat. Karena aku masih kelas 1 dan 2, aku hanya menjalani pelajaran di sekolah sampai jam 10.00 siang.

Jam istirahat adalah waktu yang ditunggu tung gu semua penghuni kelas. Jam istirahat kami ditandai dengan bel yang muncul dari besi bekas potongan rel kereta yang dipukul oleh pak bon (panggilan oleh penjaga sekolah) sebanyak 3 kali. Aku masih ingat 'pak bon' sekolahku bernama pak Legi dan aku masih penasaran sampai sekarang apakah Pak Legi masih sosok dengan tubuh kerempeng dan kupiah yang menutupi rambut jabrik nya. Saat bel dipukul 3 kali, murid-murid lantas mengambur keluar dari ruangan kelas menuju ke pelataran teempat penjual es, penjual soto, penjual 'gambar templek' (stiker), penyewa gembot (aku baru tahu gembot merupakan kesalahan pengucapan dari gamewatch), penjual bakso pentol, penjual gulali sampai dengan penjual pong-pongan (Sejenis kerang darat). Kesemuanya sudah sabar menanti di pelataran sekolah, berderet-deret menempati lokasi favorit masing-masing. Ada yang merupakan penjual tetap, termasuk juga ibu salah seorang temanku, ada pula yang merupakan penjual nomaden berpindah dari satu pelataran sekolah ke satu pelataran sekolah yang lain.

Tetapi, kami hanya punya waktu 15 menit jam istirahat buat belanja di pelatan sekolah yang mirip "pasar tiban" pada jam-jam itu.

Bagiku sendiri, 15 menit adalah saat yang genting bagaimana memanfaatkan 50 rupiah sebaik-baiknya. Apakah 25 rupiah untuk sekantong plastik es sirup dengan potongan nanas dan sisannya 25 rupiah untuk dua plastik'anak mamie' . Anak mamie adalah makanan salah satu makanan oldschool yang aku temukan berwujud remah-remah mie instan kering yang berasa gurih yang dikemas dalam bungkusan kecil dengan desain yang tak pernah berubah dari kurun ke kurun bergambar seorang bocah kecil. Ukuran anak mamie seukuran setengah kali saku baju seragam SD. Terakhir kali aku melihat anak mamie adalah di kantin sekolah SMU di tahun 2000an masih dengan bentuk dan rupa yang sama.

Pilihan selanjutnya 50 rupiah adalah untuk sebuah bakso penthol dan kue terang lekker (kue dari tepung yang digoreng yang berisi potongan pisang dan taburan coklat). Tetapi di pojok lain aku melihat penjual gambar templek menggelar aneka gambar templek terbaru. Kali ini penjual gambar templek menggelar pula trik baru. Ia membuat permainan 'tarik tali'. Ia taruh aneka rupa gambar templek dari ukuran mini sampai sebesar folio dalam sekumpulan tali. Kalau beruntung kita bisa dapat tali yang berujung pada gambar templek atau stiker yang berukuran besar, tetapi kalau buntung kita hanya dapat seutas tali kosong. lantas uang 50 rupiah kita hanya diganti dengan potongan 'brem'.

Menginjak kelas 3 SD, hari-hari pertama aku bersorak-sorak sorai, karena kenaikan uang sakuku yang menjadi 100 rupiah. Tetapi kini tantanganku lebih hebat lagi. 'pasar tiban' di pelataran sekolah kini lebih berfariasi. Penjualnya pun kini punya aneka macam permainan dan trik untuk menarik pembeli. Ada permainan baru berupa 'rolet' sederhana cukup menarik perhatian. Dengan ongkos 50 rupiah kita diberi kesempatan memencet tombol yang akan memutar sebuah piringan yang diberi angka-angka. kalau beruntung bisa dapat hadiah berupa mainan-mainan plastik, sampai dengan jam dinding untuk angka tertinggi, kalau tak beruntung kita dapat sepotong bakso pentol yang dicelup dalam saos kacang pedas.

Di sudut lain penjual gambar templek kini mengenalkan permainan baru pada anak-anak. Namanya 'gacok-an' alias mengadu dua buah gambar templek. Permaianan ini cukup sederhana, kita hanya mengadu gambar templek kita dengan gambar templek lawan dengan sebuah tepukan tangan. Saat gambar templek melayang jatuh ke tanah dengan posisi terbalik, maka iapun kalah. Karena gambar templek waktu itu bergambar aneka tokoh tokoh kartun dari flash gordon, superman sampai spiderman maka permaian ini jadi semakin seru. Uangsaku 100 rupiahku kini menjadi belanja aneka warna gambar templek sampai musim permainan 'gacok-an' ini mereda.

Penjual makanan juga tidak kalah akal. Mereka membuat modifikasi bakso penthol baru. Kini seorang bakso penthol berani memasukkan potongan telur kedalam bakso pentolnya. Bahkan ada bakso penthol ukuran raksasa sebesar bola pingpong dan dibandrol dengan harga 100 rupiah. Gerobaknya sepedanya juga tak kalah eksentrik. di cat warna warni dan ditulis 'Penthol super'. Pentol super cukup populer sampai datang penjual penjual makanan yang lain, ada penjual burjo sampai dengan es cendol.

=====

Yah, dulu 100 rupiah kita bisa jajan dan bersenang-senang di sebuah pelataran sekolah yang disulap jadi shopping mall kita. Akupun juga temanku tak bisa membayangkan berapa uang saku anak sekolah sekarang. Lantas aku teringat bahwa temanku itu, yang terpaut 4 tahun diatasku sudah berkeluarga dan punya seorang anak yang kini akan menginjak ke kelas SD.

"100, 500, 5000!"

Mungkin robert maltus perlu menambahkan pernyataannya bahwa tak hanya jumlah penduduk yang mengikuti deret ukur, tetapi uang sakupun mengikuti deret ukur.