20 Mei 2010

Berburu Oeng

Dr Hong Djien- Photo By Jacek Stepaneak Kami hanya berdua, aku dan temanku, dan kami hampir tersesat di kota Magelang, sebuah kota kecil sebelah utara kota Yogyakarta di bawah  lembah gunung Merapi dan Merbabu. Hawa kota ini selalu adem dengan lanskap kota penuh jalan berkelok dan bangunan-bangunan tua bekas tangsi Belanda. Bekal tujuan perjalanan hanyalah secarik kertas bertuliskan ‘Galeri HD’ Jl. P. Diponegoro 74. Selebihnya, aku coba yakinkan ke kawanku dari negeri asing Polandia itu bahwa ‘kita bisa tanya pak Polisi’.

‘Pak Polisi adalah GPS yang baik’

Artinya sudah menjadi pengalamannya, bahwa bertanya pada polisi tentang suatu alamat adalah lebih baik daripada bertanya pada orang biasa atau tukang becak. Tukang becak tahu banyak lokasi, tetapi skala ukurannya terkadang sukar dihitung secara matematis.

‘oooo, tinggal dekat mas, barang sak plintengan (1 lemparan ketapel)’

Nun, kami telah memasuki jantung kota Magelang hanya menempuh 1,5 jam perjalanan berangkat dari jam 6 pagi dan sampai di pusat kota kira-kira masih jam 7.30WIB. Setidaknya sudah 2 petugas polisi yang dinas pagi kami tanyai. Sepanjang  jalan dilalui, lalu lintas dipenuhi orang-orang yang berangkat kerja, anak-anak yang berangkat sekolah dan truk-truk pengangkut sayur. Memang jalan utama itu adalah jalan lintas provinsi yang membelah dari Yogykarta, Muntilan, Borobudur, Magelang, terus menerus ke arah utara sampai tembus ke Semarang. Ada yang khas di jalan utama itu, yakni banyaknya para tentara lengkap dengan pakaian dinas dan motor-motor ber cat hijau. Ya, karena Magelang adalah kota Militer dimana banyak akademi militer termasuk yang paling terkenal ‘SMU Taruna Nusantara’ Ada disini.

Setelah 4 Pak Polisi dinas pagi kami tanyai, sampailah kami pada petunjuk terakhi arah Jl. P. Diponegoro itu berada, tepatnya persis di belokan pertama tempat kami mengarahkan motor. Tapi rasa lapar yang menyerang mengurungkan nian kami untuk lansung mengarah kesana.

Lebih baik menyerbu warung soto yang sudah di dekat kami dengan kuali yang hangat mengepul-kepul daripada datang ke rumah Oeng tapi dengan ‘setengah konsentrasi’ saja. Konon perut lapar bisa menghilangkan setengah kendali akal.

Bahkan semua seperti sesuai rencana, ketika suami istri pemilik warung soto, beretnis Cina, kami menunjukkan dimana ‘galeri HD’ berada. Persisnya hanya menyebrang warung soto tempat kami berhenti.

‘Lha itu lho rumah Oeng Djien’

****

Kami ditemui Dr. Oeng Djien secara pribadi. Oeng Djien orang yang super ramah. Dengan senyumnya yang selalu terkikih-kikih, sederet gigi besar-besar yang rapih dan putih, kacamata tebal dengan rambut pendek berminyak dibelah pinggir. Jam tangan bermerek, t-shirt berkerah bermotif strip yang dimasukkan dalam celana pantalon dan diiikat sabuk kulit.

Saya seperti melihat sosok Gus Dur dalam wajahnya. Kacamata, muka bulat, dan tawa yang terkeh-kekeh, Dalam lingkaran para seniman khususnya perupa Indonesia, siapa yang tak kenal Dr. Oeng Djien. Julukan pertama adalah kolektor, seorang yang gigih mengoleksi lukisan-lukisan para perupa Indonesia dari jaman kolonial sampai perupa-perupa muda sekarang. Menurut Hong Djien sendiri koleksinya sekarang mencapai kurang lebih 1.500 karya.

Oeng Djien menemui kami lobby galleri yang langsung disambut lukisan Nasirun membentang memenuhi tembok, kalau ndak salah 2 x 4 meter. Selebihnya, terlalu banyak yang lukisan, patung, karya sampai dengan pernak-pernik di ruangan itu yang tak mampu saya gambarkan dengan kata-kata.  Sepertinya setiap bagian dari ruangan itu saling berhubungan, melengkapi satu sama lain dari mulai kursi, patung, asbak, tempat bunga sampai dengan Hong Djien sendiri.

Ada dua galeri induk milik Hong Djien saat ini. Satu, ia menyebutnya galeri untuk karya-karya klasik sampa  dengan modern yang desainnya cukup unik dengan sebuah ikon kacamata raksasa di atas galeri tersebut. Kedua, adalah galeri untuk karya-karya kontemporer yang didominasi karya perupa-perupa muda. Meskipun pembagian galeri tersebut menurut Hong Djien pribadi tidak sekaku itu tetapi setidaknya saat kami memasuki 2 galeri tersebut memang ada suasana berbeda. Galeri pertama didominasi karya-karya perupa2 senior dari mulai Affandi, Soedarso dan sebagainya. Sedangkan galeri kedua selain lukisan terdapat banyak karya Instalasi termasuk instalasi-instalasi yang dibuat perupa saat ulang tahun Hong Djien. Di galeri ini kami menemukan patung replika Dr. Oeng Djien lengkap dengan suara gelak tawanya yang khas.

Melihat Sejarah

Lukisan-lukisan disekujur galeri ditata dengan apik dengan sistem sirkulasi udara dan pencahayaan yang bagus. Memasukinya adalah pengalaman luar biasa, mengamati tiap karya adalah sempalan-sempalan cerita tentang suatu waktu tertentu, suatu ruang tertentu. Setiap karya punya cerita sendiri-sendiri, seperti buku sejarah, seperti cerita pendek atau mungkin cerita yang membentang jadi novel. Ada karya yang memotret tentang peristiwa tertentu, isu tertentu. Ada juga lukisan tentang keindahan tubuh perempuan.

Dr. Hong Jien masih memandu kami dengan sabar, sambil bercerita dengan bahasa inggrisnya yang fasih.

Kepala saya langsung terasa pening, bukan oleh aroma minyak cat, kanvas dan ruap serbuk udara di galeri yang khas, tetapi karena teralu banyak hal baru yang harus saya serap tiba-tiba. Tak cukup rasanya menjejakkan kaki barang 30 menit.

‘Every picture tell the story’ kata rod steward