13 Des 2018

The Last Durian

Nun, aku pernah tinggal lama di sebuah kampung bernama ponggalan. Konon, kampung yang sekarang sudah menjadi perkotaan itu dulunya sebuah desa. Setidaknya pinggiran kota yang masih didominasi orang-orang yang bekerja di sawah alias bertani. Pun aku masih mengalami masa-masa ketika di musim tertentu orang-orang memanggil anak-anak untuk mengadakan wiwitan. Wiwitan adalah semacam membuat tumpeng kecil dengan sayuran, potongan telur, ikan asin, tempe garit dan teh yang digilir dengan gelas omprong. Maka anak-anak kecil tanpa perlu dipanggil sudah berlarian mengular, membututi petani yang sedang mengendong nasi wiwit itu ke pematang menuju petak sawah yang akan digarapnya. Lantas, beberapa pincuk atau  tempat makan dari daun pisang sudah disipakan untuk kami anak-anak berbagi nasi wiwitan tersebut. Masing anak mendapat 1 pincuk kecil nasi, lalap sayur, potongan tempe garit, ikan asin dan paling hits atau istilah kami adalah pukulan gongnya adalah sepotong, tepatnya seperdelapan potong telur rebus. Itu sungguh nikmat sekali. Tetapi kurun itu sudah berlalu lama-sekali, terkikis habis seiring dibukanya akses aspal lebar dan perkembangan pesat kota kami.
--------
Ponggalan beberapa tahun belakangan terus bergerak. Rumah-rumah baru bermunculan, orang-orang berdatangan. Apalagi kini ada kampus baru agak berdekatan dengan kampung kami, sehingga banyak mahasiswa, paling banyak mahasiswi yang indekos di kampung kami. Maka bisnis kamar kos, laundry sampai warung-warung mulai bermunculan. Depan rumah masih kokoh 2 pohon durian tua. Seingatku itu adalah tahun 2000an dan 2 pohon itu adalah durian terakhir di kampung kami.

Mendiang bapak pernah membeli sepetak tanah, tepatnya agak ke tepi timur kampung kami. Di tanah itu masih tersisa 1 buah pohon durian tua. Tetapi selepas berganti pemilik, ternyata pemilik baru tidak mempertahankan durian itu. Maka 2 pohon durian di depan rumah itulah yang tersisa di kampung kami.
-----
Ini adalah musim kemarau dan 2 Pohon durian terakhir mulai berbuah lebat. bahkan beberapa buah sudah mulai nampak menyeruakkan aroma khas harum durian. Sang pemilik pohon yang notabene adalah tetangga kami tentu saja sangat senang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, jika bola-bola buah durian  sudah mulai nampak membesar, ia akan mengundang seorang tetangga kami juga (yang saya lupa namanya) yang sangat gesit memanjat pohon dan kemudian mengikat satu persatu durian tersebut dengan tali. Walhasil jika durian itu sudah matang sempurna, sik durian akan jatuh dengan sendirinya dari tangkainya. Tetapi karena sudah terikat dengan tali, sik durian hanya bergelantungan saja pada batang ikatan. Maka pagi harinya atau mungkin beberapa hari kemudian, sekalian susul susul menyusul menunggu bergelantungannya buah-buah durian masak lainnya, sik pemilik (Mas Panut namanaya) akan memanen dengan mudah.
"Tapi sepandai-pandainya diikat, tetap saja ada beberapa durian yang jatuh jua ke tanah"
Apalagi 2 pohon durian terakhir itu cukup subur. 1 pohon usianya mungkin jauh melampaui dari usia usiaku saat itu, dengan urat-urat batang yang menujukkan perjalannanya tumbuh telah melalui berbagai musim, mungkin saksi bisu juga ketika jalan aspal depan rumah masih berupa jalan setapak.
1 pohon yang terbesar kali ini buahnya luar biasa banyak. Apalagi pada ujung-ujung batang yang jauh dan agak rapuh, tidak terjangkau tangan sang pemanjat dan pengikat gesit. maka saat keberuntungan bagi kami menunggu durian jatuh. Utamanya di malam hari.
-----
Nun, sang pemilik 2 pohon durian terakhir mulai was-was akhir-akhir ini. Beberapa buah durian pada ujung batang memang sulit diikat dan aromanya kian menyeruak menujukkan tingkat kematangan semakin mendekat. Sebentar lagi jatuh. kalau toh siang hari, tentu masih bisa diselamatkan dari tangan kami, penikmat durian jatuh, tapi jika malam hari harus berjaga apabila mendengar bunyi suara "GdeBukkk!"
---
Malam ini sedang banyak rekan-rekan berkumpul di rumah. Sebenarnya sudah menjadi malam sewajarnya, rumah kami selalu ramai pada bergadang sampai malam. Namun untuk menunggu durian jatuh agak sulit bagi kami. Karen akhir-akhir ini mas Panut lebih sering lebih gesit dari kami dalam urusan bunyi "Gdebukk!"
Tiba-tiba entah ide dari siapa yang memulai, salah seorang dari kami mengambil batu bata besar. Dilemparkannya batu bata itu ke tanah kosong dekat pohon durian itu. Lantas kami semua pura-pura tidak tau serta kembali ngobrol seperti biasa di depan rumah.
Benar saja, tak menunggu waktu lama keluarlah mas Panut dari rumahnya. Terlihat kemudian hilir mudik mencari arah sumber suara dan melihat ke arah kerumunan kami.
Tak percaya, Mas panut sempat mendekat ke arah kami, sambil menyelidik, kiranya ada aroma durian jatuh disembunyikan di sekitar tempat kami duduk. Tetapi tak nampak olehnya... Mungkin pikirnya sudah disembunyikan oleh kami.
"Gdebukkk", kali kedua salah satu dari kami melempar batu bata lagi ke petak kosong. Kali ini Mas panut keluar lagi. Di tangannya menggengam senter, lalu disorotnya ke arah kira-kira sumber suara serta ke arah atas pada ikatan-ikatan rerimbun buah durian. Lalu ia sempatkan Celingak celinguk dan menyelidik ke arah kami. Masih pula nihil.
Entah apa yang terlintas di pikiran mas panut waktu itu... apakah sudah sadar dikerjai oleh kami, ataukah mungkin  dia berfikir 2 buah durian matang jatuh ke tangan kami. Barangkali ikatannya lepas....
---
Malam sudah sangat larut saat "Gdebukkk" yang ketiga kalinya muncul. Kali ini bukan dari buah tangan ulah kawanku. Tetapi memang suara alami dari sebuah durian matang sempurna yang tangkainya sudah tidak kuat lagi menahan beban kematangan lalu melepaskan cengkramannya dan membuatnya jatuh ke bawah oleh gaya gravitasi bumi dan tertangkap dengan empuk oleh tanah kosong beberapa langkah dari pohon induknya. Sang durian jatuh lantas agak berguling sebentar lantas diam menunggu diambil orang. Dan sangat beruntungnya kami karena mas panut tak jua keluar dari rumahnya. Setelah kami diamkan sejenak, barulah kami diam-diam mengendap meraih durian itu. Maka di penghujung malam itupun kami berpesta membelah durian. Sebuah durian terakhir di kampung kami yang bisa kami nikmati karena di tahun berikutnya pohon durian itu telah ditebang karena berganti pemilih tanah. Kini bekas 2 durian terakhir di kampung kami telah berdiri rumah. Dan mas panut tak perlu lagi was-was jika malam tiba saat musim durian mulai datang. 

Jogo cakruk- Edisi Ketemu orang Tersesat

Tempat tinggalku sekarang memang persis di pinggiran sungai Opak. Sebuah perumahan yang berada di ujung desa Jogotirto dan jalan aspal masuknya berujung pada jalan buntu menuju tepian sungai. Maka tak heran apabila beberapa kali pelancong atau sekedar orang yang pertama kali melewati di sana bisa tersesat. Dianggapnya jalan aspal yang masuk melalui perumahan itu akan berujung pada jembatan menyeberang sungai opak dan menuju aspal lain di seberang desa. Tetapi mungkin untuk adanya jembatan tersebut perlu waktu bertahun-tahun lagi. Pun bisa jadi hanya angan-angan.
---------
Nun, seperti biasa, suasana malam seputaran dirgantara asri sudah mulai sepi. Pintu pintu rumah sudah tertutup dan kucing-kucing mulai berseliweran di genting. Meski kemarau belum berakhir, tetapi udara tidak terlalu dingin. Jalan aspal yang masuk ke perumahan masih berkabut debu, yang belum mengendap setelah seharian digerus roda-roda kendaraan dan mobil bak pasir. Pak Sugi, salah satu anggota ronda paling rajin, sudah berangkat meluncur menuju pos ronda, lengkap dengan celana training, kaos pudar dan selempang sarung.  Pos ronda masih belum ada orang, tikar pun belum digelar dan tampak remah sisa makanan dan bungkus snack berserakan. Pasti seperti biasa, sore tadi jadi arena kumpul anak-anak perumahan. Pak Sugi memukul kentongan beberapa kali, sekedar isyarat agar rekan-rekan rondanya lain yang dalam papan daftar ada sekitar 14 orang bisa segera hadir. Maka tak perlu waktu lama, satu persatu personilpun berdatangan, dari Algi, Pak Joko, Pak Yanuar, Alex, Pak Padi, Pak Faisal, Pak Samino, Pak Heri dll. Malam itu agak lengkap, meskipun tidak ada yang membawa camilan atau minuman. Obrolan pun mulai membuncah keberbagai topik, dari sepakbola sampai politik kampung. Dari plesetan sampai parodi.  Cerita paling seru  akhirnya datang dari Algi si anak rantau mahasiswa asal NTB yang malang melintang sampai akhirnya terdampar di PDA.
----------------
Malam itu tokoh utama adalah Algi yang dengan gayanya yang eksentrik khas orang timur gemar bercerita sepak terjang keseharian hidupnya  Tiba-tiba, ditengah keasyikan Algi yang mencerita-kan kelihaiannya sebagai sales parabola, seorang bapak paruh baya turun dari jalan menuju ke pos ronda. Si Bapak muncul sambil menuntun sepeda gunung karatan. Kabut debu jalanan ditambah kemunculannya yang tiba-tiba membuat kami semua bergidik terkejut. Taksirannya sekitar umur kepala 5 dan perawakannya tegap. Dikepalanya memakai topi dan nampak dari pakaiannya yang sedikit rapi menandakan ia bukan datang dari tempat jauh.
“Jalan buntu itu pak, bapak dari mana mau kemana?”
"Klaten! Lewat mana ya?"
 Malam-malam jam 11 an begini mau ke klaten? dengan sepeda bocor?
Berbagai pertanyaan tentu saja muncul di benak kami. Ditanya namapun si Bapak hanya menjawab berputar-putar.  Ditanya A jawabnya B. Jikapun orang gila, cara ngomong  Bapak ini tidak menujukkan seperti itu. Tetapi kelihatan sekali Bapak ini agak linglung.  Mungkin pula pikun.
"Jangan jangan intel? Intel yang ngaku-ngaku orang gila, apalagi jelang pilkada begini"
Sepeda yang dituntunya itu baik ban depan maupun belakang tampak gembos yang membuat kami berfikir bahwa hal itu bukan tanpa disengaja. Kalaupun maling sepeda, bapak itu tak menunjukkan perawakan seperti itu, pun sepeda itu kelihatannya tidak cukup berharga kecuali di tangan tukang loak. Satu per satu dari kami mencoba mengorek, keterangan, sekedar dapat secuil informasi. Tetapi si Bapak tetap kebingungan. Kecuali Algi, pengalamannya sebagai sales parabola mungkin mengasahnya untuk menghadapi berbagai bergai macam orang termasuk dengan Bapak itu.
-----
Setelah ngobrol panjang lebar Algi mendapatkan cerita Bapak ini bukan orang sembarangan, paling tidak jika bukan dari kalangan tentara, mungkin pensiunan tentara. Ada sekelumit cerita juga Bapak ini pernah dikeroyok dengan banyak orang  dari tentara. Apapun cerita Bapak tadi, Algi terus mengikuti sambil mengulik informasi.  Di tengah-tengah percakapan Algi dengan Bapak itu, lamat-lamat muncul nama seseorang yang cukup populer. “Tejo. Tejo mantan dukuh kita!”  “Masih saudaranya pak Tejo kayaknya” Dengan bujukan Algi, rombongan piket ronda akhirnya mengantarkan Bapak itu ke tempat pak Tejo. Sambil berjalan Algi masih ngobrol dan mengikuti cerita Bapak itu.
-----
  Jalan kaki menuju rumah pak tejo yang berada di tengah pemukiman Jragung lumayan jauh dan saat itu sudah jam 12 lebih, berbekal  secarik nama kami berharap kami mengantarkan ke tempat yang tepat. Lagipula tengah malam begini sangat berisiko kami mengetuk pintu rumah Pak Tejo besar kemungkinan sudah lelap. 3 kali lebih kami mengetuk rumah Pak Tejo dan yang bersangkutan belum jua kelihatan. Hampir saja kami menyerah saat tiba-tiba di tikungan depan rumah Pak Tejo muncul sesosok perempuan paruh baya.  “Ealah pak, pulang! Tak Jewer kupingmu lho!” Ternyata sosok itu adalah istrinya dan benar Bapak itu adalah adik pak tejo yang rumahnya persis hanya beberapa petak dari rumah Pak Tejo. Tambah lagi bapak itu memang pensiunan perwira dan sudah beberapa waktu ingatannya sudah mulai pikun. Sang istri sengaja menggemboskan sepeda itu agar si Bapak tidak mengeluyur kemana-mana. Perempuan itupun meminta maaf dan berterima kasih sudah menghantarkannya pulang.
----
  Syukurlah, masalah sudah terselesaikan dan kamipun harus jalan kaki lagi pulang ke perumahan. Benar-benar malam yang melelahkan. 

12 Des 2018

Mbayung

        Makan siang kali adalah sayur mbayung yang mengingatkanku pada masakan simbok. Saat usia SMP aku dititipkan pada simbok, yakni panggilanku pada simbah putri, ibu dari ibukku. Kebiasaan ibu ku memanggil simbah dengan simbok sehingga aku dan saudara-saudaraku terus memanggilnya dengan simbok.
Mbayung adalah daun kacang panjang. Daun ini dahulu identik dengan bahan masakan kelas bawah. Karena tidak seperti daun-daun yang lain, misalnya bayam, sawi dsb, daun kacang panjang ini bisa dikatakan limbah pertanian. Dahulu simbok mendapatkan daun mbayung dengan cuma-cuma dari kebun tetangga ataupun kalau dibeli dipasar sangatlah murah.
     Di usianya yang sudah lanjut, dengan rambut yang keseluruhannya sudah putih, simbok masih gesit di kesehariannya. Memasak, mengurus 'mbah kung' suaminya tercinta, mencuci dan segenap centang perentang keperluan rumah. Simbok kesehariannya memakai jarit serta kebaya sederhana. Sebuah stagen panjang selalu melilit di pinggang simbok membuat seusianya masih terlihat tegap.
     Di ingatanku untuk urusan masak, simbok adalah koki terhebat. Masakannya meskipun dengan bahan-bahan seadanya, selalu terasa nikmat. Simbok sepertinya menikmati urusan memasak ini sebagai rutinitas yang menyenangkan.
Di sekitar rumah simbok ada beberapa tanaman yang sering jadi sasaran untuk olahan masak. Beberapa batang pohon melinjo, tanaman katuk, tanaman bluntas, singkong, pepaya dan kebun sayuran dengan paling banyak diisi cabai dan kemangi. Lantas bisa dibayangkan deretan tanaman diatas sudah menjadi menu bergilir untuk olahan sayuran. Buah Pepaya muda dijadikan sayur bobor atau kadang oseng-oseng, daun pepayanya diolah jadi oseng-oseng, daun katuk dijadikan bobor, daun ketela dijadikan lodeh dan sebagainya. Khusus menu protein apabila sedikit beruntung sedang panen telur di kandang ayam mbah kakung, 1 atau 2 butir telur diaduk dicampur potongan halus daun melinjo muda. Dadar daun melinjo muda ini rasanya enak sekali, meskpun harus dipotong-potong menjadi beberapa bagian, untuk lauk pagi, siang dan sore.
Terakhir, kembali ke soal mbayung, jikalau simbok pulang dari pasar sayur yang sering dibawa adalah daun mbayung, mungkin karena sayuran itu paling murah. Diolah dengan santan, diberi  tempe busuk (tempe bosok) dan jikalau sedang musim petai, cukup 5 atau 7 mata petai dimasukkan ke sayur mbayung sebagai bumpu pelengkap. Rasanya tidak ada yang mengalahkan sayur mbayung bikinan simbok. Beberapa kali sayuran bayung itu dulu muncul meja makan rumah simbok, beberapa kali pula tak pernah bosan rasanya menikmatinya.