Tampilkan postingan dengan label Usul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Usul. Tampilkan semua postingan

23 Jun 2011

Learning by doing#1:edisi memasak

Learning by doing alias belajar melaui praktek langsung. Tapi jangan praktekkan ini bila anda seorang dokter atau praktek pengobatan karena bisa-bisa anda akan kena mal praktek.

Pelajaran memasak pertama adalah telur dadar cantik. Disebut telur dadar cantik karena bentuknya yang bulat, pipih dengan warna kuning cerah dan tak ada lubang sedikiten. Sebenarnya membuat telur cantik ini adalah gampang kalau kita punya wajan teflon anti lengket. Telur tinggal dikocok dengan sedikit garam lantas dituang pelan pelan sambil wajan digoyang pelan dari tengah sampai ke tepi. Tinggal tunggu beberapa menit api sedang, lantas kalau anda mau coba atraksi melempar telur ke udara mirip master chief tinggal disentakkan ke atas sampai terbalik ke udara dan… pluk! Kalau anda beruntung sang telur akan kembali ke posisi semula pada permukaan yang lain alias side B, tapi kalau tidak beruntung paling-paling telur cantik jatuh tertelungkup tanpa bentuk. Tentu saja lebih sulit membuatnya dengan wajan biasa. Wajan harus benar-benar berlumur minyak tipis. Lebih bagus lagi justru wajan yang belum dicuci untuk menhindari si telur cantik lengket di muka wajan dan jadilah telur bopeng-bopeng. Si telur cantik biasanya jadi menu breakfast alias sarapan kilat atau sekedar lauk pengganjal perut pada malam hari.

 

Tabel 1.1 Absensi kehadiran Bawang Merah & Bawang Putih

  Bawang Merah Bawang Putih
Sayur Sup nihil hadir
Goreng Telur, tempe atau tahu nihil hadir
Lalapan nihil hadir
Tumis/oseng-oseng hadir hadir
Nasi Goreng kadang hadir kadang tidak hadir
Sambal kadang hadir kadang tidak hadir
Dongeng Bawang Merah & Bawang Putih hadir hadir
  = sering bolos = selalu hadir

Aneka Soup

Bosan dengan lauk yang terlalu sederhana mulailah kucoba membuat soup. Bumbunya aku perkirakan sama saja yakni duet dua bersaudara si bawang merah dan si bawah putih lantas digerus halus bersama garam, merica dan kadangkala sedikit aku kasih  kunyit dan lombok. Semua bumbu aku goreng sampai keluar aroma dan lantas kuguyur dengan dua atau tiga gelas air hingga mendidih.

Tinggallah para sayur mayur siap jadi korban mutilasi pisau dapur; kubis, wortel, tomat, sledri terkadang dengan ektrim kutambahkan daun mangga muda, daun katu ataupun segala macam daun yang berwarna hijau yang rasanya tidak pahit dan tidak menimbulkan sakit perut.  Satu demi satu, sayur yang telah kumutilasi dan wortel yang kukuliti dan kupotong kecil-kecil kucampakkan dalam wajan sup yang telah mendidih. Wajan! Ya karena peralatan dapur hanyalah kompor, pisau dan wajan. Menggoreng lauk memakai wajan. Membuat sup juga memakai wajan, dsb. Maka wajan adalah alat masak praktis dari A sampai Z. Beberapa menit sup telah siap. Karena aku tidak suka pada Monosodium Glutamate yang membuat kepalaku pusing setelah memakannya, kutambahkan saja sedikit gula. Kalau sedikit berduit, kumasukkan potongan cakar ayam atau sayap ayam sebagai ganti kaldu. Eksperimen dengan sup hanyalah dengan menambahkan potongan tahu yang digoreng, atau potongan tempe. Selebihnya aku sudah tak kuasa menahan derita lapar daripada terlalu khusuk menambahi menu.

Food and Gathering Lalapan

Aneka lalap adalah menu paling sederhana tetapi juga paling memprihatinkan. Paling sederhana karena aneka daun, apapun bentuknya yang berwarna hijau yang berasa pahit ataupun manis yang didapatkan disepetak kecil belakang rumah atau dengan diam-diam mengendap-endap memetiki daun di pekarangan tetangga pada malam hari, adalah tinggal direbus dengan sedikit garam dan tumbukan si bawang putih tanpa melibatkan saudaranya si bawang merah. Jika sedikit ber-uang, lalapan ini bisa dipadu dengan tempe goreng atau sambal.

Maka aneka lalapan ini adalah semacam evolusi manusia purba dalam caranya survival of the fittest  alias bertahan hidup melalui food and gathering alias berburu dan meramu. Berburu bagiku adalah bagaimana aku mendapatkan daun-daunan bahan lalapan tersebut dari sepetak kecil tanah baik itu pekarangan sendiri ataupun orang lain. Sedangkan meramu adalah meramu hasil perburuan tersebut dalam wajan ajaibku bersama sedikit garam dan bawang putih.

Nasi Goreng

Menurut survey yang perlu diragukan keberaadaanya, tiap anak kos, ataupun homo sapiens yang hidup mandiri dengan cara masak nasinya sendiri, nasi goreng adalah menu sarapan pagi ratting ter tinggi. Ini karena nasi goreng sebenarnyalah adalah ide kereatif bagaimana memanfaatkan sisa nasi yang masih belum habis dan hampir basi untuk bisa tertelan jadi sarapan. Maka nasi gorengkupun tercipta dari wajan ajaibku dengan memasukkan nasi hampir atau sudah basi, garam, lombok, kecap dan lagi-lagi duet dua bersaudara si bawang merah & si bawang putih yang hanya akur di dunia bumbu-bumbuan. Maka nasi goreng jadi menu spesial bila dihadiri sebutir telur.

Nasi sudah jadi Bubur

Nasi sudah jadi bubur artinya tak bisa dikembalikan lagi jadi nasi. Tapi bubur membuatku lekas kenyang dan rasa gurih dan gumpalan dari santan adalah rasa yang membuat bubur ‘kalau kepepet’ jadi menu utama tanpa tambahan lauk pauk. Apalagi dengan segenggam beras saja maka terciptalah dua piring penuh bubur.  Walhasil perut lekas kenyang meskipun resikonya pencernaan dan cacing-cacing di perutku lebih mudah menyerap hingga mengakibatkan alarm rasa lapar akan berbunyi 3 jam lebih cepat dari biasanya. Maka bubur adalah menu emergency respon bila logistik beras di dapur sudah menunjukkan level memprihatinkan alias stok tipis. Asal darurat mengisi perut lapar selanjutnya bisa difikirkan setelah kenyang!

Tumis alias Oseng

Tumis alias oseng adalah ketika potongan tempe, tahu, sayur ataupun segala bentuk remah-remah yang lain beradu dalam wajan ajaibku bersama sedikit minyak, garam, si kembar bawang merah- bawang putih dan sedikit kecap. Jika lagi mujur meskipun frekuensinya 1 banding 30 hari sekali di peraduan bisa bergabung beberapa potong jamur, telur atau potongan ayam. Tumis ini cukup membutuhkan waktu 15 menit untuk siap disantap, sehingga acap jadi menu favorit untuk malam.

Kalau fieasta punya slogan rasa adalah segalanya maka bagiku punya slogan kenyang adalah segalanya. Jika kepepet tak perlu punya pengalaman untuk masak. Asal ada garam dari laut, gula dari ladang dan si kembar bawang merah bawang putih bertemu di wajan ajaibku, jadilah mereka hidangan istimewa.

17 Des 2009

Dilarang Meremehkan Kentut

semar1 Jangan menyepelekan kentut, konon ada cerita kentut yang menyelamatkan nyawa. Ada juga ajian paling dahsyat dari sang Semar namanya ‘Kentut Semar’. Sekali kentut ‘Buzz’ dari belahan pantat besar dari Semar, maka radiasinya bisa sampai radius ratusan kilometer, dan sang kentut, anehnya bisa ‘tebang pilih’ mana lawan yang bisa ditumbangkan dengan bau yang langsung membuat ‘klepek-klepek’ dan mana kawan yang hanya akan didera angin semilir. Kentut Semar hanya dikeluarkan disaat-saat genting, seperti laiknya senjata hulu ledak nuklir di kapal selam yang hanya bisa diluncurkan dengan komando khusus.

Sekali lagi jangan remehkan kentut. Kentut adalah sebuah perangkat ‘gojek kere’. Gojek kere adalah semacam frase basa jawa untuk mengistilahkan humor yang muncul di kalangan kaum miskin, humor yang manusiawi berkisar kejelekan fisik, tingkah laku buruk atau hal-hal yang masih bau primitif. Di saat perbincangan yang formil dan berat, bila tiba-tiba ada orang yang kentut dan berbunyi ‘keras’ maka pecahlah batu formalitas itu. Lihatlah apa yang terjai kemudian; akan ada 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama si kentutters akan didupak sementara dari lingkaran pertemuan formal itu, dan sik kentuters akan mengeloyor pergi dengan malu-malu atau dianggap ‘agak ndak normal’. Kemungkinan kedua, pecahlah formalitas itu dan dimulailah perang ‘bintang’. Sebuah perang balas-membalas ‘kentut’. Makin keras makin ramai dan tertawalah orang-orang. Dan ‘gojek kere’ pun dimulai.

Dua kali lagi jangan remehkan kentut. Aku mengalaminya sendiri bagaimana sebuah kentut tidak peduli dengan suara keras, bunyi gedebum, bunyi buzz, atau keluar hampir tanpa bunyi sama sekalipun, dengan bau anti-semerbak apapun, sedang dinanti-nanti dengan sabar dari hari ke hari. ‘Kentut’ yang dinanti-nanti ini adalah kentutku yang pertama kali selepas operasi usus buntuku.

Aku mendapat serangan usus Buntu kali aku kelas 6 SD. Sewaktu anak-anak lain sibuk mempersiapkan ujian, aku harus terkapar di rumah sakit karena usus yang buntu yang bengkak ini. Masih kuingat betul bahwa beberapa hari sebelum operasi usus buntuku dijalankan, aku masih menikmati saat berbuka puasa yang tumpah ruah dengan aneka makanan dan minuman. Eh, hanya selang sehari , aku terserang sakit perut sampai kemudian si dari hasil chek darah, memvonisku untuk operasi usus buntu.

Lama operasi usus buntu kira-kira hanya kurang dari satu jam saja. Dengan sisa pengaruh bius yang ada, aku tersadarkan diri dengan kondisi tubuh tiba-tiba sudah terbaring di ranjang ruang pasien dengan bagian bawah kanan perut tertutup perban tebal, tubuh lunglai, pakaian daster pasien, selang infus, dan ibundaku yang duduk disamping dengan muka yang ‘sumringah’. Maka itu adalah dimulainya saat penantian bermenit-menit, berjam-jam dan berhari-hari demi keluarnya ‘kentut pertama kali dari ku.

“Pokoknya jangan dikasih minum sedikitpun sebelum kentut” Perintah dokter adalah wajib adanya, tegas dan pasti. Konon kalau melanggar itu, akibatnya sisa luka operasi akan membengkak dan paling buruk membusuk sampai kemudian harus dioperasi. Hiiiii… ngeri membayangkan hal itu.

Maka atas ‘kekhawatiran’ itulah ibundaku melawan ‘kekhawatiran’ yang lain pada aku untuk tak memberikan minum padaku barang setetespun, meski air mukaku kehausan, mengiba dan memelas. Ya, meskipun sudah ada selang infus, yang notabene tetap ada asupan gisi mengalir pada tubuhku yang terbaring, tetapi naluri anak-anak sepertiku seakan-akan merasa selalu ‘kehausan’. Aku bisa melihat wajah ‘kembang kempis’ ibunda demi menetralisir dan meredam keinginananku untuk minum, dari mengipas-kipasi, menepuk-nepuk, mengelus-elus sampai dengan meniup-niup mukaku. Begitupun ibunda meyakinkan padaku dengan berbagai macam cara ‘bahwa setelah bunyi kentut yang pertama’ dari pantatku keluar, maka ia akan memberikan padaku susu coklat.

‘Sabar yoo lee…”

Bermenit, berjam, berhari telah dinanti. Ibunda yang sabar menungguku di pojok ranjang, sesekali menempelkan telinganya lekat-lekat ke sarung yang kukenakan, berharap benar ada ‘bunyi yang dirindukan’ itu keluar dari pantatku. Dan…. “Thuuuuut….” Saat bunyi yang pertama keluar, ibunda masih belum yakin dengan suara itu, ia semakin mendekatkan telinganya ke sarung ku kenakan. Ya… memang ada bau yang tak biasa. Bau yang sesuangguhnya luar biasa dari hasil metabolisme alamiah perut berikut campuran-campuran kimia medik hasil operasi. Itupun tak cukup menjadi indikator bahwa aku sudah kentut.

“Sabar, tadi kok kayak ndak kedengaran kentutnya… kita tunggu lagi”

Maka, seperti menunggu sesuatu yang pasti datang tetapi tak tau pasti datang dan tak mau melewatkan saat yang historik itu, Ibunda, kali ini berikut Papanda, benar-benar mengerubungi sarungku. Mendekatkan telinga mereka lekat-lekat, berdiam menjaga kesenyapan agar bunyi kentut yang nantinya bakal keluar tidak terganggu suara apapun. kalau toh harus bercakap-cakap, mereka berbisik-bisik.

“Thuuuuuutttt….. thuut…. thuuuut…. thuuut…”Kali ini lebih nyaring, dengan intonasi yang jelas meski terbata-bata. Tapi suara yang keluar itu begitu jernih, sejernih Dave koz memainkan saxofone, semerdu siulan axl rose dalam intro lagu ‘patient’ dan senyaring venessa bermain biola. Pokoknya, pecahlah sudah wajah sumringah pada ibunda dan bapakku seketika itu. Ya, sekarang aku sudah bisa kentut yang berarti metabolisme tubuh sudah normal adanya, aku sudah boleh meminum susu coklat kesukaanku, disuapkan sedikit demi sedikit dari sendok.

Sekali lagi dilarang meremehkan kentut.

8 Des 2009

Ku tunggu mangga mu

Foto Courtesy 'Geng Penunggu Pohon Mangga' halaman belakang Kantor KYPA Pohon mangga di halaman sekolah SD Cepokojajar, di pelosok desa Piyungan itu berjumlah dua pohon yang kesemuanya tidak begitu tinggi. Ada sekitar 130 murid, 13 guru, seorang kepala sekolah dan 1 orang petugas penjaga sekolah. Sehingga setidaknya ada 145 kepala yang bakal menjadi beneficieries (penerima manfaat) bagi gerombolan buah mangga itu. Kalau dibagi adil sejumlah kepala itu, pastinya ada yang mendapat mangga seukuran kepalan bayi dan ada yang mendapat mangga terbesar seukuran kepalan raksasa. Tapi dalam kenyataan tak ada mekanisme matematis seperti itu, karena secara alamiah, entah dengan model apa, segenap warga sekolah menerima manfaat dari buah mangga-mangga itu.

Nun, selepas ngobrol santai dengan seorang guru di Sekolah SD tersebut, tiba-tiba saja ia mengeluarkan sebuah bungkusan plastik besar berisi buah-buah Mangga.

“Monggo, Mangga nya. hasil panen dari halaman sekolah’ Maka Semenjak pemberian itu maka saya seperti terikat pada hubungan simbiosis berbalas-budi.

Kejadian itu belum genap seminggu saat saya juga menerima sekeranjang Mangga, Kali ini dari sebuah lembaga yang menjadi tetangga lembaga tempat saya bekerja.

Mampirlah, jemput manggamu sebagai tanda terima kasih membantu acara kami’

Kejadian sebelumnya lagi belum genap beberapa hari saat saya mendapat sekeranjang mangga. Kali ini dari keluarga Kakak Ipar.

Dik, ini panenan dari deso”

Kejadian sebelumnya adalah belum genap beberap jam saja saat kantor saya menerima bejibum mangga dari seorang rekan kantor yang panen mangga dari halaman rumahnya.

“Titipan dari Bapak buat rekan-rekan kantor daripada dimaling anak2’

Pokoknya banjir mangga. Mangga….

****

Bulan November ini selain kemunculan Hujan yang pertama kali di kotaku, Kota Yog, juga musim Mangga. Di mana-mana buah mangga muncul dari pohon-pohon mangga. Dari pelosok kampung sampai pelosok dusun. Bahkan di petak-petak perumahan padat, perjalanan anda akan terhalangi buah-buah mangga yang bergelantungan persis di atas kepala anda. Bila anda sedikit mau nakal, bisa saja anda bisa mengemudi kencang di jalan itu dan mengambil beberapa gelundung mangga sekaligus. Atau kalau pas lagi apes, saat malam gelap gulita, saat anda ngebut, kepala anda akan benar-benar benjut karena menabrak benda keras, pejal, hijau bernama mangga.

Pun di kantor-kantor instansi dan lembaga di sekujur kota Yog. Fenomena panen mangga menjadi situasi ruang ‘hiburan tersendiri’ di tengah rutinitas di depan pendaran komputer, tumpukan arsip, dering telepon dan arus faximilili. Hampir tak ada satupun buah di dunia ini yang langsung matang seketika dari pohonnya. Pasti, seperti mangga di depan halaman instansi, kantor, petak perumahan, atau halaman tetangga, ada proses dari buntil lantas membesar dan terus membesar. Juga perubahan warna dari hijau ke kuning-kuningan. Untuk buah tertentu warna merah merona adalah pertanda buah masak sempurna dan masa skritis dimana kalau tidak disegera dikupas lantas dimakan, maka akan diserbu koloni lain yang berterbangan di malam hari; ‘Kelelawar-atau Codot’.

Mangga dalam bahasa sunda berarti juga ‘Silahkan’. Mangga jika diucapkan dengan fonologi Jawa diucapkan dengan ‘monggo’ yang berarti ‘mempersilahkan dengan sopan’. Ya, jika boleh menghubung-hubungkan harfiah mangga dengan filosofi tentang ‘mempersilahkan’, maka siapapun dipersilahkan oleh pohon mangga itu untuk memetiknya. Memang maha baik hati Tuhan yang menciptakan ‘Mangga’ ataupun kalau tidak mau menghubungkannya dengan Tuhan, sungguh baik bumi pertiwi yang menumbuhkan buah-buahan, dan lantas me'-‘mangga’ kannya kepada kita untuk memetiknya.

Ada banyak macam ‘mangga’'; Mangga madu yang konon manisnya semanis madu, Mangga kuhweni yang kulitnya keras setebal 1/2 cm yang akan membuat bibir kita nyonyor bila tak membersihkannya dari getah, tetapi adalah mangga yang paling ‘tidak tahu diri’ yakni ‘Mangga Mana Lagi’. Ya, namanya ‘Mangga manalagi’, yang setelah mempersihlahkan kita memetik, mengupas lantas memakannya, eh , kita ‘minta lagi’. We want more!

November, musim penghujan, musim mangga juga ditandai dengan pinggir jalan-jalan besar kota Yog dipenuhi penjual mangga dadakan. Ada yang menggelar dengan cara sederhana, di bawah payung, dan memasang umpan tulisan ‘3000’ per kilo dengan sebuah mangga yang disayat sempurna mempertontonkan ‘aduhai’ dagingnya yang lembut, manis, kenyal kekuning-kuningan. Ada juga yang menggunakan mobil bak terbuka, dengan tulisan ‘pilih sendiri manggamu’ –sekilo 2.500. Maka kalau kita boleh sedikit nakal, seperti halnya lorong petak perumahan yang dipenuhi mangga-mangga yang menjuntai tadi, kita bisa saja usil mengambil sebuah mangga saat melintas di penjual mangga tadi.

Berbeda dengan mangga di halaman rumah, mangga di halaman instansi, kantor atau lembaga biasanya tak jelas siapa pemilikinya. Karenanya siapapun yang seharian berteduh di atas atap kantor itu akan berlumba-lumba meng-klaim mangga milik masing-masing. Biasanya memang di –mangga-kan. Berbahagialah bagi instansi, kantor, atau lembaga yang halamanya ditumbuhi mangga. Proses menunggu tadi adalah proses perbincangan para penunggu mangga di bawah kolong kantor, berdebar-debar saban hari, harap-harap cemas mangga-mangga di atas pohon itu bisa matang dengan sempurna, lantas dikupas dan dimakan beramai-ramai. Tetapi memang bukan pada ritual memetik, mengupas dan menelan mangga itu yang ‘mengasyikkan’. Tetapi, adalah proses menunggu berhari-hari, berjam-jam, bermenit-menit, menyaksikan gerombolan mangga, sambil bermufakat dengan rekan-rekan satu kantor mangga mana menjadi bagian dari ‘miliknya’. Di sini buah mangga tidak hanya berfungsi sebagai pelepas rasa lapar dan asupan nutrisi berserat full vitamin C menjadi modal sosial sebuah komunitas suatu kantor.

‘Itu Manggaku lho’, Kalau perlu, sesuatu penanda ‘kepemilikan’ seseorang ditaruh disana, semisal dikerudungi dengan plastik, atau bahkan diberi ‘tanda tangan’, seakan-akan bahwa mangga ini adalah kini syah dijajah dan jadi milik penanda tangan.

Jadi, bagi instansi, kantor atau lembaga apapun, saya sarankan marilah ‘menanam pohon’ untuk mengantisipasi pemanasan global, dan saya sarankan pula jenis pohonnya adalah mangga. Selain peneduh yang cepat tumbuh, perawatannya mudah, pada bulan November seluruh penghuni kantor akan ‘kasak-kusuk’, ‘riuh rendah’ menunggu mangga masak di pohon.

1 Des 2009

Si Unyil

unyil1 Si Unyil boneka yang digerakkan dengan tangan itu adalah benda yang ajaib bagi anak itu. Apalagi di tahun 1988-an ketika kotak televisi yang seukuran almari dengan warna yang masih grayscale serta gelombang siaran televisi masih dimonopoli oleh TVRI, dengan usia jam tayang pendek antara jam 15.00 WIB sampai dengan tengah malam, membuat program-program di televisi ‘apapun’ itu adalah program yang luar biasa. Sementara, khusus hari minggu adalah hari istimewa dengan suguhan siaran dari pagi sampai dengan siang dan format acara lebih didominasi hiburan. Nah, serial boneka Si Unyil mendapatkan slot di Hari minggu ini, dengan waktu tayang sekitar 1 jam.

Maka bocah itu tak mau melewatkan Si Unyil barang se-episode-pun. Meski Sungguh kalau dilihat lagi boneka si Unyil ini bukan bandingan dengan tayangan boneka lainnya di saat ini. boneka sesame misalnya, yang penuh pernak pernik warna warni, dengan bola mata yang bisa berkedip kedip, mulut bisa berbicara dengan lincah, ataupun bisa terlihat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Boneka si Unyil ini hanya bisa menggerak-gerakkan tanganya yang mungil, mengangguk-angguk atau menggeleng-gelengkan kepala. sementara raut muka boneka ini statis saja, tak bisa berkedib dan menggerakkan mulut. Bahkan saking kecilnya tangan boneka-boneka dalam si Unyil terlihat jemarinya saling menyatu.

Kostum juga nyaris tak berubah. Unyil dengan kupiah, sarung di selempang, Pak Raden dengan kumis tebal, baju hitam, ikat kepala, tongkat serta tokoh2 lainnya selalu sama. Maka muncul karakter yang tokoh si Unyil yang stereotype; Pak Ogah yang berkepala plontos dan mulut yang selalu ‘mecucu’ bersama karib Pak Ableh yang berambut gondrong. Keduanya selalu muncul dalam gardu pos kampling yang ‘mini'. Seakan-akan ada kesan bahwa pak Ogah dan Pak Ableh adalah dua sahabat abadi yang asal muasalnya antah beratah dan menghuni pos siskampling tersebut dari waktu ke waktu. Sampai sekarang saya tidak bisa melihat apakah kedua tokoh penghuni pos siskampling mini ini sebagai tokoh Antagonis ataukah Protagonis. Berulangkali saya justru merasa trenyuh melihat kedua tokoh tersebut adalah tokoh yang selalu ketimpa Apes. Misalnya saat keduanya meresmikan perusahaan Batako ; ‘Perusahaan Batoko Ekspress Gembol’. Perusahaan batako dengan nama paling unik sedunia dan berkantor di posiskampling mini. Pak Ogah menjadi direktur utamanya, sedangkan Pak Ableh menjadi Asistenya, entah asisten jabatan apa, tetapi pak Ablehlah yang setia mengabdi pada direkturnya tersebut. Perusahaan ini sering disebut-sebut sebagai perusahaan multiusaha dengan usaha yang berganti-ganti, tidak hanya mencoba memproduksi batako, tetapi apapun itu. Saya sudah tidak begitu ingat lagi apa saja usaha silih berganti dari Perushaaan Batako Ekspress gembol ini, tetapi adalah stereotype kedua tokoh ini untuk ditutup dengan ke-apesan.

‘Apes lagi, apes lagi’

Tak usah lebih jauh membandingkan Boneka si Unyil dengan boneka Sesame, atau boneka Teletubies yang bisa kelihatan ‘punya kaki’ yang berjalan-jalan, bahkan bisa naik otopet. Bandingkan saja boneka si Unyil dengan serial boneka yang lain dari dalam negeri. Setidaknya, boneka si Unyil yang tak pernah terligat kakinya dan mulutnya selalu dengan ekspresi sama ini telah bertahan 1 dekade lebih. Bahkan kini ada laptop si Unyil meskipun hanya memunculkan tokoh si Unyil saja tanpa menampilkan tokoh-tokoh lainnya. Pernah suatu kali PPFN sebagai produsen si Unyil ini menayangkan ulang si Unyil secara komplit, tetapi konon dengan tampilan yang ‘sama persis’ tak ada anak-anak sekarang yang tertarik menontonnya, kecuali orang-orang dewasa yang dulu adalah fans berat si Unyil.

****

Sekali lagi, pokoknya bocah itu tak mau melewatkan si Unyil, barangse sekuel pun. Si bocah itu umur 4 tahun, sudah dititipkan ibunya di sekolah Taman Kanak2. Sekolahnya adalah TK ABA Aisyiyah yang berdiri di bawah naungan yayasan ibu-ibu Aisyiyah yang mempunyai hari libur sekolah hari Jum’at. Sehingga hari Minggu bagi bocah itu adalah hari yang berat ketika harus melewatkan si Unyil.

“Kok tiba-tiba demam ya?”

“Baiklah, hari ini libur'”,kata ibunya.

Bocah itu memang punya ide cemerlang. Maka, setiap hari minggu, apapun itu alasannya, dari sakit demam, sakit perut atau apapun, bocah itu selalu mencari-cari alasan agar tidak masuk sekolah. Sampai suatu ketika beberapa guru menaruh curiga, mengunjungi bocah yang selalu absen saban minggu itu sambil buah-buahan.

“Lhoo… nak candra, katanya sakit, lha kok kelihatan ceria begitu”

“Ndak Bu, libur buat nonton Unyil. Salahnya kok Unyilnya ndak tayang hari jumat atau sekolahnya kok ndak libur pas Minggu”

Ya, ya, akhirnya Ibunda bocah itupun paham betul kemauan anaknya. Akhirnya ibunda bocah itu punya ide cemerlang juga. Memasukkan si bocah ke SD negeri meskipun belum cukup umur dan meskipun baru menjejakkan kaki di TK itu belum genap 1 tahun.

“Yang penting, sekolahnya mau menerima, dan yang penting lagi kamu tidak ketinggalan si Unyil lagi” kata ibunda bocah itu.

Ibunda bocah itu memang bijaksana sekali.

10 Nov 2009

Permainan Gundu

Kira-kira persis di bangunan Warnet itu, warnet Hero namanya, dua puluh tahun lampau adalah hamparan kebun dengan rerimbun pohon pisang, sebuah pohon mangga, pohon sukun tua dan sebuah pohon jambu persis di tengah-tengah. Pembatas halaman hanyalah beberapa deret tanaman teh-tehan yang daun-daunya mirip daun seledri (sampai saat inipun aku tak tahu apa nama dan guna tanaman itu selain sebagai pagar hidup yang bisa dipotong bentuknya sesuai keinginan). Dan, pada pohon jambu itu, bentuknya berliuk-liuk ke dengan cabang-cabang tebal seperti otot-otot raksasa, menengadah ke langit. Pada pokok-pokok cabang itu, biasa bertengger kami anak-anak kampung, bergelantungan, memetiki buah jambu yang baru pentil-pentil, bersenda gurau dan merencanakan ‘apa permainan hari itu’. Pun, sepertinya buah jambu di halaman itu tak pernah berhenti berbuah saban musim.

Piye nak Main damparan?” (Bagaimana kalau main Damparan? - adalah lomba adu batu yang dilempar dari jarak terentu)

“Piye nak nekeran wae!” (Bagaimana kalau main Gundu saja! -Nekeran alias gundu adalah permainan yang bakal tak bahas kali ini)

-----

Gundu atau kelereng adalah permainan yang menurutku ‘kejam’. Aturannya dalam sebidang tanah di halaman rumah kawanku yang memiliki dua saudara, kakak beradik, satu hitam berperawakan gempal dan yang satu berperawakan kurus, adalah membuat gambar kotak persegi di atas tanah tersebut. Kira-kira ukuran kotaknya 1/2 x 1 meter persegi. Lantas pada tengah-tengah kotak persegi tersebut, dibuat cekungan kira-kira seukuran bola kasti (bola yang biasa untuk main tenes) dengan cara dikeruk. Atau dengan cara yang aneh; seseorang dari kami berdiri dengan satu kaki dengan ujung dari satu kaki tersebut persis tengah-tengah kotak persegi. Lantas, ia akan berputar dan berputar terus sampai ujung telapak kaki itu telah membentuk ceruk berbentuk bulat penuh di tanah. Maka jadilah arena permainan gundu tersebut. Terakhir, kira-kira berjarak sepuluh langkah kaki dari kotak itu, dibuat garis tempat para pemain gundu atau kelereng memulai melemparkan gundu, tanda permainan bisa dimulai.

Aturan selanjutnya, mana gundu yang paling mendekati ceruk di pusat gambar kotak persegi itu, dialah pemain gundu yang akan memulai ‘tembakan’ pertama. Tembakan gundu diarahkan kepada gundu yang lain sebagai pesaing. Tetapi pemain gundu harus menembak dari luar bidang kotak persegi, artinya demikianlah fungsi kotak persegi sebagai garis pembatas tembakan pemain. Tugas utama pemain adalah mencoba memasukkan gundu mereka sendiri (gacuk) ke dalam ceruk di pusat kotak persegi. Siapa yang berhasil masuk ceruk, maka ia berhak meninggalkan permainan dan menunggu untuk memberikan hukuman bagi siapa saja pemain terakhir yang tak bisa memasukkan gundu ke delam ceruk sebagai pusat permainan. Masing-masing pemain mendapatkan satu kali kesempatan tembakan bergiliran. Dan disnini para pemaian bisa berstrategi dengan menembak gundu lawan guna menjauhkannya dari pusat ceruk. Pemain yang terakhir masuk ke ceruk, dialah yang kalah dan mendapatkan hukuman.

Sesi hukuman adalah sesi paling kejam dari permainan ini. Si terhukum harus meletakkan kedua telapak kanan di atas ceruk dengan punggung telapak tangan mengadap ke atas. Lantas para pemenang akan melemparkan sejumlah gundu seseuai urutan pemenang dari atas si pesakitan (pemain yang kalah). Cara melemparkannya si penghukum akan berdiri persis di atas pesakitan yang jongkok dengan punggung telapak tangan menghadap ke atas dan melemparkan gundu kira-kira persis dari kepala si penghukum. Berurutan pemenang dari yang pertama sampai terakhir jarak dibuat lebih turun sedikit; tembakan dari kepala, dari dada, lantas dari pusar. Beruntung apabila meleset, gundu hanya mengenai tanah atau langsung masuk ke ceruk sebagi pusat permainan, tetapi apabila gundu mengenai persis tulang belulang pungggung telapak tangan, sakitnya alang kepalang. Gundu yang terbuat dari kaca pejal itu bertemu dengan tulang yang keras, sampai berbunyi ‘Thook’

----

Dua puluh tahun yang lalu, halaman yang kini jadi Warnet, itu adalah halaman tempat kami, kira-kira 10an orang anak kampung biasa bertengger di pohon jambu dan merencanakan sesuatu; ‘Apa permainan kali ini”

“Moh ah nak main kelereng lagi”, Kataku sambil memperlihatkan kedua punggung telapak kananku yang masih memar-memar.

Aku sendiri masih heran, mengapa aku selalu kalah dalam setiap kali bermain gundu? Tetapi saban kali permainan itu diadakan aku tetap ingin ikut saja, sambil sesekali berharap bisa membalas kekalahan.

“Ini bukan soal kalah dan menang kawan, ini soal bersenang-senang”

Bah, pikirku, tapi tetap saja kalau tiap kali kalah dan tembakan hukuman tak pernah meleset, tangan akan merah-merah. melebam sampai berhari-hari. Sungguh, kejamnya permainan ini. Dan kulihat wajah temanku yang sering menang seperti tersenyum puas sebagai si eksekutor paling handal.

Oiya, Kalau anda bingung aturan permainan ini, ah baiknya lupakan saja. Jangan dipelajari dan jangan dibudidayakan lagi permainan ini, karena pada intinya di akhir pemainan ini adalah episode eksekusi pemain yang kalah dengan bunyi ‘thok’ tadi yang berarti tangan yang memar sampai berhari-hari. Lupakan dan biarlah ini jadi trauma masa silamku. Huh

bravoo

6 Okt 2009

Kompetisi dan Bermain

(Kompetisi dan bermain- lukisan karya Alex Dhany S)
Setiap kali melihat permainan dadu, seringkali saya teringat pada Sengkuni, tokoh antagonis pada cerita pewayangan Mahabarata. Sengkuni, digambarkan sebagai tokoh yang pintar tapi licik. Licin bagai belut, pendendam, buruk muka karena pernah dihajar oleh ……., Tetapi ia adalah paman yang penyayang bagi ke100 keponakannya, para Kurawa, musuh bebuyutan pandawa lima.

Pada salah salah satu potongan cerita Bharatayuda, Sengkuni suatu kali mengatur siasat licik guna membalas para Pandawa. Ia mengajak pandawa bermain dadu. Sengkuni paham betul kekuatan dan kedigdayaan Pandawa bukan lawan yang seimbang untuk saat itu bagi para Kurawa. Karenanya permainan ini adalah intrik yang licik menghanyutkan Yudistira, Si Sulung dari Pendawa untuk terlibat dalam permainan ini.
“Hidup itu adalah sebuah permainan” Kata Sengkuni pada Yudistira.
Dan Yudistira pun akhirnya terhasut untuk mengambil dadu memulai permainan mereka, permainan mempertaruhkan bulatan angka dari 1, 2, 3, 4, 5 sampai dengan 6.
Bagi Sengkuni, hidup itu sebuah permainan, ada yang menang ada yang kalah. Ketika lemparan pertama dan kedua Yudistira meraih kemenangan, Yudistira semakin terhanyut untuk melanjutkan permainan, sampai akhirnya di lemparan selanjutnya Yudistira didera kekalahan demi kekalahan. Tetapi Yudistira tak jua menghentikan permainan, selagi masih ada hal yang dipertaruhkan, masih ada harapan untuk membalas kekalahan. Yudhistira terhanyut dalam permainan judi. Melanjutkan permainan demi ‘mengejar kemungkinan’ kemenangan, atau harus rela sebagai orang kalah. Demi membela harga diri kekalahan, seluruh isi kerajaan, kerajaan bahkan sampai yang terakhir Drupadi istri Yudistira dijadikan barang pertaruhan.
---
Permainan judi dadu adalah permainan cukup tua, terbukti dari nukilan kisah pewayangan Mahabarata itu. Seperti halnya di kampungku dulu, kalau pas ada perayaan apapun bentuknya; sunatan, pernikahan, kematian, tujuhbelasan, tahun baru, dangdutan dsb, selalu di pojok kampung, di bawah remang-remang kolong langit dengan penerangan lampu petromak atau sentir, digelarlah judi dadu, Cliwik atau Othok namanya. Pada prinsipnya sama, mempertaruhkan dua buah kubus dadu yang berisi angka-angka. Kombinasi munculnya angka dua kubus dadu yang telah dikocok oleh bandar dadu itu dinantikan dengan berdebar-debar oleh kerumunan orang yang memasang taruhan pada gelaran lembaran besar kertas dengan kolom-kolom warna, tanda dan angka. Sudah tak begitu ingat aku, seperti apa rupa gelaran besar berisi kolom-kolom dengan gambar, tanda dan angka itu, seingatku hanya warna-warninya yang menarik hati dengan uang taruhan paling minim koin 100 rupiah. Kalau cukup beruntung, dengan koin 100 rupiah itu, dalam dua sampai tiga kali pasanga taruhan duit 100 rupiah anda akan berlipat menjadi 5.000 rupiah. Sebuah nilai yang lumayan, pada sekitaran tahun 1990an, cukup untuk membeli 1 pak besar rokok.
Adalah (sebut saja) mbah Karto, bandar Cliwik atau Othok terkenal di seantero kampung, bahkan menyebar sampai di kampung-kampung tetangga. Mbah Karto kala siang hari mengelola sebuah bisnis penambagan pasir di pinggir kali Gajah Wong. Kantornya menempel pada bangunan kecil tempat pengontrol bendungan dan saluran irigasi. Mbah Karto sebatang kara dan konon pernah berkeluarga mempunyai seorang istri. Pun, tak ada yang tau persis darimana dia berasal tetapi kini orang-orang lebih mengenalnya sebagai bandar cliwik.
Beda dengan penampilannya di siang hari, Kala kertas cliwik yang berukuran kira-kira 1 meter kali 1 meter telah digelar, dengan diterangi petromak remang-remang, Mbah karto terlihat lebih energik. Orang-orang yang sudah berkerumun mengelilingi gelaran cliwik itu tak akan mengira kalau itu Mbah karto yang kalau siang hari menyeburkan diri di kali Gajah wong menciduki pasir dan mengumpulkannya jadi gundukan-gundukan pasir di sebelah pintu air.
Semakin banyak orang pasang taruhan, semakin banyak uang bisa dikumpulkan. Tetapi aku lihat dari waktu ke waktu tak ada yang berubah pada wujud Mbah Karto. Tetap menjadi penggali pasir pinggir gajah wong di siang hari.
Suatu ketika, orang-orang pada terkejut saat mbah karto datang ke masjid, lengkap dengan kupiah dan sarung mengikuti pengajian di masjid. Orang-orang, terutama barisan ibu-ibu mulai berbisik satu sama lain. Bukanlah disebut tabiat orang Indonesia kalau lah tak bisa dilihat membisiki orang sambil melihat pada orag yang dibisikinya. Sama saja Mbah Karto (yang kuketahui dengan nalar kalkulasi ringan saja) sudah berusaha setegar mungkin melangkah memasuki masjid dengan kupiah dan sarung yang masih baru itu, lantas memucat seperti cahaya petromak yang kehabisan minyak spiritus.
“Wah, mbah Karto mertobat?”
Itu adalah kalimat dahsyat yang muncul meruntuhkan niat yang paling kuat pun kalau tidak disikiapi ‘permisif’. Lantas dikemudian hari tak kulihat lagi Mbah karto muncul di masjid. Lantas di kemudian haripula pada perjumpaan yang tak sengaja, aku bertemua dengan Mbah Karto yang lagi ngaso di sebelah gundukan-gundukan pasir di sebelah rumah pintu air kali gajah wong. Mbah Karto masih seperti dulu, dengan celana hitam, kaos yang bladus dan topi yang dikibas-kibaskannya untuk mengusir hawa panas.
“Ya, hidup adalah sebuah permainan” kata mbah karto membisiki dalam hati “Tetapi dalam permainanku tak ada yang menang ataupun kalah, yang ada aku hanya mengalah untuk melayani orang-orang yang mau bermain cliwik padaku, di malam hari, selepasnya aku mengalah pada kali gajah wong itu”

1 Jul 2008

ADGI

Saban hari sepasang mata kita menangkap berbagai macam centang perentang gambar yang terpampang, dari kemasan rokok, sabun mandi, bedak sampai deodoran semua dikemas dengan warna warni, dengan tulisan-tulisan yang saling bersaing, sahut menyahut; "Sabun Mandi A, menghaluskan kulit, Sabun Mandi B menghaluskan sekaligus meremajan kulit, Obat Salep anu berkhasiat anu, Balsem nyamuk anu mengusir anu dan bla-bla-bla".
Bagi yang tinggal di perkotaan, menyusuri lorong kota, saat berhenti di perempatan, seekor makhluk cantik bernama entah itu 'Dian Sastro, Nirina, Bella Saphira sampai Inul Daratista tengah bertengger di Baliho raksasa, tersenyum manis ke arah kita dan seakan-akan tak ada hubungannya dengan sebuah benda yang kebetulan ikut nangkring disana.
Produk-produk gambar telah menyebar ke mana-mana. Saling memburu dan mengisi ruang-ruang imajinasi kita. Dari semenjak bangun tidur sampai kita tidur lagi, coba hitung berapa kali gambar-gambar fantastis itu muncul di depan mata kita.

20 Jun 2008

Bencana

Ngomong soal ancaman bencana, aku teringat dengan guru SD ku dulu, Pak Bambang namanya, bertubuh gempal dengan kumis tipis dan rambut yang senantiasa klimis mirip Harmoko (hey dimana sekarang pak Harmoko berada? yuhuiii). Nah, Pak Harmoko, eh Pak Bambang selalu antusias saat memaparkan tentang 'Nusantara' yang diapit dua samudra, dua benua, garis weber dan wallace sampai dengan pertemuan dua sabuk api (sirkum pasifik dan sirkum mediteranian). Sampai pada titik itu, Pak Bambang menyambung soal banyaknya gunung-gunung berapi di Indonesia, mirip bisul, sewaktu-waktu bisa meletus. Semenjak itu aku mulai akrab melihat gunung Merapi di utara Yogya yang saban hari terlihat mengepul-kepul tanpa henti.
Kejadian gempa Bumi 27 Mei di Yogya kemarin adalah pengalaman yang mencekam. Meski seluruh keluarga selamat, tapi bagian belakang rumah dan atap rumah porak poranda. Selama 2 pekan aku hanya berani tidur di emperan rumah dengan tenda 'biru'. Selama dua pekan itu pula gempa-gempa susulan terus menerus muncul berangsur-angsur dan memicu reflek untuk 'mendadak' lari keluar. 'Ini lebih menegangkan dari film die hard 3 ', pikirku saat itu.
Yah, mau tidak mau, telinga kita saban hari juga mendengar soal bencana ini. Panen 'bencana' yang dipetik bencana oleh media massa pun macam-macam, tergantung pada tempatnya, meskipun tidak tergantung pada musim. Dari gempa di Aceh, di padang, gunung meletus, tanah longsor, banjir di Jakarta, banjir di pantura, rob di semarang, kerusuhan di Jakarta, kebakaran hutan di Kalimantan, lumpur lapindo, dan seterusnya. Semuanya muncul bertubi-tubi dan acak seperti rumus 'fraktal'.


29 Apr 2008

Alit

Karena Van Gogh mengiris telinga kirinya, Leonardo membedah mayat dan sederet eksperimen 'nyleneh', Bob Sick menutupi sekujut tubuhnya dengan Tatto, sampai dengan akhir yang tragis seorang pelukis muda bernama Alit Sembodo yang konon memilih mengakiri hidupnya pada rentang usia yang masih muda, maka lengkaplah sudah menjadi pelukis adalah 'kutukan'. Ini mungkin terlalu ekstrim, tetapi sebagian dari mereka mengamini bahwa menjadi pelukis adalah sebuah perjuangan berat yang melalui berbagai lapis ‘ring’ pertarungan.

Lingkaran pertama, adalah dalam diri sendiri, si individu akan menghadapi pertentangan-pertentangan semisal; benarkah ini sebuah profesi? Pada ring selanjutnya adalah keluarga. Keluarga yang merupakan unit sosial terkecil pada awalnya menjadi ruang untuk basis awal untuk berlindung dalam segenap aspek, baik ekonomi sampai dengan psikologis. Tapi seperti juga yang dialami Alit, pada pertarungan di ring kedua ini, ia akan menghadapi kesulitan tentang ;seberapa relevankah menjadi pelukis sebagai sebuah pekerjaan yang punya prospek kedepan? Apalagi jika dalam ring keluarga itu belum si seniman (pelukis) adalah satu-satunya yang keluar dari tradisi ‘pilihan’ yang sudah turun-temurun. Maka pilihan itu menjadi sangat sulit seperti juga yang dialami seniman muda sang Alit.

Lukisan meskipun itu benda yang muncul dari cipta rasa dan karsa bukan seperti halnya gerabah yang bisa dengan merta diperbanyak lantas dipajang untuk kemudian segera laku menjadi duit. Tetapi, lukisan juga meliputi daya dukung si pelukisnya yang meliputi bagaimana ia bergaul, bergelut, melewati ring demi ring pertarungan, atau bahkan mungkin pertaruhan itu.

Jika ring pertarungan di keluarga itu sudah bisa dilalui, pelukis/seniman akan menghadapi ring yang lebih besar lagi bernama masyarakat. Tergantung dimana lingkungan ia bercokol dan menempatkan diri tetapi masyarakat kebanyakan sudah memiliki label-label yang melekat tentang pelukis/senimant. Bahwa seorang pelukis/seniman adalah orang-orang ‘nyleneh’ berpenampilan eksentrik, rambut gondrong atau gimbal. Bahwa pelukis sibuk dengan imajinasinya sendiri, tak punya kontribusi berarti mengenai ‘bagaimana menurunkan inflasi dan bla-bla-bla…”

Mereka mungkin tak melihat bahwa pelukis-pelukis muda ini, seniman-seniman muda ini, adalah kawan di garis pinggir. Dalam masyarakat yang dinamis yang didalamnya dipenuhi nuansa gerakan sosial, maka pelukis-pelukis muda ini, seperti juga Alit sembodo adalah kawan-kawan yang tak pernah habis-habisnya menjadi energi bagi gerakan sosial.