Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan

23 Jun 2011

Learning by doing#1:edisi memasak

Learning by doing alias belajar melaui praktek langsung. Tapi jangan praktekkan ini bila anda seorang dokter atau praktek pengobatan karena bisa-bisa anda akan kena mal praktek.

Pelajaran memasak pertama adalah telur dadar cantik. Disebut telur dadar cantik karena bentuknya yang bulat, pipih dengan warna kuning cerah dan tak ada lubang sedikiten. Sebenarnya membuat telur cantik ini adalah gampang kalau kita punya wajan teflon anti lengket. Telur tinggal dikocok dengan sedikit garam lantas dituang pelan pelan sambil wajan digoyang pelan dari tengah sampai ke tepi. Tinggal tunggu beberapa menit api sedang, lantas kalau anda mau coba atraksi melempar telur ke udara mirip master chief tinggal disentakkan ke atas sampai terbalik ke udara dan… pluk! Kalau anda beruntung sang telur akan kembali ke posisi semula pada permukaan yang lain alias side B, tapi kalau tidak beruntung paling-paling telur cantik jatuh tertelungkup tanpa bentuk. Tentu saja lebih sulit membuatnya dengan wajan biasa. Wajan harus benar-benar berlumur minyak tipis. Lebih bagus lagi justru wajan yang belum dicuci untuk menhindari si telur cantik lengket di muka wajan dan jadilah telur bopeng-bopeng. Si telur cantik biasanya jadi menu breakfast alias sarapan kilat atau sekedar lauk pengganjal perut pada malam hari.

 

Tabel 1.1 Absensi kehadiran Bawang Merah & Bawang Putih

  Bawang Merah Bawang Putih
Sayur Sup nihil hadir
Goreng Telur, tempe atau tahu nihil hadir
Lalapan nihil hadir
Tumis/oseng-oseng hadir hadir
Nasi Goreng kadang hadir kadang tidak hadir
Sambal kadang hadir kadang tidak hadir
Dongeng Bawang Merah & Bawang Putih hadir hadir
  = sering bolos = selalu hadir

Aneka Soup

Bosan dengan lauk yang terlalu sederhana mulailah kucoba membuat soup. Bumbunya aku perkirakan sama saja yakni duet dua bersaudara si bawang merah dan si bawah putih lantas digerus halus bersama garam, merica dan kadangkala sedikit aku kasih  kunyit dan lombok. Semua bumbu aku goreng sampai keluar aroma dan lantas kuguyur dengan dua atau tiga gelas air hingga mendidih.

Tinggallah para sayur mayur siap jadi korban mutilasi pisau dapur; kubis, wortel, tomat, sledri terkadang dengan ektrim kutambahkan daun mangga muda, daun katu ataupun segala macam daun yang berwarna hijau yang rasanya tidak pahit dan tidak menimbulkan sakit perut.  Satu demi satu, sayur yang telah kumutilasi dan wortel yang kukuliti dan kupotong kecil-kecil kucampakkan dalam wajan sup yang telah mendidih. Wajan! Ya karena peralatan dapur hanyalah kompor, pisau dan wajan. Menggoreng lauk memakai wajan. Membuat sup juga memakai wajan, dsb. Maka wajan adalah alat masak praktis dari A sampai Z. Beberapa menit sup telah siap. Karena aku tidak suka pada Monosodium Glutamate yang membuat kepalaku pusing setelah memakannya, kutambahkan saja sedikit gula. Kalau sedikit berduit, kumasukkan potongan cakar ayam atau sayap ayam sebagai ganti kaldu. Eksperimen dengan sup hanyalah dengan menambahkan potongan tahu yang digoreng, atau potongan tempe. Selebihnya aku sudah tak kuasa menahan derita lapar daripada terlalu khusuk menambahi menu.

Food and Gathering Lalapan

Aneka lalap adalah menu paling sederhana tetapi juga paling memprihatinkan. Paling sederhana karena aneka daun, apapun bentuknya yang berwarna hijau yang berasa pahit ataupun manis yang didapatkan disepetak kecil belakang rumah atau dengan diam-diam mengendap-endap memetiki daun di pekarangan tetangga pada malam hari, adalah tinggal direbus dengan sedikit garam dan tumbukan si bawang putih tanpa melibatkan saudaranya si bawang merah. Jika sedikit ber-uang, lalapan ini bisa dipadu dengan tempe goreng atau sambal.

Maka aneka lalapan ini adalah semacam evolusi manusia purba dalam caranya survival of the fittest  alias bertahan hidup melalui food and gathering alias berburu dan meramu. Berburu bagiku adalah bagaimana aku mendapatkan daun-daunan bahan lalapan tersebut dari sepetak kecil tanah baik itu pekarangan sendiri ataupun orang lain. Sedangkan meramu adalah meramu hasil perburuan tersebut dalam wajan ajaibku bersama sedikit garam dan bawang putih.

Nasi Goreng

Menurut survey yang perlu diragukan keberaadaanya, tiap anak kos, ataupun homo sapiens yang hidup mandiri dengan cara masak nasinya sendiri, nasi goreng adalah menu sarapan pagi ratting ter tinggi. Ini karena nasi goreng sebenarnyalah adalah ide kereatif bagaimana memanfaatkan sisa nasi yang masih belum habis dan hampir basi untuk bisa tertelan jadi sarapan. Maka nasi gorengkupun tercipta dari wajan ajaibku dengan memasukkan nasi hampir atau sudah basi, garam, lombok, kecap dan lagi-lagi duet dua bersaudara si bawang merah & si bawang putih yang hanya akur di dunia bumbu-bumbuan. Maka nasi goreng jadi menu spesial bila dihadiri sebutir telur.

Nasi sudah jadi Bubur

Nasi sudah jadi bubur artinya tak bisa dikembalikan lagi jadi nasi. Tapi bubur membuatku lekas kenyang dan rasa gurih dan gumpalan dari santan adalah rasa yang membuat bubur ‘kalau kepepet’ jadi menu utama tanpa tambahan lauk pauk. Apalagi dengan segenggam beras saja maka terciptalah dua piring penuh bubur.  Walhasil perut lekas kenyang meskipun resikonya pencernaan dan cacing-cacing di perutku lebih mudah menyerap hingga mengakibatkan alarm rasa lapar akan berbunyi 3 jam lebih cepat dari biasanya. Maka bubur adalah menu emergency respon bila logistik beras di dapur sudah menunjukkan level memprihatinkan alias stok tipis. Asal darurat mengisi perut lapar selanjutnya bisa difikirkan setelah kenyang!

Tumis alias Oseng

Tumis alias oseng adalah ketika potongan tempe, tahu, sayur ataupun segala bentuk remah-remah yang lain beradu dalam wajan ajaibku bersama sedikit minyak, garam, si kembar bawang merah- bawang putih dan sedikit kecap. Jika lagi mujur meskipun frekuensinya 1 banding 30 hari sekali di peraduan bisa bergabung beberapa potong jamur, telur atau potongan ayam. Tumis ini cukup membutuhkan waktu 15 menit untuk siap disantap, sehingga acap jadi menu favorit untuk malam.

Kalau fieasta punya slogan rasa adalah segalanya maka bagiku punya slogan kenyang adalah segalanya. Jika kepepet tak perlu punya pengalaman untuk masak. Asal ada garam dari laut, gula dari ladang dan si kembar bawang merah bawang putih bertemu di wajan ajaibku, jadilah mereka hidangan istimewa.

4 Apr 2009

Tentang sebuah Poci

Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol ternyata
untuk sesuatu yang tak ada


Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi.
- Kwatrin tentang Sebuah Poci (Gunawan Muhammad)

 

Sudah menjadi tradisi di keluragaku, saban pagi dan saban sore kami mengadakan acara minum teh. Ritual yang dijalankan dari kurun ke kurun waktu, sejak dari moyang, turun ke buyut sampai dengan orangtuaku. Entah siapa yang memulai, tetapi yang jelas kedua pihak kakek, dari pihak ayah maupun pihak ibu mewarisi acara minum teh ini. Meskipun kedua pihak punya cara penyajian dan selerea rasa yang berbeda. Teh telah menjadi bagian keseharian, mengiringi pagi sebelum beraktivitas sepanjang hari dan menutup aktivitas keseharian di sore harinya. Teh pagi disiapkan dengan sebelum pagi buta oleh tangan kaum perempuan; istri buyut, istri eyang, sampai mendiang ibuku. Sedari pagi buta, sudah menjerang air panas, dan menyiapkan teko tanah liat. Di senja hari, kembali teko tanah liat itu cukup dibuang ampas tehnya, lantas ditaburi teh baru.

Embah dari pihak ayah, adalah seseorang terpandang yang menduduki sebuah desa di Sleman. Sebuah desa yang dikelilingi persawahan, dengan penduduk kampung yang notabene masih punya kekerabatan satu sama lain, dengan mayoritas adalah pemeluk NU. Desa ini cukup terkenal karena salahsatunya terdapat kawasan pesantren bernama "Mlangi'. Embahku yang satu ini tipikal kepala keluarga yang otoriter. Ia bak raja kecil di keluarga yang memiliki 2 orang istri dan berpuluh-puluh anak.

Seperti laiknya keluarga embahku, saban pagi ibuku sudah bangun paling awal, membersihkan setiap sudut rumah dari halaman depan sampai merambah ke belakang, di dapur. Terakhir disiapkannya secerek air untuk menyiapkan acara yang kami tunggu-tunggu bersama-sama: 'acara minum teh'.

Saya tidak tahu pasti setua apakah sebuah poci tanah liat yang biasa ibuku pakai untuk meracik teh. Konon kata ibuku, poci tanah liat itupun dibawanya dari rumah eyangku, setelah eyang putriku meninggal dan lantas tidak ada yang menggunakan poci tanah liat itu.

Teh keluarga kami adalah teh tang. Sebuah merk teh yang hanya dibungkus dengan lipatan kertas, membentuk kotak persegi dengan desain luar gambat tang. Aku perhatikan, desain teh tang ini tak jua berubah dari waktu ke waktu. Aroma teh tang adalah aroma melati dan bau apak teh yang khas. Kadangkala selain teh tang, kami juga meracik teh tjap pendawa lima. Teh ini desain luarnya bergambar wayang pendawa lima dan kemasan dalamnya dilapisi plastik sehingga aromanya lebih semerbak.

Apapun teh nya, racikan teh dalam poci tanah liat itu selalu hitam dan kental. Saat teh poci berikut satu set gelas-gelas kecil mendarat di meja, maka aroma yang keluar dari teh yang mengepul-kepul pun telah membuat kami semua tambah bersemangat.

Kini, tak ada lagi acara minum teh di keluargaku seiring satu demi satu anggota keluarga terpisah. Apalagi Ibunda sebagai pewaris peracik teh dalam teko tanah liat poci tua itu telah tiada. Si teko tanah liat tua kini teronggok di sudut dapur. Kadangkala aku menggunakannya untuk meracik teh ku sendiri, tetapi rasanya memang berbeda.

13 Agu 2008

Paman datang

Paman adalah panggilan unik. Makna pertama bisa berarti seseorang memanggil anda dengan paman karena ingin mendudukkan anda lebih tua, tetapi tidak menyinggung bahwa secara fisik anda memang 'tua'. Anda akan terlihat lebih muda dengan panggilan 'Paman'. Makna kedua, bisa jadi seseorang yang memanggil anda jauh lebih muda usia dengan anda. Panggilan paman bisa juga untuk menekankan ada jarak usia diantara si penyebut dan si penyandang paman.

Aku telah menjadi paman dalam keluargaku, lingkaran sosial terkecil dalam lingkaran kehidupanku semenjak ada seekor bandit kecil yang tak pernah capek wara-wiri menggangguku, Gading namanya. Gading adalah anak pertama dan cucu laki-laki dari hasil buah cinta kakak laki-lakiku yang nomer dua dengan seorang gadis dari magelang.

Dalam lingkaran yang lebih besar lagi, aku juga menjadi paman bagi banyak keponakan-keponakanku yang lain, yakni anak-anak dari teman-teman satu kuliah. Separoh lebih dari teman seangkatanku, seusiaku, telah mengakhiri masa lajang, terutama para perempuan-perempuannya yang lansung  akan beberapa saat lamanya lenyap dari peredaran (sibuk dengan centang-perentang urusan domestik), hingga hampir tak muncul kabarnya sama sekali, kecuali....

Yah kecuali, satu keponakan lagi telah lahir, oh bahkan ada seoarang kawan yang melahirkan bayi kembar!

Di lingkaran yang lebih besar ini aku merayakan sandangan baruku sebagai paman bagi banyak keponakan. Sandangan ini juga berarti bahwa aku salah satu dari laki-laki dari lingkaran itu, yang masih mempertahankan lajang ku.

Paman jangan di ganggu!

Paman jangan di ganggu dulu, paman baru konsentrasi dulu, paman baru sibuk di depan komputer, cari kenalan! Bah!, keponakan ku satu-satunya telah menyerbu ruanganku. Maka sepersekian jam kemudian, kamarku adalah kapal pecah. Gading menyerbu dengan mainan-mainannya; ada tank yang bisa terbang, pistol-pistolan, Mobil yang bisa berubah jadi robot, ada kereta api-kereta apian yang bagian relnya telah hilang entah kemana, ada topeng 'ultramen gaya', boneka gajah, macan, singa, monyet, rusa, kudanil,....

dor! dor! dor!

Hhhmmm, baiklah, kali ini paman menyerah! takluuuuukkk!

Dunia keponakan tengah menyerang dunia paman. Dunia keponakan menyerbu membabi buta dengan segala peralatan tempurnya!

24 Jun 2008

Mbah Maryati

Mbah Maryati berjalan tertatih-tatih karena kaki kirinya pincang. Kaki kirinya terpeleset dan jatuh saat mencoba menyelamatkan diri dari gempa 27 mei 2006 kemarin. Saat itu suaminya masih hidup dan tepat saat Syawal tahun itu pula suaminya meninggal. Mbah Maryati kini sendiri, tidak ada laki-laki yang selama 50 tahun lebih menemaninya mereguk teh nasgitel tiap pagi. Tidak ada laki-laki yang dulu dengan gagah memboncengkannya dengan 'sepeda onthel'. Laki-laki tua yang kadangkala masih juga mencerminkan masa kanak, tertawa memperlihatkan gigi-gigi yang telah ompong, menerima omelan-omelannya seperti 'radio transistor' tua yang selalu tak bosan mendendangkan 'uyon-uyon monosuko' dari gelombang AM.
Mbak Maryati terpaksa pindah dari rumah lama, karena rumah induk menjadi kasus hak waris, pindah dari rumah satu anaknya ke anaknya yang lain. Kemudian pada saat rumah anaknya tengah dipugar, Maryati terpaksa pindah ke rumah Cucunya.
Di rumah Cucunya, Mbah Maryati saban hari menyibukkan diri mencuci baju-bajunya yang hanya 3 stel kebaya, 2 lembar batik, 2 lembar kerudung dan satu mekena. Kini ia tak bisa menyiapkan teh hangatnya seorang diri. Menunggu dari salah satu cucunya untuk menghidangkannya, menyiapkan sarapan dan mendengarkan 'cerita-ceritanya' yang jalan berulang-ulang.
Bagiku, Mbah Maryati bukan nama sebenarnya, karena aku lebih akrab memanggilnya 'Simbok'. 'Simbok' yang melahirkan 7 anak pinak yang salah satunya adalah Ibuku. Kadangkala pada wajah letih, penuh dengan kerutan dan helai-helai rambut beruban yang tersisa itu, aku mencoba menerka-nerka bagaimanakah wajah 'simbok' di masa mudanya?
Aku memanggilnya 'simbok', juga karena imej 'simbok' adalah simbol seorang ibu dari ibu. 'Simbok' yang kukenal semenjak aku lahir seperti hampir tak pernah berubah; tubuh yang sudah agak bungkuk, kebaya motif bunga-bunga, kutang dari kain, stagen, bawahan kain batik dan sandal jepit.
'Simbok' terkadang datang dalam mimpi-mimpiku, karena dulu 'simbok' pernah menjadi sosok pencerita sebelum tidurku. 'Simbok' punya banyak stok ceritera dan legenda dari 'timun mas', 'kancil nyolong timun', 'ande-ande lumut' sampai ceritera tentang 'laki-laki' muda yang berjalan kaki dari Anyer sampai Jogja dengan tanpa alas kaki, suaminya sendiri.
"Nini, nini sing mususi, sopo ngerti popok beruk keli... Paman-paman sing ngguyang sapi, sopo ngerti popok beruk keli..."

'Simbok' adalah bayangan masa lalu, tapi juga terkadang ketakutanku di masa depan. Karena, kalau toh aku sampai pada usia tua, setidaknya akan sebijaksana 'simbokkah?

3 Jun 2008

das community haus



Rumah itu berada di tengah-tengah kampung di pinggiran kota. Lurus memasuki jalan yang membelah kampung pinggiran kota itu, jalan beraspal kasar dengan permukaannya sudah bopeng-bopeng, di kanan kiri jalan rumah-rumah khas kampung pinggiran kota yang sangat beragam, seakan akan berlomba menunjukkan status; rumah si kaya dibangun bertingkat dengan garasi dan pagar yang tinggi, sedang pada rumah orang-orang kebanyakan adalah rumah-rumah tembok, centang perentang dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda.
Tetapi rumah di tengah-tengah kampung itu, kira-kira 300 meter masuk ke lorong jalan gang yang membelah kampung, mempunyai bentuk yang berbeda. Temboknya corat moret warna-warni yang hampit tiap taun berganti warna, yang memiliki rerimbun tanaman pagar 'teh-tehan', pohon jambu klutuk, pohon pelem sampai melati. Sekilas rumah itu adalah dua buah rumah yang berbeda yang dihubungkan dengan lorong berpintu. Memang, dulunya adalah dua rumah berbeda yang dibangun pada waktu yang berbeda pula. Bagian rumah yang lebih besar dulunya joglo semi permanen dengan dinding gedeg kutangan dari anyaman bambu yang kini setelah dijadikan satu turut dibangun tembok, menyatu dengan bangunan sebelahnya yang usianya lebih baru. Bagian rumah yang lebih kecil usianya muda, tetapi konstruksinya hanya dinding yang terlalu banyak campuran gamping, sehingga mudah untuk dilubangi dengan paku.
Nah, di rumah itulah tinggal diriku sendiri, dua kakak laki-laki yang dulu sempat kuliah di ISI, seorang kakak Ipar perempuan , satu keponakan kecil dan dua ekor kucing bernama Paijo dan Bejo. Tentang dua ekor kucing ini, si Bejo kucing berbulu putih dengan sedikit totol-totol hitam tumbuh besar, kupelihara sejak kecil, sebagai satu-satunya pertalian kucing terakhir yang turun temurun induk semang kucing belang bermata sipit. Si bejo punya 2 saudara kembar lain yang satu demi satu mati saat masih kecil. Meskipun kupelihara semenjak kecil, si Bejo punya sifat liar, keluar masuk rumah dengan leluasa, mengobrak-abrik genting, sampai dengan mencuri lauk pauk tetangga. Si bejo yang liar tidak pernah mau dipegang.
Satu kucing lagi, Si Paijo adalah kucing yang sekonyong-konyong ada semenjak gempa 27 mei 2006 kemarin. Sebagai kucing pulung 'gempa', Si Paijo punya perawakan besar, kecoklatan dan sangat pemalas. Saking malasnya, sehingga gampang menemu Si Paijo ini, kalau tidak tidur melingkar di sudut-sudut rumah, paling ia sedang duduk termenung di atas jok motor atau kursi. Jika sudah begitu, walau dikagetkanpun si Paijo cuek saja……
Das Haus adalah ekosistem yang unik
Nama Das communiy haus berarti rumah komunitas, bukan nama yang mengada-ada. Di Das Community haus, selain anak pinak, satu kemenakan kecil dan dua ekor kucing yang hilir mudik itu, ada banyak orang-orang berdatangan, pergi, datang, pergi, lalu datang lagi untuk kembali lagi atau untuk pamit selama-lamanya. Das Community haus, adalah nama yang diberikan seorang Jerman Bernama Jakob yang dalam kurun waktu 6 bulan pernah hilir mudik dan tinggal di rumah ini.
Setelah ibunda meninggal, ayahku yang tinggal dengan istri baru dan keluarga baru, anak-anak baru, masalah-masalah kelaurga baru, dari C1 sampai bayar SPP, dari arisan sampai ronda, dari digerutui mertua sampai digerutui istri yang nagih uang belanja. Lantas sekurun waktu kami anak berpinak, satu ipar, satu kemenakan dan dua ekor kucing ini jadi maklum kalau sang ayah, the godfather yang dulu terkenal galak dan tegas itu, lambat laun jarang inspeksi ke rumah ini.
Dengan begitu Suasana das community haus makin cair, tak ada ‘the god father’, figur partonisme yang galak, kalaupun ada sudah pasrah pada anak-pinak, satu ipar, satu kemenakan dan dua ekor kucing untuk mengelolanya.
Pada hari-hari biasa, kakak iparku jadi ‘the only beutifull women’ di Das Community Haus. Dengan, kompisisi gender yang tak setimbang ini maka bisa dibayangkan bagaimana ekosistem rumah adalah ‘kapal pecah’ dengan bagian-bagiannya lebih banyak menonjolkan hal-hal maskulin, seperti tumpukan-tumpukan baju, tumpukan-tumpukan barang bekas, centang-perentang perkakas, dapur yang penuh dengan perkakas kotor.
Komunitas-komunitas yang pertama muncul adalah 'sanggar bakat anak salam' atau yang disingkat SABANA yang hadir pada sekitaran tahun 1998 sampai 2000. Di dalamnya adalah dua kakakku, teman-teman main yang dulu juga teman sekolah, anak-anak muda dari kampung dan teman-teman dari kampus. Gerombolan kawan-kawan itu masing-masing juga membawa kawan-kawan lain atau pacar yang sengaja di gandeng masuk das community haus. Walhasil, sanggar SABANA ini jadi penuh berjejal dengan anak-anak muda dari berbagai bentuk. SABANA mengalami perpecahan yang sporadis, untuk bahasa halusnya bubar tanpa kejelasan, setelah sukses besar menyelenggarakan Lomba Lukis 'Jogja Ceria'.

Ide terus bergulir dalam Das Commuity haus, seperti halnya usaha-usaha mandiri 'jatuh bangun ' diusahakan oleh dua orang kakakku dan teman-temannya. Deretan usaha itu dari tukang sablonase kaos, spanduk, stiker sampai bandana beralih ke tukang buat reklame. Kemudian beralih lagi membuat aneka kerajinan dari kayu dengan yang pernah mencatat sukses memperkerjakan ibu-ibu dan perempuan di kampung ponggalan dengan upah Rp. 125 rupiah tiap merakit souvenir pulpen kayu. Sayang ekspor 'pulpen kayu' yang konon ke Norwegia itu dengan omset pertama sampai bilangan 7 jutaan gagal di tengah pengiriman karena kena 'ngengat'.
Gagal dengan usaha kerajinan pertama, berpindah nama dari Sanggar Sabana menjadi Studio Bebekku. Nama ini asal comot dari usaha ternak bebek 3 ekor yang hanya menghasilkan telur-telur yang selalu jadi rebutan buat sarapan. 3 ekor bebek itupun setelah berbulan-bulan lamanya berakhir tragis jadi 'potong bebek' di 'bakar' pakai kecap pada pesta ulang tahun dari siapa, sudah tak ingat!
Dengan kibaran nama baru Studio Bebekku, usaha beralih jadi tukang buat tas. Berawal dari seseorang yang 'ndak jelas' kedatangannya yang mempunyai keahlian 'bikin tas' dan memulai 'hidup baru'nya di Das community haus. Usaha tas berkembang pesat, dari mulai memenuhi pesanan personal, tas gunung, tas kantor sampai pesanan tas-tas seminar. Bahkan sampai menambah tenaga tukang jahit yang didatangkan dari bandung, Asep namanya. Usaha ini berakhir dengan perginya sik tukang Jahit dan memilih kontrak usaha sendiri setelah menikah. Lalu, bubar dengan usaha produksi tas, beralih ke usaha cetak fiberglass. Usaha fiberglass ini mencatat sukses dengan membuat berbagai macam souvenir yang kemudian mesti gulung tikar karena gagal produksi membuat helm dari fiberglass. Helm yang kalah harga dengan helm berbahan plastik yang cuma dijual Rp. 25.000 per kepala.


16 Okt 2007

Naik vespa keliling kota sekeluarga



Scooter alias vespa, selain bentuknya yang klasik, nyaris tak pernah berubah dari semenjak edisi perdana pertama sampai keluarannya terkini. Motor asal Italy ini menggunakan mesin tempel di bagian kanan belakang, sehingga bagi pengguna skooter punya kiat-kiat khusus memberlakukannya, misalnya; Memiringkan ke kanan apabila mogok, membawa ban serep untuk jaga-jaga dari ban bocor (Vespa paling dibenci tukang tambal ban karena tingkat kesulitan menambalnya)dan tips-tips lainnya. India yang mempunyai Bollywood untuk meniru langkah Hollywood, sampai-sampai memproduksi 'Bajaj', sejenis motor dengan desain mirip Vespa. Sayang, kedasyatan mesin Bajaj ini telah dikebiri satu-satu, dirombak total kelongsongannya menjadi Bajaj-Bajaj yang sekarang jadi trand mark kendaraan aseli Jakarta. Maka nasib sang Bajaj aseli tak dapat diketemukan lagi dan orang lebih mengenal bajaj sebagai Bajaj yang sekarang.

Sewaktu kecil Bapakku memutuskan untuk membeli vespa dengan alasan kendaraan ini potensial sebagai kendaraan keluarga. Bisa memuat segenap anggota keluarga yang 6 gelintir manusia; Bapak, ibu, dan empat orang kakak-beradik, termasuk aku.
Bapak pegang kendali setir, dengan diapit Ibu yang menggendong aku, kakak perempuan cukup duduk mepet ditengah-tengah, berbagi jok dengan ibu. Sedangkan space longgar antara kemudi dan jok tempat duduk bapaku telah diisi berjejal dua orang kakakku. Bisa terbayangkan bagaimana tingkat kesulitan Bapakku, mengontrol kemudi sambil berteriak-teriak agar kedua kakaku berhenti bertingkah dan bertengkar.
Sementera aku sebagai si bungsu dengan nyaman menikmati gendongan Ibunda (Sebagai bungsu, aku digendong Ibunda sampai hampir berumur 7th!). Ibunda punya tugas tambahan sebagai co-pilot, melambai-lambaikan tangan saat belok, memberi instruksi berhenti pada lampu lalu lintas dan ikut mengerem mendadak dengan kedua kaki saat berhenti. Pada bagasi telah penuh berisi centang perentang, alat ganti popok, bekal-bekal makanan dan tremos minuman. Walhasil sang vespa berjalan terseok-seok mirip karapan Gipsy, penuh rumbai-rumbai, teriak-teriak penumpang dan aneka buntalan-buntalan bawaan. Potret seperti ini masih terekam dalam benakku, terutama saat mudik lebaran ke kampung halaman dan acara tamasya keluarga.

Si Vespa Keluarga hanya bertahan kira-kira sampai aku kelas 6 SD, dengan lambat laun selain mesin sudah uzur dengan asap knalpot yang sudah mirip kakek-kakek perokok klobot, juga karena daya muat vespa stagnat berbanding kali lipat pertumbuhan badan para penumpang. Satu demi satu, dimulai dari kakak terbesar ke paling kecil sudah tidak bisa menaiki vespa bersama-sama, sampai pada akhir riwayat tugas, aku kini menempati posisi istimewa, duduk di rongga vespa depan Sang Bapak yang galak. Posisi ini selalu kunikmati, sambil berimajinasi, membayangkan mengemudikan sebuah pesawat antariksa, mirip serial kartun flash gordon, serial kartun silver hawk atau tantangan gobot.... (Dulu film-film fantasi kartun hanya ada di TVRI saban sore)

Si Vespa Keluarga, hilang ditipu orang
Akhir riwayat vespa keluarga memang tragis. Suatu ketika Bapak berniat menjualnya. Yah maklum, kini kami sudah punya kendaraan lain yang baru trend, canggih dan lebih trendy, bernama "astrea grand" yang beli dari kredit (Masih ingat aku, Sistem Kredit baru muncul awal pertama kali). Kami masing-masing sempat foto bergiliran di depan motor baru ini, di samping si Vespa yang mengonggrok, menunggu pemilik baru.
Seseorang misterus, dengan muka necis, yang ngakunya ingin tertarik membeli vespa itu datang berlagak menawar. Ternyata ia seorang 'penipu'. Tidak ingat aku detil peristiwanya tapi intinya vespa itu telah raib ditangan penipu. Saya hanya ingat untuk beberapa hari setelahnya, lamanya orangtuaku sudah sibuk menguber-uber informasi, dari satu orang pintar ke orang pintar lain, sebelum akhirnya vespa kami diketemukan. Kondisi vespa waktu diketemukan memang masih utuh, meski memicu banyak masalah dengan aparat, karena 'cara' pencarian orangtuaku yang menempuh jalur dan alibi yang "irrasionil". Akhirnya sang vespa keluarga telah resmi berpindah ke tangan orang.....

Masa SMU yang indah dan sebuah Lambreta
Sampai penghujung kelas dua, berbeda dengan teman -teman sesekolah lain, aku cukup menikmati berangkat sekolah dengan bus kota atau dengan pit onthel. Bahkan kadang kadangkala memilih jalan kaki sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan Kotagede-Yogyakarta, yang aspalnya selalu dipenuhi ruap tahi kuda (Jalan aspal kotagede memang menjadi salah satu jalur tetap kereta andong).
Kelas 3 SMU aku mendapatkan kendaraan bermotor pertamaku, sebuah Lambreta. Motor Lambreta, termasuk motor tua, yang sepengetahuanku merupakan generasi pertama sebelum vespa. Pada prinsipnya bentuknya sama, sudah seperti vespa umumnya hanya masih kaku dengan shape body lebih mirip box biskuit, kotak-kotak. Bentuk jok masih menyatu lurus datar, belum dibelah menjadi dua jok antara pengemudi dan penumpang. Lambreta ini kubeli dengan harga 125 ribu saja, hasil dari sedikit kerja rodi dan menodong bapakku. Surat-suratnya masih komplit meski angka plat nomer telah telat.
Suatu ketika, pas malam minggu teman-teman SMU itu mengajak konvoi keliling kota, sambil memboncengkan cewek-cewek. Aku dengan Lambreta-ku sebagai motor vintage yang hanya bisa melaju sampai batas 40km perjam itu, harus puas tertinggal jauh, dan mesti berteriak-teriak kencang agar menunggu kami. Tak terasa konvoi sudah menembus jauh sampai batas luar kota dan berencana meneruskan ke rute Jalan kaliurang yang rutenya merangkak naik. Si Lambreta mendadak mogok dan mengeluarkan banyak asap, sampai akhirnya Si Lambreta harus ditarik pulang dengan tali. Nasib si Lambreta selepas itu tak kunjung membaik. Si Lambreta tak pernah selesai diperbaiiki dan berakhir menjadi pajangan di teras rumah, dimodifikasi jadi duduk, ditorehi aneka rupa cat dan sebuah grafiti;"Angkutan barang pindah kos, trayek brosot jogja".