Tampilkan postingan dengan label perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perjalanan. Tampilkan semua postingan

15 Agu 2023

The Motorcycle Diary

 


Bagi yang pernah menonton motorcycle diary, mungkin sependapat dengan saya bahwa film yang dinukil dari "catatan harian" che guevara ini di bagian akhirnya kurang mengigit. Tapi bagaimanapun saya yakin, sangat sulit menggambarkan 'berbagai petualangan', refleksi dan pikiran-pikiran si aktivis muda 'che guevara' ini kedalam sebuah kemasan tontonan yang mengasyikkan.
====
Nun, sore itu aku dihubungi temanku dari Malang tentang seorang anak laki-laki sahabatnya sesama 'aktivis' yang telah terlantar di kota Yog. Anak laki-laki ini, melakukan perjalanan petualangan ke kota Yog dengan mengendarai motor  honda 'pitung'. Motor honda pitung adalah istilah motor honda bebek C70 yang umurnya kira-kira berjarak 4 dekade dari umur anak laki-laki yang kini 'terlantar' di kota Yog itu.
Sebenarnya istilah 'terlantar' bukan istilah yang tepat bagi anak laki-laki itu, karena saat aku meluncur dan menemuinya, ia nampak baik-baik saja. Agaknya, ada orang-orang 'baik' yang telah menolongnya, memberikan tumpangan serta menghubungi salah satu keluarganya yang kemudian menghubungiku untuk menemuinya.

Ya, kesulitan anak laki-laki itu dimulai saat handphone anak laki-laki itu dijambret orang. Ditambah lagi motor honda bebek C70 yang dikendarainya telah mogok, sedikit uang tersisa dan beberapa bungkus mie instan. Pun, tak ada catatan alamat tujuan yang ia bawa di Kota Yog.

"Tak ada! tak rekan! Saudara juga tidak!"
===
Aku berangkat dari Malang pada hari jumat. Seorang diri, dengan bersemangat, aku memacu honda bebek C70 ku melalui kota kediri, tulungagung, Trenggalek, lantas melewati Ponorogo, Wonogiri lantas melintasi protokol kota Solo, sampai akhirnya melewati Kutoarjo, jalan beraspal lebar dengan kiri kanan persawahan di Klaten, untuk kemudian sampai di Prambanan yang menjadi ujung timur kota Yog. 

Hari sudah benar-benar gelap, mungkin sudah melewati dini hari dimana jalanan mulai lenggang dengan cahaya cahaya lampu, neon serta billboard pada plafon, pohon pohon yang membeku, tikus yang bergerak cepat di gorong-gorong serta sesekali suara derum kereta di kejauhan, saat aku memasuki kota Yog. Dengan suasana seperti itu, aku seperti memasuki lorong tanpa pertanda juga penanda akan perhentian manakah yang akan kutemui. Maka rasa kantukpun seperti sudah menyatu dengan kabut dan debu jalanan itu, juga pada pedagang-pedagang pasar yang mulai hibuk melintas dengan motor bertumpuk rombong serta aneka hasil bumi. Sepertinya pedagang pasar itu jadi penunjuk ruang dan waktu, hari telah lepas tengah malam dan aroma pasar tua kota Yog jadi pertanda pusat kota Yog sudah dekat

Apes, lepas memasuki kota Yog, saat melewati Kalasan honda bebek C70 ku tiba-tiba batuk-batuk untuk untuk berhenti melakukan pembakaran di mesinnya. Maka akupun berhenti, meneliti, apakah bensin habis, apakah busi, atau hanya karena terlalu panas?

"Ikhtiarku gagal!"

Honda C70 itu tak sedikipun bergeming, bahkan bunyi mesin batuk-batuk atau sekedar asap yang mengepul tak jua muncul. Aku menyerah sampai akhirnya menuntunnya sampai jauh, mungkin 7, mungkin pula 10 atau mungkin lebih kilometer telah kujalani dengan menuntunnya. 

Aku ditolong oleh orang baik itu. Ia menamakan dirinya mas relawan yang kemudian memberikan beruntun kebaikan dari tumpangan sampai dengan uang saku. 

===

20 Agu 2013

To the top of java

PICT0065 Kadangkala aku berusaha keras mengingat wajah ibuku. Sedemikian kerasnya sehingga harus memejamkan mata untuk bisa menyusun satu demi satu potongan ingatan wajah ibuku. Atau wajah kakekku, atau orang orang yang sudah tiada. Meskipun terkadang sekilas muncul tanpa sengaja wajah demi wajah itu. Wajah yang ingin selalu kuingat. Seperti halnya dini hari ini aku bermimpi bertemu dengan wajah-wajah itu yang membuatku menjadi disorentasi saat tersigap untuk bangun. Tak menyadari sebenarnya wadagku tengah bermil mil jauhnya dari kota Yog dan berada di ketinggian kira-kira 1500dpl di kaki gunung Lawu. Tapi bukan karena bermimpi bertemu dengan wajah wajah itu yang membangunkanku.

***

Udara yang dingin membangunkanku, udara yang mengandung debu sehingga hampir hampir aku terbatuk. Sudah tak kutemukan lagi selimut atau sarung, terhempas entah kemana. Sepertinya ada setumpuk karung beban di kepalaku, menindihku hingga tak dapat membuatku bangkit dengan leluasa.

Pada awalnya yang nampak hanyalah langit langit ruangan, bilah-bilah kayu dan tiang tiang kayu menyangga genting. Tak ada asbes, tak ada plafon atau penutup langit langit. Kolong atap itu penuh jaring laba-laba, gelap dan tanpa cahaya. Sehingga kesimpulan pertamaku menangkap bahwa ini masih terlalu dini untuk bangun. Bahkan mungkin belum beranjak subuh. Tetapi udara dingin menggelitiki seluruh tubuhku untuk lantas bangun, mencari cari mana secarik selimut dan atau sarung yang semalam sepertinya ada.

Sekilas kesadaranku belum menangkap dimana aku berada. Mungkin di tepian bumi lain, mungkin di kampung halaman, mungkin di kota lama dimana aku pernah bertemu wajah-wajah asing. Sebegitu heningnya dan tak kudengar bunyi kokok ayam jantan satupun. Tetapi memang udara dingin sekali lagi memaksaku untuk lantas bergegas bangkit.

Aku masih seperti buntalan karung, atau mungkin lebih tepatnya seonggok batu yang kedinginan yang ingin rasanya menggelindingkan diri agar bisa jatuh kebawah tetapi menunggu kekuatan atau seseorang untuk mendorong untuk menggerakkannya.

***

Perlu beberapa menit agar kesadaran ruangku mulai muncul. Koordinat menunjukkan aku kini berada di lembah gunung lawu. Di sebuah gubuk warga dengan 2 orang di sampingku. Beberapa menit kemudian kesadaran akan wajah mulai berkerja. 2 orang di sampingku, adalah 2 orang asing yang belum lama kukenal. Tapi mereka tidaklah asing, wajah yang sepertinya puluhan masa silam pernah kutemui dalam sebuah perjumpaan. De Javu!

Satu pemuda jangkung asal Polandia. Kejangkungannya hampir 125 persen di atasku. Tipikal ras eropa persis, dengan kulit putih pucat, wajah runcing, hidung mancung dan mata biru. Seekor lagi adalah asia dari belahan benua India. Dia adalah pribumi Bangladesh yang tak selalu merasa pongah bahwa negaranya tidak lebih buruk dari yang diceritakan sampai ke Indonesia.

***

Apa gerangan yang aku cari saat ini? Bersama 2 ekor kawan asing yang di ketinggian 1500dpl dan rencananya akan melanjutkan pendakian ke 3500dpl di salah satu puncak pulau Jawa ini? Kalau tak salah 7 tahun berselang, awal 2000 aku pernah menapaki gunung ini bersama kakak dan seorang temanku. Di puncak ini hanya kami bertiga dengan bekal minim dan cuaca ekstrim. Di basecamp terakhir hampir puncak, ketika basecamp disitu bukanlah sebentuk rumah warga tetapi hanya lahan agak datar dengan sisa-sisa perkemahan sebelemnya kami berpapasan dengan 2 orang pendaki yang nekat. Nekat karena mereka mau melanjutkan menuju ke puncak meski bekal minim dan cuaca agak berkabut. Berapa hari kemudian tersiar kabar 2 orang pendaki tersebut kehabisan bekal sampai akhirnya mengalami hipotermia dan seorang diantaranya meninggal. Aku bergidik ketika mengingat kami pernah memberikan sejumput gula jawa bekal kami ke mereka saat seorang dari mereka dipapah oleh petugas SAR. Mulut pendaki tersebut melebam dan kaku hingga sulit menelan potongan gula jawa yang kami jejalkan ke bibirnya.

***

Di gunung, alam terbuka, 3 orang kawan dari belahan bumi berbeda. Konon katanya di alam terbuka ini sifat asli orang akan muncul. Mungkin itu yang kami cari.

1 Jun 2013

Multi tasking

....When we grow tired of all this visual/ You had your time - you had the power/ You've yet to have your finest hour / ..... All we hear is radio blah blah....(Queen - Radio Ga Ga)



Ada banyak alasan mengapa anda harus membenci televisi. Setidaknya untuk menghindari dari keterjebakan menonton acara televisi ada baiknya mulai membenci televisi.
Saat anda mulai menyalakannya anda akan tergiring untuk memindah channel dengan mudah lewat remote control. Sehingga dalam waktu yang pararel anda mungkin bisa menikmati 2 atau 4 sekaligus acara televisi. Apalagi saat anda menonton TV seorang diri, maka anda adalah raja di atas singasana kursi sofa yang menentukan nasib tayangan apa yang laik tampil melalui remote control di jemari anda.
Konon otak yang seukuran beberapa kepalan tangan mampu lebih mudah merekam aspek visual dari pada mencerna proses tulisan. Apalagi jenis tayangan iklan komersial yang kerap mengeksploitasi reflek kenikmatan mata pada lelaki lekuk liku wanita.Para perempuan akan langsung berbinar pada aneka produk  pelangsing tubuh, pemutih wajah sampai urusan pribadi dengan alih-alih menambah percaya diri. Sedangkan anak-anak kita, semenjak pagi hari sampai waktu prime time malam hari adalah iklan-iklan makanan dan mainan. Maka dengan mudah fokus kita langsung tergiring pada bunyi tag line yang diulang-ulang pada iklan; "Wajah putih berseri sepanjang hari", "Diputar, dijilat dan dicelupin" dan sebagainya.

Kata peneliti perempuan bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus dalam satu waktu. Dalam bahasa komputasi, ia support multitasking, di saat sedang masak, tangan kanannya sedang memomong anak sambil tangan kiri mengirim SMS hampir tanpa melihat ke layar handphone. Sedangkan telinganya juga sibuk mendengar 2 channel gosip sekaligus yakni pertama dari acara "Insert Selebriti" di televisis sedangkan channel lainnya adalah "Bude Siti" tetangga sebelah yang saban hari selepas 8 pagi datang ke rumah menyiarkan berita update "gosip perumahan". Meski seluruh indera berjalan semua, (hampir) karena indra perasa agak telat bekerja ketika harus mencicipi rasa sayur asem yang tengah dimasak, tetapi semua kegiatan pararel ini berjalan lancar.
Tapi benarkah kita 'betul betul' dan 'benar benar' butuh televisi? Lepas dari semua visi stasiun televisi yang saya yakin kebanyakan menawarkan 'jendela informasi'. Tapi seberapa pentingkah atau seberapa banyakkah informasi yang kita butuhkan? Pernahkah anda coba dorong sejenak kota televisi kita ke pojok, dijauhkan dari arus listrik, atau bahkan dimasukkan dalam kardus. Coba anda lakukan itu sebulan saja, atau kalau atau tak kuat, dicoba mulai membatasi diri di jam jam tertentu.
Ini bukan sebuah persuasi, tetapi bagi yang pernah mengalami tinggal di tempat terpencil, atau taruhlah tempat yang sulit terjangkau sinyal televisi- karena kebetulan tempat tinggal saya adalah perumahan di cekungan lembah dengan kungkungan bukit-bukit piyungan. Maka nyaris menonton televisi adalah perjuangan, selain harus berlomba-lomba meninggikan tiang pancang antena kalau tidak berisiko kena petir, juga karena (jujur saja) saya tak punya televisi yang 'wajar'. Saya katakan televisi yang 'wajar' karena sekali televisi 'wajar' saya berakhir dengan ledakan lengkap dengan sedikit asap persis dalam film jadul Dono-Kasino-Indro. Dan kedua, karena televisi 'wajar' saya tiba-tiba seperti punya penyakit kulit, berubah warna jadi kekuning kuningkan sampai akhirnya mengecil dan mengecil menjadi segaris. Dua kotak televisi 'wajar' itu berakhir di tukang servis tanpa pernah kudengar kabar apakah memang sudah bisa dibetulkan ataukah sudah berakhir di tukang loak didaur ulang jadi ember bekas.
Paragraf akhirnya, saya cuman pingin cerita nostalgia ketika radio masih jaya. Terakhir, seingatku ketika masih SD, ketika channel TV hanya TVRI dengan jam tayang yang terbatas. Hampir saban hari kotak radio tak pernah mati. Kadangkala 1 rumah bisa punya lebih dari 1 radio karena selera pendengar dalam rumah itu yang beda-beda. Tetapi di kampungku, selera pasar paling umum salah satunya adalah drama 'Saur Sepuh'. Bagi anak-anak atau remaja ada serial 'Joni Kukuh', selain tentu saja acara lain seperti berita, lagu-lagu, kirim kiriman salam, sampai dengan berita.
Disini indera tersibuk satu-satunya adalah 'telinga' sehingga adalah biasa mendengar radio sambil mencangkul ladang, mengayuh mesin jahit, mengendarai kendaraan atau kesibukan lainnya.
Salah satu 'drama radio' yang kutunggu seluruh keluarga adalah serial 'Saur Sepuh'. Maka saban sore terjadilah perkumpulan massal pendengar radio dari aku, saudara-saudaraku sampai tetangga sebelah yang ikut nimbrung. Meski kotak radio hanya satu dan dinikmati massal seperti itu, tetapi setiap orang akan punya imajinasi berbeda-beda dari siaran yang sama. Bayanganku tentu saja 'Brama Kumbara' sang tokoh utama 'Saur Sepuh' adalah lelaki dengan rambut gondrong berkostum jubah, ikat kepala, sandal dari kulit badak dan 'pedang nagapuspa' yang bisa menyala saat dikeluarkan. Salah babak yang kutunggu adalah babak pertarungan antara 'Brama Kumbara' dan 'Mpu Tong Bajil'. Meski radio hanya mengeluarkan bunyi 'ciaaat-ciaaat.... gedebak ... gedebuk..." tetapi di kepalaku secara visual telah tersusun adegan pertarungan dahysat antara 'Brama kumbara' yang mengeluarkan ajian sakti melawan 'Mpu Tong Bajil' yang juga punya tongkat sakti.
Kembali ke kotak televisi terkini, kecewanya, dan lebih menyedihkan lagi saat 'Saur Sepuh' tayang jadi acara sinetron. Saya pikir efek 'pertempuran' sengit yang dulu kususun lewat imajinasiku sendiri jauh lebih keren daripada yang tayang di sinetron televisi.
---
Saat perjalanan jauh 5 jam menuju Jogja-Grobohan, telingaku kusumpal radio, bukan MP3 untuk mendengar musik. Ajaibnya, aku seperti menemukan 'kesenangan' lama, membiarkan mengalir mengikuti siaran dan celoteh 'bla-bla-blah" sang penyiar radio.Rasa-rasanya 5 jam pantat penat dan panas di atas jok sepeda motor, seperti sebuah piknik lengkap dengan teman ngobrol, illustrasi musik dan pemandangan sepanjang jalan.

20 Jun 2011

Cacing

cacing lumbricus
Saya sangat jijik dengan cacing. Binatang lunak tak bertulang tak bermata tak berkaki yang berjalan dengan menjulur julurkan  permukaan tubuhnya yang berlindir ini membuat saya bergidik. Apalagi bila tak sengaja menyetuhnya atau bahkan menginjaknya di atas tanah. Kalau tidak salah, bila semalaman sehabis gerimis, atau cuaca mendung, maka cacing-cacing tanah ini akan keluar di pagi harinya. Puluhan bahkan mungkin ribuan, meninggalkan jejak mirip jalur-jalur rambut di atas permukaan tanah. Barangkali semalam mereka berpesta, musim kawin atau mungkin sekedar pengap karena konon bila cuaca di langit berupa mendung, permukaan tanah sebaliknya, akan terasa panas. Jadio secara hukum fisika, para koloni cacing tanah merasa gerah, terus menyembul keluar mencari udara segar. Bila mereka kurang beruntung, pulang kesiangan, telat masuk kembali ke tanah atau salah jalur karena masuk pekarangan manusia, sang cacing akan terancam mati, disapu oleh  ibu-ibu yang sudah sibuk menyapu di pagi hari, atau di jahilin anak-anak dengan ditaburi garam. Sang cacing akan menggeliat-geliat, tubuhnya memar, memerah, lantas mati.
Kejijikan saya pada cacing juga muncul kala membayangkan para pemancing yang memasang umpan berupa cacing yang masih hidup pada mata kail. Konon, cacing yang masih fresh alias masih hidup lebih diminati sang ikan daripada cacing yang sudah loyo atau wafat. Maka sang cacing jadi bulan-bulanan para pemancing, ditaruh dalam kaleng atau kantung plastik berikut segumpal tanah, lantas diambil pelan-pelan. Si cacing meregang seperti tak rela, beberapa kawannya yang menunggu giliran lantas menggelesot mencoba masuk lebih dalam pada segumpal tanah tersebut. Pelan tapi pasti, dimulai dari ujung kepala, di cacing dimasukkan pada mata kail sampai seluruh mata kail tertutupi  tubuh cacing yang mencoba meronta, tapi tak berdaya. Lantas yang tersisa tinggal sedikit ujung ekor cacing yang bergerak-gerak dan inilah yang jadi penarik luar biasa seperti tangan yang melambai-lambai ‘ayo-ayo makan aku’ bagi gerombolan ikan-ikan yang matanya selalu melotot tak pernah tidur. Dan….. hap…. saat mata kail tertangkap mulut ikan, maka berakhir sudah penderitaan  si cacing. Jadi barangkali berkat doa si cacing pesakitan itulah ‘tuhan, akhirilah penderitaanku, segeralah aku dimakan ikan-ikan itu’, sehingga pemancing bisa segera mendapat ikan.
-----
Sebermula hanya satu tempat saja yang kudatangi. Pertama di lokasi Pak Tarmin yang letaknya 12 kilo ke selatan arah batu jamus dari kota Sragen. Peternakan cacing pak tarmin  berupa petak-petak bak yang diletakkan di bawah kandang ayam. Saat melongok kesana cacing-cacing jenis lumbricus rubellus itu tengah menyembul keluar. Rupa-rupanya hawa gerimis dan udara lembab menyebabkan cacing-cacing tersebut pada keluar. Menurut peternaknya, cacing-cacing ini memang suka mengikuti aliran air, bahkan ada dari cacing-cacing tersebut yang naik ke atap kandang karena ada tetesan air dari atap. Ada ribuan bahkan mungkin ribuan cacing yang bergerombol di bak-bak tersebut, saling menggelesot di antara gundukan kotoran sapi yang becek dan sisa-sisa jerami. Tubuh saya langsung bergidik, kaku dan air liur saya langsung mengering drastis. Kalau tidak karena tugas lapangan untuk peliputan budidaya cacing lumbricus rubellus, saya pilih segera ngacir saja dari tempat tersebut.
Pelajaran pertama dari pak tarmin saya dapat ternyata cacing cacing tersebut bisa menghasilkan puluhan ton bahan pupuk organik atau yang disebut kascing setiap hari. Kalau satu kilo cacing saja menghabiskan 1 kilo kotoran ternak sehari semalam, maka bisa terbayangkan puluhan ton cacing yang sudah diternakkan pak tarmin demi menghasilkan puluhan ton pupuk organik. Maka daripada jatuh ke tangan para pemancing, cacing-cacing di tempat Pak Tarmin diberlakukan jauh lebih beradab; disuruh makan kotoran sapi tiap hari dan dibiarkan beranak pinak jadi banyak. Semakin banyak cacing berarti semakin banyak kascing dihasilkan berarti pula semakin banyak pupuk dihasilkan jadi uang. Sebuah simbiosis mutualisme antara Pak Tarmin dan para koloni cacing lumbricus rubellus.
Pelajaran kedua, para cacing ternyata mempunyai banyak enzim penting yang bisa digunakan untuk pengobatan. Dari ngobrol santai saya dengan pak sapto, seorang penulis buku mengenai cacing, di dalam tubuh cacing dari penelitian punya banyak enzym yang penting untuk pencernaan. Bukan diragukan lagi cacing banyak digunakan untuk penyakit typus, darah tinggi dan ganguan pencernaan lainnya. Bahkan ada yang digunakan untuk bahan kosmetik. Pak sapto juga mempunyai kelompok peternak cacing di daerah bantul yang menternakkan cacing jenis perrytima. Cacing-cacing tersebut, diletakkan dalam rak-rak, dan deberi media bekas  baglog jamur. Konon menurut pak Sapto, cacing paling demen juga dengan potongan batang pisang. Meski cacing tak punya gigi, tapi lihat saja, dalam beberapa hari potongan batang pisang tersebut sudah berubah jadi remah-remah tanah. Jadi  cacing pun tak perlu unjuk gigi.
Pelajaran terakhir, saya dapat dari televisi. Ada tayangan reality show mengenai kehidupan merana seorang pencari cacing. Saya lupa siapa tokohnya, tapi si tokoh yang punya seorang bini dan tiga orang anak ini saban hari pekerjaan utamanya mencari cacing. Si tokoh berburu cacing dari sekujur pematang kali ciliwung, memerosok ke got-got, tumpukan sampah becek sampak ke kandang-kandang sapi. Dikisahkan, entah di dramatisir entah tidak, si tokoh berangkat dengan sepedanya yang berderak-derak dan selalu bermasalah dengan rantai dan pedalnya yang hampir putus, bak penuh tambalan, tanpa rem dengan menenteng ember kecil. Maka si tokoh harus mengayuh sepeda itu pelan-pelan sambil memasangkan sepasang sandal jepitnya pada bagian  sandal untuk menggendalikan laju sepeda agar tidak menabrak penjual sayur. Si tokoh rupa-rupanya sudah menyatu dengan lingkungan profesinya, sehingga dengan gesitnya memasukkkan tangan, mengkorek-korek sampah, bahkan tercebur ke dalam kubangan kotoran sapi.  Ia sudah bisa mendeteksi lokasi-lokasi mana saja yang biasa jadi ajang cacing berkoloni. Digambarkan bagamimana si tokoh kena apes lagi saat rantai sepeda yang dikendarainya putus. Mau tak mau harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Lantas 2 orang anaknya pulang sepulang sekolah juga ikut membantu mengumpulkan cacing. cacing-cacing tersebut ia taruh dalam plastik minuman dan dijual 1.500 per kemasan di toko ikan hias dan pancing. Sehari ia bisa mengumpulkan 15 ribu rupiah saja. Lantas digambarkan pula dalam rumah petak kecil, berdesakan anak pinak si tokoh, bini dan 3 orang anak makan nasi bungkus dari hasil menjual cacing.2 orang anaknya yang gemuk-gemuk yang sudah sekolah di SD mengaku sering diejek temannnya karena profesi ayahnya sebagai pencari cacing. Tapi kelihatannya mereka cukup bahagia. Saya hanya membayangkan bagaimana anak pinak itu hanya hidup dari mengumpulkan cacing? Di akhir kisah, konon si tokoh mendapat bantuan untuk menternakkan cacing, jadi harapannya si tokoh sudah tak susah-susah lagi berburu cacing dan bisa mempensiunkan sepeda kendaraan satu-satunya yang sudah megap-megap berbau barang rosokkan. Amiiin

7 Sep 2010

The Three cycle of Bombay - Passage to India Part#1

Kunjungan ke India adalah kunjungan pertama kaliku ke luar negeri, kalau tidak dihitung dengan transit di Bandara Internasional Changi Airport, bandara yang membuaku bergidik sebagai seorang udik yang pertama kali menapakkan kakinya di ruangan dengan aroma dingin menyegarkan, lantai  berbentngan karpet bersih seperti masjid, etalase-etalase yang penuh dengan barang-barang hi-tech sampai minuman dengan botol2 cantik macam Chivas regal, neon-neon dengan ikon-ikon dan tulisan penunjuk arah, lorong kereta skytrain yang mengingatkanku pada game Half Life, travalator yang mempercepat langkahmu menjadi 3 atau 4 kali lipat dan aneka rupa wajah orang yang bergegas.

P1020689

Aku sempat mencoba skytrain yang mengingatkanku pada game Half life itu, mengantarku pada terminal 3, menuju penerbangan berikutnya di Chenai International airport India. Disini, aku sempat salah membaca antara Changi airport di Singapura dengan Chenai Airport di India. Karena keduanya memang cukup kontras.

Menuju bandara Chenai dari bandara Changi adalah penerbangan sekitar 4 jam dengan Jet Airways yang kuisi dengan menonton film di layar kursi, berganti membaca-baca informasi, mendengarkan musik dan mencoba tidur memejamkan mata, mencoba melawan telinga yang pekak seperti mau pecah.Di jendela yang terlihat hanya lapisan awan, seperti pulau-pulau kapuk yang melayang-layang.

Bandara Chenai, kalau boleh kubilang, lebih mirip terminal bis kota di kotaku, hanya lebih besar beberapa kali lipat. Aku dan teman-teman di Indonesia disambut sebuah relief warna-warni bergambar berukuran 2 x 3 meter di lobby masuk bergambar krisna membawa kereta bertuliskan; ‘ seek to perform your duty but lay not claim to its fruits’, ‘mencoba melakukan tugasmu tetapi menempatkan diri tidak untuk memiliki hasilnya’, selebihnya anda akan disambut aroma yang menyeruak perpaduan antara parfum ‘sinyongnyong’ bercampur dengan keringat yang keluar dari metabolisme pencernaan makanan yang banyak mengandung rempah-rempah. Seorang temanku, Mona berkali-kali mengucapkan kata ‘busyet’ sambil geleng-geleng kepala tidak mirip gelengan kepala orang India diikuti kalimat deskriptif bahwa bandara ini mengingatkannya pada bandara di kampung halamannya dengan penerbangan komersiil dengan fasilitas yang serba manual.

Kejutan selanjutnya adalah bandara Bangalore, yakni 1 jam saja penerbangan dari bandara Chenai. Bandara Bangalore atau Bangaluru kalau tak salah memang baru dibangun, seiring Bangalore menggeliat menjadi kota lembah Silikon pusat para IT-IT India yang terkenal dan perusahan-perusahaan produsen software kelas dunia. Bandara Bangalore jauh mentereng dari bandara Changi, sebuah kontras yang membuat mulut Edri, teman satu komplotan dari Indonesia mengeluarkan prakata sambutan di Lobby bandara Bangalore;

“Nah, ini nih bedanya dengan negeri kita. India tuh jujur, jadi kita diperlihatkan juga yang jelek-jelek, kayak di Chenai itu, ndak hanya yang bagus2 saja yang diperlihatkan’

 

Bangalore, Kota Bajaj

Kesempatan pertama naik Bajaj adalah hari ke 3 diriku menginjakkan kakiku di Bangalore India dan menghirup udara bangalore yang penuh aroma rempah-rempah. Bajaj yang kutemui disini adalah bajaj berbahan bakar gas, sehingga pengendara tidak dimabuk uap oli dan menghitam jelaga setelah keluar dari kotak besi berukuran 1 x 1 meter saja itu. Dari sekitar 5 kali mengendarai bajaj, setidaknya kutemui 3 jenis klasifikasi supir Bajaj.

P1020018

(deretan bajaj menunggu penumpang di Bangalore, meningatkanku pada deretan becak menunggu penumpang di protokol malioboro)

Supir Bajaj pertama tak banyak omong dalam perjalanan. Sekali deal 200 rupe untuk perjalanan antara pinggiran kota sampai di MG road (Mahatma Gandi Road) pusat kota bangalore. Sang pilot bajaj mengendarai bajaj seperti tak punya penumpang saja, berkelit sana, berkelit sini melewati hiruk pikuk jalan. Baru kami sadari banyak kendaraan motor roda empat yang tidak mempunyai spion sebelah kiri. Premis kami tentang spion itu ; 1) Spion kiri banyak yang patah karena disambet/menyambet kendaraan dari samping, 2) Spion kiri lebih mahal di pasar ‘klitikan/barang bekas’ sehingga banyak maling spion yang lebih mengincarnya, 3) Para pengendara mobil di India punya kelebihan otak kiri yang yang membuat instingnya luar biasa bekerja tanpa perlu bantuan indera mata

Sopir Bajaj kedua, lebih banyak omong, bahkan terlalu banyak bertanya. Sekali menjawab 1 topik pertanyaan, maka dia akan mencerca dengan 3 atau lima lebih topik pertanyaan selanjutnya. Entah di paham atau tidak, suka atau tidak, kepalanya akan bergeleng-geleng. Sang pilot bajaj tipe ini perlu keahlian ‘listening’ atau pendengaran tingkat tinggi dari kami. Apalagi dengan terganggu oleh gemeretak mesin bajaj dan getaran seluruh tubuh bajaj itu membuat bahasa Inggris logat India yang diucapkan oleh pilot bajaj itu hanya sepatah-patah bisa kutangkap.

P1020543

(Argo meter Bajaj, konon juga bisa mengukur seberapa tinggi kadar senyum seseorang)

Bajaj India mempunyai Argo meter macam taksi di Jakarta pada bagian kabin. Kapasitas penumpang adalah 3 orang di tempat penumpang dan 1 sopir, meskipun pada prakteknya overloaded adalah hal biasa dengan 4 penumpang dibelakang dan buntalan-buntalan barang-barang. Tetapi ajaibnya, seperti pernah kulihat bajaj yang ditumpangi 5 orang anak pinak anggota keluarga plus barang-barang bawaan, kendaraan roda tiga ini tetap bisa berjalan dengan stabil. Sang sopir dengan lihainya bisa meliuk-liuk sambil menghidupkan klakson berkali-kali dan menyelusup diantara celah-celah  kepadatan kendaraan.

P1020192

(Auto gas, lebih ramah lingkungan dan tidak membuat penumpang mabuk uap oli)

Sopir bajaj tipe ketiga, adalah yang kami takuti dan bersyukur hanya sekali kami temui. Sopir bajaj yang berlagak sopan, dengan bahasa inggris pas-pasan dan geleng-geleng (entah tau entah tidak)  menjawab mengetahui lokasi yang akan kami tuju.

‘Yes, I know- I know, bangalor palace, bangalore palace, 250 rupees’

Pilot bajaj tipe ini kami temui saat kami ingin melancong melihat Bangalore palace setelah diiming – imingi foto narsis teman satu komplotan yang telah terlebih dulu datang kesana. Terpaksa 250 rupee kami ambil mengingat kami rombongan berempat, jumlah yang nanggung untuk menyewa 2 bajaj.

Pilot bajaj hanya diam saja sepanjang jalan, melewati lorong-lorong kota bangalore, setidaknya 3 hari kami berada di kota bangalore kami mulai curiga karena sepertinya kami hanya berputar-putar saja pada tengah kota. 30 menit berlalu, bahkan melewati jalan tikus menghindari kemacetan.

Bajaj berhenti di depan sebuah tempat hiburan, bertuliskan ‘sea world’, dengan sebuah komidi putar menyeruak diatasnya. Kami telah ditipu.

“Ya… bangalore palace” Pilot bajaj geleng2 kepala.

Maka kamipun sepakat tidak jadi memberikannya tambahan tips 30 rupe, keluar dari tubuh bajaj dengan muka sewot dan celingak celinguk mencari dimana tempat bertanya lokasi bangalore palace.

“Oooo, bangalorrrr pelec…. it stilll pery par prom hir” kata penjaga tiket sea world sambil geleng-geleng kepala lagi.

 

Pilot bajaj terkhir, tipe paling baik yang kami temui. Setelah insiden penipuan pilot bajaj tadi, kami lantas lebih selektif memilih supir bajaj berikutnya. Dengan perundingan alot, setidaknya 5 kali sopir bajaj tak lolos seleksi ketat kami, sampai tawaran teakhir pada seorang pria India.

“Ayem Muslim, Bangalorr pelec, yes I knoww welll bangalor pelec.”lagi-lagi pria hindia berkumis ini menggeleng-gelengkan kepala.

Sepertinya wajahnya santun, begitu opini subyektifku dan mbak Susi yang memakai jilbab. Meski masih memendam was-was akhirnya kami berempat meringsek ke tubuh bajaj yang memang menghantarkan kami ke Bangalore Palace.

Tak hanya sampai disitu, supir bajaj ini menemani kami masuk di Bangalore Palace, menghantarkan kami ke Gedung Mahkamah tingginya kota Bangalor dan gedung DPRD kota bangalore. Lalu masih ditambah menghantarkan ke kantor pos, toko ‘Indian Store’ gudang kain dan busana  yang lumayan murah dan terakhir kami berpisah di perempatan MG Road. Sopir baik hati ini memang sempat meminta kenang-kenangan dari kami.

“If therrr sopenir promm Indonesia?”

Selamat tinggal Farooq, semoga kapan2 kita bertemu lagi.

P1020544

(kalau datang ke bangalore lagi, silakan kontak saya, Farooq 9900495254)

 

20 Mei 2010

Berburu Oeng

Dr Hong Djien- Photo By Jacek Stepaneak Kami hanya berdua, aku dan temanku, dan kami hampir tersesat di kota Magelang, sebuah kota kecil sebelah utara kota Yogyakarta di bawah  lembah gunung Merapi dan Merbabu. Hawa kota ini selalu adem dengan lanskap kota penuh jalan berkelok dan bangunan-bangunan tua bekas tangsi Belanda. Bekal tujuan perjalanan hanyalah secarik kertas bertuliskan ‘Galeri HD’ Jl. P. Diponegoro 74. Selebihnya, aku coba yakinkan ke kawanku dari negeri asing Polandia itu bahwa ‘kita bisa tanya pak Polisi’.

‘Pak Polisi adalah GPS yang baik’

Artinya sudah menjadi pengalamannya, bahwa bertanya pada polisi tentang suatu alamat adalah lebih baik daripada bertanya pada orang biasa atau tukang becak. Tukang becak tahu banyak lokasi, tetapi skala ukurannya terkadang sukar dihitung secara matematis.

‘oooo, tinggal dekat mas, barang sak plintengan (1 lemparan ketapel)’

Nun, kami telah memasuki jantung kota Magelang hanya menempuh 1,5 jam perjalanan berangkat dari jam 6 pagi dan sampai di pusat kota kira-kira masih jam 7.30WIB. Setidaknya sudah 2 petugas polisi yang dinas pagi kami tanyai. Sepanjang  jalan dilalui, lalu lintas dipenuhi orang-orang yang berangkat kerja, anak-anak yang berangkat sekolah dan truk-truk pengangkut sayur. Memang jalan utama itu adalah jalan lintas provinsi yang membelah dari Yogykarta, Muntilan, Borobudur, Magelang, terus menerus ke arah utara sampai tembus ke Semarang. Ada yang khas di jalan utama itu, yakni banyaknya para tentara lengkap dengan pakaian dinas dan motor-motor ber cat hijau. Ya, karena Magelang adalah kota Militer dimana banyak akademi militer termasuk yang paling terkenal ‘SMU Taruna Nusantara’ Ada disini.

Setelah 4 Pak Polisi dinas pagi kami tanyai, sampailah kami pada petunjuk terakhi arah Jl. P. Diponegoro itu berada, tepatnya persis di belokan pertama tempat kami mengarahkan motor. Tapi rasa lapar yang menyerang mengurungkan nian kami untuk lansung mengarah kesana.

Lebih baik menyerbu warung soto yang sudah di dekat kami dengan kuali yang hangat mengepul-kepul daripada datang ke rumah Oeng tapi dengan ‘setengah konsentrasi’ saja. Konon perut lapar bisa menghilangkan setengah kendali akal.

Bahkan semua seperti sesuai rencana, ketika suami istri pemilik warung soto, beretnis Cina, kami menunjukkan dimana ‘galeri HD’ berada. Persisnya hanya menyebrang warung soto tempat kami berhenti.

‘Lha itu lho rumah Oeng Djien’

****

Kami ditemui Dr. Oeng Djien secara pribadi. Oeng Djien orang yang super ramah. Dengan senyumnya yang selalu terkikih-kikih, sederet gigi besar-besar yang rapih dan putih, kacamata tebal dengan rambut pendek berminyak dibelah pinggir. Jam tangan bermerek, t-shirt berkerah bermotif strip yang dimasukkan dalam celana pantalon dan diiikat sabuk kulit.

Saya seperti melihat sosok Gus Dur dalam wajahnya. Kacamata, muka bulat, dan tawa yang terkeh-kekeh, Dalam lingkaran para seniman khususnya perupa Indonesia, siapa yang tak kenal Dr. Oeng Djien. Julukan pertama adalah kolektor, seorang yang gigih mengoleksi lukisan-lukisan para perupa Indonesia dari jaman kolonial sampai perupa-perupa muda sekarang. Menurut Hong Djien sendiri koleksinya sekarang mencapai kurang lebih 1.500 karya.

Oeng Djien menemui kami lobby galleri yang langsung disambut lukisan Nasirun membentang memenuhi tembok, kalau ndak salah 2 x 4 meter. Selebihnya, terlalu banyak yang lukisan, patung, karya sampai dengan pernak-pernik di ruangan itu yang tak mampu saya gambarkan dengan kata-kata.  Sepertinya setiap bagian dari ruangan itu saling berhubungan, melengkapi satu sama lain dari mulai kursi, patung, asbak, tempat bunga sampai dengan Hong Djien sendiri.

Ada dua galeri induk milik Hong Djien saat ini. Satu, ia menyebutnya galeri untuk karya-karya klasik sampa  dengan modern yang desainnya cukup unik dengan sebuah ikon kacamata raksasa di atas galeri tersebut. Kedua, adalah galeri untuk karya-karya kontemporer yang didominasi karya perupa-perupa muda. Meskipun pembagian galeri tersebut menurut Hong Djien pribadi tidak sekaku itu tetapi setidaknya saat kami memasuki 2 galeri tersebut memang ada suasana berbeda. Galeri pertama didominasi karya-karya perupa2 senior dari mulai Affandi, Soedarso dan sebagainya. Sedangkan galeri kedua selain lukisan terdapat banyak karya Instalasi termasuk instalasi-instalasi yang dibuat perupa saat ulang tahun Hong Djien. Di galeri ini kami menemukan patung replika Dr. Oeng Djien lengkap dengan suara gelak tawanya yang khas.

Melihat Sejarah

Lukisan-lukisan disekujur galeri ditata dengan apik dengan sistem sirkulasi udara dan pencahayaan yang bagus. Memasukinya adalah pengalaman luar biasa, mengamati tiap karya adalah sempalan-sempalan cerita tentang suatu waktu tertentu, suatu ruang tertentu. Setiap karya punya cerita sendiri-sendiri, seperti buku sejarah, seperti cerita pendek atau mungkin cerita yang membentang jadi novel. Ada karya yang memotret tentang peristiwa tertentu, isu tertentu. Ada juga lukisan tentang keindahan tubuh perempuan.

Dr. Hong Jien masih memandu kami dengan sabar, sambil bercerita dengan bahasa inggrisnya yang fasih.

Kepala saya langsung terasa pening, bukan oleh aroma minyak cat, kanvas dan ruap serbuk udara di galeri yang khas, tetapi karena teralu banyak hal baru yang harus saya serap tiba-tiba. Tak cukup rasanya menjejakkan kaki barang 30 menit.

‘Every picture tell the story’ kata rod steward

17 Feb 2010

Mr. Agus Tahu

 a tahu 6374 Temanku dari Polandia begitu membenci ‘tahu’, makanan khas Indonesia yang terbuat dari kedelai putih yang berasa kenyal dan diolah dalam berbagai aneka. Tahu memang fleksibel, dari sekedar direbus, digoreng dengan sedikit bumbu garam, dipotong kecil-kecil dan dimasukkan dalam aneka olahan. Aneka olahan itupun banyak variasinya, dari yang menaruh ‘tahu’ sebagai unsur pokok' sampai dengan tahu hanya sebagai unsur komplementer. Nah, tahu sebagai unsur pokok ada tahu tek, tahu isi, tahu kupat, tahu guling, tahu sumedang dan sebagainya. Sedangkan unsur komplementer lagi, dari mulai gado-gado, dicampur dalam soto, sup, tahu isi, dicampur dalam mpek-mpek, tahu isi, lontong tahu, sampai dengan dijadikan kerupuk Tahu. Maka karena fleksibelitas Tahu ini, temanku dari Polandia menjadi tersiksa, berhati-hati untuk meneliti lebih dulu tiap kali masuk ke warung makan.

“Tahu….. I hate Tahu’, katanya, sambil melihat pada warung ‘Tahu Tek’ asli Surabaya.

Temanku yang membenci tahu itu sebenarnya bukan orang yang rewel terhadap makanan. Sebagai orang rumpun eropa, ia sanggup makan apa saja, bahkan mungkin kalau aku bohongi bahwa ‘daun ketepeng’ bisa dimakan, iapun akan mencobanya. Tapi untuk tahu, ‘now way’, katanya. Si tahu harus rela disingingkarkan ke keluar dari mangkuk soto yang sudah terlanjur bercampur tahu.

‘Di pasar dekat tempatku ada sate tahu lho… enak sekali, yang jual mbok-mbok pasar’, Sekali aku menggodanya, menawarkan hal lain, hal fantastik tentang tahu. Tapi dia hanya berkenyit dan melanjutkan menyantap sotonya sampai kuah terakhir. Soto memang makanan favoritnya, tapi tentu saja minus potongan tahu.

****

Kunjungan kami ke Palangka beberapa waktu lalu setengah berkarya setengah jalan-jalan. Di Palangkaraya, tepatnya di sebelum daerah Tangkiling, sebelum Sampit, di areal transmigran yang penuh dengan kebun-kebun kelapa sawit, disanalah kami menemu ‘Agus Tahu’. Sebermula kami ingin mengorek keterangan tentang para Transmigran yang memilih menyerah hidup di daerah transmigran, lantas menjual lahanya dengan murah dan pulang lagi ke kampung halamannya yang kebanyakan dari Jawa.

Pak Agus Tahu juga membeli rumahnya yang kini telah disulap menjadi ‘home industri’ pembuatan Tahu dari seorang keluarga transmigran yang pulang kampung. Konon dibelinya rumah dan tanah itu dengan harga yang murah meriah. Sebuah rumah sederhana berpapan kayu seperti umumnya rumah-rumah transmigran lainnya dan areal perkebunan seluas 1 hektar. Toh Pak Agus Tahu hanya memerlukan rumah itu untuk tempat produksinya yang terhitung lumayan jauh dari pusat kota Palangkaraya, hampir 1 jam perjalanan. Tetapi kini semenjak 4 tahun membanting tahu (baca: membanting tulang), Pak Agus tahu sudah mempekerjakan 2 orang, memiliki 3 buah sumur buat menananak tahu dengan kapasitas banyak, memiliki mesin giling kedelai dan tungku penanak kedelai. Untuk distribusi tahu-tahunya Pak Agus Tahu kini tak perlu repot lagi karena para konsumennya yang akan berdatangan ke rumah produksinya dan dibantu sebuah mobil pick up miliknya yang siap mendistribusikan tahu ke seluruh pelosok tangkiling sampai Palangkaraya.

Pak Agus tahu berasal dari Purwokerto, tetapi sebelumnya ia tinggal bersama ayahnya yang merantau bertahun-tahun di Makasar dan membuka pabrik tahu di kota tersebut. Ayahnya sendiri Konon karena suatu hal, Pak Agus memilih pindah dari Makasar bersama Istri dan seorang anaknya merantau ke Palangkaraya ini. Adik pak Agus tahu juga merantau ke Surabaya, membuka pabrik Tahu juga. Sepertinya unik kalau mencatat risalah penyebaran keluarga dinasti  produsen tahu ini. Sayang, saya tidak bisa merunut lebih jauh lagi kisah pengalaman pak Agus tahu dan keluarganya.

****

Temanku dari Polandi itu manggut-manggut. Jepret sana jepret sini dari proses pembuatan tahu dalam ruangan agak sempit penuh dengan aroma ruap kedelai rebus yang memenuhi ruangan. Sambil kami ajak ngobrol, Pak Agus Tahu masih sibuk mengaduk adonan tahu, membuang air sisa limpasan tahu yang diendapkan, mengaduk adonan tahu dan bekerja dengan selang air. Ia bergerak dengan cekatan dengan setengah badan telanjang, celana kolor, tanpa sandal dan otot-otot tubuh basah karena uap air.

“Ini buat ghrook….ghrook…mister, gud..gud”kata Pak Agus Tahu, sambil menunjuk sisa limpasan air endapan tahu.

Maksud Pak agus tahu, air sisa endapan tahu itu biasanya diambil oleh orang-orang untuk minum ternak Babi. Temanku dari Polandia yang membenci Tahu itu makin manggut-manggut, tersenyum-senyum.

Tahu-tahu itu sebenarnya melalui proses yang sederhana dengan alat yang sederhana tidak seperti pembuatan tempe yang melalui proses ‘diinjak-injak’ dengan kaki. Adonan tahu juga dicetak dalam cetakan sederhana, dari kotak kayu dengan alas kain untuk menyaring sisa air. Keenam sumur pemasakan,

Tetapi temanku tetap tidak suka pada tahu. Apapun itu diolahnya meski dia sudah melihat proses pembuatan tahu yang cukup ‘menantang’. Walhasil kala pertemuan singkat dengan pak Agus Tahu, lantas ditawari menunggu sebentar sedang digorengkan tahu, maka tanpa basa-basi temanku yang tidak suka tahu itu mohon pamit.

“Saya sudah tahuuuu, munkin nanti mo coba tahu.. mungkin nanti…permisi”

18 Jan 2010

Jathilan Jalanan

ryanlj986ryanlj985okjatilan

Suara bonang, kempul dan kendang dipukul dengan komposisi yang berulang-ulang. Tidak menghasilkan intonasi yang mengalunkan sebuah lagu, tetapi hanya ‘beat-beat’ monoton yang memandu gerak para penari jatilan yang berpakaian warna-warni, beberapa memakai topeng, beberapa mecoreng moreng mukanya dengan dominasi warna merah semerah saga. Topeng adalah representasi wajah makhluk ganjil. Dengan rambut gimbal awut-awutan, gigi2 besar tak beraturan dan mata yang terbelalak marah. Seiring tempo instrumen yang monoton itu semakin cepat, semakin cepat pula gerakan para penari. kepala mereka bergeleng-geleng, bergoyang-goyang seperti kesurupan. Beberapa dari mereka yang mengenakan lelonceng pada kaki, menambah suara dengan bunyi gemerincing seiring hentakan kaki. Tak ada lagu, lirik, matra atau tembang dalam iringan musik, kecuali bunyi yang monoton itu.  Sesekali bunyi lecutan pecut memecah diudara, memekakkkan telinga dan membuat seketika kerumunan orang yang dalam lingkaran bergidik.

‘Ctarr… ctarrr’ Dan, para pemain jatilan semakin bergerak semakin binal, menggelepar-gelepar dengan kuda-kudaan dari ‘kepang’. Si kuda lantas seperti adegan berlari dengan kecepatan laksana terbang, melonjak-lonjak bagai rodeo, mendengus-dengus mengeluarkan asap dan debu dari dua lubang hidung dan mulut.

Lalu instrumen yang bukan pentatonis pula diatonis itupun terus ditabuh ;‘Pong-pong-pong, pong dil pong, pong dil pong, pong dil pong, blanggentak tung tung dil, pong pong dil pong….’ begitu terus bertalu-talu.

Seperti medan magnit, suara itu memanggil orang-orang yang datang dari berbagai penjuru mata angin, bergerak mendekat, berkerumun, membentuk lingkaran mengelilingi para pemain jatilan.

“Ada jathilan!”, dari kejauhan dalam radius suara itu mengumandang orang-orang di kampung, dijalan-jalan dan di sudut desa mendengarnya, membicarakannya.

 Episentrum adalah pohon angker

Dahulu orang memanggil Jatilan untuk acara selamatan. Bila ada penduduk kampung atau desa merasa diganggu oleh ‘makhluk halus’. Ada banyak pohon-pohon besar di sana yang umurnya melebihi bilangan usia manusia tertua di kampung itu. Tak pernah habis cerita orang-orang kampung tentang penampakan berbagai wewujud makhluk dari dunia lain tersebut. Orang-orang kampung disitu menyebut nyebut tentang ; genderuwo yang kemunculannya dibarengi bau ubi bakar, kuntilanak, tuyul yang kecepatan larinya melebihi kedipan mata, sampai dengan pocong yang muncul dari rerimpun pelepah pisang. Pendek kata kebon itu menjadi kerajaan bagi aneka rupa makhluk gaib tersebut.

Juga pada saat acara pembersihan. Pohon-pohon besar dibabat untuk digunakan sebagai lagan banguna. Ditanggaplah Jatilan yang konon untuk memanggil para penghuni  pohon-pohon angker tersebut. Meminta mereka pindah ke tempat lain, sebagai syarat, tentu ada sesajian; ayam cemani hitam, kembang setaman, teh dan kopi, kelapa muda.

Saat bonang dan kempul mulai bertalu, semakin keras semakin cepat, sang dukun mulai bersiap-siap. Asap dupa, kembang setaman, sesajian berupa ayam cemani hitam, kopi hitam, kelapa muda, jenang merah mutih dan aneka rupa sesajen lainya telah tersedia. Sang dukun duduk bersedeku, mulai berjaga-jaga pada pemain yang mulai ‘trance’, mulai kesurupan.

Seorang pawang yang berjaga-jaga apabila penari jatilan sudah sangat keterlaluan gerakannya tak terkendalikan, sang pawang akan turun tangan, merapal ucapan-ucapan yang tak jelas suaranya, memegang kepala si pemain yang kesurupan, menatap matanya lekat-lekat dan lantas terakhir menyemburkan isi mulut yang penuh air ke muka si pemain yang kesurupan. Kemudian, entah itu sungguh-sungguh atau hanyalah sebuah ‘akting’ (meskipun akting pun, anda tak akan percaya kalau itu akting), pemain yang kesurupan tersebut akan jatuh lunglai ke tanah, tak sadarkan diri beberapa menit lantas siuman dengan wajah yang kini berubah rona, menjadi normal seperti sedia kala. Konon si pemain jatilan yang telah trance alias kesurupan tadi, sudah tak ingat lagi jika sewaktu trance tadi ia sudah berlonjak-lonjak dengan tak karuan, mengupas dan memakan kelapa bulat-bulat, memakan ayam hidup-hidup, mengunyah beling alias pecahan kaca, memakan bara api dan tingkah  tak karuan lainnya.

Pada saat kesurupan itu, sang pawang atau dukun mulai berkomuniksi. Menitahkan para penghuni pohon-pohon besar untuk pindah ke tempat lain. Kalau perlu sang dukun akan menawarkan rumah baru.

The Show must go on

Hidup harus dilanjutkan. Diantara gedung-gedung dan bangunan yang tumbuh pada bekas sawah, centang perentang Baliho yang warna-warni dengan aroma vinyl  dan semakin lenyapnya pohon-pohon besar tempat dedemit bergentayangan, maka tak ada lagi orang menanggap jatilan. Barangkali dedemitpun sudah enggan untuk makan sesaji masih tradisionil karena sudah mencicipi hidangan ‘ala fastfood’.

Maka jatilanpun lantas tak kehilangan akal agar terus hidup dan menabuh bonang dan kempul. Kini mereka mempertontonkan jatilan di tengah perempatan. Seperti yang kini terjadi di perempatan kota Yogyakarta. Para penari jatilan menari saat lampu merah berhenti. Tak ada lagi kerumunan orang yang mengelilingi mereka, tetapi hanya sebuah kaleng yang disodorkan pada pengendara yang tengah berhenti di lampu merah.

Waktu mereka kira-kira 1 menit saja untuk tampil dan menyodorkan kaleng sebelum lampu hijau menyala dan berpindah lagi ke sisi perempatan lain yang tengah berhenti. Maka repertoar jalanan ini akan berputar mengikuti  mengkuti signal lampu. Tidak ada lagi mengunyah beling, sajian kembang setaman atau adegan ‘Trance’. Pada sudut ini, Jatilan telah jadi seni kontemporer. Seni kekinian yang harus merespon ruang dan waktu yang semakin centang perentang.

12 Des 2009

Kota yang terus mempersolek diri

6496_99501018401_585738401_2106866_7623820_n Ada beberapa hal tengah menggeliat dikotaku. Entah ini ada hubungannya tidak dengan mitos belanja akhir tahun atau tidak. Sebuah mitos bahwa akhir tahun instansi dan dinas-dinas pemerintahan disibukkan dengan menelisik ‘daftar belanja’ masing-masing. Kalau ada sisa duit dari ‘daftar belanja’ , maka di anggaran belanja tahun mendantang, anggaran terancam akan dipangkas. Tak mau kalah dengan gaya hidup sebagian orang-orang urban di kotaku yang akhir tahun ini sibuk belanja akhir tahun, mengejar daftar diskon dan cuci gudang yang dipajang di etalase-etalase. Bagi sebagian orang-orang urban itu, pemenuhan berbelanja sebagai homo ekonomikus lebih didasari sebagai ‘gaya hidup’ masyarakat modern dimana mode of consumsion lebih utama daripada mode of production. Namun semoga itu bukan moda yang sama bagi kotaku, membelajakan anggaran dengan proyek-proyek kejar tayang karena dalih aji mumpung. Tetapi baiklah kita khusnudzon ria alias berbaik sangka, bahwa akhir tahun ini kotaku ingin mempercantik diri.

Ada beberapa geliat proyek mempercantik kota yang kucatat...

Pertama, melintaslah di bagian utara kotaku malam hari, anda akan menemukan geliat para pekerja siluman di bawah komando sebuah dinas yang namanya cukup aneh ditelinga; Kimpraswil. Kimpraswil ini bagiku seperti nama sebuah jajajan tradisional yang bahan dasarnya adalah cassava alias ubi kayu. Tapi tidak! Kimpraswil dengan pasukan siluman tengah sibuk-sibuknya membuat gorong-gorong saluran air terpadu di ruas jalan Kaliurang. Saya sebut pasukan siluman karena jejak mereka tak akan nampak di siang hari kecuali bekas galian tanah yang mengunduk di kanan kiri jalan, plakat kayu bertuliskan ‘maaf perjalanan anda terganggu’, sebuah backhoe yang nangkring di pinggir protokol dan lubang-lubang menganga. Tapi pekerjaan ‘gali lubang tutup lubang’ ini dikerjakan dengan taktis dan sistematis. Semisal anda satu hari saja tidak melewati jalan itu, maka anda akan menemu jejak gali ‘lobang tutup lubang’ itu sudah berpindah tempat kira-kira 100 meter jauhnya dari tempat sebelumnya. Dan, pada tempat galian sebelumnya giliran pasukan siluman pengecor aspal yang meninggalkan jejak drum-drum aspal, truk pengangkut aspal dan stoom yang parkir di pinggir protokol. Yup, pekerjaan mereka membuat gorong-gorong saluran air terpadu konon bertujuan agar limbah rumah tangga dari comberan, buangan kakus, buangan air dan sebagainya bisa disalurkan ke dalam sebuah chamber raksasa di luar kota. Di chamber raksasa ini ada IPAL (instalasi pengolahan Air limbah) yang akan menyaring segala sesuatu dari urat-urat gorong-gorong di sekujur kota. Mungkin kini anda membayangkan perjalanan ‘si kapal selam kuning’ yang meluncur dari toilet sebuah hotel, warung, rumah atau sekolah, bergerak pelan tapi pasti melalui urat nadi gorong-gorong yang membelah bawah kota sebelum akhirnya perjalanannya terdampar di IPAL. Dan, di IPAL itu ribuan mungkin jutaan ikan lele sengaja dipelihara dengan ‘asupan gizi’ yang melimpah tumbuh menggelepar-gelepar gemuk. Si komplotan lele sebagian besar di distribusikan ke warung-warung pecel lele di pinggir-pinggir jalan kotaku. Maka terjadilah siklus daur ulang antara konsumen-pengurai-produsen-konsumen itu. Yummy. Tapi mari, sekali lagi itu hanya sekedar illustrasi, dan banyak tujuan positif dari pembangunan gorong-gorong terpadu itu. Yakni; kini tak perlu risau lagi pencemaran e-coli di sumur-sumur dan sungai-sungai. Tabiat jahiliyah membuang limbah cair ke sungai juga mulai terkurangi, setidaknya meskipun tiap warga harus merogoh kocek Rp. 500,- per bulan untuk langganan saluran pembuangan terpadu ini, tetapi mereka tidak lagi khawatir kena sakit perut.

Kedua, Dinas lain tak mau kalah dengan kimpraswil adalah DLLAJR, yang punya pasukan siluman pula; tukang cat aspal dan pemasang rambu-rambu lalu lintas. Tiba-tiba di suatu pagi yang biasa saat aku tengah mengayuh sepeda ke kantor, aku tersentak pada sudah adanya jalur kuning dengan ikon sepeda di kiri kanan jalan. Jelaslah jalur kuning ini sebagai jalur sepeda yang bisik-bisiknya akan diupayakan menyeluruh di seluruh kota lengkap dengan infrastruktur pendukung dari areal parkir sepeda, rambu-rambu, bahkan konon kompartemen tempat istirahat pesepeda. Selain jalur kuning seukuran 1 meteran itu, dibuat pula tempat tunggu pesepeda di perempatan-perempatan dengan tanda hijau mencolok dan cat kuning menonjol ikon sepeda, juga plakat-plakat ‘jalur alternatif sepeda’ pada ujung gang-gang kecil lengkap dengan informasi ke arah mana jalan alternatif itu menuju. Kali ini kotaku terinspirasi dari Bogota, sebuah kota dari negera berkembang di Afrika yang tumbuh pesat berkembang dengan dibuatnya rapid-mass-transportation berupa bussway, pengurangan jumlah kendaraan bermotor dan pembuatan jalur sepeda terpadu. Keberhasilan Bogota menjadi inspirasi bagi kota-kota di negera berkembang lain, seperti halnya kotaku. Dan, pada jalur kuning itu, kukayuh sepedaku dengan sem angat, semakin kencang semakin berpeluh, tapi ada yang masih terasa aneh, yakni baru kusadari sepanjang kiri kanan hampir tak kutemukan pesepada yang lain. Semoga seperti hal itu bukan untuk waktu lebih lama. Fiufhhh

Ketiga, adalah pohon-pohon peneduh jalan. Entah ini pekerjaan tim siluman di bawah kimpraswil atau DLLAJR atau dina-dinas yang lain, tetapi tiba-tiba saja muncul pohon-pohon seukuran dada di kiri kanan jalan. Tentu tak ada pohon di dunia ini dengan teknologi inplantasi paling mutahir pun, untuk membuat pohon tiba-tiba tumbuh dalam semalam. Selain pohon-pohon itu ada pada beberapa tempat tiba-tiba muncul kanopi-kanopi kecil dari rangka besi yang dibawahnya terdapat pipa panjang horisontal yang sepertinya dirancang untuk tempat nongkrong sambil berteduh. Pada bagian kaki-kaki kanopi mulai tumbuh menjuntai tanaman merambat seperti tanaman anggur. Saya tak tau pasti apa nama tanaman merambat itu, tetapi sepertinya untuk beberapa tahun mendatang kanopi itu akan dilingkupi tanaman merambat dan orang-orang akan semakin banyak yang nongkrong di kanopi itu untuk mampir ‘ngiyup’ . Lepas dari ini bagian daftar belanja akhir tahun siapa, tetapi aku cukup senang dengan kotaku yang dipersolek dengan pohon-pohon.

Keempat, kontras dengan prinsip hemat energi yang digembar-gemborkan PLN, kotaku dikosmetik dengan kelap-kelip lampu. Berbagai macam model lampu flip flop yang dipajang; ada yang dibuat dalam bentuk kipas, burung yang bisa bergerak-gerak seperti mematuk-matuk, melingkupi pepohonan sampai dengan sekedar lurus mengikuti jalan aspal. Baiklah, lepas dari ketidak sepakatanku pada ‘boros energi’, tetapi ini lebih baik daripada kota Bandung yang menurut temanku punya ‘dinas’ penerangan pelit dengan membiarkan kota gelap gulita dan taman-taman dibiarkan remang-remang. Ya, barangkali kotaku terinspirasi dari cerpen karya Umar Kayam ‘seribu kunang-kunang di manhattan’.

Kelima, Tugu adala ikon kota Jogja. Kalau tugu bisa ngomong tentu ada ribuan cerita yang bisa dituturkan. Seperti halnya saban malam, pada dinding tugu yang dingin itu orang-orang yang kebanyakan anak muda akan berfoto ria di depan tugu. Dengan berbagai macam pose; dari pose memeluk tugu, pose duduk-duduk, pose memunggungi, pose melompat dan centang perentang pose ekstrim lainnya. Saking banyanyak orang ingin berpose di depan tugu, lambat laun,di areal protokol di depan perempatan tugu, muncul para tukang parkir sampai dengan juru foto. Sebuah fenomena tak asing seperti lumut pasti tumbuh di tempat lembab di seantero kota apabila ada wisata alternatif semacam. Bangunan berbentuk tugu batu peninggalan kerajaan mataram itu telah mengalami beberapa kali pemugaran. Tugu juga tak luput dari peristiwa gempa besar yang konon membuat bagian ujungnya yang berupa bulatan, lantas menggelinding. Di tahun ini beberapa kali kuperhatikan tugu sudah mengalami setidaknya 3 kali pemugaran di bagian dasarnya. Pertama, pembuatan taman, kedua dipangkas habis menjadi badan aspal dan ketika dikembalikan lagi dengan pembuatan taman. Kini, terakhir persis akhir tahun ini, bagian bawah tugu dipugar lagi, kali ini saya tak mau menebak akan dijadikan apa. Ya, akhir tahun ini pula, tugu sebagai ikon kota jogja turut dipercantik. Nun, kalau tugu bisa ngomong barangkali ia akan mengeluh.

23 Okt 2009

Ziarah

100_4443 Aku adalah orang yang bebal perihal ‘nenek moyang’. Bukan karena aku tak mau mengingat apa kelakuan nenek moyang, bagaimanapun nenek moyang adalah turun menurun, beranak-pinak dan mengadakanlah aku. Kalaupun tak ada ‘nenek moyang’ tak ada pula buyutku, tak ada pula nenek kakekku yang menurunkan Ibuku, lantas aku. Letak kebebalanku adalah aku tak mau ‘menjenguk’ atau berziarah ke moyangku. Malas…, itu saja.

*****

Yang pertama kali adalah aku kehilangan Ibuku semasa SMP. Sebenarnya saat ia masih sakit, sudah ada perasaan bahwa Ibu tak mungkin bertahan lama. Kulihat wajah letihnya untuk terakhir kali seperti berkata ‘relakan aku pergi’ dan ia tersenyum ke arah kami; Aku si bungsu, Bapakku yang berambut kriwil dan 3 orang saudaraku.Kak ak perempuanku, adalah sulung yang selalu menjagaku agar aku tegar pada saat akan mendengar berita kematian Ibuku. Pun, saat melihat sendiri ambulance berwarna putih lengkap dengan bunyi ‘liu-liu’ pelan, cahaya lampunya yang berputar juga pelan, memasuki gang depan rumahku, air mataku tumpah sejadi-jadinya. Besok pagi adalah hari pertama ujian ebtanas SMP. Aku sudah tak ingat lagi, luluh lantak segala energi dan terpaku pada tembok di samping rumahku, menangis menderu-deru entah pada apa dan siapa.

“Kuatkan dirimu dik, kuatkan dirimu dik” Kata kakakku sambil mengelus rambut, tengku, sampai punggunggu. Lalu lambat laun seperti ada energi hangat yang menguatkanku. Aku harus melanjutkan hidupku. “Ibunda belum mati, tetapi ia hidup dalam hatimu,”kata peri kecil di lengan kanan.

*****

Sudah 3 tahun. Kuinjak tanah keras dengan rumput-rumput liar yang menyembul. Selalu ada aroma yang aneh saat memasuki tanah pekuburan, entah karena bunga-bunga samboja yang mengering ataupun karena aroma sisa dupa dan mungkin tubuh wadag yang kembali ke tanah. Aku tidak berasa takut walau sendiri, walau seperti ada ribuan pasang mata mengawasiku, pada cungkup-cungkup itu yang letaknya tak beraturan. Cungkup yang sudah menua terlihat telah dimakan oleh lumut-lumut yang mengerak, menghitam dan noktah-noktah putih. Tetapi, selalu ada sisa dupa dan kembang yang mengering.

Aku melangkah hati-hati “Assalamualaikum ya ahlal kubur”, kataku seperti nasehat seorang muslim. Kalaupun ada yang menjawab, pastilah aku lantas lari terbirit-birit. Tetapi desing angin di pelipis kiri seakan menyahut, menyambutku.

Letak cungkup ibuku, berada di ujung timur dan utara. Lepas tiga tahun, berarti sudah melewati 1000 hari dan cungkupnya telah dilapisi nisan dari porselin warna biru muda. Sungguh cantik. Persis di samping cungkup Ibuku adalah cungkup adik ibukku yang konon meninggal kecelakaan. Persis di bawah cungku ibuku konon juga disemayamkan almarhum kakakku. Sang kakak yang meninggal dunia setelah mereguk udara dunia hanya beberapa hari lamanya.

*****

Dalam kereta Ia dikejutkan oleh orang-orang dari Capetown yang berwajah afrika tetapi sedikit bercampur dengan ras Asia. Orang-orang dari Cape town itu memenuhi hampir 1 gerbong lengkap dengan pemandu tour yang menjelaskan kepada seluruh rombongan apa yang akan mereka kunjungi. Iapun mendapatkan informasi dari pemandu tour bahwa kunjangan rombongan dari Cape town seperti itu sudah biasa tiap tahun.

“Ini semacam paket ziarah yang dinanti-nantikan sekelumit warga Cape town yang muslim”

Maka iapun bercakap-cakap dengan salah satu rombongan yang menawarkanya makan siang roti asal capetown, juga menawarkannya sebungkus ‘buah salak’.

“Kami tak makan salak, rasanya aneh”

Dalam pembicaraan iapun mengorek keterangan yang membimbingya pada penulusuran data di Internet tentang sekelompok penduduk beragama islam di Cape town yang masih ada hubungannya dengan ‘Muhammad Yusuf”

“Ya, menelusur jejak Muhammad Zusuf”

Dari makasar, Surabaya, Banten……” Ini adalah penelusuran kembali nenek moyang kami, seorang pelaut yang alim dari negeri Indonesia, yang telah mengajarkan kepada kami agama Islam dan membawa kami ke sini.

Iapun membawa pulang cerita itu yang membuatnya gelisah dan kemudian menceritakannya padaku.

"****

“Antarkan aku ke Payaman” Kata nya. Bisa kulihat kesiriusan di matanya yang tertutupi kacamata. Sementara kami bertiga, aku dua orang kawan lain di ruangan 3 x 4 itu masih bersantai-santai di pagi hari di hari minggu sambil menunggu air dalam dispenser menggelegak panas lantas membikin kopi Robusta yang kubawa dari bingkisan seorang dari kota B. “Sudahlah, kita ngopi dulu”, kata seorang temanku, sambil membersihkan tiga buah gelas dan sebuah sendok kecil.

“Pokoknya aku kudu ziarah”Katanya, bersungguh-sungguh. Dan akhirnya iapun menjelaskan pada kami tentang belakangan hari dimana ia tergangu tidurnya dengan bermimpi dengan Ibu kos-nya.

“Apa hubungan dirimu dengan ibu kos mu?”, tanyaku, juga tanya kedua temanku yang lain. Sementara pada karpet beludru sudah tertuang dalam tiga gelas kecil kopi robusta yang membentuk gumpalan persis seperti ‘moccacino’ pada permukaanya.

“Ini bukan soal ibu-kos, atau siapaun dia, tetapi soal aku harus memenuhi ziarah ini. kalau belum hatiku belum tenang”

Maka aku dan kedua temanku tak menimpali lagi apa yang ia utarakan dengen berbagai macam argumentasi. Bahwa sebagai contoh, akupun yang bebal, jarang sekali ber ziarah ke makam ibuku kecuali setahun sekali atau pada saat ada pemakaman yang membuatku dengan mudah sekali jalan berziarah ke makam ibukku.

Iapun pula meng-ia-kan bahwa ayahnya sudah meninggal dan bahwa semenjak meninggalnya ayahnya, hanya setahun sekali ia berziarah ke makam ayahnya itu.

“Ayolah, aku tak tahu tempatnya dan kesendirian membuatku menderita”, Pada poin yang kedua itu aku lebih menangkap maksudnya.

Di petanya tak ada secarik kertas yang menujuk makam almarhum bekas ‘ibu kos’nya yang baru ia diami selama 2 tahun! Kecuali, hanya sebuah informasi bahwa ia adalah masih keturunan keluarga Joyodiningrat, dimakamkan di payaman!

Ini seperti petualangan terhadap dirinya, bagiku dan kedua temanku yang lain yang pada akhirnya berasa semangat solidaritas menemani teman yang sedang gelisah itu, melaju kencang dalam mobil hanya berbekala secarik ingatan; payaman, makam keluarga Djoyodiningrat!.

“Apa gerangan yang kau cari temanku?” kataku dalam hati saja sambil tmasih bingung membayangkan apakah kami akan sampai benar ke payaman hanya berbekal peta secuil kalimat itu?

Barangkali ziarah juga bukan hanya berarti menjenguk nenek moyang, mengetahui asal usul, tetapi seperti temanku bilang ziarah itu bisa jadi titik tolak untuk melangkah ke suatu jalan. Harus ada alih-alih untuk diajak mohon doa restu. Kalaupun bukan nenek moyang, mungkin orang-orang yang dianggap dekat dengan kita.

“Kalau kau yakin, pasti ada jalan.”

Akhirnya setelah terhitung 5 kali orang kami tanyakan, sampailah kami ke Payaman. Akhirnya pula, setelah mencari-cari pada 3 kompleks makam, membolak-bali satu luasan makam, bertanya pada anak-anak yang bermain-main sambil memunguti samboja kering untuk dijual ke pasar seharga 4000 per keranjang, dan bertanya pada juru kunci, temaku menemu makam itu.

14 Sep 2009

Tentang senja

Banyak orang yang ngomong senja, dari tukang cerita sampai sekedar pemuda yang lagi jatuh cinta. Cerpen Seno Gumira Ajidarma juga banyak ngomong tentang senja sampai dengan ada kumpulan cerpennya diberi title ‘sepotong senja buat pacarku’.

Tapi seperti juga bulan merah jambu yang tak ada habisnya dibicarakan orang, senja pun tak pernah habis dikupas orang-orang. Apalagi bagi dua sepasang manusia yang tak sengaja melewati sebuah jalan yang membelah pinggiran kotai di suatu hari di saat senja tengah berpendar di ufuk barat. Lalu lintas yang padat yang membumbungkan debu seakan-akan menjadi illustrasi yang lengkap menghiasi senja yang hampir tenggelam.

“Setiap saat senja tak pernah sama bentuknya” kata si gadis

Senja memang tak pernah sama bentuknya saban waktu. Itu pun baru diiyakan oleh si laki-laki kecil setelah ia mencoba mengingat-ingat kembali saat demi saat ketika ia berjumpa dengan senja. Senja di sebuah pantai, senja di sebuah desa dan senja di saat itu, ia tak ingat betul apakah memang selalu berbeda. Baginya senja selalu sama,bola raksasa warna merah ke kuning-kuningan dan gerombolan burung-burung di kejauhan yang terkadang muncul. Lalu apakah yang membedakan setiap penampakan senja? Ia kembali mengingat ingat setiap bentuk senja; senja di sebuah pantai, senja di sebuah pinggiran kota, senja di ujung sawah, senja di ujung desa dan senja-senja lain yang seperti di kutip para tukang cerita sampai pujangga-pujangga.

“Hmmm, ya mungkin penampakan warnanya yang tak pernah sama” Apakah sedetil itu kauperhatikan senja? Iapun mencoba menerka-nerka apa yang membedakannya. Iapun juga mulai membayangkan kalau saja ia mengumpulkan foto-foto dan gambar setiap bentuk senja, mungkin akan ia temukan perbedaan di tiap senja itu. Toh, semisal rupa dua orang anak manusia yang dikatakan kembar pun tak pernah ada yang sama persis.

“Coba kau rasakan lebih dalam” kata gadis itu

Ya, tiap senja punya kenangan yang berbeda-beda. Iapun mecoba mengingat kembali slide demi slide ‘kenangan tentang senja’ di kepalanya. Kini gambar itu demikian hidup. Setiap slide ‘kenangan tentang senja’ punya nuansa warna yang berbeda-beda. Ia juga ingat tentang seorang gadis penyuka senja. Suatu ketika ia ingin sekali menanyakan kepada gadis yang menyukai senja itu; ‘Apakah kau masih masih menyimpan sepotong bagian senja yang sama dengan sepotong bagian senja yang kita simpan di kantong kita masing-masing?

10 Sep 2009

tut-tut tut.. kereta api-ku mau lewat

Ada banyak cara untuk bepergian jauh. Salah satunya kalau anda berpergian ke seputaran pulau Jawa, cobalah naik kereta api kelas ekonomi. Selain tiket kereta api ekonomi tiketnya dijual dengan harga murah, cukup merogoh kocek 3 lembaran uang 10 ribuan, itupun anda akan dapat uang kembalian, anda juga akan disuguhi pengalaman menantang. Tantangannya pertama adalah uji kesabaran, kedua ketabahan, ketiga ketahanan fisik, keempat dan seterusnya anda akan disuguhi pemandangan unik manusia sebagai homo economicus.

----

‘Tiket habis’ Begitu sebuah tulisan tertera pada deretan loket di stasiun. Sementara orang-orang banyak yang masih ngantri di depan loket. Calo sibuk menjulur-julurkan tiket yang naik dari harga bandrol. Lantas aku tak ada pilihan, ikut antrian dan mendapatkan tiket dengan tulisan ‘tanpa tempat duduk’ setelah menghadap sebentar dengan gadis penjaga loket yang tak banyak bicara. Ia hanya menyobek bundelan karcis, menerima lembaran uang dan kembalian dengan datar tanpa seulas senyumpun.

Sabar mas, nanti sampai purwakarta banyak penumpang turun kok’ Kata seorang bapak berkupiah dengan logat jawa timur’an. Dia mungkin ‘iba’ melihatku kebingungan melihat tiket ‘tanpa tempat duduk’ itu dan masing berdiri bengong dengan membawa dua buntalan besar, wajah berkeringat, lusuh dan sendirian.

Kalau mau, mas bisa ngikut saya, nembak di gerbong restorasi, lantas dapat tempat duduk’ Sungguh tawaran yang empuk, tetapi siapakah bapak berkupiah ini? aku tak melihat wajah nya sebagai tampang yang mencurigakan, tetapi terbersit pula rasa was-was kalau-kalau… ‘ akhinya aku pilih menampiknya dengan sopan’

Ndak pak, ntar mau duduk di dekat pintu aja sekalian melihat pemandangan’ Padahal kalau melihat apa yang bakal terjadi nantinya, mungkin aku bakal menerima ide bapak berkupiah itu.

------

Memasuki gerbong loko ekonomi, tak cukup beruntung aku kali ini, tak mendapat tempat duduk. Loko sudah berejejal penuh. Tiap orang membawa buntalan bawaan masing-masing. Ada yang membawa dua jinjing tas, kardus-kardus sampai ada yang membawa kompor gas. Di loko ekonomi tak ada larangan bagi siapapun tentang batasan jumlah barang jinjingan. Asalkan anda bisa membawanya, terserah saja. Maka akupun duduk berdesakan dengan orang-orang yang membawa jinjingan masing-masing.

Kereta belum jua berangkat, masih 10 menit, sementara untuk sementara ini, siasatku, aku berdiri di pintu masuk, persis berdekatan dengan pintu antara gerbong dan toilet. Sementara di kamar kecil itupun, terhitung ada 3 orang berjubal di dalam. Ada yang duduk di kloset, ada yang nangkring dekat jendela sempit sambil merokok. Di lorong gerbong, aku hampir tak bisa melihat kaki, kecuali kepala-kepala orang yang berjubalan, mirip kepala-kepala ikan dalam kaleng sarden yang megap-megap. Satu demi satu, pelan tapi pasti jumlah orang yang merengsek ingin masuk bertambah banyak. Kereta belum jua melaju, orang-orang yang ngantri di luar gerbong masih beberapa lusin, lengkap dengan barang jinjingan.

7 menit, kepala lokomotif mulai bunyi. Petugas membunyikan peringatan melalui corong peringatan; ”Perhatian-perhatian, kereta api jurusan surabaya akan segera diberangkatkan, penumpang harap bersiap-siap”, kurang lebih begitu, suara petugas perempuan yang syahdu yang lantas hilang ditelan terikan penumpang yang panik, belum masuk. Di loko itu, akupun semakin ringsek, bersama centang-perentang barang jinngan, orang-orang dengan keringat tumpah ruah, wajah yang asing, penjaja-penjaja makanan, penjaja mainan, pengemen dengan kotak amplifier aki sampai dengan penjaja pecel yang menumpuk makanannya di kepala. Aku dekap tak ranselku keras keras, bukan karena isinya adalah barang berharga, tetapi karena seorang penjaja minuman instant yang menerobos memaksa lewat. Dengan perasaan deg-degan tentang ‘bagaimana penjaja minuman instan itu bisa melewati pinnggangku yang kini telah menempel betul dengan rongga pintu, sesempit mungkin.

“Permisi mas, mijon-mijon, akua dingin, mijon2….. cel-pecel, yang makan, yang makan……”

“Tiiiiiiiiitttt” bunyi peluit panjang petugas jaga stasiun yang berseragam biru hampir saja tak kudengar. Loko bergerak pelan, pelan sekali, antara roda besi dan jelujur besi. “ jejeg….jejeg…jejeg…” lantas meluncur dengan pasti seperti meluncur bersama angin. Terkadang, aku bisa tau pasti kereta melewati jembatan ketika kudengar perubahan suara angin yang berdesing dari jendela….”jressssssssss…….”

Bahkan untuk melongok melihat jendela pun cukup sulit. Aku bedempet bagai tiang, kadangkala untuk menghilangkan penat, kusiasati bergantian tangan. Terkadang bergelantung dengan tangan kanan, terkadang dengan tangan kiri, terkadang mencoba mendesak sedikit pantat orang di sebelah kanan kiriku, sudah tak peduli lagi berapa kali kentut kubunyikan, toh bau kentutku akan dikalahkan dengan bau toilet gerbong yang mengering. Akupun tak habis pikir, dengan tiga orang, oww salah, kini empat orang, yang meringsek di dalam kotak toilet. Seorang darimereka kulihat kini asik mengunyah bungkusan nasi ayam sambil berdiri. “Hmmm yammmy…..”

Kereta terus melaju. Sudah hampir 3 jam, konon menurut bisikan orang-orang disebelahkan yang dengan cuek, jongkok persis di lipatan pintu; bahwa sampai di purwokerto banyak orang yang bakal turun. Yah, maklum musim akhir pekan para penaik gerbong ekonomi yang notabene kebanyakan pemudik asal tegal dan purwokerto ini berkesempatan pulang setelah sekian hari mengadu nasib di ibukota Jakarta jadi tukang batu, pengayuh ojek, buruh pabrik, sampai dengan (tentu saja) penjual nasi tegal. Dan tentu saja para pemudik musiman ini sambil pulang ke kampung halaman (ke Jawa, kata orang), membawa berbagai macam oleh-oleh buat anak bini, kerabat, orangtua, nenek kakek sampai moyang di rumah.

Kereta sudah sampai di garut, meskipun bukan karena semakin bertambahnya penjaja dodol garut yang masuk, toh sayapun heran dengan adanya penjual ‘wingko babat’ yang dibungkusnya bergambar segala macam moda transportasi canggih dari lokomotif kapal laut sampai pesawat jet yang tulisan mereknya tertera ‘aseli semarang’. Penjual wingko babat di Garut? Loko semakin ringsek, kali ini datang duo pegamen gerbong yang membuat heboh lorong gerbong. Keduanya wanita dengan kostum bahenol, bibir merah, maskara yang berkedip-kedip, celana pendek ketat, stocking lubang-lubang baju rumbai-rumbai ala Maia dan suara yang dibuat serak-serak. Turut dibawa oleh salah seorang dari mereka sebuah kotak amplifier bertenaga baterai Accu.

"Asyiiikkk,….goyang mas” Tak ingat jelas apa lagu yang dikumandangkan mereka, tapi diriku yang berdiri menghimpit bagi tugu di lorong itu cukup terganggu dengan goyangan dan gesekan pantat mereka.

“Ya tuhan, Ampuni hambamu ini” batinku, tak ayal aku harus merogoh sekeping limaratusan yang terselempit di dalam kantong saku.

“Ayooo yooh, goyang kimpul….”, Bukan karena suara perempuan itu yang tidak bagus, tetapi karena bunyi kotak amplifier bertenaga Accu yang kerasnya minta ampun dengan volume melebihi kerasnya TOA masjid itu, benar benar membuat suasana dalam gerbong sungguh meriah. Sontak para laki-laki di dalam gerbong itu banyak yang menggoda-goda dengan terikan-terikan ‘aduahai’ dan terkadang ada yang sengaja mencolek secara sembunyi-sembunyi ke grup duo pengamen gerbong itu.

Hmmm, ada sedikit harapan kalau sudah sampai Purwokerto, aku dapat tempat duduk, atau paling tidak bisa berjongkok meluruskan kaki menghirup udara segar dan menikmati pemandangan dalam perjalanan kereta. Tapi harapan ‘konon’ itu ternyata pupus juga sampai purwokerto. Bahkan loko ekonomi nan panjang dan berjubal itu saban kali berhenti di stasiun-stasiun kecil, selalu menambah jumlah penumpang. Gampang pula dihitung dengan kasat mata, separoh lebih penumpang adalah penjaja.

----

Kereta terus bergerak, melewati pinggiran kota, diantara deretan gubug-gubuk liar, terus menuju ke pelosok desa yang dipenuhi dengan landskap pematangsawah, punggung pegunungan dan langit yang mulai menggelap. Terkadang kereta melaju melewati terowongan dan jembatan, seperti kuketahui dari perubahan suara desing angin ….. jresssss! Aku masih bertahan untuk berdiri, sudah mati rasa lagi, apakah letih, apakah kesemutan, apakah gerah, apakah sesak, pening atau apapun, lambat laun aku sudah menyatu menjadi lipatan pintu lorong kereta itu. Setidaknya aku telah tiba dengan selamat di kotaku meskipun seluruh urat punggungku terasa kaku-kaku sampai 3 hari lamanya.

Dan, kereta apiku tak bunyi tut..tut..tut lagi, tetapi berbunyi ..mijon…mijon… akua dingin mijon….Jrejeg…jrejeg…jressss…”

16 Okt 2007

Naik vespa keliling kota sekeluarga



Scooter alias vespa, selain bentuknya yang klasik, nyaris tak pernah berubah dari semenjak edisi perdana pertama sampai keluarannya terkini. Motor asal Italy ini menggunakan mesin tempel di bagian kanan belakang, sehingga bagi pengguna skooter punya kiat-kiat khusus memberlakukannya, misalnya; Memiringkan ke kanan apabila mogok, membawa ban serep untuk jaga-jaga dari ban bocor (Vespa paling dibenci tukang tambal ban karena tingkat kesulitan menambalnya)dan tips-tips lainnya. India yang mempunyai Bollywood untuk meniru langkah Hollywood, sampai-sampai memproduksi 'Bajaj', sejenis motor dengan desain mirip Vespa. Sayang, kedasyatan mesin Bajaj ini telah dikebiri satu-satu, dirombak total kelongsongannya menjadi Bajaj-Bajaj yang sekarang jadi trand mark kendaraan aseli Jakarta. Maka nasib sang Bajaj aseli tak dapat diketemukan lagi dan orang lebih mengenal bajaj sebagai Bajaj yang sekarang.

Sewaktu kecil Bapakku memutuskan untuk membeli vespa dengan alasan kendaraan ini potensial sebagai kendaraan keluarga. Bisa memuat segenap anggota keluarga yang 6 gelintir manusia; Bapak, ibu, dan empat orang kakak-beradik, termasuk aku.
Bapak pegang kendali setir, dengan diapit Ibu yang menggendong aku, kakak perempuan cukup duduk mepet ditengah-tengah, berbagi jok dengan ibu. Sedangkan space longgar antara kemudi dan jok tempat duduk bapaku telah diisi berjejal dua orang kakakku. Bisa terbayangkan bagaimana tingkat kesulitan Bapakku, mengontrol kemudi sambil berteriak-teriak agar kedua kakaku berhenti bertingkah dan bertengkar.
Sementera aku sebagai si bungsu dengan nyaman menikmati gendongan Ibunda (Sebagai bungsu, aku digendong Ibunda sampai hampir berumur 7th!). Ibunda punya tugas tambahan sebagai co-pilot, melambai-lambaikan tangan saat belok, memberi instruksi berhenti pada lampu lalu lintas dan ikut mengerem mendadak dengan kedua kaki saat berhenti. Pada bagasi telah penuh berisi centang perentang, alat ganti popok, bekal-bekal makanan dan tremos minuman. Walhasil sang vespa berjalan terseok-seok mirip karapan Gipsy, penuh rumbai-rumbai, teriak-teriak penumpang dan aneka buntalan-buntalan bawaan. Potret seperti ini masih terekam dalam benakku, terutama saat mudik lebaran ke kampung halaman dan acara tamasya keluarga.

Si Vespa Keluarga hanya bertahan kira-kira sampai aku kelas 6 SD, dengan lambat laun selain mesin sudah uzur dengan asap knalpot yang sudah mirip kakek-kakek perokok klobot, juga karena daya muat vespa stagnat berbanding kali lipat pertumbuhan badan para penumpang. Satu demi satu, dimulai dari kakak terbesar ke paling kecil sudah tidak bisa menaiki vespa bersama-sama, sampai pada akhir riwayat tugas, aku kini menempati posisi istimewa, duduk di rongga vespa depan Sang Bapak yang galak. Posisi ini selalu kunikmati, sambil berimajinasi, membayangkan mengemudikan sebuah pesawat antariksa, mirip serial kartun flash gordon, serial kartun silver hawk atau tantangan gobot.... (Dulu film-film fantasi kartun hanya ada di TVRI saban sore)

Si Vespa Keluarga, hilang ditipu orang
Akhir riwayat vespa keluarga memang tragis. Suatu ketika Bapak berniat menjualnya. Yah maklum, kini kami sudah punya kendaraan lain yang baru trend, canggih dan lebih trendy, bernama "astrea grand" yang beli dari kredit (Masih ingat aku, Sistem Kredit baru muncul awal pertama kali). Kami masing-masing sempat foto bergiliran di depan motor baru ini, di samping si Vespa yang mengonggrok, menunggu pemilik baru.
Seseorang misterus, dengan muka necis, yang ngakunya ingin tertarik membeli vespa itu datang berlagak menawar. Ternyata ia seorang 'penipu'. Tidak ingat aku detil peristiwanya tapi intinya vespa itu telah raib ditangan penipu. Saya hanya ingat untuk beberapa hari setelahnya, lamanya orangtuaku sudah sibuk menguber-uber informasi, dari satu orang pintar ke orang pintar lain, sebelum akhirnya vespa kami diketemukan. Kondisi vespa waktu diketemukan memang masih utuh, meski memicu banyak masalah dengan aparat, karena 'cara' pencarian orangtuaku yang menempuh jalur dan alibi yang "irrasionil". Akhirnya sang vespa keluarga telah resmi berpindah ke tangan orang.....

Masa SMU yang indah dan sebuah Lambreta
Sampai penghujung kelas dua, berbeda dengan teman -teman sesekolah lain, aku cukup menikmati berangkat sekolah dengan bus kota atau dengan pit onthel. Bahkan kadang kadangkala memilih jalan kaki sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan Kotagede-Yogyakarta, yang aspalnya selalu dipenuhi ruap tahi kuda (Jalan aspal kotagede memang menjadi salah satu jalur tetap kereta andong).
Kelas 3 SMU aku mendapatkan kendaraan bermotor pertamaku, sebuah Lambreta. Motor Lambreta, termasuk motor tua, yang sepengetahuanku merupakan generasi pertama sebelum vespa. Pada prinsipnya bentuknya sama, sudah seperti vespa umumnya hanya masih kaku dengan shape body lebih mirip box biskuit, kotak-kotak. Bentuk jok masih menyatu lurus datar, belum dibelah menjadi dua jok antara pengemudi dan penumpang. Lambreta ini kubeli dengan harga 125 ribu saja, hasil dari sedikit kerja rodi dan menodong bapakku. Surat-suratnya masih komplit meski angka plat nomer telah telat.
Suatu ketika, pas malam minggu teman-teman SMU itu mengajak konvoi keliling kota, sambil memboncengkan cewek-cewek. Aku dengan Lambreta-ku sebagai motor vintage yang hanya bisa melaju sampai batas 40km perjam itu, harus puas tertinggal jauh, dan mesti berteriak-teriak kencang agar menunggu kami. Tak terasa konvoi sudah menembus jauh sampai batas luar kota dan berencana meneruskan ke rute Jalan kaliurang yang rutenya merangkak naik. Si Lambreta mendadak mogok dan mengeluarkan banyak asap, sampai akhirnya Si Lambreta harus ditarik pulang dengan tali. Nasib si Lambreta selepas itu tak kunjung membaik. Si Lambreta tak pernah selesai diperbaiiki dan berakhir menjadi pajangan di teras rumah, dimodifikasi jadi duduk, ditorehi aneka rupa cat dan sebuah grafiti;"Angkutan barang pindah kos, trayek brosot jogja".

27 Agu 2007

Mbah Kakung



Tulisan ini berkorelasi dengan tulisan lain di :
http://alexcandra.blogspot.com/2006/10/mbah-kakung.html

Aku memanggilnya mbah Kung atau singkatan dari mbah Kakung. Aku memang tidak tahu nama mbah Kung sebenarnya sampai dengan aku melihat nama yang tertera di tonggak nisan kuburan Mbah Kung. Atmo Sumarto namanya dan Ia telah meninggal dunia setahun yang lalu pas 5 hari setelah Idul Fitri, meninggalkan Mbah putri yang telah mendampinginya dari usia 17 tahun dan anak-anak, cucu sampai cicit.
Mbah kung bekas tentara KNIL. Ia pernah dikirim oleh misi serangan fajar Jogja kembali ,Gayang Malaysia sampai dengan Perebutan Irian Barat. Pas waktu konflik dakan angkatan darat meletus, Kakekku berserta kesatuannya pecah cerai berai. Mbah Kung menghilang,bersembunyi karena gayang komunis.
Mbah kung pengagum sukarno, di rumahnya ia pajang foto sukarno. Katanya; sukarno itu kharismatik. belum selesai......