10 Nov 2009

Permainan Gundu

Kira-kira persis di bangunan Warnet itu, warnet Hero namanya, dua puluh tahun lampau adalah hamparan kebun dengan rerimbun pohon pisang, sebuah pohon mangga, pohon sukun tua dan sebuah pohon jambu persis di tengah-tengah. Pembatas halaman hanyalah beberapa deret tanaman teh-tehan yang daun-daunya mirip daun seledri (sampai saat inipun aku tak tahu apa nama dan guna tanaman itu selain sebagai pagar hidup yang bisa dipotong bentuknya sesuai keinginan). Dan, pada pohon jambu itu, bentuknya berliuk-liuk ke dengan cabang-cabang tebal seperti otot-otot raksasa, menengadah ke langit. Pada pokok-pokok cabang itu, biasa bertengger kami anak-anak kampung, bergelantungan, memetiki buah jambu yang baru pentil-pentil, bersenda gurau dan merencanakan ‘apa permainan hari itu’. Pun, sepertinya buah jambu di halaman itu tak pernah berhenti berbuah saban musim.

Piye nak Main damparan?” (Bagaimana kalau main Damparan? - adalah lomba adu batu yang dilempar dari jarak terentu)

“Piye nak nekeran wae!” (Bagaimana kalau main Gundu saja! -Nekeran alias gundu adalah permainan yang bakal tak bahas kali ini)

-----

Gundu atau kelereng adalah permainan yang menurutku ‘kejam’. Aturannya dalam sebidang tanah di halaman rumah kawanku yang memiliki dua saudara, kakak beradik, satu hitam berperawakan gempal dan yang satu berperawakan kurus, adalah membuat gambar kotak persegi di atas tanah tersebut. Kira-kira ukuran kotaknya 1/2 x 1 meter persegi. Lantas pada tengah-tengah kotak persegi tersebut, dibuat cekungan kira-kira seukuran bola kasti (bola yang biasa untuk main tenes) dengan cara dikeruk. Atau dengan cara yang aneh; seseorang dari kami berdiri dengan satu kaki dengan ujung dari satu kaki tersebut persis tengah-tengah kotak persegi. Lantas, ia akan berputar dan berputar terus sampai ujung telapak kaki itu telah membentuk ceruk berbentuk bulat penuh di tanah. Maka jadilah arena permainan gundu tersebut. Terakhir, kira-kira berjarak sepuluh langkah kaki dari kotak itu, dibuat garis tempat para pemain gundu atau kelereng memulai melemparkan gundu, tanda permainan bisa dimulai.

Aturan selanjutnya, mana gundu yang paling mendekati ceruk di pusat gambar kotak persegi itu, dialah pemain gundu yang akan memulai ‘tembakan’ pertama. Tembakan gundu diarahkan kepada gundu yang lain sebagai pesaing. Tetapi pemain gundu harus menembak dari luar bidang kotak persegi, artinya demikianlah fungsi kotak persegi sebagai garis pembatas tembakan pemain. Tugas utama pemain adalah mencoba memasukkan gundu mereka sendiri (gacuk) ke dalam ceruk di pusat kotak persegi. Siapa yang berhasil masuk ceruk, maka ia berhak meninggalkan permainan dan menunggu untuk memberikan hukuman bagi siapa saja pemain terakhir yang tak bisa memasukkan gundu ke delam ceruk sebagai pusat permainan. Masing-masing pemain mendapatkan satu kali kesempatan tembakan bergiliran. Dan disnini para pemaian bisa berstrategi dengan menembak gundu lawan guna menjauhkannya dari pusat ceruk. Pemain yang terakhir masuk ke ceruk, dialah yang kalah dan mendapatkan hukuman.

Sesi hukuman adalah sesi paling kejam dari permainan ini. Si terhukum harus meletakkan kedua telapak kanan di atas ceruk dengan punggung telapak tangan mengadap ke atas. Lantas para pemenang akan melemparkan sejumlah gundu seseuai urutan pemenang dari atas si pesakitan (pemain yang kalah). Cara melemparkannya si penghukum akan berdiri persis di atas pesakitan yang jongkok dengan punggung telapak tangan menghadap ke atas dan melemparkan gundu kira-kira persis dari kepala si penghukum. Berurutan pemenang dari yang pertama sampai terakhir jarak dibuat lebih turun sedikit; tembakan dari kepala, dari dada, lantas dari pusar. Beruntung apabila meleset, gundu hanya mengenai tanah atau langsung masuk ke ceruk sebagi pusat permainan, tetapi apabila gundu mengenai persis tulang belulang pungggung telapak tangan, sakitnya alang kepalang. Gundu yang terbuat dari kaca pejal itu bertemu dengan tulang yang keras, sampai berbunyi ‘Thook’

----

Dua puluh tahun yang lalu, halaman yang kini jadi Warnet, itu adalah halaman tempat kami, kira-kira 10an orang anak kampung biasa bertengger di pohon jambu dan merencanakan sesuatu; ‘Apa permainan kali ini”

“Moh ah nak main kelereng lagi”, Kataku sambil memperlihatkan kedua punggung telapak kananku yang masih memar-memar.

Aku sendiri masih heran, mengapa aku selalu kalah dalam setiap kali bermain gundu? Tetapi saban kali permainan itu diadakan aku tetap ingin ikut saja, sambil sesekali berharap bisa membalas kekalahan.

“Ini bukan soal kalah dan menang kawan, ini soal bersenang-senang”

Bah, pikirku, tapi tetap saja kalau tiap kali kalah dan tembakan hukuman tak pernah meleset, tangan akan merah-merah. melebam sampai berhari-hari. Sungguh, kejamnya permainan ini. Dan kulihat wajah temanku yang sering menang seperti tersenyum puas sebagai si eksekutor paling handal.

Oiya, Kalau anda bingung aturan permainan ini, ah baiknya lupakan saja. Jangan dipelajari dan jangan dibudidayakan lagi permainan ini, karena pada intinya di akhir pemainan ini adalah episode eksekusi pemain yang kalah dengan bunyi ‘thok’ tadi yang berarti tangan yang memar sampai berhari-hari. Lupakan dan biarlah ini jadi trauma masa silamku. Huh

bravoo

23 Okt 2009

Ziarah

100_4443 Aku adalah orang yang bebal perihal ‘nenek moyang’. Bukan karena aku tak mau mengingat apa kelakuan nenek moyang, bagaimanapun nenek moyang adalah turun menurun, beranak-pinak dan mengadakanlah aku. Kalaupun tak ada ‘nenek moyang’ tak ada pula buyutku, tak ada pula nenek kakekku yang menurunkan Ibuku, lantas aku. Letak kebebalanku adalah aku tak mau ‘menjenguk’ atau berziarah ke moyangku. Malas…, itu saja.

*****

Yang pertama kali adalah aku kehilangan Ibuku semasa SMP. Sebenarnya saat ia masih sakit, sudah ada perasaan bahwa Ibu tak mungkin bertahan lama. Kulihat wajah letihnya untuk terakhir kali seperti berkata ‘relakan aku pergi’ dan ia tersenyum ke arah kami; Aku si bungsu, Bapakku yang berambut kriwil dan 3 orang saudaraku.Kak ak perempuanku, adalah sulung yang selalu menjagaku agar aku tegar pada saat akan mendengar berita kematian Ibuku. Pun, saat melihat sendiri ambulance berwarna putih lengkap dengan bunyi ‘liu-liu’ pelan, cahaya lampunya yang berputar juga pelan, memasuki gang depan rumahku, air mataku tumpah sejadi-jadinya. Besok pagi adalah hari pertama ujian ebtanas SMP. Aku sudah tak ingat lagi, luluh lantak segala energi dan terpaku pada tembok di samping rumahku, menangis menderu-deru entah pada apa dan siapa.

“Kuatkan dirimu dik, kuatkan dirimu dik” Kata kakakku sambil mengelus rambut, tengku, sampai punggunggu. Lalu lambat laun seperti ada energi hangat yang menguatkanku. Aku harus melanjutkan hidupku. “Ibunda belum mati, tetapi ia hidup dalam hatimu,”kata peri kecil di lengan kanan.

*****

Sudah 3 tahun. Kuinjak tanah keras dengan rumput-rumput liar yang menyembul. Selalu ada aroma yang aneh saat memasuki tanah pekuburan, entah karena bunga-bunga samboja yang mengering ataupun karena aroma sisa dupa dan mungkin tubuh wadag yang kembali ke tanah. Aku tidak berasa takut walau sendiri, walau seperti ada ribuan pasang mata mengawasiku, pada cungkup-cungkup itu yang letaknya tak beraturan. Cungkup yang sudah menua terlihat telah dimakan oleh lumut-lumut yang mengerak, menghitam dan noktah-noktah putih. Tetapi, selalu ada sisa dupa dan kembang yang mengering.

Aku melangkah hati-hati “Assalamualaikum ya ahlal kubur”, kataku seperti nasehat seorang muslim. Kalaupun ada yang menjawab, pastilah aku lantas lari terbirit-birit. Tetapi desing angin di pelipis kiri seakan menyahut, menyambutku.

Letak cungkup ibuku, berada di ujung timur dan utara. Lepas tiga tahun, berarti sudah melewati 1000 hari dan cungkupnya telah dilapisi nisan dari porselin warna biru muda. Sungguh cantik. Persis di samping cungkup Ibuku adalah cungkup adik ibukku yang konon meninggal kecelakaan. Persis di bawah cungku ibuku konon juga disemayamkan almarhum kakakku. Sang kakak yang meninggal dunia setelah mereguk udara dunia hanya beberapa hari lamanya.

*****

Dalam kereta Ia dikejutkan oleh orang-orang dari Capetown yang berwajah afrika tetapi sedikit bercampur dengan ras Asia. Orang-orang dari Cape town itu memenuhi hampir 1 gerbong lengkap dengan pemandu tour yang menjelaskan kepada seluruh rombongan apa yang akan mereka kunjungi. Iapun mendapatkan informasi dari pemandu tour bahwa kunjangan rombongan dari Cape town seperti itu sudah biasa tiap tahun.

“Ini semacam paket ziarah yang dinanti-nantikan sekelumit warga Cape town yang muslim”

Maka iapun bercakap-cakap dengan salah satu rombongan yang menawarkanya makan siang roti asal capetown, juga menawarkannya sebungkus ‘buah salak’.

“Kami tak makan salak, rasanya aneh”

Dalam pembicaraan iapun mengorek keterangan yang membimbingya pada penulusuran data di Internet tentang sekelompok penduduk beragama islam di Cape town yang masih ada hubungannya dengan ‘Muhammad Yusuf”

“Ya, menelusur jejak Muhammad Zusuf”

Dari makasar, Surabaya, Banten……” Ini adalah penelusuran kembali nenek moyang kami, seorang pelaut yang alim dari negeri Indonesia, yang telah mengajarkan kepada kami agama Islam dan membawa kami ke sini.

Iapun membawa pulang cerita itu yang membuatnya gelisah dan kemudian menceritakannya padaku.

"****

“Antarkan aku ke Payaman” Kata nya. Bisa kulihat kesiriusan di matanya yang tertutupi kacamata. Sementara kami bertiga, aku dua orang kawan lain di ruangan 3 x 4 itu masih bersantai-santai di pagi hari di hari minggu sambil menunggu air dalam dispenser menggelegak panas lantas membikin kopi Robusta yang kubawa dari bingkisan seorang dari kota B. “Sudahlah, kita ngopi dulu”, kata seorang temanku, sambil membersihkan tiga buah gelas dan sebuah sendok kecil.

“Pokoknya aku kudu ziarah”Katanya, bersungguh-sungguh. Dan akhirnya iapun menjelaskan pada kami tentang belakangan hari dimana ia tergangu tidurnya dengan bermimpi dengan Ibu kos-nya.

“Apa hubungan dirimu dengan ibu kos mu?”, tanyaku, juga tanya kedua temanku yang lain. Sementara pada karpet beludru sudah tertuang dalam tiga gelas kecil kopi robusta yang membentuk gumpalan persis seperti ‘moccacino’ pada permukaanya.

“Ini bukan soal ibu-kos, atau siapaun dia, tetapi soal aku harus memenuhi ziarah ini. kalau belum hatiku belum tenang”

Maka aku dan kedua temanku tak menimpali lagi apa yang ia utarakan dengen berbagai macam argumentasi. Bahwa sebagai contoh, akupun yang bebal, jarang sekali ber ziarah ke makam ibuku kecuali setahun sekali atau pada saat ada pemakaman yang membuatku dengan mudah sekali jalan berziarah ke makam ibukku.

Iapun pula meng-ia-kan bahwa ayahnya sudah meninggal dan bahwa semenjak meninggalnya ayahnya, hanya setahun sekali ia berziarah ke makam ayahnya itu.

“Ayolah, aku tak tahu tempatnya dan kesendirian membuatku menderita”, Pada poin yang kedua itu aku lebih menangkap maksudnya.

Di petanya tak ada secarik kertas yang menujuk makam almarhum bekas ‘ibu kos’nya yang baru ia diami selama 2 tahun! Kecuali, hanya sebuah informasi bahwa ia adalah masih keturunan keluarga Joyodiningrat, dimakamkan di payaman!

Ini seperti petualangan terhadap dirinya, bagiku dan kedua temanku yang lain yang pada akhirnya berasa semangat solidaritas menemani teman yang sedang gelisah itu, melaju kencang dalam mobil hanya berbekala secarik ingatan; payaman, makam keluarga Djoyodiningrat!.

“Apa gerangan yang kau cari temanku?” kataku dalam hati saja sambil tmasih bingung membayangkan apakah kami akan sampai benar ke payaman hanya berbekal peta secuil kalimat itu?

Barangkali ziarah juga bukan hanya berarti menjenguk nenek moyang, mengetahui asal usul, tetapi seperti temanku bilang ziarah itu bisa jadi titik tolak untuk melangkah ke suatu jalan. Harus ada alih-alih untuk diajak mohon doa restu. Kalaupun bukan nenek moyang, mungkin orang-orang yang dianggap dekat dengan kita.

“Kalau kau yakin, pasti ada jalan.”

Akhirnya setelah terhitung 5 kali orang kami tanyakan, sampailah kami ke Payaman. Akhirnya pula, setelah mencari-cari pada 3 kompleks makam, membolak-bali satu luasan makam, bertanya pada anak-anak yang bermain-main sambil memunguti samboja kering untuk dijual ke pasar seharga 4000 per keranjang, dan bertanya pada juru kunci, temaku menemu makam itu.

6 Okt 2009

Kompetisi dan Bermain

(Kompetisi dan bermain- lukisan karya Alex Dhany S)
Setiap kali melihat permainan dadu, seringkali saya teringat pada Sengkuni, tokoh antagonis pada cerita pewayangan Mahabarata. Sengkuni, digambarkan sebagai tokoh yang pintar tapi licik. Licin bagai belut, pendendam, buruk muka karena pernah dihajar oleh ……., Tetapi ia adalah paman yang penyayang bagi ke100 keponakannya, para Kurawa, musuh bebuyutan pandawa lima.

Pada salah salah satu potongan cerita Bharatayuda, Sengkuni suatu kali mengatur siasat licik guna membalas para Pandawa. Ia mengajak pandawa bermain dadu. Sengkuni paham betul kekuatan dan kedigdayaan Pandawa bukan lawan yang seimbang untuk saat itu bagi para Kurawa. Karenanya permainan ini adalah intrik yang licik menghanyutkan Yudistira, Si Sulung dari Pendawa untuk terlibat dalam permainan ini.
“Hidup itu adalah sebuah permainan” Kata Sengkuni pada Yudistira.
Dan Yudistira pun akhirnya terhasut untuk mengambil dadu memulai permainan mereka, permainan mempertaruhkan bulatan angka dari 1, 2, 3, 4, 5 sampai dengan 6.
Bagi Sengkuni, hidup itu sebuah permainan, ada yang menang ada yang kalah. Ketika lemparan pertama dan kedua Yudistira meraih kemenangan, Yudistira semakin terhanyut untuk melanjutkan permainan, sampai akhirnya di lemparan selanjutnya Yudistira didera kekalahan demi kekalahan. Tetapi Yudistira tak jua menghentikan permainan, selagi masih ada hal yang dipertaruhkan, masih ada harapan untuk membalas kekalahan. Yudhistira terhanyut dalam permainan judi. Melanjutkan permainan demi ‘mengejar kemungkinan’ kemenangan, atau harus rela sebagai orang kalah. Demi membela harga diri kekalahan, seluruh isi kerajaan, kerajaan bahkan sampai yang terakhir Drupadi istri Yudistira dijadikan barang pertaruhan.
---
Permainan judi dadu adalah permainan cukup tua, terbukti dari nukilan kisah pewayangan Mahabarata itu. Seperti halnya di kampungku dulu, kalau pas ada perayaan apapun bentuknya; sunatan, pernikahan, kematian, tujuhbelasan, tahun baru, dangdutan dsb, selalu di pojok kampung, di bawah remang-remang kolong langit dengan penerangan lampu petromak atau sentir, digelarlah judi dadu, Cliwik atau Othok namanya. Pada prinsipnya sama, mempertaruhkan dua buah kubus dadu yang berisi angka-angka. Kombinasi munculnya angka dua kubus dadu yang telah dikocok oleh bandar dadu itu dinantikan dengan berdebar-debar oleh kerumunan orang yang memasang taruhan pada gelaran lembaran besar kertas dengan kolom-kolom warna, tanda dan angka. Sudah tak begitu ingat aku, seperti apa rupa gelaran besar berisi kolom-kolom dengan gambar, tanda dan angka itu, seingatku hanya warna-warninya yang menarik hati dengan uang taruhan paling minim koin 100 rupiah. Kalau cukup beruntung, dengan koin 100 rupiah itu, dalam dua sampai tiga kali pasanga taruhan duit 100 rupiah anda akan berlipat menjadi 5.000 rupiah. Sebuah nilai yang lumayan, pada sekitaran tahun 1990an, cukup untuk membeli 1 pak besar rokok.
Adalah (sebut saja) mbah Karto, bandar Cliwik atau Othok terkenal di seantero kampung, bahkan menyebar sampai di kampung-kampung tetangga. Mbah Karto kala siang hari mengelola sebuah bisnis penambagan pasir di pinggir kali Gajah Wong. Kantornya menempel pada bangunan kecil tempat pengontrol bendungan dan saluran irigasi. Mbah Karto sebatang kara dan konon pernah berkeluarga mempunyai seorang istri. Pun, tak ada yang tau persis darimana dia berasal tetapi kini orang-orang lebih mengenalnya sebagai bandar cliwik.
Beda dengan penampilannya di siang hari, Kala kertas cliwik yang berukuran kira-kira 1 meter kali 1 meter telah digelar, dengan diterangi petromak remang-remang, Mbah karto terlihat lebih energik. Orang-orang yang sudah berkerumun mengelilingi gelaran cliwik itu tak akan mengira kalau itu Mbah karto yang kalau siang hari menyeburkan diri di kali Gajah wong menciduki pasir dan mengumpulkannya jadi gundukan-gundukan pasir di sebelah pintu air.
Semakin banyak orang pasang taruhan, semakin banyak uang bisa dikumpulkan. Tetapi aku lihat dari waktu ke waktu tak ada yang berubah pada wujud Mbah Karto. Tetap menjadi penggali pasir pinggir gajah wong di siang hari.
Suatu ketika, orang-orang pada terkejut saat mbah karto datang ke masjid, lengkap dengan kupiah dan sarung mengikuti pengajian di masjid. Orang-orang, terutama barisan ibu-ibu mulai berbisik satu sama lain. Bukanlah disebut tabiat orang Indonesia kalau lah tak bisa dilihat membisiki orang sambil melihat pada orag yang dibisikinya. Sama saja Mbah Karto (yang kuketahui dengan nalar kalkulasi ringan saja) sudah berusaha setegar mungkin melangkah memasuki masjid dengan kupiah dan sarung yang masih baru itu, lantas memucat seperti cahaya petromak yang kehabisan minyak spiritus.
“Wah, mbah Karto mertobat?”
Itu adalah kalimat dahsyat yang muncul meruntuhkan niat yang paling kuat pun kalau tidak disikiapi ‘permisif’. Lantas dikemudian hari tak kulihat lagi Mbah karto muncul di masjid. Lantas di kemudian haripula pada perjumpaan yang tak sengaja, aku bertemua dengan Mbah Karto yang lagi ngaso di sebelah gundukan-gundukan pasir di sebelah rumah pintu air kali gajah wong. Mbah Karto masih seperti dulu, dengan celana hitam, kaos yang bladus dan topi yang dikibas-kibaskannya untuk mengusir hawa panas.
“Ya, hidup adalah sebuah permainan” kata mbah karto membisiki dalam hati “Tetapi dalam permainanku tak ada yang menang ataupun kalah, yang ada aku hanya mengalah untuk melayani orang-orang yang mau bermain cliwik padaku, di malam hari, selepasnya aku mengalah pada kali gajah wong itu”

14 Sep 2009

Tentang senja

Banyak orang yang ngomong senja, dari tukang cerita sampai sekedar pemuda yang lagi jatuh cinta. Cerpen Seno Gumira Ajidarma juga banyak ngomong tentang senja sampai dengan ada kumpulan cerpennya diberi title ‘sepotong senja buat pacarku’.

Tapi seperti juga bulan merah jambu yang tak ada habisnya dibicarakan orang, senja pun tak pernah habis dikupas orang-orang. Apalagi bagi dua sepasang manusia yang tak sengaja melewati sebuah jalan yang membelah pinggiran kotai di suatu hari di saat senja tengah berpendar di ufuk barat. Lalu lintas yang padat yang membumbungkan debu seakan-akan menjadi illustrasi yang lengkap menghiasi senja yang hampir tenggelam.

“Setiap saat senja tak pernah sama bentuknya” kata si gadis

Senja memang tak pernah sama bentuknya saban waktu. Itu pun baru diiyakan oleh si laki-laki kecil setelah ia mencoba mengingat-ingat kembali saat demi saat ketika ia berjumpa dengan senja. Senja di sebuah pantai, senja di sebuah desa dan senja di saat itu, ia tak ingat betul apakah memang selalu berbeda. Baginya senja selalu sama,bola raksasa warna merah ke kuning-kuningan dan gerombolan burung-burung di kejauhan yang terkadang muncul. Lalu apakah yang membedakan setiap penampakan senja? Ia kembali mengingat ingat setiap bentuk senja; senja di sebuah pantai, senja di sebuah pinggiran kota, senja di ujung sawah, senja di ujung desa dan senja-senja lain yang seperti di kutip para tukang cerita sampai pujangga-pujangga.

“Hmmm, ya mungkin penampakan warnanya yang tak pernah sama” Apakah sedetil itu kauperhatikan senja? Iapun mencoba menerka-nerka apa yang membedakannya. Iapun juga mulai membayangkan kalau saja ia mengumpulkan foto-foto dan gambar setiap bentuk senja, mungkin akan ia temukan perbedaan di tiap senja itu. Toh, semisal rupa dua orang anak manusia yang dikatakan kembar pun tak pernah ada yang sama persis.

“Coba kau rasakan lebih dalam” kata gadis itu

Ya, tiap senja punya kenangan yang berbeda-beda. Iapun mecoba mengingat kembali slide demi slide ‘kenangan tentang senja’ di kepalanya. Kini gambar itu demikian hidup. Setiap slide ‘kenangan tentang senja’ punya nuansa warna yang berbeda-beda. Ia juga ingat tentang seorang gadis penyuka senja. Suatu ketika ia ingin sekali menanyakan kepada gadis yang menyukai senja itu; ‘Apakah kau masih masih menyimpan sepotong bagian senja yang sama dengan sepotong bagian senja yang kita simpan di kantong kita masing-masing?

10 Sep 2009

tut-tut tut.. kereta api-ku mau lewat

Ada banyak cara untuk bepergian jauh. Salah satunya kalau anda berpergian ke seputaran pulau Jawa, cobalah naik kereta api kelas ekonomi. Selain tiket kereta api ekonomi tiketnya dijual dengan harga murah, cukup merogoh kocek 3 lembaran uang 10 ribuan, itupun anda akan dapat uang kembalian, anda juga akan disuguhi pengalaman menantang. Tantangannya pertama adalah uji kesabaran, kedua ketabahan, ketiga ketahanan fisik, keempat dan seterusnya anda akan disuguhi pemandangan unik manusia sebagai homo economicus.

----

‘Tiket habis’ Begitu sebuah tulisan tertera pada deretan loket di stasiun. Sementara orang-orang banyak yang masih ngantri di depan loket. Calo sibuk menjulur-julurkan tiket yang naik dari harga bandrol. Lantas aku tak ada pilihan, ikut antrian dan mendapatkan tiket dengan tulisan ‘tanpa tempat duduk’ setelah menghadap sebentar dengan gadis penjaga loket yang tak banyak bicara. Ia hanya menyobek bundelan karcis, menerima lembaran uang dan kembalian dengan datar tanpa seulas senyumpun.

Sabar mas, nanti sampai purwakarta banyak penumpang turun kok’ Kata seorang bapak berkupiah dengan logat jawa timur’an. Dia mungkin ‘iba’ melihatku kebingungan melihat tiket ‘tanpa tempat duduk’ itu dan masing berdiri bengong dengan membawa dua buntalan besar, wajah berkeringat, lusuh dan sendirian.

Kalau mau, mas bisa ngikut saya, nembak di gerbong restorasi, lantas dapat tempat duduk’ Sungguh tawaran yang empuk, tetapi siapakah bapak berkupiah ini? aku tak melihat wajah nya sebagai tampang yang mencurigakan, tetapi terbersit pula rasa was-was kalau-kalau… ‘ akhinya aku pilih menampiknya dengan sopan’

Ndak pak, ntar mau duduk di dekat pintu aja sekalian melihat pemandangan’ Padahal kalau melihat apa yang bakal terjadi nantinya, mungkin aku bakal menerima ide bapak berkupiah itu.

------

Memasuki gerbong loko ekonomi, tak cukup beruntung aku kali ini, tak mendapat tempat duduk. Loko sudah berejejal penuh. Tiap orang membawa buntalan bawaan masing-masing. Ada yang membawa dua jinjing tas, kardus-kardus sampai ada yang membawa kompor gas. Di loko ekonomi tak ada larangan bagi siapapun tentang batasan jumlah barang jinjingan. Asalkan anda bisa membawanya, terserah saja. Maka akupun duduk berdesakan dengan orang-orang yang membawa jinjingan masing-masing.

Kereta belum jua berangkat, masih 10 menit, sementara untuk sementara ini, siasatku, aku berdiri di pintu masuk, persis berdekatan dengan pintu antara gerbong dan toilet. Sementara di kamar kecil itupun, terhitung ada 3 orang berjubal di dalam. Ada yang duduk di kloset, ada yang nangkring dekat jendela sempit sambil merokok. Di lorong gerbong, aku hampir tak bisa melihat kaki, kecuali kepala-kepala orang yang berjubalan, mirip kepala-kepala ikan dalam kaleng sarden yang megap-megap. Satu demi satu, pelan tapi pasti jumlah orang yang merengsek ingin masuk bertambah banyak. Kereta belum jua melaju, orang-orang yang ngantri di luar gerbong masih beberapa lusin, lengkap dengan barang jinjingan.

7 menit, kepala lokomotif mulai bunyi. Petugas membunyikan peringatan melalui corong peringatan; ”Perhatian-perhatian, kereta api jurusan surabaya akan segera diberangkatkan, penumpang harap bersiap-siap”, kurang lebih begitu, suara petugas perempuan yang syahdu yang lantas hilang ditelan terikan penumpang yang panik, belum masuk. Di loko itu, akupun semakin ringsek, bersama centang-perentang barang jinngan, orang-orang dengan keringat tumpah ruah, wajah yang asing, penjaja-penjaja makanan, penjaja mainan, pengemen dengan kotak amplifier aki sampai dengan penjaja pecel yang menumpuk makanannya di kepala. Aku dekap tak ranselku keras keras, bukan karena isinya adalah barang berharga, tetapi karena seorang penjaja minuman instant yang menerobos memaksa lewat. Dengan perasaan deg-degan tentang ‘bagaimana penjaja minuman instan itu bisa melewati pinnggangku yang kini telah menempel betul dengan rongga pintu, sesempit mungkin.

“Permisi mas, mijon-mijon, akua dingin, mijon2….. cel-pecel, yang makan, yang makan……”

“Tiiiiiiiiitttt” bunyi peluit panjang petugas jaga stasiun yang berseragam biru hampir saja tak kudengar. Loko bergerak pelan, pelan sekali, antara roda besi dan jelujur besi. “ jejeg….jejeg…jejeg…” lantas meluncur dengan pasti seperti meluncur bersama angin. Terkadang, aku bisa tau pasti kereta melewati jembatan ketika kudengar perubahan suara angin yang berdesing dari jendela….”jressssssssss…….”

Bahkan untuk melongok melihat jendela pun cukup sulit. Aku bedempet bagai tiang, kadangkala untuk menghilangkan penat, kusiasati bergantian tangan. Terkadang bergelantung dengan tangan kanan, terkadang dengan tangan kiri, terkadang mencoba mendesak sedikit pantat orang di sebelah kanan kiriku, sudah tak peduli lagi berapa kali kentut kubunyikan, toh bau kentutku akan dikalahkan dengan bau toilet gerbong yang mengering. Akupun tak habis pikir, dengan tiga orang, oww salah, kini empat orang, yang meringsek di dalam kotak toilet. Seorang darimereka kulihat kini asik mengunyah bungkusan nasi ayam sambil berdiri. “Hmmm yammmy…..”

Kereta terus melaju. Sudah hampir 3 jam, konon menurut bisikan orang-orang disebelahkan yang dengan cuek, jongkok persis di lipatan pintu; bahwa sampai di purwokerto banyak orang yang bakal turun. Yah, maklum musim akhir pekan para penaik gerbong ekonomi yang notabene kebanyakan pemudik asal tegal dan purwokerto ini berkesempatan pulang setelah sekian hari mengadu nasib di ibukota Jakarta jadi tukang batu, pengayuh ojek, buruh pabrik, sampai dengan (tentu saja) penjual nasi tegal. Dan tentu saja para pemudik musiman ini sambil pulang ke kampung halaman (ke Jawa, kata orang), membawa berbagai macam oleh-oleh buat anak bini, kerabat, orangtua, nenek kakek sampai moyang di rumah.

Kereta sudah sampai di garut, meskipun bukan karena semakin bertambahnya penjaja dodol garut yang masuk, toh sayapun heran dengan adanya penjual ‘wingko babat’ yang dibungkusnya bergambar segala macam moda transportasi canggih dari lokomotif kapal laut sampai pesawat jet yang tulisan mereknya tertera ‘aseli semarang’. Penjual wingko babat di Garut? Loko semakin ringsek, kali ini datang duo pegamen gerbong yang membuat heboh lorong gerbong. Keduanya wanita dengan kostum bahenol, bibir merah, maskara yang berkedip-kedip, celana pendek ketat, stocking lubang-lubang baju rumbai-rumbai ala Maia dan suara yang dibuat serak-serak. Turut dibawa oleh salah seorang dari mereka sebuah kotak amplifier bertenaga baterai Accu.

"Asyiiikkk,….goyang mas” Tak ingat jelas apa lagu yang dikumandangkan mereka, tapi diriku yang berdiri menghimpit bagi tugu di lorong itu cukup terganggu dengan goyangan dan gesekan pantat mereka.

“Ya tuhan, Ampuni hambamu ini” batinku, tak ayal aku harus merogoh sekeping limaratusan yang terselempit di dalam kantong saku.

“Ayooo yooh, goyang kimpul….”, Bukan karena suara perempuan itu yang tidak bagus, tetapi karena bunyi kotak amplifier bertenaga Accu yang kerasnya minta ampun dengan volume melebihi kerasnya TOA masjid itu, benar benar membuat suasana dalam gerbong sungguh meriah. Sontak para laki-laki di dalam gerbong itu banyak yang menggoda-goda dengan terikan-terikan ‘aduahai’ dan terkadang ada yang sengaja mencolek secara sembunyi-sembunyi ke grup duo pengamen gerbong itu.

Hmmm, ada sedikit harapan kalau sudah sampai Purwokerto, aku dapat tempat duduk, atau paling tidak bisa berjongkok meluruskan kaki menghirup udara segar dan menikmati pemandangan dalam perjalanan kereta. Tapi harapan ‘konon’ itu ternyata pupus juga sampai purwokerto. Bahkan loko ekonomi nan panjang dan berjubal itu saban kali berhenti di stasiun-stasiun kecil, selalu menambah jumlah penumpang. Gampang pula dihitung dengan kasat mata, separoh lebih penumpang adalah penjaja.

----

Kereta terus bergerak, melewati pinggiran kota, diantara deretan gubug-gubuk liar, terus menuju ke pelosok desa yang dipenuhi dengan landskap pematangsawah, punggung pegunungan dan langit yang mulai menggelap. Terkadang kereta melaju melewati terowongan dan jembatan, seperti kuketahui dari perubahan suara desing angin ….. jresssss! Aku masih bertahan untuk berdiri, sudah mati rasa lagi, apakah letih, apakah kesemutan, apakah gerah, apakah sesak, pening atau apapun, lambat laun aku sudah menyatu menjadi lipatan pintu lorong kereta itu. Setidaknya aku telah tiba dengan selamat di kotaku meskipun seluruh urat punggungku terasa kaku-kaku sampai 3 hari lamanya.

Dan, kereta apiku tak bunyi tut..tut..tut lagi, tetapi berbunyi ..mijon…mijon… akua dingin mijon….Jrejeg…jrejeg…jressss…”

14 Mei 2009

Celana Kepar 1001

celana kepar 1001 Kisah celana kepar 1001 adalah kisah seorang opas bernama Kusno di sekitaran tahun 1943'an. Ayah Kusno adalah juga seorang opas yang tak ingin anaknya menjadi opas, di tengah jaman yang serba sulit kala itu, setelah keluar masuk melamar di berbagai kantor pemerintahan, Kusno pada akhirnya diterimakan pekerjaan sebagai Opas lagi. Tak ada pilihan! Meski Ayah Kusno telah menyekolahkan Kusno ke sekolah rakyat, ternyata tak merubah keadaan. Bahkan bekal celana kepar 1001 yang dibelikan Ayah Kusno tak cukup menaikkan derajat keluarga itu ke lingkaran keluarga Opas. Begitu pula dengan nasib celana kepar 1001 yang dipakai kusno saban hari. Makin hari makin buluk dengan benang-benanya mulai meretas satu demi satu. Warnanya melapuk menjadi kuning kecoklat-coklatan dari warna dasarnya yang putih. Sampai pada suatu kali, ketika Kusno dipecat setelah menuntut majikannya dibelikan celana baru, Kusno didera pilihan pahit. Pilihannya adalah ia harus menjual celana satu-satunya untuk mengganjal perutnya yang lapar atau mau menahan lapar demi mempertahankan celana satu-satunya yang menutupi auratnya.

Cerpen karya Idrus ‘Pujangga 45’ ini kutemui pertama kali waktu masih sekolah SD di sebuah buku paket pelajaran bahasa Indonesia. Entah,apakah buku paket yang sekarang menampilkan celana kepar 1001 ini masih ada atau tidak. Tetapi ingatan akan celana kepar 1001 begitu mencekam dan terekam benar dalam benakku. Begitipun dengan kisah 'celana kepar 1001' ku…..

---

Nun jauh di di pinggiran kali code, tepatnya bersebelahan sebuah jembatan besi yang dibangun waktu jaman kompeni, berdiri sebuah SMP Negeri, tempat aku bersekolah. SMPN 10 namanya. Bantaran kali itu sampai kini masih disibuki oleh pendulang pasir yang dulu menjadi tempat favorit aku dan murid-murid lain untuk membolos sekolah sambil bersembunyi di tepian jembatan dan mengamati para pendulang pasir itu.

Menginjak sekolah SMP aku dititipkan di rumah Eyangku di bilangan Kotagede. Untuk melaju ke sekolah mengendarai sepeda BMX atau jalur 11 dengan ongkoes 100 rupiah. Eyangku tipe orangtua ‘jadul’ yang terkadang membekaliku berangkat sekolah dengan ransum makanan. Kisah celana kepar 1001 ku dimulai dari kelas 2 SMP ketika satu demi satu dari ke-2 stel seragam sekolahku yang berwarna putih abu-abu memulai pemerosotan kualitas.

Di kelas 3 SMP aku menemukan celana seragamku yang berwarna biru tinggal 1 potong, karena 2 potong celana lain sudah tak muat aku pakai. Begitupun nasib 1 potong celana seragamku yang lain, kini telah menghuni dapur eyangku dijadikan ‘gombal’. Tak ayal ini karena liburan kenaikan kelas ini aku disunat oleh Eyangku. Sebuah usia sunat yang terlambat dan seperti ‘mitos’ mengenai efek pemotongan ‘daging keramat’ ini begitupun berlaku bagiku. Pada awalnya aku tidak percaya setelah sunat tubuhku akan mengembang drastis, tetapi setelah nasib 2 potong celana terakhirku itu dan melihat teman-temanku cewekku pada melongo keheranan melihat tinggi badanku kini melebihi mereka, maka akupun percaya.

1 tahun adalah 360 hari, dengan 6 hari masuk sekolah, dikurangi jatah 1 hari yakni hari jum’at maka aku memiliki 5 hari sibuk dengan 1 sisa celana seragamku. Pada hari jumat celanaku sisa satu-satunya itu bisa bernapas lega, karena pada hari itu aku memakai seragam khusus 'putih abu-abu’.

Hari senin adalah hari ‘apes’ bagi kami. Karena seperti biasa, hari senin adalah saat upacara bendera. kami para murid murid harus berderet rapi dengan seragam dan topi dijemur terik matahari dan menghapalkan lima butir pancasila, mendengarkan pidato ‘cwa-cwa-cwa’, sampai dengan menyanyikan lagu ‘Indonesia raya’.

Upacara dimulai semenjak pukul 7 di lapangan sekolah dan lebih apes bagi nasib celana kepar 1001 ku. Suatu kali, aku menemukan celana keparku harus kupaksa kering dengan kusetrika. Waktu setrika di rumah Eyangku masih menggunakan tehnologi non listrik alias menggunakan arang sebagai pemanasnya. Sementara celana keparku 1001 ku yang berbahan semi katun itu tenyata menimbulkan bau yang ‘angit’ yang tak sedap kalau sengaja dikeringkan dengan setrika. Lantas, saat upacara bendera, terjadilah kejadian memalukan itu. Teman-teman yang berdiri di depanku mencium aroma tak sedap yang menusuk hidung mereka. Pada awalnya hanya segelitir orang yang menggerak-gerakkan hidungnya mengisyaratkan gangguan aroma di hidung mereka, namun akhirnya semuanya sepakat bahwa gangguan aroma yang ‘dahsyat’.

Namun, dengan bertekad bulat baja, membela harga diri dan celana kepar 1001 ku satu-satunya itupun aku berpura mengendus-enduskan hidungku. Berpura-pura mencari sumber bau yang sebenarnya menyeruak seperti radiasi yang bersumber dari celana keparku 1001 ku itu. Semakin angin berhembus, semakin terik meninggi semakin pula hatiku was-was teman-temanku mengetahuinya. Pun, saat lagu Hymne ‘pada mu Negeri’, yang dinyanyikan di menit-menit terakhir upacara bendera, sambil menundukkan kepala, Aku lirik celanaku. Dengan napas kembang kempis dan sesenggukan, ini bukanlah karena menghayati ‘mengheningkan cipta’ untuk para pahlawan, tetapi prihatin sedalam-dalamnya pada celanaku itu.

Tak hanya sekali dua kali kulalui saat upacara bendera dan saat mendebarkan bersama celana kepar 1001 ku itu, tetapi berkali-kali. Dan berkali-kali itupun aku bertanya-tanya apa yang menyebabkan bau tak sedap dari celanaku itu? Apakah karena bahannya kah? apakah karena setrika? ataukah karena hidung teman-temanku yang tak normal? Sampai sekarang akupun tak tau jawabannya. Dan mungkin jika ada salah seorang teman seangkatanku SMP yang dulu pernah berdiri satu deret berupacara bendera, jika ia mungkin masih mengngatnya, tahukah anda jawabannya?

Lulus SMP adalah saat perpisahanku dengan celana kepar 1001 ku, celana seragam abu-abu yang kini permukannya telah bladus, dengan ujung penuh jurai-jurai benang dan ukurannya telah setinggi setengah betisku. Akupun waktu itu tak bisa membayangkan kalau aku duduk di sekolah SMA, aku akan memakai celana panjang, sebuah bentuk celana baru yang waktu itu aku benar-benar tak menyukainya yang aku merasa sangat risih memakainya yang membuat diriku seperti tak siap menjadi dewasa yang aku membuatku berjalan dengan sikap yang aneh.

Sampai pada suatu ketika aku aku manggut-manggut pada Kusno dan celana kepar 1001 nya bahwa celana bukan hanya soal penutup aurat, tetapi celana juga soal mempertahankan hidup dan harga diri, sampai akhirnya kita menyerah kalah (Chairil-deru tjampur-debu) . Sampai akhirnya celana seragam putih biru ku itu lunas tugasnya, beralih fungsi jadi seonggok ‘gombal’ di dapur eyangku menemani seonggok gombal bekas celana ku yang lain yang telah lebih dulu mendahulu.

9 Mei 2009

Uang Saku

Di suatu petang aku berbincang dengan seorang kawan yang terpaut sekitar 4 tahun denganku. Ia sudah berkeluarga dan punya profesi yang sama denganku sebagai pekerja sosial (untuk menyebut kata lain bekerja di LSM).

"Apakah beda pekerja sosial dengan pekerja seks komersial?"

Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu kali ini, karena itu adalah banyolan lama tentang perdebatan makna kata 'melacur' menurut pekerja LSM dan makna 'melacur' dalam makna harfiah sebagai PSK. Lantas aku bisa menebak kecapaian di matanya atau mungkin kejenuhannya pada karena diburu oleh laporan-laporan kelembagaan. Karenanya petang itu aku segera bergerak hati membuatkannya secangkir kopi kental panas dengan sedikit gula. Dan mungkin karena terganggu aroma kopi yang mengepul-kepul di hidungnya lantas ia mengubah topik pembicaraan.

"Berapa uang sakumu waktu jaman SD?"katanya sambil menyeruput kopi

"100 rupiah, itu tahun 1986-an" jawabku dengan tegas padanya. Dan benakku lantas meluncur pada waktu itu, seratus rupiah adalah sekantong plastik es sirup dengan potongan nanas dan bakso penthol tusuk. Hmm....

------

Aku menjalani sekolah dasar di sebuah SD Negeri di kampung yang mulai beranjak menjadi kota. Sebuah kampung yang berjarak cukup dekat dengan terminal utama Yogyakarta dan sebuah kompleks lokalisasi yang sangat terkenal bernama 'Sanggrahan'. Kini lokalisasi ini telah ditutup dan disulap jadi terminal induk yang baru. Tak ada bangunan yang tersisa kecuali sebuah beringin besar di ujung simpangan jalan yang dulu menjadi tempat bertengger deretan tukang becak yang ngantri menunggu penumpang 'pria hidung belang', mucikari, sampai perempuan-perempuan yang bekerja jadi penjual jasa disitu. Konon katanya meski telah disulap jadi terminal, lorong-lorong kampung itu, juga hotel-hotel kelas melati yang berdiri di situ tetap membuka layanan jasa 'terselubung'.

Hidup di kampung yang berbenah jadi kota, aku menyaksikan sawah-sawah yang dijual pemiliknya, diurug dan lambat laun berdirilah bangunan-bangunan baru. orang-orang berdatangan, warung-warung, toko-toko dan centang perentang aneka penjual jasa dari tukang tambal ban sampai penjual bensin eceren.

Gambar Rp.25, Rp.50 dan Rp. 100 (sejoemlah oeang sakokoe doleo di sekolah dasar kelas 1 sampai kelas 6 tahoean 80an)

Pertama kali aku masuk sekolah dasar, kalau tidak salah sekitar th 1987, uang sakuku 50 rupiah. Besaran uang saku itu adalah separo dibandingkan Rp.100 rupiah yang didapat 3 kakakku yang lain menginjak di kelas 3, 5 dan 6.

"Nanti kalau kamu sudah kelas 3, uang sakumu naik 100 rupiah", kata ibundaku dulu.

Memang ketika kelas 3 nanti, seperti kakaku, aku bakal pulang lebih siang, yakni jam 12.00 siang dan aku akan mendapatkan dua kali jam istirahat. Karena aku masih kelas 1 dan 2, aku hanya menjalani pelajaran di sekolah sampai jam 10.00 siang.

Jam istirahat adalah waktu yang ditunggu tung gu semua penghuni kelas. Jam istirahat kami ditandai dengan bel yang muncul dari besi bekas potongan rel kereta yang dipukul oleh pak bon (panggilan oleh penjaga sekolah) sebanyak 3 kali. Aku masih ingat 'pak bon' sekolahku bernama pak Legi dan aku masih penasaran sampai sekarang apakah Pak Legi masih sosok dengan tubuh kerempeng dan kupiah yang menutupi rambut jabrik nya. Saat bel dipukul 3 kali, murid-murid lantas mengambur keluar dari ruangan kelas menuju ke pelataran teempat penjual es, penjual soto, penjual 'gambar templek' (stiker), penyewa gembot (aku baru tahu gembot merupakan kesalahan pengucapan dari gamewatch), penjual bakso pentol, penjual gulali sampai dengan penjual pong-pongan (Sejenis kerang darat). Kesemuanya sudah sabar menanti di pelataran sekolah, berderet-deret menempati lokasi favorit masing-masing. Ada yang merupakan penjual tetap, termasuk juga ibu salah seorang temanku, ada pula yang merupakan penjual nomaden berpindah dari satu pelataran sekolah ke satu pelataran sekolah yang lain.

Tetapi, kami hanya punya waktu 15 menit jam istirahat buat belanja di pelatan sekolah yang mirip "pasar tiban" pada jam-jam itu.

Bagiku sendiri, 15 menit adalah saat yang genting bagaimana memanfaatkan 50 rupiah sebaik-baiknya. Apakah 25 rupiah untuk sekantong plastik es sirup dengan potongan nanas dan sisannya 25 rupiah untuk dua plastik'anak mamie' . Anak mamie adalah makanan salah satu makanan oldschool yang aku temukan berwujud remah-remah mie instan kering yang berasa gurih yang dikemas dalam bungkusan kecil dengan desain yang tak pernah berubah dari kurun ke kurun bergambar seorang bocah kecil. Ukuran anak mamie seukuran setengah kali saku baju seragam SD. Terakhir kali aku melihat anak mamie adalah di kantin sekolah SMU di tahun 2000an masih dengan bentuk dan rupa yang sama.

Pilihan selanjutnya 50 rupiah adalah untuk sebuah bakso penthol dan kue terang lekker (kue dari tepung yang digoreng yang berisi potongan pisang dan taburan coklat). Tetapi di pojok lain aku melihat penjual gambar templek menggelar aneka gambar templek terbaru. Kali ini penjual gambar templek menggelar pula trik baru. Ia membuat permainan 'tarik tali'. Ia taruh aneka rupa gambar templek dari ukuran mini sampai sebesar folio dalam sekumpulan tali. Kalau beruntung kita bisa dapat tali yang berujung pada gambar templek atau stiker yang berukuran besar, tetapi kalau buntung kita hanya dapat seutas tali kosong. lantas uang 50 rupiah kita hanya diganti dengan potongan 'brem'.

Menginjak kelas 3 SD, hari-hari pertama aku bersorak-sorak sorai, karena kenaikan uang sakuku yang menjadi 100 rupiah. Tetapi kini tantanganku lebih hebat lagi. 'pasar tiban' di pelataran sekolah kini lebih berfariasi. Penjualnya pun kini punya aneka macam permainan dan trik untuk menarik pembeli. Ada permainan baru berupa 'rolet' sederhana cukup menarik perhatian. Dengan ongkos 50 rupiah kita diberi kesempatan memencet tombol yang akan memutar sebuah piringan yang diberi angka-angka. kalau beruntung bisa dapat hadiah berupa mainan-mainan plastik, sampai dengan jam dinding untuk angka tertinggi, kalau tak beruntung kita dapat sepotong bakso pentol yang dicelup dalam saos kacang pedas.

Di sudut lain penjual gambar templek kini mengenalkan permainan baru pada anak-anak. Namanya 'gacok-an' alias mengadu dua buah gambar templek. Permaianan ini cukup sederhana, kita hanya mengadu gambar templek kita dengan gambar templek lawan dengan sebuah tepukan tangan. Saat gambar templek melayang jatuh ke tanah dengan posisi terbalik, maka iapun kalah. Karena gambar templek waktu itu bergambar aneka tokoh tokoh kartun dari flash gordon, superman sampai spiderman maka permaian ini jadi semakin seru. Uangsaku 100 rupiahku kini menjadi belanja aneka warna gambar templek sampai musim permainan 'gacok-an' ini mereda.

Penjual makanan juga tidak kalah akal. Mereka membuat modifikasi bakso penthol baru. Kini seorang bakso penthol berani memasukkan potongan telur kedalam bakso pentolnya. Bahkan ada bakso penthol ukuran raksasa sebesar bola pingpong dan dibandrol dengan harga 100 rupiah. Gerobaknya sepedanya juga tak kalah eksentrik. di cat warna warni dan ditulis 'Penthol super'. Pentol super cukup populer sampai datang penjual penjual makanan yang lain, ada penjual burjo sampai dengan es cendol.

=====

Yah, dulu 100 rupiah kita bisa jajan dan bersenang-senang di sebuah pelataran sekolah yang disulap jadi shopping mall kita. Akupun juga temanku tak bisa membayangkan berapa uang saku anak sekolah sekarang. Lantas aku teringat bahwa temanku itu, yang terpaut 4 tahun diatasku sudah berkeluarga dan punya seorang anak yang kini akan menginjak ke kelas SD.

"100, 500, 5000!"

Mungkin robert maltus perlu menambahkan pernyataannya bahwa tak hanya jumlah penduduk yang mengikuti deret ukur, tetapi uang sakupun mengikuti deret ukur.

4 Apr 2009

Tentang sebuah Poci

Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol ternyata
untuk sesuatu yang tak ada


Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi.
- Kwatrin tentang Sebuah Poci (Gunawan Muhammad)

 

Sudah menjadi tradisi di keluragaku, saban pagi dan saban sore kami mengadakan acara minum teh. Ritual yang dijalankan dari kurun ke kurun waktu, sejak dari moyang, turun ke buyut sampai dengan orangtuaku. Entah siapa yang memulai, tetapi yang jelas kedua pihak kakek, dari pihak ayah maupun pihak ibu mewarisi acara minum teh ini. Meskipun kedua pihak punya cara penyajian dan selerea rasa yang berbeda. Teh telah menjadi bagian keseharian, mengiringi pagi sebelum beraktivitas sepanjang hari dan menutup aktivitas keseharian di sore harinya. Teh pagi disiapkan dengan sebelum pagi buta oleh tangan kaum perempuan; istri buyut, istri eyang, sampai mendiang ibuku. Sedari pagi buta, sudah menjerang air panas, dan menyiapkan teko tanah liat. Di senja hari, kembali teko tanah liat itu cukup dibuang ampas tehnya, lantas ditaburi teh baru.

Embah dari pihak ayah, adalah seseorang terpandang yang menduduki sebuah desa di Sleman. Sebuah desa yang dikelilingi persawahan, dengan penduduk kampung yang notabene masih punya kekerabatan satu sama lain, dengan mayoritas adalah pemeluk NU. Desa ini cukup terkenal karena salahsatunya terdapat kawasan pesantren bernama "Mlangi'. Embahku yang satu ini tipikal kepala keluarga yang otoriter. Ia bak raja kecil di keluarga yang memiliki 2 orang istri dan berpuluh-puluh anak.

Seperti laiknya keluarga embahku, saban pagi ibuku sudah bangun paling awal, membersihkan setiap sudut rumah dari halaman depan sampai merambah ke belakang, di dapur. Terakhir disiapkannya secerek air untuk menyiapkan acara yang kami tunggu-tunggu bersama-sama: 'acara minum teh'.

Saya tidak tahu pasti setua apakah sebuah poci tanah liat yang biasa ibuku pakai untuk meracik teh. Konon kata ibuku, poci tanah liat itupun dibawanya dari rumah eyangku, setelah eyang putriku meninggal dan lantas tidak ada yang menggunakan poci tanah liat itu.

Teh keluarga kami adalah teh tang. Sebuah merk teh yang hanya dibungkus dengan lipatan kertas, membentuk kotak persegi dengan desain luar gambat tang. Aku perhatikan, desain teh tang ini tak jua berubah dari waktu ke waktu. Aroma teh tang adalah aroma melati dan bau apak teh yang khas. Kadangkala selain teh tang, kami juga meracik teh tjap pendawa lima. Teh ini desain luarnya bergambar wayang pendawa lima dan kemasan dalamnya dilapisi plastik sehingga aromanya lebih semerbak.

Apapun teh nya, racikan teh dalam poci tanah liat itu selalu hitam dan kental. Saat teh poci berikut satu set gelas-gelas kecil mendarat di meja, maka aroma yang keluar dari teh yang mengepul-kepul pun telah membuat kami semua tambah bersemangat.

Kini, tak ada lagi acara minum teh di keluargaku seiring satu demi satu anggota keluarga terpisah. Apalagi Ibunda sebagai pewaris peracik teh dalam teko tanah liat poci tua itu telah tiada. Si teko tanah liat tua kini teronggok di sudut dapur. Kadangkala aku menggunakannya untuk meracik teh ku sendiri, tetapi rasanya memang berbeda.

19 Des 2008

Nangkringan lembaga


Angkringan jadi merek dagang Yogyakarta, meskipun kini di kota lain sudah muncul wujud serupa. Tetapi riwayat Angkringan tak bisa lekang dari kemunculannya di Yogyakarta. Angkringan tidak hanya jadi ajang transaksi mencari penngganjal perut penhapus dahaga, tetapi jadi ruang publik dan menjadi titik pertemuan tumpah ruah pendapat, ide, grundelan, gosip bahkan strategi politik.

Fungsi itu sungguh kontras dengan wujud angkringan sendiri yang bersahaja, berupa gerobak kayu dengan dua roda sepeda yang menempel di kedua sisi kanan kiri, tempat duduk dari papan kayu sederhana dan tenda dari terpal plastik (biasanya warna biru atau oranye) untuk mengayomi keseluruhan areal angkringan. Untuk tempat duduk para klien hanya disediakan tiga buah kursi kayu yang disedikan, ditaruh mengelilingi gerobak angkringan, selebihnya bakul (penjual) angkringan menaruh tikar untuk lesehan.

Tak ada peraturan untuk membedakan siapa yang lebih berhak menempati kursi kayu itu, pengunjung yang datang lebih awal atau pengunjung yang datang belakangan. Walhasil semakin malam, karena angkringan umumnya buka pada sore hari, pegunjung semakin berdesak-desakkan. Tetapi sambil berdesak-desakkan seperti itu konsumen bisa menikmati menu khas Warung angkringan berupa racikan wedhang jahe, aneka gorengan dari mendoan sampai tahu, sampai makanan yang menurut orang eropa agak radikal; kepala ayam, ceker ayam, sate usus, sate kerang, sampai sate kikil. Makanannya pun serba porsi mini, seperti nasi ‘kucing’ untuk sebungkus nasi sekepalan tangan dengan sekelumit sambal atau oseng-oseng tempe di pucuknya, atau bungkusan beberapa butir kacang sampai dengan rokok yang bisa meng-ngecer. Tak ada larangan tentang seberapa lama pengunjung bisa menongkrong disitu, artinya siapapun boleh duduk disitu hanya dengan menghadap segelas wedang jahe dan mengecer rokok semaunya.

Tak ada undang-undang tentang apa saja topik pembicaraan yang boleh muncul disana. Sebatas pembicaraan itu bisa nyambung ke kepala orang lain, maka topik perbincangan akan melesat dari persoalan utang, gosip para artis sampai dengan masalah hangat kancah perpolitikan Nasional. Angkringan jadi ruang bebas dan kadangkala menjadi jendela informasi mengenai apa yang tengah hangat dibicarakan di lingkungan setempat.

Si penjual angkringan atau yang disebut bakul angkringan umumnya terkenal diantara konsumen fanatik setempat. Pembawaan bakul angkringan yang besahaja, enak diajak omong atau kadangkala sering curhat soal topik-topik sederhana di kesehariaanya akan menjadi daya tarik tersendiri. Sebaliknya, sering bakul angkringan adalah mediator, keranjang sampah tempat uneg-uneg, teman curhat dengan jaminan kerahasiaan, tempat menitip salam tempel, sampai dengan spionase untuk mencari-cari informasi tentang seorang target percintaan. Tetapi peran-peran khusus bakul angkring itu sendiri sangat tergantung dengan dimana letak angkringan itu berada.

Nangkringan lembaga

Angkringan lembaga adalah angkringan yang terletak tak jauh atau melekat dengan suatu kantor atau sekretariat. Sebagai mana hukum ekonomi klasik, supply mengikuti demand alias pernwaran mengikuti penawaran, maka alasan sebuah angkringan menyondorkan gerobaknya di tempat tertentupun bisa dijelaskan dengan hal itu. Apalagi kini dengan semakian ketatnya persaiangan antara bakul angkring, bak kemunculan franchise yang menggurita dimana-mana, maka si gerobak dengan tiga cerek air ini pun tak melewati tiap titik peluang yang ada. Kalau disitu ditengarai ada koloni masyarakat atau tempat hilir midik orang-orang, bisa dipastikan ada angkringan disana. Begitupun sebuah lembaga, atau komunitas yang ramai dengan hilir mudik manusia dengan berbagai kepentingan, berbagai omongan, angkringan menjadi tempat santai sambil yang terlepas keluar dari kotak formal bernama ‘kantor’, rapat atau ‘pekerjaan’. Walhasil angkringan lembaga adalah tempat alternative. Angkringan juga menjadi ajang untuk melepas gerundelan, kecemasan, atau ketidak puasan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kantor sampai dengan intrik-intrik seputar hubungan sesama rekan kerja di kantor.

Angkringan Lik Yanto IOM

Sang bakul, adalah Lik Yanto, Pria berbadan gempal, kumis tipis yang selalu mengenakan kemeja di outlet angkringannya. Dari caranya berpakaian yang selalu mengenakan kemeja, seakan-akan mencerminkan bagaimana Lik Yanto begitu mencintai profesinya sebagai bakul angkringan. Melayani para konsumennya yang datang dengan racikan khas wedang Jahe gula Jawa, atau teh dekok gula batu. Wedang Jahe pun diracik dengan dibakar terlebih dulu, lalu dikupas sampai bersih, baru diracik dalam segelas wedang.Lik Yanto adalah tipikal orang yang tak banyak omong, bahkan jarang tertawa lebar, kecuali ia akan menyambung pembicaraan tentang hal-hal umum keseharian seperti minyak tanah yang lenyap atau sepakbola.

Angkringan Pak Yanto menempel di sebelah kantor IOM. Dulunya, angkringan ini hanya meliputi tiga kursi panjang dengan daya kekuatan 3 cerek teko, kini semenjak berdiri kantor IOM yang penuh dengan hilir mudik relawan, ankringan LIk Yanto harus menambah kapasitas menjadi sekitar 6 buah cerek teko, 2 buah tungku arang yang dipersiapkan khusus untuk pembakaran apapun dari menu yang tersedia. Untuk tempat duduk ditambah dua unit kursi dengan bangku lebar.

Angkringan Lik Sugeng ‘Gelanggang’

Sebenarnya ada 2 awak angkringan yang me-nangkring di areal Gelanggang UGM. Tetapi kedua bakul nya berasal dari tempat yang sama, yakni Klaten (konon kebanyakan bakul angkringan berasal dari Klaten) dan disuplai dari tempat yang sama; gorengan, sate usus, bacem cakar sampai kerupuk jamur (disuplai oleh ‘Mungil’ soerang mantan aktivis gelanggang).

Satu awak angkringan, terletak dekat pintu masuk sebelah Utara Gelanggang UGM dimana kebanyakan yang berkumpul di sana koloni dari Unit Selam UGM, Unit Seni rupa dan koloni aktivis UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang berdekatan dengan tempat itu. Sedangkan Angkringan Lik Sugeng, letaknya membujur di sebelah barat dekat pintu masuk Barat. Jam buka keduanya nyaris sama, sekitaran jam 5 sore, tetapi angkringan Lik Sugeng yang agaknya paling malas datang, biasanya datang lebih terlambat daripada awak angkringan yang lain.

Lik Sugeng menghafali betul satu persatu nama dan wajah pelanggannya. Apalagi di Gelanggang UGM banyak bercokol wajah-wajah lama, yakni para mahasiswa yang muasalnya dan ‘takdirnya’ sudah tak kentara lagi, masih hilir mudik berkunjung di angkringan Lik Sugeng. Sebenarya tak ada menu khas dari Angkringan Lik Sugeng, kecuali ada tambahan mie rebus saja. Tetapi koloni di situ sangat kondusif untuk pembicaraan-pembicaraan ‘idelis’, diskursus, diskusi dan menyusun gerakan. Karenanya Angkringan Lik Sugeng setia melayani sampai dini hari, bahkan terkadang sampai lewat shubuh. Medan di sekitaran Gelangang yang berpetak petak, penuh dengan UKM-UKM yang berdesakan dan hilir mudik mahasiswa antah berantah sudah dihapali betul oleh Lik Sugeng. Kini, Lik Sugeng menambahi layanan delivery service, tak kalah dengan pizza Hut. Para Gelanggangers (Julukan untuk orang-orang penghuni Gelanggang UGM) bisa memesan lewat aneka wedhang SMS, Lik Sugeng akan menghantarkannya sampai ke sudut-sudut areal.

Bagi mahasiswa-mahasiswa di sana, angkringan Lik Sugeng adalah tempat untuk mencurahkan ide, mengagasan rencana kegiatan atau sekedar menitipkan salam tempel pada mahasiswa baru. Konon, banyak gagasan besar muncul dari sana

Angkringan ‘Umar Kayam’

Berbeda dengan angkringan yang lain yang kemunculannya alamiah, Angkringan Umar Kayam dibuka oleh pengelola yayasan Umar Kayam. Bakul Angkringannya juga merangkap penjaga kantor yayasan itu, sehingga kini kalau pas ada kegiatan apapun di tempat itu, angkringan selalu menjadi menu utama. DI Angkringan ini penyajiannya dikemas lebih modern dengan tempat yang dipasang ‘hot spot’, sebuah gitar, kotak catur dan televisi. Pengunjung bisa bercokol dan berkerumun dimana saja, di sekitar areal yayasan umar kayam.

Kebanyakan orang-orang yang datang kesana adalah anak-anak muda dari kalangan Fakultas Sastra, komunitas Blogger, atau komunitas tertentu yang ingin mencari tempat untuk Rapat. Tempatnya memang agak tertutup sehingga tak banyak orang di luar komunitas itu yang datang mengunjunginya.

Angkringan Mbak Dina ‘Trekkers’

Angkringan ini belum genap satu tahun ‘nangkring’ di depan toko Trekkers. Toko Trekkers sendiri adalah sebuah toko sepatu dan alat alat pendakian yang dimiliki oleh Ferry, seseorang aktivis LSM, aktivis lingkungan yang sekarang tengah getol turut mengkampanyakan gerakan bersepeda ke kantor (B2W). Angkringan Trekkers melengkapi dirinya dengan ‘hot spot’ dan beberapa alternatif tempat duduk dengan meja meja kecil. Karena latar belakang pengelolanya sendiri yang memiliki jaringan di lingkaran LSM Lingkungan, maka kebanyakan yang datang disana adalah para aktvisis-aktivis Lingkungan. Penjualnya sendiri salah satunya adalah Mbak Dina yang kalau siang hari masih aktif bekerja di sebuah kantor yayasan. Kini, angkringan itu juga menjadi ajang pertemuan diantara rekan-rekan aktivis lingkungan.

Angkringan kang Sulis ‘Lingkar’

Angkringan kang Sulis ‘Lingkar’ adalah angkringan yang terletak di seberang kantor Lingkar (sebuah LSM yang baru 2 tahun berdiri pasca gempa 29 Mei 2006). Angkringan ini dimiliki oleh kang Sulis, pra gempal berkacamata asli Muntilan. Angkringan ini berdiri persis di tengah-tengah kampung Banteng Baru yang umumnya lebih banyak rumah-rumah dari pendatang daripada penduduk asli dari sana. Dulu sewaktu di Lingkar masih banyak relawan-relawan, Angkringan kang Sulis menjadi tempat yang saban sore selalu ramai dikunjungi relawan Lingkar.


15 Des 2008

Sunset di tengah hujan

Jam 2 dini hari, aku terjebak Hujan. Perjalanan yang sudah kumulai semenjak jam 9 malam terpotong-potong karena hukan yang ber-fluktuasi seperti naik turunnya saham, dari lebat ke mereda lalu melebat lagi. Perjalanan sebenarnya adalah sekitar 30 km membelah kota Yogya yang sebenarnya dalam kondisi normal bisa ditempuh dalam waktu 45 menit dengan rata-rata kecepatan tercepat mesin turbo motor bobrok warna merah jambuku. Tapi mesin motorku di saat cuaca hujan begini bisa teramat manja, suka batuk-batuk dan mendadak mogok karena kemasukan biang air. Aku tak mau menemupuh resiko dan memilih berangkat dengan siasat "kutu loncat" alias bergerak dan berhenti dari satu titik emperan dan emperan lain. Karena malam yang sudah dini, dan semua deretan toko, kantor sudah tutup, sangat memudahkanku untuk memilih emperan mana yang bisa aku masuki. Alasan lain karena aku memang tak membawa jas hujan, sebuah kesialan (atau ketololan) yang lain yang tak mau kuterangkan dengan teliti karena ini sudah terjadi berkali-kali. Tapi kadangkala (seperti firasatku malam ini) pastinya aku akan menemukan pengaalaman yang dasyat malam ini.

Melirik pada jam di layar handphone aku tersentak, angka digital sudah menunjuk jam 2 dini hari, ini berarti, berarti sudah 5 jam aku terjebak Hujan. Berteduh dari satu emperan ke emperan lain, aku saksikan beberapa orang nekat lewat menembus hujan tanpa jas hujan. Pada jam segini, dini hari orang-orang masih keluyuran, seperti aku. Beberapa orang menggerombol di bawah tenda warung angkringan dengan cahaya lampu kerlap-kerlip dan tiga ceret di atas bara tungku yang mengepul-kepul. Aku jadi ingin menyeberang jalan dan menerobos hujan menuju ke sana. Tapi keinginan itu kuurungkan karena hujan mereda lagi dan aku segera menyepak starter motorku, tancap gas, meluncur di aspal yang basah penuh dengan aliran sungai-sungai kecil itu. Tempias hujan seperti ribuan jarum-jarum jatuh, masih turun dan memedihkan kedua mataku. Ya, aku jadi teringat dengan selarik sajak Gunawan Muhammad ;

"Gerimis turun seperti jarum-jarum jatuh /Seribu gugur dari sebuah jam yang jauh...."

Hanya selepas lemparan batu, hujan melebat lagi dan aku segera memutar manuver mencari emperan-emperan bangunan, rumah dan toko yang telah kesemuanya tutup. Sebuah toko kelontong dengan rolling door besi dan plat bertuliskan "dilarang parkir di depan pintu " kuhampiri. Di depanku deretan toko toko yang lain, dengan tumpukan billboard aneka warni, lampu-lampu neon yang berbendar dan lampu merkuri yang membayang pada aspal seperti bayang-bayang sunset warna kuning. Sunset? kenapa terbayang dikepalaku sebuah sunset yang hangat dan megah pada bayang-bayang kuning merkuri itu?

Sepi benar dini hari itu dan aku hampir terlupa ketika suara-suara hujan yang lebat turun membentuk kegaduhan diantara genting-genting, tembok-tembok, asbes dan plat-plat seng. Suaranya menggemuruh, tapi anehnya tidak memekakkan telingaku.

Aku memerosokkan diriku di pojok emperan toko, menyudut di situ, berjongkok, mengusap-usap kedua telapak tanganku dan mengumpati diriku sendiri saat tak kutemukan 'pematik api'. Ada rokok tapi tak ada pematik api adalah kesialan sempurna di bagi perokok di saat cuaca dingin begini.

Dari tikungan jalan kulihat seorang pengendara motor bergegas menghampiri sebuah emperan yang lain di seberang jalan ini.

"Hey kenapa ia tidak memilih emperan ini dan aku bisa meminjam pematik api darinya?"

Hujan makin lebat dan orkes hujan makin berdentum dengan hebat, persis disebelahku baru kusadari sebuah sepeda onthel dengan keranjang bambu bertengger dan dibawahnya sesosok orang terbuntal dalam sarung lusuh di atas alas kardus. Sepasang sandal jepit nampak tertata rapi (seperti sandal jepit yang sengaja di lepas di depan pintu masuk sebuah rumah) diletakkan di tepiannya.

Diam-diam aku mengambil fotonya. Dalam hati kupikir ;"Jahat benar mengambil foto orang lain tanpa ijin"

Sesosok yang tengah tidur pulas dalam buntalan sarung. Sedang bermimpi apakah dia? Di keranjang bambu itu tak penuh dengan muatan. Apakah ia seorang penjual? apa yang ia jual? Darimanakah asalnya? satu demi satu pertanyaan itu muncul.

Sesosok dalam buntalan sarung itu tak bergeming sama sekali. Tidur pulas di emperan toko yang kalau siang seingatku adalah toko kelontong yang penuh dengan hiruk pikuk orang dan tumpukan barang-barang. Berarti tinggal 4 jam lagi saat toko itu buka dan kalau sosok dalam buntalan sarung itu belum bangun, sesuatu akan terjadi.

Aku menggigil kedinginan, mungkin karena tak bergerak. Tetapi tak bisa bagiku untuk meniru sesosok dalam buntalan sarung itu. Untuk manusia sepertiku, tidur yang nyenyak hanya bisa dilakukan saat aku sudah tiba di Rumah dengan dinding bantal, kasur yang empuk dan selimut yang hangat.

Ya, Seperti biasa, aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali bersyukur aku masih lebih baik dari dia. Hujan pun reda dan aku segera menancap kunci, menyepak starter motor dan meluncur pulang ke "rumah". Rumah dengan dinding, kasur empuk, kopi hangat dan dua ekor kucing rumah yang melingkar. Mungkin segera kulupakan malam yang dingin ini dan sesosok dengan buntalan sarung itu.

"Selamat tinggal sesosok tidur dengan buntalan sarung, Aku mau pulang ke rumahku, semoga engkau tak terlambat bangun"

14 Nov 2008

Sekolah me-Lingkar

"Sekolah me - Lingkar mungkin hanya ada satu-satunya di dunia. Yah, karena adat tabiatnya yang luar biasa unik. Kepala sekolahnya ditunjuk langsung oleh murid-muridnya, tidak digaji, tapi justru dimak-maki jikakalau sang kepala sekolah terlalu membebankan PR atau tugas yang berat . Kerena beban berat ini, sang kepala sekolah sering absen buat perjalanan dinas yang tak ada hubungannya dengan sekolah pun" (dikutip dari sumber yang tak bisa dipercaya)

Suasana sekolah Lingkar pas dijunjungi mentor spesial dari Aceh, sebuah LSM
yang bergerak di Pendidikan PRB di Aceh. Kalau pas Mentornya 'menarik'
seperti itu, Murid-murid akan menampakkan muka lembut dan penurut
-diambil dari my activityFrom my activity

Sekolah Lingkar adalah sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga yang bernama Lingkar, sebuah LSM yang tumbuh akibat pulung Gempa 27 Mei di Yogyakarta lalu. Gempa memang bencana, tapi di satu sisi mendatangkan banyak lembaga baru yang mengurusi dari bantuan, recovery sampai sekedar numpang nama. Tapi Lingkar memang beda, awalanya hanya sebuah forum relawan yang kini bermufakat menjadi lembaga baru dengan isu yang lebih aktual "Penanganan Resiko Bencana". Yups, karena musibah pun ada asuransinya, bencanapun kini istilahnya di mitigasi, alias diteliti tanda-tandanya, ancaman, resiko sampaidengan antisipasinya. Nun, Lingkar berkutat pada soal-soal tersebut.

Seperti kisah asal muasal Lingkar, pada mulanya murid-murid sekolah Lingkar hanya meliputi relawan-relawan Lingkar dan jumlahnya kalau ditotal bisa mencapai 50 relawan lebih. Tetapi seiring waktu sekolah lingkar menyusut. Mungkin karena ruang kelas yang sempit hanya kira-kira sepetak 4 x 10m maka jumlah muridnya menyusut jadi rata-rata selusinan. Itupun karana kondisi tempat yang memang tak di set up untuk sebuah kelas yang 'wajar' maka amatlah biasa dalam sekolah Lingkar murid bisa duduk sambil selonjor di bawah bangku, sambil duduk di bawah tangga, sambil pijat-pijat an satu sama lain, atau duduk sekursi buat berdua.

Sekolah Lingkar dijalankan secara periodik di Lingkar tiap hari Jum'at, petang. Topik kelas berganti-ganti seusai dengan wilayah isu soal ke-LSM an seperti ; Fasilitasi , Gender, Susitanable Development, Lingkungan Hidup, isu-isu kontekstual kebencanaan, dan sebagainya dan sebagainya.

Uniknya, demi menyambung semangat untuk belajar di sekolah Lingkar, para murid-murid dengan sukaela membawa SPP. SPP-nya bukan sebentuk upeti uang buat kepala sekolah atau buat pengelola sekolah, tapi berwujud makanan ala kadarnya yang disajikan langsung di dalam kelas. Maka SPP di sekolah Lingkara adalah kepanjangan "Sumbangan Pangan dan Panganan". 'Pangan' untuk makanan berat yang dibungkus atau dibawa dalam kardus (yang berarti seseorang relawan atau murid mendapat bingkisan dari daerah 'dampingan') sedangkan panganan berwujud makanan-makanan kecil seperti bakwan, mendoan atau roti bakar (biasanya yang membawa adalah Abang Yosi yang nyambi bakul roti bakar). Hmmm, Kalau SPP melimpah, suasana kelas menjadi lebih meriah. Sudah biasa di dalam sekolah Lingkar murid-muridnya menyimak kelas sambil makan kacang, menyeruput kopi, menyrudug gorengan dan centang perentang bungkusan SPP.

Murid-murid sekolah Lingkar adalah komposisi yang cambur aduk dari relawan, buruh cetak mencetak, penjual Roti sampai ibu-ibu PKK, orang kampung.... Bahkan ada seorang Ibu yang mengikuti kelas sambil menggendong anaknya yang masih kecil dan seorang anak bleseteran Inggris-Suroboyo yang wara-wiri hilir mudik di dalam ruangan kelas Demi mengatasi kekacauan ini konon sedang dipikirkan untuk membuat sekolah Lingkar Yunior, untuk menampung anak-anak kecil generasi sekolah Lingkar berikutnya tersebut.

Dengan murid murid yang campur aduk dari usia sampai latar belakang ini maka materi yang disampaikan pun biasanya dimulai dari paling basic. Jadi, apapun tema pelakarannya, selalu ditambahi dengan '....blablabla for beginer'.

Di sekolah Lingkar, mereka menyebut guru dengan istilah "Mentor" yang didatangkan dari lembaga lain. Kebanyakan dari mereka kebetulan adalah rekan sejawat semasa masih kuliah murid-murid. Jika yang terjadi demikian pastilah 2/3 dari per-kelasan akan berupa Reuni yang mengharu biru....

"Wah, lama ndak ketemu, kamu masih ndak berubah juga"

"Dulu berkecimpung asyik masyuk di sudut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), eh kini ketemu lagi meng-LSM"

Kalau kita ingat murid-murid yang di asuh ibu guru Nur dalam laskar pelanginya andra Hirata itu, kurang lebih sama-sama mengenaskan. Perbedaanya, kalau murid asuhan Ibu Nur dalam Laskar pelangi itu sekolahnya sudah hampir roboh dan kapal pecah dengan genting bocor sana-sini dan sebuah poster roma irama menenteng gitar dengan jubag rumbai-rumbai dan mata mendongak menghamba "Hujan Duit", Nah kalau ruangan sekolah lingkar, adalah sebuah ruangan laiknya medan rapat (sebuah meja besar, billboard, gelas-gelas penuh kopi, asbak dengan puntung rokok, berkas berkas, dan centang perentang poster kampanye advokasi dari soal lingkungan sampai advokasi perempuan). Kesamaanya, murid-murid sekolah lingkar sama-sama "Tengil", dalam artian, mereka suka bikin ulah di dalam kelas. Karena kadangkala sang guru lebih takut di depan murid (murid nya ada yang punya tatto) maka murid-murid bebas melakukan apa saja sembari mengukuti kelas. Ada yang sambil makan minum, merokok, sambil kentut atau yang paling parah mengupil di dalam kelas dan menaruh upil di bawah meja. Beruntung, sang mentor tidak mendapat 'surat kaleng' atau disorak-sorai sampai berlumuran keringat karena dengan sengaja menggunakan kata-kata yang sulit dalam pidato kelas.


Kadangkala kalau sekolah membludag, murid-murid ada yang duduk di bawah-
tangga,sambil berdiri, duduk di lantai, bahkan ada yang sambil tidur.

Apa mau dikata, pada niat punya niat, sekolah Lingkar memang punya tujuan baik. Istilahnya, kalau sekarang ini sebuah LSM harus terus meningkatkan Capacity Building alias Peningkatan Kapasitas, supaya para murid lebih luwes di lapangan, punya inisiatif, bisa meng-LSM, menjadi pekerja sosial, Meng-Lingkar, atau apapun itu namanya dengan baik dan benar. Soalnya, konon kembang-kempisnya sebuah lembaga tergantung bagaimana LSM itu mengelola laporan-laporan dan mengelola isu yang ada sedemikian rupa. Biar bijakana dan selamat.

23 Sep 2008

indigenous 'beauty', indigenous children


Siapakah yang lebih tolol; anak-anak atau kita orang dewasa? Hmm, menghadapi anak-anak adalah pengalaman yang tidak ada habisnya. Sepertinya, sesering apapun kita menghadapi anak-anak tetap saja ada saat dimana kita merasa capek, kering energi, kehabisan otak dan kehabisan kata-kata untuk menjawab berondongan pertanyaan lugu, konyol mereka. Bagi mereka tak ada hal salah, tetapi semuanya soal permainan. Dalam permaian atau game hanya ada menang dan kalah dan menyengankan tidak menyenangkan. (Dikutip dari sumber yang tidak bisa dipercaya)

Alkisah, kami para volunteer LSM dapat kontrak kerja diturunkan di medan juang bernama Desa Salam dan Desa Pengkok, Patuk Gunungkidul. Dua buah desa yang nyempil (kalau dilihat dengan 'Google Earth' memang nampak se-upil) di bukit patuk Gunungkidul. Memang lokasinya belum sampai di Kota wonosari, tetapi jalan menuju dua desa tersebut harus menanjak bukit dan keduanya mengalir sebuah sungai yang melingkar seperti ular dengan air yang tak pernah habis, kadang berwarna kecoklatan kadang berwarna bening, adalah kali Nampu, harus ditempuh dengan jalan licin terjal penuh dengan batu-batu cadas lereng-lereng dengan pohon-pohon dominasi jati, akasia, jambu mete dan ilalalang antah berantah. Desa salam dan desa Pengkok terhitung harus kulalui saban hari, ulang alik dari Jalan Kaliurang (utara Kota Yogyakarta) adalah perjalanan darat dengan kendaraan bermotor berboncengan sambil membawa peralatan tempur standart seorang fasilitator LSM (Gulungan Plano, Spidol Besar, Metaplan, Buku Jurnal, Berkas Absensi, Kamera Digital). Jarak tempuh kurang lebih kalau mengebut mencapai bilangan 1,5 jam dengan rute paling rawan adalah tikungan setelah Piyungan, yakni (kalau ndak salah namanya) "Tikungan bokong semar" dan tikungan -tikungan lain yang harus antri dengan kendaraan-kendaraan truk dilapisi dengan muatan penuh material menggunung (biasanya kalau truk dari gunungkidul membawa batu gamping, hasil bumi, kayu dl). Maka kalau sang driver paling tidah harus punya talenta menyamai paman Rozzie sebelum akhirnya sampai pada sebuah tikungan dengan jalan aspal kecil dan sebuah palang kecil (balai desa Salam) . Tapi jangan merasa lega dulu, karena aspal itu hanya memutari sebagian kecil desa salam dan desa pengkok, selebihnya adalah urat-urat jalan berikut cabang-cabang jalan yang menghunungkan rumah-rumah yang tak beraturan mengikuti Tipografi perbukitan Gunungkidul, adalah ruas jalan yang bercadas mirip sungai yang mengering. Beruntung kalau musim kemarau, tetapi bilamanan musim pennghujan, kami benar-benar mengalami suasan off road, terguncang-guncang, terperosok lumpur dan menuntun motor.

Hmmm, tetapi kami, khususnya aku tiba-tiba bisa merasakan kebahagian tersendiri. Dibalik bukit perbukitan dengan suasana cadas, rumah-rumah kayu dan senyapnya suasana pededaan itu terdapat anak-anak yang lincah. Kalau anda pernah mendengar mitos mengenai cantik-cantiknya gadis Gunungkidul, maka aku tidak menyangkal lagi. Biar saja orang lain mengatakan 'Pedopilia', tetapi yah, apa mau dikata mata sudah terlanjur menangkap barang-barang ranum nyaman lentik-lentik molek-molek dan sliwar sliwer membuat 'darah muda' ala bang roma irama pun meluap-luap. Indigeneus Beuaty Indigenous Children!

Setidaknya terhitung ada sekitar 12 pertemuan dengan anak-anak telah kami tempuh. Kesemuanya dengan teman pendidikan Pengurangan Resiko Bencana. Kami menggunakan metode-metode permaianan seperti yang sudah dilakukan oleh pendidikan lingkungan. Anak-anak diajak ke tanah lapang, bermain-main dengan benda-benda sekeliling sambil diajak berdiskusi. Anak-anak juga diajak membuat sketsa desa mereka, tentu saja sambil mulut klecam-klecem membayangkan kalau saja mereka sesusiaku, langsung aku pinang jadi pacarku. Yah apa mau dikata, tugas tetap jalan tetapi naluri buaya darat kadang sulit dibebat.

13 Agu 2008

Paman datang

Paman adalah panggilan unik. Makna pertama bisa berarti seseorang memanggil anda dengan paman karena ingin mendudukkan anda lebih tua, tetapi tidak menyinggung bahwa secara fisik anda memang 'tua'. Anda akan terlihat lebih muda dengan panggilan 'Paman'. Makna kedua, bisa jadi seseorang yang memanggil anda jauh lebih muda usia dengan anda. Panggilan paman bisa juga untuk menekankan ada jarak usia diantara si penyebut dan si penyandang paman.

Aku telah menjadi paman dalam keluargaku, lingkaran sosial terkecil dalam lingkaran kehidupanku semenjak ada seekor bandit kecil yang tak pernah capek wara-wiri menggangguku, Gading namanya. Gading adalah anak pertama dan cucu laki-laki dari hasil buah cinta kakak laki-lakiku yang nomer dua dengan seorang gadis dari magelang.

Dalam lingkaran yang lebih besar lagi, aku juga menjadi paman bagi banyak keponakan-keponakanku yang lain, yakni anak-anak dari teman-teman satu kuliah. Separoh lebih dari teman seangkatanku, seusiaku, telah mengakhiri masa lajang, terutama para perempuan-perempuannya yang lansung  akan beberapa saat lamanya lenyap dari peredaran (sibuk dengan centang-perentang urusan domestik), hingga hampir tak muncul kabarnya sama sekali, kecuali....

Yah kecuali, satu keponakan lagi telah lahir, oh bahkan ada seoarang kawan yang melahirkan bayi kembar!

Di lingkaran yang lebih besar ini aku merayakan sandangan baruku sebagai paman bagi banyak keponakan. Sandangan ini juga berarti bahwa aku salah satu dari laki-laki dari lingkaran itu, yang masih mempertahankan lajang ku.

Paman jangan di ganggu!

Paman jangan di ganggu dulu, paman baru konsentrasi dulu, paman baru sibuk di depan komputer, cari kenalan! Bah!, keponakan ku satu-satunya telah menyerbu ruanganku. Maka sepersekian jam kemudian, kamarku adalah kapal pecah. Gading menyerbu dengan mainan-mainannya; ada tank yang bisa terbang, pistol-pistolan, Mobil yang bisa berubah jadi robot, ada kereta api-kereta apian yang bagian relnya telah hilang entah kemana, ada topeng 'ultramen gaya', boneka gajah, macan, singa, monyet, rusa, kudanil,....

dor! dor! dor!

Hhhmmm, baiklah, kali ini paman menyerah! takluuuuukkk!

Dunia keponakan tengah menyerang dunia paman. Dunia keponakan menyerbu membabi buta dengan segala peralatan tempurnya!