12 Des 2009

Kota yang terus mempersolek diri

6496_99501018401_585738401_2106866_7623820_n Ada beberapa hal tengah menggeliat dikotaku. Entah ini ada hubungannya tidak dengan mitos belanja akhir tahun atau tidak. Sebuah mitos bahwa akhir tahun instansi dan dinas-dinas pemerintahan disibukkan dengan menelisik ‘daftar belanja’ masing-masing. Kalau ada sisa duit dari ‘daftar belanja’ , maka di anggaran belanja tahun mendantang, anggaran terancam akan dipangkas. Tak mau kalah dengan gaya hidup sebagian orang-orang urban di kotaku yang akhir tahun ini sibuk belanja akhir tahun, mengejar daftar diskon dan cuci gudang yang dipajang di etalase-etalase. Bagi sebagian orang-orang urban itu, pemenuhan berbelanja sebagai homo ekonomikus lebih didasari sebagai ‘gaya hidup’ masyarakat modern dimana mode of consumsion lebih utama daripada mode of production. Namun semoga itu bukan moda yang sama bagi kotaku, membelajakan anggaran dengan proyek-proyek kejar tayang karena dalih aji mumpung. Tetapi baiklah kita khusnudzon ria alias berbaik sangka, bahwa akhir tahun ini kotaku ingin mempercantik diri.

Ada beberapa geliat proyek mempercantik kota yang kucatat...

Pertama, melintaslah di bagian utara kotaku malam hari, anda akan menemukan geliat para pekerja siluman di bawah komando sebuah dinas yang namanya cukup aneh ditelinga; Kimpraswil. Kimpraswil ini bagiku seperti nama sebuah jajajan tradisional yang bahan dasarnya adalah cassava alias ubi kayu. Tapi tidak! Kimpraswil dengan pasukan siluman tengah sibuk-sibuknya membuat gorong-gorong saluran air terpadu di ruas jalan Kaliurang. Saya sebut pasukan siluman karena jejak mereka tak akan nampak di siang hari kecuali bekas galian tanah yang mengunduk di kanan kiri jalan, plakat kayu bertuliskan ‘maaf perjalanan anda terganggu’, sebuah backhoe yang nangkring di pinggir protokol dan lubang-lubang menganga. Tapi pekerjaan ‘gali lubang tutup lubang’ ini dikerjakan dengan taktis dan sistematis. Semisal anda satu hari saja tidak melewati jalan itu, maka anda akan menemu jejak gali ‘lobang tutup lubang’ itu sudah berpindah tempat kira-kira 100 meter jauhnya dari tempat sebelumnya. Dan, pada tempat galian sebelumnya giliran pasukan siluman pengecor aspal yang meninggalkan jejak drum-drum aspal, truk pengangkut aspal dan stoom yang parkir di pinggir protokol. Yup, pekerjaan mereka membuat gorong-gorong saluran air terpadu konon bertujuan agar limbah rumah tangga dari comberan, buangan kakus, buangan air dan sebagainya bisa disalurkan ke dalam sebuah chamber raksasa di luar kota. Di chamber raksasa ini ada IPAL (instalasi pengolahan Air limbah) yang akan menyaring segala sesuatu dari urat-urat gorong-gorong di sekujur kota. Mungkin kini anda membayangkan perjalanan ‘si kapal selam kuning’ yang meluncur dari toilet sebuah hotel, warung, rumah atau sekolah, bergerak pelan tapi pasti melalui urat nadi gorong-gorong yang membelah bawah kota sebelum akhirnya perjalanannya terdampar di IPAL. Dan, di IPAL itu ribuan mungkin jutaan ikan lele sengaja dipelihara dengan ‘asupan gizi’ yang melimpah tumbuh menggelepar-gelepar gemuk. Si komplotan lele sebagian besar di distribusikan ke warung-warung pecel lele di pinggir-pinggir jalan kotaku. Maka terjadilah siklus daur ulang antara konsumen-pengurai-produsen-konsumen itu. Yummy. Tapi mari, sekali lagi itu hanya sekedar illustrasi, dan banyak tujuan positif dari pembangunan gorong-gorong terpadu itu. Yakni; kini tak perlu risau lagi pencemaran e-coli di sumur-sumur dan sungai-sungai. Tabiat jahiliyah membuang limbah cair ke sungai juga mulai terkurangi, setidaknya meskipun tiap warga harus merogoh kocek Rp. 500,- per bulan untuk langganan saluran pembuangan terpadu ini, tetapi mereka tidak lagi khawatir kena sakit perut.

Kedua, Dinas lain tak mau kalah dengan kimpraswil adalah DLLAJR, yang punya pasukan siluman pula; tukang cat aspal dan pemasang rambu-rambu lalu lintas. Tiba-tiba di suatu pagi yang biasa saat aku tengah mengayuh sepeda ke kantor, aku tersentak pada sudah adanya jalur kuning dengan ikon sepeda di kiri kanan jalan. Jelaslah jalur kuning ini sebagai jalur sepeda yang bisik-bisiknya akan diupayakan menyeluruh di seluruh kota lengkap dengan infrastruktur pendukung dari areal parkir sepeda, rambu-rambu, bahkan konon kompartemen tempat istirahat pesepeda. Selain jalur kuning seukuran 1 meteran itu, dibuat pula tempat tunggu pesepeda di perempatan-perempatan dengan tanda hijau mencolok dan cat kuning menonjol ikon sepeda, juga plakat-plakat ‘jalur alternatif sepeda’ pada ujung gang-gang kecil lengkap dengan informasi ke arah mana jalan alternatif itu menuju. Kali ini kotaku terinspirasi dari Bogota, sebuah kota dari negera berkembang di Afrika yang tumbuh pesat berkembang dengan dibuatnya rapid-mass-transportation berupa bussway, pengurangan jumlah kendaraan bermotor dan pembuatan jalur sepeda terpadu. Keberhasilan Bogota menjadi inspirasi bagi kota-kota di negera berkembang lain, seperti halnya kotaku. Dan, pada jalur kuning itu, kukayuh sepedaku dengan sem angat, semakin kencang semakin berpeluh, tapi ada yang masih terasa aneh, yakni baru kusadari sepanjang kiri kanan hampir tak kutemukan pesepada yang lain. Semoga seperti hal itu bukan untuk waktu lebih lama. Fiufhhh

Ketiga, adalah pohon-pohon peneduh jalan. Entah ini pekerjaan tim siluman di bawah kimpraswil atau DLLAJR atau dina-dinas yang lain, tetapi tiba-tiba saja muncul pohon-pohon seukuran dada di kiri kanan jalan. Tentu tak ada pohon di dunia ini dengan teknologi inplantasi paling mutahir pun, untuk membuat pohon tiba-tiba tumbuh dalam semalam. Selain pohon-pohon itu ada pada beberapa tempat tiba-tiba muncul kanopi-kanopi kecil dari rangka besi yang dibawahnya terdapat pipa panjang horisontal yang sepertinya dirancang untuk tempat nongkrong sambil berteduh. Pada bagian kaki-kaki kanopi mulai tumbuh menjuntai tanaman merambat seperti tanaman anggur. Saya tak tau pasti apa nama tanaman merambat itu, tetapi sepertinya untuk beberapa tahun mendatang kanopi itu akan dilingkupi tanaman merambat dan orang-orang akan semakin banyak yang nongkrong di kanopi itu untuk mampir ‘ngiyup’ . Lepas dari ini bagian daftar belanja akhir tahun siapa, tetapi aku cukup senang dengan kotaku yang dipersolek dengan pohon-pohon.

Keempat, kontras dengan prinsip hemat energi yang digembar-gemborkan PLN, kotaku dikosmetik dengan kelap-kelip lampu. Berbagai macam model lampu flip flop yang dipajang; ada yang dibuat dalam bentuk kipas, burung yang bisa bergerak-gerak seperti mematuk-matuk, melingkupi pepohonan sampai dengan sekedar lurus mengikuti jalan aspal. Baiklah, lepas dari ketidak sepakatanku pada ‘boros energi’, tetapi ini lebih baik daripada kota Bandung yang menurut temanku punya ‘dinas’ penerangan pelit dengan membiarkan kota gelap gulita dan taman-taman dibiarkan remang-remang. Ya, barangkali kotaku terinspirasi dari cerpen karya Umar Kayam ‘seribu kunang-kunang di manhattan’.

Kelima, Tugu adala ikon kota Jogja. Kalau tugu bisa ngomong tentu ada ribuan cerita yang bisa dituturkan. Seperti halnya saban malam, pada dinding tugu yang dingin itu orang-orang yang kebanyakan anak muda akan berfoto ria di depan tugu. Dengan berbagai macam pose; dari pose memeluk tugu, pose duduk-duduk, pose memunggungi, pose melompat dan centang perentang pose ekstrim lainnya. Saking banyanyak orang ingin berpose di depan tugu, lambat laun,di areal protokol di depan perempatan tugu, muncul para tukang parkir sampai dengan juru foto. Sebuah fenomena tak asing seperti lumut pasti tumbuh di tempat lembab di seantero kota apabila ada wisata alternatif semacam. Bangunan berbentuk tugu batu peninggalan kerajaan mataram itu telah mengalami beberapa kali pemugaran. Tugu juga tak luput dari peristiwa gempa besar yang konon membuat bagian ujungnya yang berupa bulatan, lantas menggelinding. Di tahun ini beberapa kali kuperhatikan tugu sudah mengalami setidaknya 3 kali pemugaran di bagian dasarnya. Pertama, pembuatan taman, kedua dipangkas habis menjadi badan aspal dan ketika dikembalikan lagi dengan pembuatan taman. Kini, terakhir persis akhir tahun ini, bagian bawah tugu dipugar lagi, kali ini saya tak mau menebak akan dijadikan apa. Ya, akhir tahun ini pula, tugu sebagai ikon kota jogja turut dipercantik. Nun, kalau tugu bisa ngomong barangkali ia akan mengeluh.

8 Des 2009

Ku tunggu mangga mu

Foto Courtesy 'Geng Penunggu Pohon Mangga' halaman belakang Kantor KYPA Pohon mangga di halaman sekolah SD Cepokojajar, di pelosok desa Piyungan itu berjumlah dua pohon yang kesemuanya tidak begitu tinggi. Ada sekitar 130 murid, 13 guru, seorang kepala sekolah dan 1 orang petugas penjaga sekolah. Sehingga setidaknya ada 145 kepala yang bakal menjadi beneficieries (penerima manfaat) bagi gerombolan buah mangga itu. Kalau dibagi adil sejumlah kepala itu, pastinya ada yang mendapat mangga seukuran kepalan bayi dan ada yang mendapat mangga terbesar seukuran kepalan raksasa. Tapi dalam kenyataan tak ada mekanisme matematis seperti itu, karena secara alamiah, entah dengan model apa, segenap warga sekolah menerima manfaat dari buah mangga-mangga itu.

Nun, selepas ngobrol santai dengan seorang guru di Sekolah SD tersebut, tiba-tiba saja ia mengeluarkan sebuah bungkusan plastik besar berisi buah-buah Mangga.

“Monggo, Mangga nya. hasil panen dari halaman sekolah’ Maka Semenjak pemberian itu maka saya seperti terikat pada hubungan simbiosis berbalas-budi.

Kejadian itu belum genap seminggu saat saya juga menerima sekeranjang Mangga, Kali ini dari sebuah lembaga yang menjadi tetangga lembaga tempat saya bekerja.

Mampirlah, jemput manggamu sebagai tanda terima kasih membantu acara kami’

Kejadian sebelumnya lagi belum genap beberapa hari saat saya mendapat sekeranjang mangga. Kali ini dari keluarga Kakak Ipar.

Dik, ini panenan dari deso”

Kejadian sebelumnya adalah belum genap beberap jam saja saat kantor saya menerima bejibum mangga dari seorang rekan kantor yang panen mangga dari halaman rumahnya.

“Titipan dari Bapak buat rekan-rekan kantor daripada dimaling anak2’

Pokoknya banjir mangga. Mangga….

****

Bulan November ini selain kemunculan Hujan yang pertama kali di kotaku, Kota Yog, juga musim Mangga. Di mana-mana buah mangga muncul dari pohon-pohon mangga. Dari pelosok kampung sampai pelosok dusun. Bahkan di petak-petak perumahan padat, perjalanan anda akan terhalangi buah-buah mangga yang bergelantungan persis di atas kepala anda. Bila anda sedikit mau nakal, bisa saja anda bisa mengemudi kencang di jalan itu dan mengambil beberapa gelundung mangga sekaligus. Atau kalau pas lagi apes, saat malam gelap gulita, saat anda ngebut, kepala anda akan benar-benar benjut karena menabrak benda keras, pejal, hijau bernama mangga.

Pun di kantor-kantor instansi dan lembaga di sekujur kota Yog. Fenomena panen mangga menjadi situasi ruang ‘hiburan tersendiri’ di tengah rutinitas di depan pendaran komputer, tumpukan arsip, dering telepon dan arus faximilili. Hampir tak ada satupun buah di dunia ini yang langsung matang seketika dari pohonnya. Pasti, seperti mangga di depan halaman instansi, kantor, petak perumahan, atau halaman tetangga, ada proses dari buntil lantas membesar dan terus membesar. Juga perubahan warna dari hijau ke kuning-kuningan. Untuk buah tertentu warna merah merona adalah pertanda buah masak sempurna dan masa skritis dimana kalau tidak disegera dikupas lantas dimakan, maka akan diserbu koloni lain yang berterbangan di malam hari; ‘Kelelawar-atau Codot’.

Mangga dalam bahasa sunda berarti juga ‘Silahkan’. Mangga jika diucapkan dengan fonologi Jawa diucapkan dengan ‘monggo’ yang berarti ‘mempersilahkan dengan sopan’. Ya, jika boleh menghubung-hubungkan harfiah mangga dengan filosofi tentang ‘mempersilahkan’, maka siapapun dipersilahkan oleh pohon mangga itu untuk memetiknya. Memang maha baik hati Tuhan yang menciptakan ‘Mangga’ ataupun kalau tidak mau menghubungkannya dengan Tuhan, sungguh baik bumi pertiwi yang menumbuhkan buah-buahan, dan lantas me'-‘mangga’ kannya kepada kita untuk memetiknya.

Ada banyak macam ‘mangga’'; Mangga madu yang konon manisnya semanis madu, Mangga kuhweni yang kulitnya keras setebal 1/2 cm yang akan membuat bibir kita nyonyor bila tak membersihkannya dari getah, tetapi adalah mangga yang paling ‘tidak tahu diri’ yakni ‘Mangga Mana Lagi’. Ya, namanya ‘Mangga manalagi’, yang setelah mempersihlahkan kita memetik, mengupas lantas memakannya, eh , kita ‘minta lagi’. We want more!

November, musim penghujan, musim mangga juga ditandai dengan pinggir jalan-jalan besar kota Yog dipenuhi penjual mangga dadakan. Ada yang menggelar dengan cara sederhana, di bawah payung, dan memasang umpan tulisan ‘3000’ per kilo dengan sebuah mangga yang disayat sempurna mempertontonkan ‘aduhai’ dagingnya yang lembut, manis, kenyal kekuning-kuningan. Ada juga yang menggunakan mobil bak terbuka, dengan tulisan ‘pilih sendiri manggamu’ –sekilo 2.500. Maka kalau kita boleh sedikit nakal, seperti halnya lorong petak perumahan yang dipenuhi mangga-mangga yang menjuntai tadi, kita bisa saja usil mengambil sebuah mangga saat melintas di penjual mangga tadi.

Berbeda dengan mangga di halaman rumah, mangga di halaman instansi, kantor atau lembaga biasanya tak jelas siapa pemilikinya. Karenanya siapapun yang seharian berteduh di atas atap kantor itu akan berlumba-lumba meng-klaim mangga milik masing-masing. Biasanya memang di –mangga-kan. Berbahagialah bagi instansi, kantor, atau lembaga yang halamanya ditumbuhi mangga. Proses menunggu tadi adalah proses perbincangan para penunggu mangga di bawah kolong kantor, berdebar-debar saban hari, harap-harap cemas mangga-mangga di atas pohon itu bisa matang dengan sempurna, lantas dikupas dan dimakan beramai-ramai. Tetapi memang bukan pada ritual memetik, mengupas dan menelan mangga itu yang ‘mengasyikkan’. Tetapi, adalah proses menunggu berhari-hari, berjam-jam, bermenit-menit, menyaksikan gerombolan mangga, sambil bermufakat dengan rekan-rekan satu kantor mangga mana menjadi bagian dari ‘miliknya’. Di sini buah mangga tidak hanya berfungsi sebagai pelepas rasa lapar dan asupan nutrisi berserat full vitamin C menjadi modal sosial sebuah komunitas suatu kantor.

‘Itu Manggaku lho’, Kalau perlu, sesuatu penanda ‘kepemilikan’ seseorang ditaruh disana, semisal dikerudungi dengan plastik, atau bahkan diberi ‘tanda tangan’, seakan-akan bahwa mangga ini adalah kini syah dijajah dan jadi milik penanda tangan.

Jadi, bagi instansi, kantor atau lembaga apapun, saya sarankan marilah ‘menanam pohon’ untuk mengantisipasi pemanasan global, dan saya sarankan pula jenis pohonnya adalah mangga. Selain peneduh yang cepat tumbuh, perawatannya mudah, pada bulan November seluruh penghuni kantor akan ‘kasak-kusuk’, ‘riuh rendah’ menunggu mangga masak di pohon.

4 Des 2009

PR, 10 Fakta tentang diriku

Sebelumnya maaf, aku mendapatkan PR ini sudah lama sekali, kira-kira beberapa bulan yang lalu.Terlupakan oleh urusan-urusan pating plekenik kata orang Jawa, yang artinya kurang lebih urusan campur aduk. Sampai akhirnya, pada tumpukan memo, ndak sengaja nemu PR ini.

Hari itu aku dapat PR dari blog tetangga . Sungguh keterlaluan dia pemilik blok, yang naruh secara eksplisit namaku pada di link track back. Sepertinya dia PD betul aku akan membaca bagian blog itu. Tapi baiklah, kuturuti saja apa maunya…;

10 Fakta tentangku

1. Korosif

Kalau orang bilang hanya besi saja yang akan berkarat atau korosif, itu tak benar. Pertama-tama aku mempunyai tubuh yang mudah berkeringat. Sedikit bergerak, sehabis makan pedas atau sedikit kecemasan, maka aku akan berkeringat. Apalagi kalau pas berolahraga. Orang akan mengira aku habis dari mandi daripada habis olahraga. Istilah ‘korosif’ ini pertemuan teman baikku yang mengatakan dengan lugas;

“Wah, mesti lho, kalau komputernya habis dipakai alex keyboardnya jadi lecek, Alex qi ‘Korosif’”

“Tuing” aku bukannya sakit hati mendengar celotehan itu, tetapi justru ‘gumbira’ karena aku kini bisa mengistilahkan hal yang memang faktanya terjadi pada diriku ; ‘Korosif’. Kata yang tepat untuk menggambarkan tangan yang selalu mudah berkeringat dan setiap kali menyentuh barang-barang, apapun ituh; keyboard, handphone dsb, akan meninggalkan bekas tanganku.

Yah, harus kuterima karakter ‘korosif’ ini. Aku sudah terbiasa. Dan dengan menerima kenyataan ini, setiap kali aku selalu berusaha membawa saputangan, tissu atau kalau perlu handuk kecil. Biarlah orang akan mengolok-olok aku sebagai ‘tukang becak’ karena suka menyelempangkan handuk kecil selepas datang dari naik sepedah untuk berangkat ke kantor.

“Wis Sanah mandi dulu lex, keringatmu sak jagung-jagung”

Sama saja. Toh selepas mandi, selepas kering, tetap saja ‘korosif’

2. Bau Kaki, Sepatu, dan Celana Kepar 1001

Sebetulnya bukan karena biang kaki yang bau, tapi ini berbanding lurus dengan tipikal tubuhku yang gampang bearkeringat. Maka tempat-tempat tertentu terutama bagian-bagian (maaf) tersembunyi, macam dua lipatan ketiak, buku-buku kaki, adalah tempat paling subur buat pertumbuhan holtikultura jamur-jamuran dan bakteri-bakteri mikroorganisme. Maka, tak perlu diperpanjang lagi, dari tempat itulah metabolisme aroma khas ‘metana’ dari organisme itu menyeruak, menohok hidung orang-orang di sekitarku.

“Maafkan aku”, tapi tak perlu dikatakan lagi, bahasa tubuh biasanya lebih jujur, yakni ketika orang disekitarku sudah dengan reflek tangan menyempil-nyempil hidung atau terlihat pula dari gerakan hidung yang mengendus-endus.

Soal bau ini juga pernah aku utarakan dalam celana kepar 1001 ku, tetapi sumber paling parah adalah ‘sepasang sepatu’. Sepasang sepatu plus kaos kakinya yang dipadu dengan 1 minggu tanpa dicuci lengkap dengan tumpukan perjalanan jauh dibawah terik matahari, tertutup rapat dalam sepatu yang jerat tali temali rapih. Maka sumber bau pada sepatu itu menjadi radioaktif berbahaya apabila sewaktu-waktu dibuka di tempat umum!

“Buzzz" “Iki mesti Alex!”

Yah, teman-teman sudah pada sepaham, semahfum dan sepenanggungan untuk urusan menebak secara pasti bahwa kedatanganku, juga sepasang sepatu di depan pintu, adalah sekonyong-konyong radiasi bau yang menyebar ke seluruh petak ruangan.

“Sanah Cuci Kaki- 7 Kali pakai sabuuun"!

Begitulah, lambat laun sambutan kedatanganku bukan jawaban selamat datang ataupun senyum yang hangat, tetapi kalimat “segera cuci kaki pakai sabun dan letakkan sepatumu di pojok parkiran”

Puh. Tapi beberapa waktu yang lalu aku cukup beruntung, karena adalah ‘Alisha’ si anak bos yang blasteran negeri Inlander Inggris dengan Surabaya. Karena, Alisha, walaupun rambutnya ‘blonda’, cantik dan lincah, tetapi punya bau sepatu yang tak kalah hebat dengan sepatuku.

Bahkan, kala berpergian bersama dalam satu kap mobil, aku, Alisha, bau sepatu Alisha lah yang lebih banyak dikomentari dari pada sepatuku. Maklum, anak Inlander ndak boleh lah punya tabiat buruk ‘bau sepatu’ macam anak kampung sepertiku.

3. Jijik dan takut dengan Cacing dan sebangsa Molusca.

Kalau aku adalah superhero macam Supermen, Spiderman atau Ultramen Taro, Maka tak ada musuh yang mampu mengalahkanku selain cacing dan binatang melata lainnya. Pokoknya sebangsa hewan lunak dengan lendir-lendir dan jalannya merambat, melata, atau nemplok di dinding yang lembab aku jijik sekali. Apalagi dengan cacing. Sampai –sampai pernah aku tidak mau minum obat cacing karena takut kalau cacing yang keluar lewat kotoran masih utuh. Brrrrr… Langsung bergidik saja aku membayangkannya.

Atau ular? hiii, ngeri membayangkan ular bergerak dengan tubuhnya tanpa kaki lantas melilit tubuhkita pelan-pelan. Maka salah satu mimpi burukku pula bila dikejar-kejar oleh ular (atau tafsirnya dikejar-kerja untuk disuruh kawin?). Beruntung aku sebelum sempat ular itu menggigit jempol kakiku, aku sudah bangun dengan megap-megap. Fiufhhh.

‘Ampun Pak, Aku belum siap kawin, punya pacar aja belum!”

4. Kucing .

Kucing itu lucu. Apalagi kalau seekor kucing tidur melingkar di atas perut kita, Walau si kucing berlagak cuek saja saat perut kita turun naik, atau diguncang-guncang, ia akan tetap saja melingkar di situ, terus mendengkur pelan-pelan, memejamkan matanya dan menaruh kepalanya pada salah satu kaki depannya.

Banyak yang bilang kucing binatang pemalas. Ya memang. Apalagi kucing besar, laki-laki pula. Bisa saja seharian si Paijo (kucing kesayangan ku yang berwarna kuning) tidur melingkar di pojok rumah. Bisa seharian pula tiba-tiba Paijo menghilang tak tentu rimbanya dan tiba-tiba pulang dengan tubuh penuh babak belur, atau kalau beruntung membawa pulang seekor lele goreng hasil nyolong lauk dari tetangga sebelah.

Apapun itu, kucing adalah binatang lucu menurutku. Dia tak biarkan saja melingkar dimanapun ia suka. di atas genting, di atas kasurku, atau menemani diantara tumpukan buku, arsip, kertas-kertas atau dengan cuek meminum air putih pada gelas yang tak sengaja kutaruh terbuka.

“Hussyaaah”

Banyak sudah kucing-kucing yang datang pergi di tempatku, juga di dalam hidupku. Ada kucing yang kupelihara sejak kecil, sampai beranak-pinak, kemudian anaknya beranak lagi dan seterusnya. Dulu karena rumahku di dekat jalan raya, hal yang paling sering terjadi kucingku tertabrak kendaraan karena ‘terburu-buru’ menyeberang. Juga, ada seekor kucing hitam, gemuk besar, dengan kaos kaki di keempat kakinya dan motif putih di sekitar mulutnya (hingga seperti memakai topeng), yang suka tidur di balik almari kaca di ruang tamu. Barangkali si kucing tau diri, mana tempat paling strategis agar tamu-tamu bisa melihatnya, lantas bilang ‘aiih kucinnya lucu benar’, lantas mengelus-elusnya dan lantas ia akan pura-pura penurut bak kucing paling hommy di seluruh dunia.

Tereakhir, adalah Paijo, Si kucing yang kutemukan saat gempa Jogja. Kucing berwarna kuning, gemuk besar, yang ditinggalkan pemiliknya karena rumah yang hancur berantakan. Si kucing tiba-tiba saja akrab menjadi keluarga baru dihtempatku, menempati singasananya; kalau tidak di atas jok motor, di pojok rumah, atau di bawah pohon ketepeng yang rindang. Paijo kupelihara hingga kematiannya yang tragis; mati karena sudah terlalu tua, bersembunyi di rerimbun semak pohon teh-tehan di depan rumah. Kini, 2 ekor anak kucing, warnanya kuning, pemberian tante kristi menjadi penghuni baru.

5. Maniak kopi.

Awalnya kopi adalah teman begadang, tetapi kopi kini adalah minuman rutin saban pagi. Juga lepas petang agar adrenalin sedikit terpacu dan mata lebih melek. Sampai-sampai siapapun yang berpergian aku titipi oleh-oleh kopi. Ada teman dari Jember yang kutitipi kopi jember, kopi yang diramu dengan bubuk jahe. Ada kopi Bali, kopi aceh yang harus direbus bersama dan konon dicampur sedikit garam agar lebih keras. Ada kopi luwak biji-bijinya telah dipilih secara alami lewat metabolisme yang keluar dari pantat si binatang berkaki empat bernama Luwak. Ada kopi Joss yang penyajiannya lumayan ekstrim; dimasukki arang bara. Ada kopi semarang, kopi ekspresso yang meskipun dalam gelas kecil, tapi rasa pahitnya terasa sampai kerongkongan dan membuat jantung anda berdebar dari malam sampai pagi. Ada kopi plethok yang dicampur dengan sedikit alkohol dari botol wiskey atau mansion. Kopi toraja, Kopi lampung dan masih banyak lagi kopi-kopi yang pernah kucoba. Teakhir, aku telah mendapat sepaket kiriman Kopi ‘Aroma’ dari sebuah kota B, Kopi Robusta dan Kopi Arabika. Seperti merknya yang dibungkus dengan desain classic, dengan ejaan lama, kopi ini benar-benar ber-Aroma. Konon kopi ini telah disimpan minmal 8 tahun dan dibakar dengan suhu kamar dari kayu karet. Luar biasa kopi Aroma.

6. Gigi Kelinci

Kelinci punya dua gigi besar di mulutnya. Menurut ilmu morfologi hewan, kedua gigi ini berfungsi untuk mengerat biji-bijian, buah-buahan dan tentu saja kalau kelinci untuk mengerat wortel. Tapig apa fungsi gigi kelinci yang kumiliki? Selain hanya sebuah ciri? Ceritanya kira-kira usia kelas 5 SD aku mengalami kecelakaan terjatuh dari sepeda. Apes, sepeda yang kutunggangi dengan ngebut tak bisa menghindari lubang aspal yang berada persis di turunan selepas jembatan kecil yang terkenal angker. Akupun terpelanting jauh, dan mulutku menghujam persis di tepian aspal. Beruntung tak ada luka parah, kecuali keudua gigi depanku yang baru saja tumbuh, langsung menjadi bemper atas tumbukan tadi. Sebulan lebih aku harus minum dengan sedotan dan makan bubur. Maka sisanya, kini bibirku jadi agak monyong dan tumbuhlah sepasang gigi kelinci.

Suatu ketika ada teman, calon dokter gigi, menawarkan kebaikan padaku. Selagi ia punya tugas kuliah untuk ‘anomali’ alias pemilik gigi gigi yang tak wajar untuk diteliti, maka aku sasarannya. Maka demi kebaikan ilmu pengetahuan, relalah mulutku selama hampir di setengah jam diublek-ublek dengan ‘semen putih’ untuk dibikin cetakan olehnya. Jadilah kemudian replika mulutku. Hihihi. Konon katanya kasus morfologi mulutku ini terbilang unik dan konon itu dipresentasikan untuk diberi garis bawah ; “Ini contoh pemilik mulut yang tidak memperhatikan perawatan gigi”

Kebaikkannya sebenarnya berlanjut untuk direkomendasikannya aku kepada kawan-kawan seperkuliahan dia sebagi praktek memberi kawat gigi. Sebermula aku menerima tawaran menarik ini, tapi lantas aku ‘mundur’ pelan-pelan saat tau konsekuensinya; ada 4 gigi yang harus dicabut paksa guna tatatakan kawat gigi dan menjaganya sampai 2 tahun lebih.

Tanpa membayangkan sakitnya alang kepalang saat dicabut 4 buah gigiku dengan paksa, akupun sudah dibuat keki saat dengan setengah jam lebih mulutku diublek-ublek dengan berbagai macam instrumen oleh mahasiswi-mahasiswi cantik calon dokter gigi yang sedang praktek. Sambil menahan keringat basah kuyup di atas kursi pesakitan dokter gigi, aku mengumpat dalam hati ; “Wis mbak, kapok aku, ndak bakal main ke sini lagi, Biarlah kuterima aku dengan kenyataan gigi kelinci. Lebih baik gigi kelinci dari pada sakit hati”

7. Suka bulan purnama

Bukan kebetulan nama tengahku adalah candra, yang berarti bulan. Tetapi aku memang suka sekali pada bulan purnama. Memandang bulan purnama, aku seperti melihat ada seekor kelinci besar disana. Memandang bulan purnama juga membayangkan bisa piknik kesana. Meloncat loncat pada hamparan putih besar, sepertinya empuk seperti kasur, atau seperti sebulat roti keju raksasa. Tetapi bulan purnama ini hanya muncul sebulan sekali dengan mahkotanya yang bulat besar, itupun kalau cuaca tak mendung atau turun hujan. Memandang bulan purnama pada tengah malam yang sepi sambil menyeruput kopi, camilan atau apapun itu, juga seperti melihat film yang tema nya tak pernah membosankan. Film pendek tentang bulan purnama yang akan membawa imjinasi kita kemana-mana, dari kelinci, sebulat roti, atau seseorang di kota lain yang mungkin melihat bulan purnama tengah tersangkut diantara cabang-cabang pohon, menyembul pada bingkai jendela dari meja kerjanya.

8. Sup, Mie kuah atau apapun makanan berkuah bening

“Slurruup” Sop adalah makanan favorit. Apalagi bila didalamnya bersemayam komplit potongan-potongan kentang, wortel yang dipola ala bunga, brokoli, rolade, kubis, cakar ayam, potongan jagung, daging sapi, seledri, daun bawang, dan terakhir taburan remah-remah daun bawang goreng. Sop bisa dibilang makanan yang ederhana, mudah dan cepat membuatnya.

Maka dalam acara jamuan di kondangan, pertemuan, pelatihan, workshop atau apapun itu, yang kusasar pertama kali adalah baskom besar dengan kuah mengepul-kepul dengan aroma rempah-rempah bawang yang menyengat. Sup.

Tapi, sop paling enak adalah milik almarhum Ibunda. Masih kuingat dulu, aku sering menunggui dan memperhatikan ibunda masak sup. Tangan ibunda dengan lincah meracik satu demi satu; pertama, si kakak adik bawang merah dan bawang putih, harus rela ditumbuk sampai halus bersama merica, garam, sedikit gula, sedikit kaldu kalau ada, lantas ditumis dan direbus bersama air sampai mendidih. Kemudian, satu demi satu; berurut dari sayuran paling keras; kentang, kubis, daun bawang, rolade, potongan tomat. dan…. done!

Paduan enak makan sop tentu saja sambal merah, tempe goreng dan kerupuk.

Selamat makan…. (tak terasa air liur saya sudah menetes).

9. Suka Jalan-jalan atau Sepedaan

Aku suka jalan-jalan. Benar-benar jalan-jalan, artinya dengan kedua pasang kaki, berjalan ke mana saja. Berjalan kaki malam hari juga menyenangkan. Kadang-kadang aku sengaja naik bus, kemudian turun ke suatu tempat dan meneruskan sisanya dengan berjalan kaki. Dengan berjalan kaki, selain sehat juga menjadi semancam refreshing bagi rohani kita. Dengan berjalan-jalan sambil menghirup dengan bebas bebauan di sepanjang jalan juga melehat aneka rupa tingkah polah manusia. Jadi dengan jalan-jalan juga bisa belajar sesuatu, mengamati banyak hal yang kita temui di jalan. Kadangkala kita juga menemu hal tak terduga yang tak bisa kita perhatikan saat kita lewat di tempat yang sama tetapi dalam kondisi kita terburu-buru (tengah naik motor atau naik kendaraan lain). “Hey, kenapa aku baru saja melihatnya?”

Kadangkala saat berjalan kaki kita akan berpapasan dengan orang yang kita kenal. Saat itu bisa kita lihat apakah mereka memperhatikan kita atau tidak. Lebih sering mereka terburu-buru dan kita akan berfikir; Kadangkala kita akan menjadi sebaliknya, saking terburu-burunya tak memperhatikan lagi ada orang-orang di sekitar kita yang mengamati kita. Dengan jalan-jalan kita memang lebih banyak jadi penonton. Menonton keadaaan, tetapi tidak terburu-buru.

Kini, selain jalan-jalan aku menemukan kesenangan lain yang hampir sama; Sepedaan. Dengan Sepedaan maka rute yang kutempuh bisa lebih jauh lagi. Suatu kali jarak yang kutempuh bisa memelosok sampai ke kampung kampung, suatu kali yang lain sampai ke areal persawahan sambil mengejar senja, suatu kali yang lain menelusuri kota malam hari diantara cahaya lampu, billboard dan bubungan asap knalpot. Sampil sepedaan nikmat juga mendengarkan musik lewat MP3 Player. tetapi musti pelan dan hati-hati.

Maka dengan kesenanganku yang baru ini pun, seperti nya kalau nanti aku berkeluarga, ada bayangan aku ingin mengajak seluruh keluarga bersepedaan. Rasanya bakal menyenangkan.

10. Suka Anak-anak , Eits, Jangan curiga kalau aku Phedopilia. Yah, meskipun soal teman perempuan sebaya aku memang paling payah. Aku memang si bungsu dari ibu kandungku, meskipun akhirnya aku punya adik tiri. Tetapi pengalaman mengasuh adik atau anak kecil, rasa-rasanya dulu aku tak pernah mendapati. Awalnya aku memang rada bingung bagaimana menghadapi anak kecil, apalagi segerombolan anak kecil yang akan berlagak meniru-niru gerakan kita, atau mengolok-olok sesuatu tentang fisik kita. Salah-salah, kita bisa ‘mati gaya’. Apalagi, sekali segerombolan ‘little bastard’ (begitu aku menyebutnya) itu kompak ‘mengerjai’ kita, tamatlah riwayat kita kalau tidak bisa mengendalikan diri. Sabaar.

Aku belajar banyak tentang dunia ‘little bastard’ dari keponakan-keponakanku. Kepolosan mereka, juga cara mereka bertanya, berpendapat dan mengajak bermain-main membuatku seakan-akan menemukan kembali dunia kecilku.

Masih ingat dalam benakku saat mendiang ibuku mengumumkan kehamilannya kepadaku saat aku berusia 6 tahunan. Sebagai bungsu aku merasa cemburu sehingga beberapa minggu aku berlagak cuek. Sampai akhirnya ‘calon adikku’ keguguran dan aku menyesal sekali, menyumpahi berkali-kali tabiat kecumburuanku, dan berjanji dalam hati ‘sungguh kalau dapat adik lagi, menyenangkan sekali bisa bermain-main dengannya’.

Anak-anak adalah dunia ajaib. Apalagi kini, pekerjaanku menuntutku banyak berinteraksi dengan anak-anak. Konon berceria dengan anak-anak akan membuat kita awet muda.

Terakhir, aku mau ngasih PR juga pada, Lutfi, WindaCandra, TanteKristi, Cumie, Kakak ipar, Kuntz, Si bungsi novie, Tikabanget, Dimas, Arie komikaze, Indra, Mamat, Tovik IVAA, dan Mas Arif

Cara ngerjain PR-nya sebagai berikut:
1. Each blogger must post these rules
2. Each blogger starts with ten random facts/habits about themselves
3. Bloggers that are tagged need to write on their own blog about their ten things and post these rules. At the end of your blog, you need to choose ten people to get tagged and list their names.
4. Don’t forget to leave them a comment telling them they’ve been tagged and to read your blog.

1 Des 2009

Si Unyil

unyil1 Si Unyil boneka yang digerakkan dengan tangan itu adalah benda yang ajaib bagi anak itu. Apalagi di tahun 1988-an ketika kotak televisi yang seukuran almari dengan warna yang masih grayscale serta gelombang siaran televisi masih dimonopoli oleh TVRI, dengan usia jam tayang pendek antara jam 15.00 WIB sampai dengan tengah malam, membuat program-program di televisi ‘apapun’ itu adalah program yang luar biasa. Sementara, khusus hari minggu adalah hari istimewa dengan suguhan siaran dari pagi sampai dengan siang dan format acara lebih didominasi hiburan. Nah, serial boneka Si Unyil mendapatkan slot di Hari minggu ini, dengan waktu tayang sekitar 1 jam.

Maka bocah itu tak mau melewatkan Si Unyil barang se-episode-pun. Meski Sungguh kalau dilihat lagi boneka si Unyil ini bukan bandingan dengan tayangan boneka lainnya di saat ini. boneka sesame misalnya, yang penuh pernak pernik warna warni, dengan bola mata yang bisa berkedip kedip, mulut bisa berbicara dengan lincah, ataupun bisa terlihat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Boneka si Unyil ini hanya bisa menggerak-gerakkan tanganya yang mungil, mengangguk-angguk atau menggeleng-gelengkan kepala. sementara raut muka boneka ini statis saja, tak bisa berkedib dan menggerakkan mulut. Bahkan saking kecilnya tangan boneka-boneka dalam si Unyil terlihat jemarinya saling menyatu.

Kostum juga nyaris tak berubah. Unyil dengan kupiah, sarung di selempang, Pak Raden dengan kumis tebal, baju hitam, ikat kepala, tongkat serta tokoh2 lainnya selalu sama. Maka muncul karakter yang tokoh si Unyil yang stereotype; Pak Ogah yang berkepala plontos dan mulut yang selalu ‘mecucu’ bersama karib Pak Ableh yang berambut gondrong. Keduanya selalu muncul dalam gardu pos kampling yang ‘mini'. Seakan-akan ada kesan bahwa pak Ogah dan Pak Ableh adalah dua sahabat abadi yang asal muasalnya antah beratah dan menghuni pos siskampling tersebut dari waktu ke waktu. Sampai sekarang saya tidak bisa melihat apakah kedua tokoh penghuni pos siskampling mini ini sebagai tokoh Antagonis ataukah Protagonis. Berulangkali saya justru merasa trenyuh melihat kedua tokoh tersebut adalah tokoh yang selalu ketimpa Apes. Misalnya saat keduanya meresmikan perusahaan Batako ; ‘Perusahaan Batoko Ekspress Gembol’. Perusahaan batako dengan nama paling unik sedunia dan berkantor di posiskampling mini. Pak Ogah menjadi direktur utamanya, sedangkan Pak Ableh menjadi Asistenya, entah asisten jabatan apa, tetapi pak Ablehlah yang setia mengabdi pada direkturnya tersebut. Perusahaan ini sering disebut-sebut sebagai perusahaan multiusaha dengan usaha yang berganti-ganti, tidak hanya mencoba memproduksi batako, tetapi apapun itu. Saya sudah tidak begitu ingat lagi apa saja usaha silih berganti dari Perushaaan Batako Ekspress gembol ini, tetapi adalah stereotype kedua tokoh ini untuk ditutup dengan ke-apesan.

‘Apes lagi, apes lagi’

Tak usah lebih jauh membandingkan Boneka si Unyil dengan boneka Sesame, atau boneka Teletubies yang bisa kelihatan ‘punya kaki’ yang berjalan-jalan, bahkan bisa naik otopet. Bandingkan saja boneka si Unyil dengan serial boneka yang lain dari dalam negeri. Setidaknya, boneka si Unyil yang tak pernah terligat kakinya dan mulutnya selalu dengan ekspresi sama ini telah bertahan 1 dekade lebih. Bahkan kini ada laptop si Unyil meskipun hanya memunculkan tokoh si Unyil saja tanpa menampilkan tokoh-tokoh lainnya. Pernah suatu kali PPFN sebagai produsen si Unyil ini menayangkan ulang si Unyil secara komplit, tetapi konon dengan tampilan yang ‘sama persis’ tak ada anak-anak sekarang yang tertarik menontonnya, kecuali orang-orang dewasa yang dulu adalah fans berat si Unyil.

****

Sekali lagi, pokoknya bocah itu tak mau melewatkan si Unyil, barangse sekuel pun. Si bocah itu umur 4 tahun, sudah dititipkan ibunya di sekolah Taman Kanak2. Sekolahnya adalah TK ABA Aisyiyah yang berdiri di bawah naungan yayasan ibu-ibu Aisyiyah yang mempunyai hari libur sekolah hari Jum’at. Sehingga hari Minggu bagi bocah itu adalah hari yang berat ketika harus melewatkan si Unyil.

“Kok tiba-tiba demam ya?”

“Baiklah, hari ini libur'”,kata ibunya.

Bocah itu memang punya ide cemerlang. Maka, setiap hari minggu, apapun itu alasannya, dari sakit demam, sakit perut atau apapun, bocah itu selalu mencari-cari alasan agar tidak masuk sekolah. Sampai suatu ketika beberapa guru menaruh curiga, mengunjungi bocah yang selalu absen saban minggu itu sambil buah-buahan.

“Lhoo… nak candra, katanya sakit, lha kok kelihatan ceria begitu”

“Ndak Bu, libur buat nonton Unyil. Salahnya kok Unyilnya ndak tayang hari jumat atau sekolahnya kok ndak libur pas Minggu”

Ya, ya, akhirnya Ibunda bocah itupun paham betul kemauan anaknya. Akhirnya ibunda bocah itu punya ide cemerlang juga. Memasukkan si bocah ke SD negeri meskipun belum cukup umur dan meskipun baru menjejakkan kaki di TK itu belum genap 1 tahun.

“Yang penting, sekolahnya mau menerima, dan yang penting lagi kamu tidak ketinggalan si Unyil lagi” kata ibunda bocah itu.

Ibunda bocah itu memang bijaksana sekali.

10 Nov 2009

Permainan Gundu

Kira-kira persis di bangunan Warnet itu, warnet Hero namanya, dua puluh tahun lampau adalah hamparan kebun dengan rerimbun pohon pisang, sebuah pohon mangga, pohon sukun tua dan sebuah pohon jambu persis di tengah-tengah. Pembatas halaman hanyalah beberapa deret tanaman teh-tehan yang daun-daunya mirip daun seledri (sampai saat inipun aku tak tahu apa nama dan guna tanaman itu selain sebagai pagar hidup yang bisa dipotong bentuknya sesuai keinginan). Dan, pada pohon jambu itu, bentuknya berliuk-liuk ke dengan cabang-cabang tebal seperti otot-otot raksasa, menengadah ke langit. Pada pokok-pokok cabang itu, biasa bertengger kami anak-anak kampung, bergelantungan, memetiki buah jambu yang baru pentil-pentil, bersenda gurau dan merencanakan ‘apa permainan hari itu’. Pun, sepertinya buah jambu di halaman itu tak pernah berhenti berbuah saban musim.

Piye nak Main damparan?” (Bagaimana kalau main Damparan? - adalah lomba adu batu yang dilempar dari jarak terentu)

“Piye nak nekeran wae!” (Bagaimana kalau main Gundu saja! -Nekeran alias gundu adalah permainan yang bakal tak bahas kali ini)

-----

Gundu atau kelereng adalah permainan yang menurutku ‘kejam’. Aturannya dalam sebidang tanah di halaman rumah kawanku yang memiliki dua saudara, kakak beradik, satu hitam berperawakan gempal dan yang satu berperawakan kurus, adalah membuat gambar kotak persegi di atas tanah tersebut. Kira-kira ukuran kotaknya 1/2 x 1 meter persegi. Lantas pada tengah-tengah kotak persegi tersebut, dibuat cekungan kira-kira seukuran bola kasti (bola yang biasa untuk main tenes) dengan cara dikeruk. Atau dengan cara yang aneh; seseorang dari kami berdiri dengan satu kaki dengan ujung dari satu kaki tersebut persis tengah-tengah kotak persegi. Lantas, ia akan berputar dan berputar terus sampai ujung telapak kaki itu telah membentuk ceruk berbentuk bulat penuh di tanah. Maka jadilah arena permainan gundu tersebut. Terakhir, kira-kira berjarak sepuluh langkah kaki dari kotak itu, dibuat garis tempat para pemain gundu atau kelereng memulai melemparkan gundu, tanda permainan bisa dimulai.

Aturan selanjutnya, mana gundu yang paling mendekati ceruk di pusat gambar kotak persegi itu, dialah pemain gundu yang akan memulai ‘tembakan’ pertama. Tembakan gundu diarahkan kepada gundu yang lain sebagai pesaing. Tetapi pemain gundu harus menembak dari luar bidang kotak persegi, artinya demikianlah fungsi kotak persegi sebagai garis pembatas tembakan pemain. Tugas utama pemain adalah mencoba memasukkan gundu mereka sendiri (gacuk) ke dalam ceruk di pusat kotak persegi. Siapa yang berhasil masuk ceruk, maka ia berhak meninggalkan permainan dan menunggu untuk memberikan hukuman bagi siapa saja pemain terakhir yang tak bisa memasukkan gundu ke delam ceruk sebagai pusat permainan. Masing-masing pemain mendapatkan satu kali kesempatan tembakan bergiliran. Dan disnini para pemaian bisa berstrategi dengan menembak gundu lawan guna menjauhkannya dari pusat ceruk. Pemain yang terakhir masuk ke ceruk, dialah yang kalah dan mendapatkan hukuman.

Sesi hukuman adalah sesi paling kejam dari permainan ini. Si terhukum harus meletakkan kedua telapak kanan di atas ceruk dengan punggung telapak tangan mengadap ke atas. Lantas para pemenang akan melemparkan sejumlah gundu seseuai urutan pemenang dari atas si pesakitan (pemain yang kalah). Cara melemparkannya si penghukum akan berdiri persis di atas pesakitan yang jongkok dengan punggung telapak tangan menghadap ke atas dan melemparkan gundu kira-kira persis dari kepala si penghukum. Berurutan pemenang dari yang pertama sampai terakhir jarak dibuat lebih turun sedikit; tembakan dari kepala, dari dada, lantas dari pusar. Beruntung apabila meleset, gundu hanya mengenai tanah atau langsung masuk ke ceruk sebagi pusat permainan, tetapi apabila gundu mengenai persis tulang belulang pungggung telapak tangan, sakitnya alang kepalang. Gundu yang terbuat dari kaca pejal itu bertemu dengan tulang yang keras, sampai berbunyi ‘Thook’

----

Dua puluh tahun yang lalu, halaman yang kini jadi Warnet, itu adalah halaman tempat kami, kira-kira 10an orang anak kampung biasa bertengger di pohon jambu dan merencanakan sesuatu; ‘Apa permainan kali ini”

“Moh ah nak main kelereng lagi”, Kataku sambil memperlihatkan kedua punggung telapak kananku yang masih memar-memar.

Aku sendiri masih heran, mengapa aku selalu kalah dalam setiap kali bermain gundu? Tetapi saban kali permainan itu diadakan aku tetap ingin ikut saja, sambil sesekali berharap bisa membalas kekalahan.

“Ini bukan soal kalah dan menang kawan, ini soal bersenang-senang”

Bah, pikirku, tapi tetap saja kalau tiap kali kalah dan tembakan hukuman tak pernah meleset, tangan akan merah-merah. melebam sampai berhari-hari. Sungguh, kejamnya permainan ini. Dan kulihat wajah temanku yang sering menang seperti tersenyum puas sebagai si eksekutor paling handal.

Oiya, Kalau anda bingung aturan permainan ini, ah baiknya lupakan saja. Jangan dipelajari dan jangan dibudidayakan lagi permainan ini, karena pada intinya di akhir pemainan ini adalah episode eksekusi pemain yang kalah dengan bunyi ‘thok’ tadi yang berarti tangan yang memar sampai berhari-hari. Lupakan dan biarlah ini jadi trauma masa silamku. Huh

bravoo

23 Okt 2009

Ziarah

100_4443 Aku adalah orang yang bebal perihal ‘nenek moyang’. Bukan karena aku tak mau mengingat apa kelakuan nenek moyang, bagaimanapun nenek moyang adalah turun menurun, beranak-pinak dan mengadakanlah aku. Kalaupun tak ada ‘nenek moyang’ tak ada pula buyutku, tak ada pula nenek kakekku yang menurunkan Ibuku, lantas aku. Letak kebebalanku adalah aku tak mau ‘menjenguk’ atau berziarah ke moyangku. Malas…, itu saja.

*****

Yang pertama kali adalah aku kehilangan Ibuku semasa SMP. Sebenarnya saat ia masih sakit, sudah ada perasaan bahwa Ibu tak mungkin bertahan lama. Kulihat wajah letihnya untuk terakhir kali seperti berkata ‘relakan aku pergi’ dan ia tersenyum ke arah kami; Aku si bungsu, Bapakku yang berambut kriwil dan 3 orang saudaraku.Kak ak perempuanku, adalah sulung yang selalu menjagaku agar aku tegar pada saat akan mendengar berita kematian Ibuku. Pun, saat melihat sendiri ambulance berwarna putih lengkap dengan bunyi ‘liu-liu’ pelan, cahaya lampunya yang berputar juga pelan, memasuki gang depan rumahku, air mataku tumpah sejadi-jadinya. Besok pagi adalah hari pertama ujian ebtanas SMP. Aku sudah tak ingat lagi, luluh lantak segala energi dan terpaku pada tembok di samping rumahku, menangis menderu-deru entah pada apa dan siapa.

“Kuatkan dirimu dik, kuatkan dirimu dik” Kata kakakku sambil mengelus rambut, tengku, sampai punggunggu. Lalu lambat laun seperti ada energi hangat yang menguatkanku. Aku harus melanjutkan hidupku. “Ibunda belum mati, tetapi ia hidup dalam hatimu,”kata peri kecil di lengan kanan.

*****

Sudah 3 tahun. Kuinjak tanah keras dengan rumput-rumput liar yang menyembul. Selalu ada aroma yang aneh saat memasuki tanah pekuburan, entah karena bunga-bunga samboja yang mengering ataupun karena aroma sisa dupa dan mungkin tubuh wadag yang kembali ke tanah. Aku tidak berasa takut walau sendiri, walau seperti ada ribuan pasang mata mengawasiku, pada cungkup-cungkup itu yang letaknya tak beraturan. Cungkup yang sudah menua terlihat telah dimakan oleh lumut-lumut yang mengerak, menghitam dan noktah-noktah putih. Tetapi, selalu ada sisa dupa dan kembang yang mengering.

Aku melangkah hati-hati “Assalamualaikum ya ahlal kubur”, kataku seperti nasehat seorang muslim. Kalaupun ada yang menjawab, pastilah aku lantas lari terbirit-birit. Tetapi desing angin di pelipis kiri seakan menyahut, menyambutku.

Letak cungkup ibuku, berada di ujung timur dan utara. Lepas tiga tahun, berarti sudah melewati 1000 hari dan cungkupnya telah dilapisi nisan dari porselin warna biru muda. Sungguh cantik. Persis di samping cungkup Ibuku adalah cungkup adik ibukku yang konon meninggal kecelakaan. Persis di bawah cungku ibuku konon juga disemayamkan almarhum kakakku. Sang kakak yang meninggal dunia setelah mereguk udara dunia hanya beberapa hari lamanya.

*****

Dalam kereta Ia dikejutkan oleh orang-orang dari Capetown yang berwajah afrika tetapi sedikit bercampur dengan ras Asia. Orang-orang dari Cape town itu memenuhi hampir 1 gerbong lengkap dengan pemandu tour yang menjelaskan kepada seluruh rombongan apa yang akan mereka kunjungi. Iapun mendapatkan informasi dari pemandu tour bahwa kunjangan rombongan dari Cape town seperti itu sudah biasa tiap tahun.

“Ini semacam paket ziarah yang dinanti-nantikan sekelumit warga Cape town yang muslim”

Maka iapun bercakap-cakap dengan salah satu rombongan yang menawarkanya makan siang roti asal capetown, juga menawarkannya sebungkus ‘buah salak’.

“Kami tak makan salak, rasanya aneh”

Dalam pembicaraan iapun mengorek keterangan yang membimbingya pada penulusuran data di Internet tentang sekelompok penduduk beragama islam di Cape town yang masih ada hubungannya dengan ‘Muhammad Yusuf”

“Ya, menelusur jejak Muhammad Zusuf”

Dari makasar, Surabaya, Banten……” Ini adalah penelusuran kembali nenek moyang kami, seorang pelaut yang alim dari negeri Indonesia, yang telah mengajarkan kepada kami agama Islam dan membawa kami ke sini.

Iapun membawa pulang cerita itu yang membuatnya gelisah dan kemudian menceritakannya padaku.

"****

“Antarkan aku ke Payaman” Kata nya. Bisa kulihat kesiriusan di matanya yang tertutupi kacamata. Sementara kami bertiga, aku dua orang kawan lain di ruangan 3 x 4 itu masih bersantai-santai di pagi hari di hari minggu sambil menunggu air dalam dispenser menggelegak panas lantas membikin kopi Robusta yang kubawa dari bingkisan seorang dari kota B. “Sudahlah, kita ngopi dulu”, kata seorang temanku, sambil membersihkan tiga buah gelas dan sebuah sendok kecil.

“Pokoknya aku kudu ziarah”Katanya, bersungguh-sungguh. Dan akhirnya iapun menjelaskan pada kami tentang belakangan hari dimana ia tergangu tidurnya dengan bermimpi dengan Ibu kos-nya.

“Apa hubungan dirimu dengan ibu kos mu?”, tanyaku, juga tanya kedua temanku yang lain. Sementara pada karpet beludru sudah tertuang dalam tiga gelas kecil kopi robusta yang membentuk gumpalan persis seperti ‘moccacino’ pada permukaanya.

“Ini bukan soal ibu-kos, atau siapaun dia, tetapi soal aku harus memenuhi ziarah ini. kalau belum hatiku belum tenang”

Maka aku dan kedua temanku tak menimpali lagi apa yang ia utarakan dengen berbagai macam argumentasi. Bahwa sebagai contoh, akupun yang bebal, jarang sekali ber ziarah ke makam ibuku kecuali setahun sekali atau pada saat ada pemakaman yang membuatku dengan mudah sekali jalan berziarah ke makam ibukku.

Iapun pula meng-ia-kan bahwa ayahnya sudah meninggal dan bahwa semenjak meninggalnya ayahnya, hanya setahun sekali ia berziarah ke makam ayahnya itu.

“Ayolah, aku tak tahu tempatnya dan kesendirian membuatku menderita”, Pada poin yang kedua itu aku lebih menangkap maksudnya.

Di petanya tak ada secarik kertas yang menujuk makam almarhum bekas ‘ibu kos’nya yang baru ia diami selama 2 tahun! Kecuali, hanya sebuah informasi bahwa ia adalah masih keturunan keluarga Joyodiningrat, dimakamkan di payaman!

Ini seperti petualangan terhadap dirinya, bagiku dan kedua temanku yang lain yang pada akhirnya berasa semangat solidaritas menemani teman yang sedang gelisah itu, melaju kencang dalam mobil hanya berbekala secarik ingatan; payaman, makam keluarga Djoyodiningrat!.

“Apa gerangan yang kau cari temanku?” kataku dalam hati saja sambil tmasih bingung membayangkan apakah kami akan sampai benar ke payaman hanya berbekal peta secuil kalimat itu?

Barangkali ziarah juga bukan hanya berarti menjenguk nenek moyang, mengetahui asal usul, tetapi seperti temanku bilang ziarah itu bisa jadi titik tolak untuk melangkah ke suatu jalan. Harus ada alih-alih untuk diajak mohon doa restu. Kalaupun bukan nenek moyang, mungkin orang-orang yang dianggap dekat dengan kita.

“Kalau kau yakin, pasti ada jalan.”

Akhirnya setelah terhitung 5 kali orang kami tanyakan, sampailah kami ke Payaman. Akhirnya pula, setelah mencari-cari pada 3 kompleks makam, membolak-bali satu luasan makam, bertanya pada anak-anak yang bermain-main sambil memunguti samboja kering untuk dijual ke pasar seharga 4000 per keranjang, dan bertanya pada juru kunci, temaku menemu makam itu.

6 Okt 2009

Kompetisi dan Bermain

(Kompetisi dan bermain- lukisan karya Alex Dhany S)
Setiap kali melihat permainan dadu, seringkali saya teringat pada Sengkuni, tokoh antagonis pada cerita pewayangan Mahabarata. Sengkuni, digambarkan sebagai tokoh yang pintar tapi licik. Licin bagai belut, pendendam, buruk muka karena pernah dihajar oleh ……., Tetapi ia adalah paman yang penyayang bagi ke100 keponakannya, para Kurawa, musuh bebuyutan pandawa lima.

Pada salah salah satu potongan cerita Bharatayuda, Sengkuni suatu kali mengatur siasat licik guna membalas para Pandawa. Ia mengajak pandawa bermain dadu. Sengkuni paham betul kekuatan dan kedigdayaan Pandawa bukan lawan yang seimbang untuk saat itu bagi para Kurawa. Karenanya permainan ini adalah intrik yang licik menghanyutkan Yudistira, Si Sulung dari Pendawa untuk terlibat dalam permainan ini.
“Hidup itu adalah sebuah permainan” Kata Sengkuni pada Yudistira.
Dan Yudistira pun akhirnya terhasut untuk mengambil dadu memulai permainan mereka, permainan mempertaruhkan bulatan angka dari 1, 2, 3, 4, 5 sampai dengan 6.
Bagi Sengkuni, hidup itu sebuah permainan, ada yang menang ada yang kalah. Ketika lemparan pertama dan kedua Yudistira meraih kemenangan, Yudistira semakin terhanyut untuk melanjutkan permainan, sampai akhirnya di lemparan selanjutnya Yudistira didera kekalahan demi kekalahan. Tetapi Yudistira tak jua menghentikan permainan, selagi masih ada hal yang dipertaruhkan, masih ada harapan untuk membalas kekalahan. Yudhistira terhanyut dalam permainan judi. Melanjutkan permainan demi ‘mengejar kemungkinan’ kemenangan, atau harus rela sebagai orang kalah. Demi membela harga diri kekalahan, seluruh isi kerajaan, kerajaan bahkan sampai yang terakhir Drupadi istri Yudistira dijadikan barang pertaruhan.
---
Permainan judi dadu adalah permainan cukup tua, terbukti dari nukilan kisah pewayangan Mahabarata itu. Seperti halnya di kampungku dulu, kalau pas ada perayaan apapun bentuknya; sunatan, pernikahan, kematian, tujuhbelasan, tahun baru, dangdutan dsb, selalu di pojok kampung, di bawah remang-remang kolong langit dengan penerangan lampu petromak atau sentir, digelarlah judi dadu, Cliwik atau Othok namanya. Pada prinsipnya sama, mempertaruhkan dua buah kubus dadu yang berisi angka-angka. Kombinasi munculnya angka dua kubus dadu yang telah dikocok oleh bandar dadu itu dinantikan dengan berdebar-debar oleh kerumunan orang yang memasang taruhan pada gelaran lembaran besar kertas dengan kolom-kolom warna, tanda dan angka. Sudah tak begitu ingat aku, seperti apa rupa gelaran besar berisi kolom-kolom dengan gambar, tanda dan angka itu, seingatku hanya warna-warninya yang menarik hati dengan uang taruhan paling minim koin 100 rupiah. Kalau cukup beruntung, dengan koin 100 rupiah itu, dalam dua sampai tiga kali pasanga taruhan duit 100 rupiah anda akan berlipat menjadi 5.000 rupiah. Sebuah nilai yang lumayan, pada sekitaran tahun 1990an, cukup untuk membeli 1 pak besar rokok.
Adalah (sebut saja) mbah Karto, bandar Cliwik atau Othok terkenal di seantero kampung, bahkan menyebar sampai di kampung-kampung tetangga. Mbah Karto kala siang hari mengelola sebuah bisnis penambagan pasir di pinggir kali Gajah Wong. Kantornya menempel pada bangunan kecil tempat pengontrol bendungan dan saluran irigasi. Mbah Karto sebatang kara dan konon pernah berkeluarga mempunyai seorang istri. Pun, tak ada yang tau persis darimana dia berasal tetapi kini orang-orang lebih mengenalnya sebagai bandar cliwik.
Beda dengan penampilannya di siang hari, Kala kertas cliwik yang berukuran kira-kira 1 meter kali 1 meter telah digelar, dengan diterangi petromak remang-remang, Mbah karto terlihat lebih energik. Orang-orang yang sudah berkerumun mengelilingi gelaran cliwik itu tak akan mengira kalau itu Mbah karto yang kalau siang hari menyeburkan diri di kali Gajah wong menciduki pasir dan mengumpulkannya jadi gundukan-gundukan pasir di sebelah pintu air.
Semakin banyak orang pasang taruhan, semakin banyak uang bisa dikumpulkan. Tetapi aku lihat dari waktu ke waktu tak ada yang berubah pada wujud Mbah Karto. Tetap menjadi penggali pasir pinggir gajah wong di siang hari.
Suatu ketika, orang-orang pada terkejut saat mbah karto datang ke masjid, lengkap dengan kupiah dan sarung mengikuti pengajian di masjid. Orang-orang, terutama barisan ibu-ibu mulai berbisik satu sama lain. Bukanlah disebut tabiat orang Indonesia kalau lah tak bisa dilihat membisiki orang sambil melihat pada orag yang dibisikinya. Sama saja Mbah Karto (yang kuketahui dengan nalar kalkulasi ringan saja) sudah berusaha setegar mungkin melangkah memasuki masjid dengan kupiah dan sarung yang masih baru itu, lantas memucat seperti cahaya petromak yang kehabisan minyak spiritus.
“Wah, mbah Karto mertobat?”
Itu adalah kalimat dahsyat yang muncul meruntuhkan niat yang paling kuat pun kalau tidak disikiapi ‘permisif’. Lantas dikemudian hari tak kulihat lagi Mbah karto muncul di masjid. Lantas di kemudian haripula pada perjumpaan yang tak sengaja, aku bertemua dengan Mbah Karto yang lagi ngaso di sebelah gundukan-gundukan pasir di sebelah rumah pintu air kali gajah wong. Mbah Karto masih seperti dulu, dengan celana hitam, kaos yang bladus dan topi yang dikibas-kibaskannya untuk mengusir hawa panas.
“Ya, hidup adalah sebuah permainan” kata mbah karto membisiki dalam hati “Tetapi dalam permainanku tak ada yang menang ataupun kalah, yang ada aku hanya mengalah untuk melayani orang-orang yang mau bermain cliwik padaku, di malam hari, selepasnya aku mengalah pada kali gajah wong itu”

14 Sep 2009

Tentang senja

Banyak orang yang ngomong senja, dari tukang cerita sampai sekedar pemuda yang lagi jatuh cinta. Cerpen Seno Gumira Ajidarma juga banyak ngomong tentang senja sampai dengan ada kumpulan cerpennya diberi title ‘sepotong senja buat pacarku’.

Tapi seperti juga bulan merah jambu yang tak ada habisnya dibicarakan orang, senja pun tak pernah habis dikupas orang-orang. Apalagi bagi dua sepasang manusia yang tak sengaja melewati sebuah jalan yang membelah pinggiran kotai di suatu hari di saat senja tengah berpendar di ufuk barat. Lalu lintas yang padat yang membumbungkan debu seakan-akan menjadi illustrasi yang lengkap menghiasi senja yang hampir tenggelam.

“Setiap saat senja tak pernah sama bentuknya” kata si gadis

Senja memang tak pernah sama bentuknya saban waktu. Itu pun baru diiyakan oleh si laki-laki kecil setelah ia mencoba mengingat-ingat kembali saat demi saat ketika ia berjumpa dengan senja. Senja di sebuah pantai, senja di sebuah desa dan senja di saat itu, ia tak ingat betul apakah memang selalu berbeda. Baginya senja selalu sama,bola raksasa warna merah ke kuning-kuningan dan gerombolan burung-burung di kejauhan yang terkadang muncul. Lalu apakah yang membedakan setiap penampakan senja? Ia kembali mengingat ingat setiap bentuk senja; senja di sebuah pantai, senja di sebuah pinggiran kota, senja di ujung sawah, senja di ujung desa dan senja-senja lain yang seperti di kutip para tukang cerita sampai pujangga-pujangga.

“Hmmm, ya mungkin penampakan warnanya yang tak pernah sama” Apakah sedetil itu kauperhatikan senja? Iapun mencoba menerka-nerka apa yang membedakannya. Iapun juga mulai membayangkan kalau saja ia mengumpulkan foto-foto dan gambar setiap bentuk senja, mungkin akan ia temukan perbedaan di tiap senja itu. Toh, semisal rupa dua orang anak manusia yang dikatakan kembar pun tak pernah ada yang sama persis.

“Coba kau rasakan lebih dalam” kata gadis itu

Ya, tiap senja punya kenangan yang berbeda-beda. Iapun mecoba mengingat kembali slide demi slide ‘kenangan tentang senja’ di kepalanya. Kini gambar itu demikian hidup. Setiap slide ‘kenangan tentang senja’ punya nuansa warna yang berbeda-beda. Ia juga ingat tentang seorang gadis penyuka senja. Suatu ketika ia ingin sekali menanyakan kepada gadis yang menyukai senja itu; ‘Apakah kau masih masih menyimpan sepotong bagian senja yang sama dengan sepotong bagian senja yang kita simpan di kantong kita masing-masing?

10 Sep 2009

tut-tut tut.. kereta api-ku mau lewat

Ada banyak cara untuk bepergian jauh. Salah satunya kalau anda berpergian ke seputaran pulau Jawa, cobalah naik kereta api kelas ekonomi. Selain tiket kereta api ekonomi tiketnya dijual dengan harga murah, cukup merogoh kocek 3 lembaran uang 10 ribuan, itupun anda akan dapat uang kembalian, anda juga akan disuguhi pengalaman menantang. Tantangannya pertama adalah uji kesabaran, kedua ketabahan, ketiga ketahanan fisik, keempat dan seterusnya anda akan disuguhi pemandangan unik manusia sebagai homo economicus.

----

‘Tiket habis’ Begitu sebuah tulisan tertera pada deretan loket di stasiun. Sementara orang-orang banyak yang masih ngantri di depan loket. Calo sibuk menjulur-julurkan tiket yang naik dari harga bandrol. Lantas aku tak ada pilihan, ikut antrian dan mendapatkan tiket dengan tulisan ‘tanpa tempat duduk’ setelah menghadap sebentar dengan gadis penjaga loket yang tak banyak bicara. Ia hanya menyobek bundelan karcis, menerima lembaran uang dan kembalian dengan datar tanpa seulas senyumpun.

Sabar mas, nanti sampai purwakarta banyak penumpang turun kok’ Kata seorang bapak berkupiah dengan logat jawa timur’an. Dia mungkin ‘iba’ melihatku kebingungan melihat tiket ‘tanpa tempat duduk’ itu dan masing berdiri bengong dengan membawa dua buntalan besar, wajah berkeringat, lusuh dan sendirian.

Kalau mau, mas bisa ngikut saya, nembak di gerbong restorasi, lantas dapat tempat duduk’ Sungguh tawaran yang empuk, tetapi siapakah bapak berkupiah ini? aku tak melihat wajah nya sebagai tampang yang mencurigakan, tetapi terbersit pula rasa was-was kalau-kalau… ‘ akhinya aku pilih menampiknya dengan sopan’

Ndak pak, ntar mau duduk di dekat pintu aja sekalian melihat pemandangan’ Padahal kalau melihat apa yang bakal terjadi nantinya, mungkin aku bakal menerima ide bapak berkupiah itu.

------

Memasuki gerbong loko ekonomi, tak cukup beruntung aku kali ini, tak mendapat tempat duduk. Loko sudah berejejal penuh. Tiap orang membawa buntalan bawaan masing-masing. Ada yang membawa dua jinjing tas, kardus-kardus sampai ada yang membawa kompor gas. Di loko ekonomi tak ada larangan bagi siapapun tentang batasan jumlah barang jinjingan. Asalkan anda bisa membawanya, terserah saja. Maka akupun duduk berdesakan dengan orang-orang yang membawa jinjingan masing-masing.

Kereta belum jua berangkat, masih 10 menit, sementara untuk sementara ini, siasatku, aku berdiri di pintu masuk, persis berdekatan dengan pintu antara gerbong dan toilet. Sementara di kamar kecil itupun, terhitung ada 3 orang berjubal di dalam. Ada yang duduk di kloset, ada yang nangkring dekat jendela sempit sambil merokok. Di lorong gerbong, aku hampir tak bisa melihat kaki, kecuali kepala-kepala orang yang berjubalan, mirip kepala-kepala ikan dalam kaleng sarden yang megap-megap. Satu demi satu, pelan tapi pasti jumlah orang yang merengsek ingin masuk bertambah banyak. Kereta belum jua melaju, orang-orang yang ngantri di luar gerbong masih beberapa lusin, lengkap dengan barang jinjingan.

7 menit, kepala lokomotif mulai bunyi. Petugas membunyikan peringatan melalui corong peringatan; ”Perhatian-perhatian, kereta api jurusan surabaya akan segera diberangkatkan, penumpang harap bersiap-siap”, kurang lebih begitu, suara petugas perempuan yang syahdu yang lantas hilang ditelan terikan penumpang yang panik, belum masuk. Di loko itu, akupun semakin ringsek, bersama centang-perentang barang jinngan, orang-orang dengan keringat tumpah ruah, wajah yang asing, penjaja-penjaja makanan, penjaja mainan, pengemen dengan kotak amplifier aki sampai dengan penjaja pecel yang menumpuk makanannya di kepala. Aku dekap tak ranselku keras keras, bukan karena isinya adalah barang berharga, tetapi karena seorang penjaja minuman instant yang menerobos memaksa lewat. Dengan perasaan deg-degan tentang ‘bagaimana penjaja minuman instan itu bisa melewati pinnggangku yang kini telah menempel betul dengan rongga pintu, sesempit mungkin.

“Permisi mas, mijon-mijon, akua dingin, mijon2….. cel-pecel, yang makan, yang makan……”

“Tiiiiiiiiitttt” bunyi peluit panjang petugas jaga stasiun yang berseragam biru hampir saja tak kudengar. Loko bergerak pelan, pelan sekali, antara roda besi dan jelujur besi. “ jejeg….jejeg…jejeg…” lantas meluncur dengan pasti seperti meluncur bersama angin. Terkadang, aku bisa tau pasti kereta melewati jembatan ketika kudengar perubahan suara angin yang berdesing dari jendela….”jressssssssss…….”

Bahkan untuk melongok melihat jendela pun cukup sulit. Aku bedempet bagai tiang, kadangkala untuk menghilangkan penat, kusiasati bergantian tangan. Terkadang bergelantung dengan tangan kanan, terkadang dengan tangan kiri, terkadang mencoba mendesak sedikit pantat orang di sebelah kanan kiriku, sudah tak peduli lagi berapa kali kentut kubunyikan, toh bau kentutku akan dikalahkan dengan bau toilet gerbong yang mengering. Akupun tak habis pikir, dengan tiga orang, oww salah, kini empat orang, yang meringsek di dalam kotak toilet. Seorang darimereka kulihat kini asik mengunyah bungkusan nasi ayam sambil berdiri. “Hmmm yammmy…..”

Kereta terus melaju. Sudah hampir 3 jam, konon menurut bisikan orang-orang disebelahkan yang dengan cuek, jongkok persis di lipatan pintu; bahwa sampai di purwokerto banyak orang yang bakal turun. Yah, maklum musim akhir pekan para penaik gerbong ekonomi yang notabene kebanyakan pemudik asal tegal dan purwokerto ini berkesempatan pulang setelah sekian hari mengadu nasib di ibukota Jakarta jadi tukang batu, pengayuh ojek, buruh pabrik, sampai dengan (tentu saja) penjual nasi tegal. Dan tentu saja para pemudik musiman ini sambil pulang ke kampung halaman (ke Jawa, kata orang), membawa berbagai macam oleh-oleh buat anak bini, kerabat, orangtua, nenek kakek sampai moyang di rumah.

Kereta sudah sampai di garut, meskipun bukan karena semakin bertambahnya penjaja dodol garut yang masuk, toh sayapun heran dengan adanya penjual ‘wingko babat’ yang dibungkusnya bergambar segala macam moda transportasi canggih dari lokomotif kapal laut sampai pesawat jet yang tulisan mereknya tertera ‘aseli semarang’. Penjual wingko babat di Garut? Loko semakin ringsek, kali ini datang duo pegamen gerbong yang membuat heboh lorong gerbong. Keduanya wanita dengan kostum bahenol, bibir merah, maskara yang berkedip-kedip, celana pendek ketat, stocking lubang-lubang baju rumbai-rumbai ala Maia dan suara yang dibuat serak-serak. Turut dibawa oleh salah seorang dari mereka sebuah kotak amplifier bertenaga baterai Accu.

"Asyiiikkk,….goyang mas” Tak ingat jelas apa lagu yang dikumandangkan mereka, tapi diriku yang berdiri menghimpit bagi tugu di lorong itu cukup terganggu dengan goyangan dan gesekan pantat mereka.

“Ya tuhan, Ampuni hambamu ini” batinku, tak ayal aku harus merogoh sekeping limaratusan yang terselempit di dalam kantong saku.

“Ayooo yooh, goyang kimpul….”, Bukan karena suara perempuan itu yang tidak bagus, tetapi karena bunyi kotak amplifier bertenaga Accu yang kerasnya minta ampun dengan volume melebihi kerasnya TOA masjid itu, benar benar membuat suasana dalam gerbong sungguh meriah. Sontak para laki-laki di dalam gerbong itu banyak yang menggoda-goda dengan terikan-terikan ‘aduahai’ dan terkadang ada yang sengaja mencolek secara sembunyi-sembunyi ke grup duo pengamen gerbong itu.

Hmmm, ada sedikit harapan kalau sudah sampai Purwokerto, aku dapat tempat duduk, atau paling tidak bisa berjongkok meluruskan kaki menghirup udara segar dan menikmati pemandangan dalam perjalanan kereta. Tapi harapan ‘konon’ itu ternyata pupus juga sampai purwokerto. Bahkan loko ekonomi nan panjang dan berjubal itu saban kali berhenti di stasiun-stasiun kecil, selalu menambah jumlah penumpang. Gampang pula dihitung dengan kasat mata, separoh lebih penumpang adalah penjaja.

----

Kereta terus bergerak, melewati pinggiran kota, diantara deretan gubug-gubuk liar, terus menuju ke pelosok desa yang dipenuhi dengan landskap pematangsawah, punggung pegunungan dan langit yang mulai menggelap. Terkadang kereta melaju melewati terowongan dan jembatan, seperti kuketahui dari perubahan suara desing angin ….. jresssss! Aku masih bertahan untuk berdiri, sudah mati rasa lagi, apakah letih, apakah kesemutan, apakah gerah, apakah sesak, pening atau apapun, lambat laun aku sudah menyatu menjadi lipatan pintu lorong kereta itu. Setidaknya aku telah tiba dengan selamat di kotaku meskipun seluruh urat punggungku terasa kaku-kaku sampai 3 hari lamanya.

Dan, kereta apiku tak bunyi tut..tut..tut lagi, tetapi berbunyi ..mijon…mijon… akua dingin mijon….Jrejeg…jrejeg…jressss…”

14 Mei 2009

Celana Kepar 1001

celana kepar 1001 Kisah celana kepar 1001 adalah kisah seorang opas bernama Kusno di sekitaran tahun 1943'an. Ayah Kusno adalah juga seorang opas yang tak ingin anaknya menjadi opas, di tengah jaman yang serba sulit kala itu, setelah keluar masuk melamar di berbagai kantor pemerintahan, Kusno pada akhirnya diterimakan pekerjaan sebagai Opas lagi. Tak ada pilihan! Meski Ayah Kusno telah menyekolahkan Kusno ke sekolah rakyat, ternyata tak merubah keadaan. Bahkan bekal celana kepar 1001 yang dibelikan Ayah Kusno tak cukup menaikkan derajat keluarga itu ke lingkaran keluarga Opas. Begitu pula dengan nasib celana kepar 1001 yang dipakai kusno saban hari. Makin hari makin buluk dengan benang-benanya mulai meretas satu demi satu. Warnanya melapuk menjadi kuning kecoklat-coklatan dari warna dasarnya yang putih. Sampai pada suatu kali, ketika Kusno dipecat setelah menuntut majikannya dibelikan celana baru, Kusno didera pilihan pahit. Pilihannya adalah ia harus menjual celana satu-satunya untuk mengganjal perutnya yang lapar atau mau menahan lapar demi mempertahankan celana satu-satunya yang menutupi auratnya.

Cerpen karya Idrus ‘Pujangga 45’ ini kutemui pertama kali waktu masih sekolah SD di sebuah buku paket pelajaran bahasa Indonesia. Entah,apakah buku paket yang sekarang menampilkan celana kepar 1001 ini masih ada atau tidak. Tetapi ingatan akan celana kepar 1001 begitu mencekam dan terekam benar dalam benakku. Begitipun dengan kisah 'celana kepar 1001' ku…..

---

Nun jauh di di pinggiran kali code, tepatnya bersebelahan sebuah jembatan besi yang dibangun waktu jaman kompeni, berdiri sebuah SMP Negeri, tempat aku bersekolah. SMPN 10 namanya. Bantaran kali itu sampai kini masih disibuki oleh pendulang pasir yang dulu menjadi tempat favorit aku dan murid-murid lain untuk membolos sekolah sambil bersembunyi di tepian jembatan dan mengamati para pendulang pasir itu.

Menginjak sekolah SMP aku dititipkan di rumah Eyangku di bilangan Kotagede. Untuk melaju ke sekolah mengendarai sepeda BMX atau jalur 11 dengan ongkoes 100 rupiah. Eyangku tipe orangtua ‘jadul’ yang terkadang membekaliku berangkat sekolah dengan ransum makanan. Kisah celana kepar 1001 ku dimulai dari kelas 2 SMP ketika satu demi satu dari ke-2 stel seragam sekolahku yang berwarna putih abu-abu memulai pemerosotan kualitas.

Di kelas 3 SMP aku menemukan celana seragamku yang berwarna biru tinggal 1 potong, karena 2 potong celana lain sudah tak muat aku pakai. Begitupun nasib 1 potong celana seragamku yang lain, kini telah menghuni dapur eyangku dijadikan ‘gombal’. Tak ayal ini karena liburan kenaikan kelas ini aku disunat oleh Eyangku. Sebuah usia sunat yang terlambat dan seperti ‘mitos’ mengenai efek pemotongan ‘daging keramat’ ini begitupun berlaku bagiku. Pada awalnya aku tidak percaya setelah sunat tubuhku akan mengembang drastis, tetapi setelah nasib 2 potong celana terakhirku itu dan melihat teman-temanku cewekku pada melongo keheranan melihat tinggi badanku kini melebihi mereka, maka akupun percaya.

1 tahun adalah 360 hari, dengan 6 hari masuk sekolah, dikurangi jatah 1 hari yakni hari jum’at maka aku memiliki 5 hari sibuk dengan 1 sisa celana seragamku. Pada hari jumat celanaku sisa satu-satunya itu bisa bernapas lega, karena pada hari itu aku memakai seragam khusus 'putih abu-abu’.

Hari senin adalah hari ‘apes’ bagi kami. Karena seperti biasa, hari senin adalah saat upacara bendera. kami para murid murid harus berderet rapi dengan seragam dan topi dijemur terik matahari dan menghapalkan lima butir pancasila, mendengarkan pidato ‘cwa-cwa-cwa’, sampai dengan menyanyikan lagu ‘Indonesia raya’.

Upacara dimulai semenjak pukul 7 di lapangan sekolah dan lebih apes bagi nasib celana kepar 1001 ku. Suatu kali, aku menemukan celana keparku harus kupaksa kering dengan kusetrika. Waktu setrika di rumah Eyangku masih menggunakan tehnologi non listrik alias menggunakan arang sebagai pemanasnya. Sementara celana keparku 1001 ku yang berbahan semi katun itu tenyata menimbulkan bau yang ‘angit’ yang tak sedap kalau sengaja dikeringkan dengan setrika. Lantas, saat upacara bendera, terjadilah kejadian memalukan itu. Teman-teman yang berdiri di depanku mencium aroma tak sedap yang menusuk hidung mereka. Pada awalnya hanya segelitir orang yang menggerak-gerakkan hidungnya mengisyaratkan gangguan aroma di hidung mereka, namun akhirnya semuanya sepakat bahwa gangguan aroma yang ‘dahsyat’.

Namun, dengan bertekad bulat baja, membela harga diri dan celana kepar 1001 ku satu-satunya itupun aku berpura mengendus-enduskan hidungku. Berpura-pura mencari sumber bau yang sebenarnya menyeruak seperti radiasi yang bersumber dari celana keparku 1001 ku itu. Semakin angin berhembus, semakin terik meninggi semakin pula hatiku was-was teman-temanku mengetahuinya. Pun, saat lagu Hymne ‘pada mu Negeri’, yang dinyanyikan di menit-menit terakhir upacara bendera, sambil menundukkan kepala, Aku lirik celanaku. Dengan napas kembang kempis dan sesenggukan, ini bukanlah karena menghayati ‘mengheningkan cipta’ untuk para pahlawan, tetapi prihatin sedalam-dalamnya pada celanaku itu.

Tak hanya sekali dua kali kulalui saat upacara bendera dan saat mendebarkan bersama celana kepar 1001 ku itu, tetapi berkali-kali. Dan berkali-kali itupun aku bertanya-tanya apa yang menyebabkan bau tak sedap dari celanaku itu? Apakah karena bahannya kah? apakah karena setrika? ataukah karena hidung teman-temanku yang tak normal? Sampai sekarang akupun tak tau jawabannya. Dan mungkin jika ada salah seorang teman seangkatanku SMP yang dulu pernah berdiri satu deret berupacara bendera, jika ia mungkin masih mengngatnya, tahukah anda jawabannya?

Lulus SMP adalah saat perpisahanku dengan celana kepar 1001 ku, celana seragam abu-abu yang kini permukannya telah bladus, dengan ujung penuh jurai-jurai benang dan ukurannya telah setinggi setengah betisku. Akupun waktu itu tak bisa membayangkan kalau aku duduk di sekolah SMA, aku akan memakai celana panjang, sebuah bentuk celana baru yang waktu itu aku benar-benar tak menyukainya yang aku merasa sangat risih memakainya yang membuat diriku seperti tak siap menjadi dewasa yang aku membuatku berjalan dengan sikap yang aneh.

Sampai pada suatu ketika aku aku manggut-manggut pada Kusno dan celana kepar 1001 nya bahwa celana bukan hanya soal penutup aurat, tetapi celana juga soal mempertahankan hidup dan harga diri, sampai akhirnya kita menyerah kalah (Chairil-deru tjampur-debu) . Sampai akhirnya celana seragam putih biru ku itu lunas tugasnya, beralih fungsi jadi seonggok ‘gombal’ di dapur eyangku menemani seonggok gombal bekas celana ku yang lain yang telah lebih dulu mendahulu.

9 Mei 2009

Uang Saku

Di suatu petang aku berbincang dengan seorang kawan yang terpaut sekitar 4 tahun denganku. Ia sudah berkeluarga dan punya profesi yang sama denganku sebagai pekerja sosial (untuk menyebut kata lain bekerja di LSM).

"Apakah beda pekerja sosial dengan pekerja seks komersial?"

Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu kali ini, karena itu adalah banyolan lama tentang perdebatan makna kata 'melacur' menurut pekerja LSM dan makna 'melacur' dalam makna harfiah sebagai PSK. Lantas aku bisa menebak kecapaian di matanya atau mungkin kejenuhannya pada karena diburu oleh laporan-laporan kelembagaan. Karenanya petang itu aku segera bergerak hati membuatkannya secangkir kopi kental panas dengan sedikit gula. Dan mungkin karena terganggu aroma kopi yang mengepul-kepul di hidungnya lantas ia mengubah topik pembicaraan.

"Berapa uang sakumu waktu jaman SD?"katanya sambil menyeruput kopi

"100 rupiah, itu tahun 1986-an" jawabku dengan tegas padanya. Dan benakku lantas meluncur pada waktu itu, seratus rupiah adalah sekantong plastik es sirup dengan potongan nanas dan bakso penthol tusuk. Hmm....

------

Aku menjalani sekolah dasar di sebuah SD Negeri di kampung yang mulai beranjak menjadi kota. Sebuah kampung yang berjarak cukup dekat dengan terminal utama Yogyakarta dan sebuah kompleks lokalisasi yang sangat terkenal bernama 'Sanggrahan'. Kini lokalisasi ini telah ditutup dan disulap jadi terminal induk yang baru. Tak ada bangunan yang tersisa kecuali sebuah beringin besar di ujung simpangan jalan yang dulu menjadi tempat bertengger deretan tukang becak yang ngantri menunggu penumpang 'pria hidung belang', mucikari, sampai perempuan-perempuan yang bekerja jadi penjual jasa disitu. Konon katanya meski telah disulap jadi terminal, lorong-lorong kampung itu, juga hotel-hotel kelas melati yang berdiri di situ tetap membuka layanan jasa 'terselubung'.

Hidup di kampung yang berbenah jadi kota, aku menyaksikan sawah-sawah yang dijual pemiliknya, diurug dan lambat laun berdirilah bangunan-bangunan baru. orang-orang berdatangan, warung-warung, toko-toko dan centang perentang aneka penjual jasa dari tukang tambal ban sampai penjual bensin eceren.

Gambar Rp.25, Rp.50 dan Rp. 100 (sejoemlah oeang sakokoe doleo di sekolah dasar kelas 1 sampai kelas 6 tahoean 80an)

Pertama kali aku masuk sekolah dasar, kalau tidak salah sekitar th 1987, uang sakuku 50 rupiah. Besaran uang saku itu adalah separo dibandingkan Rp.100 rupiah yang didapat 3 kakakku yang lain menginjak di kelas 3, 5 dan 6.

"Nanti kalau kamu sudah kelas 3, uang sakumu naik 100 rupiah", kata ibundaku dulu.

Memang ketika kelas 3 nanti, seperti kakaku, aku bakal pulang lebih siang, yakni jam 12.00 siang dan aku akan mendapatkan dua kali jam istirahat. Karena aku masih kelas 1 dan 2, aku hanya menjalani pelajaran di sekolah sampai jam 10.00 siang.

Jam istirahat adalah waktu yang ditunggu tung gu semua penghuni kelas. Jam istirahat kami ditandai dengan bel yang muncul dari besi bekas potongan rel kereta yang dipukul oleh pak bon (panggilan oleh penjaga sekolah) sebanyak 3 kali. Aku masih ingat 'pak bon' sekolahku bernama pak Legi dan aku masih penasaran sampai sekarang apakah Pak Legi masih sosok dengan tubuh kerempeng dan kupiah yang menutupi rambut jabrik nya. Saat bel dipukul 3 kali, murid-murid lantas mengambur keluar dari ruangan kelas menuju ke pelataran teempat penjual es, penjual soto, penjual 'gambar templek' (stiker), penyewa gembot (aku baru tahu gembot merupakan kesalahan pengucapan dari gamewatch), penjual bakso pentol, penjual gulali sampai dengan penjual pong-pongan (Sejenis kerang darat). Kesemuanya sudah sabar menanti di pelataran sekolah, berderet-deret menempati lokasi favorit masing-masing. Ada yang merupakan penjual tetap, termasuk juga ibu salah seorang temanku, ada pula yang merupakan penjual nomaden berpindah dari satu pelataran sekolah ke satu pelataran sekolah yang lain.

Tetapi, kami hanya punya waktu 15 menit jam istirahat buat belanja di pelatan sekolah yang mirip "pasar tiban" pada jam-jam itu.

Bagiku sendiri, 15 menit adalah saat yang genting bagaimana memanfaatkan 50 rupiah sebaik-baiknya. Apakah 25 rupiah untuk sekantong plastik es sirup dengan potongan nanas dan sisannya 25 rupiah untuk dua plastik'anak mamie' . Anak mamie adalah makanan salah satu makanan oldschool yang aku temukan berwujud remah-remah mie instan kering yang berasa gurih yang dikemas dalam bungkusan kecil dengan desain yang tak pernah berubah dari kurun ke kurun bergambar seorang bocah kecil. Ukuran anak mamie seukuran setengah kali saku baju seragam SD. Terakhir kali aku melihat anak mamie adalah di kantin sekolah SMU di tahun 2000an masih dengan bentuk dan rupa yang sama.

Pilihan selanjutnya 50 rupiah adalah untuk sebuah bakso penthol dan kue terang lekker (kue dari tepung yang digoreng yang berisi potongan pisang dan taburan coklat). Tetapi di pojok lain aku melihat penjual gambar templek menggelar aneka gambar templek terbaru. Kali ini penjual gambar templek menggelar pula trik baru. Ia membuat permainan 'tarik tali'. Ia taruh aneka rupa gambar templek dari ukuran mini sampai sebesar folio dalam sekumpulan tali. Kalau beruntung kita bisa dapat tali yang berujung pada gambar templek atau stiker yang berukuran besar, tetapi kalau buntung kita hanya dapat seutas tali kosong. lantas uang 50 rupiah kita hanya diganti dengan potongan 'brem'.

Menginjak kelas 3 SD, hari-hari pertama aku bersorak-sorak sorai, karena kenaikan uang sakuku yang menjadi 100 rupiah. Tetapi kini tantanganku lebih hebat lagi. 'pasar tiban' di pelataran sekolah kini lebih berfariasi. Penjualnya pun kini punya aneka macam permainan dan trik untuk menarik pembeli. Ada permainan baru berupa 'rolet' sederhana cukup menarik perhatian. Dengan ongkos 50 rupiah kita diberi kesempatan memencet tombol yang akan memutar sebuah piringan yang diberi angka-angka. kalau beruntung bisa dapat hadiah berupa mainan-mainan plastik, sampai dengan jam dinding untuk angka tertinggi, kalau tak beruntung kita dapat sepotong bakso pentol yang dicelup dalam saos kacang pedas.

Di sudut lain penjual gambar templek kini mengenalkan permainan baru pada anak-anak. Namanya 'gacok-an' alias mengadu dua buah gambar templek. Permaianan ini cukup sederhana, kita hanya mengadu gambar templek kita dengan gambar templek lawan dengan sebuah tepukan tangan. Saat gambar templek melayang jatuh ke tanah dengan posisi terbalik, maka iapun kalah. Karena gambar templek waktu itu bergambar aneka tokoh tokoh kartun dari flash gordon, superman sampai spiderman maka permaian ini jadi semakin seru. Uangsaku 100 rupiahku kini menjadi belanja aneka warna gambar templek sampai musim permainan 'gacok-an' ini mereda.

Penjual makanan juga tidak kalah akal. Mereka membuat modifikasi bakso penthol baru. Kini seorang bakso penthol berani memasukkan potongan telur kedalam bakso pentolnya. Bahkan ada bakso penthol ukuran raksasa sebesar bola pingpong dan dibandrol dengan harga 100 rupiah. Gerobaknya sepedanya juga tak kalah eksentrik. di cat warna warni dan ditulis 'Penthol super'. Pentol super cukup populer sampai datang penjual penjual makanan yang lain, ada penjual burjo sampai dengan es cendol.

=====

Yah, dulu 100 rupiah kita bisa jajan dan bersenang-senang di sebuah pelataran sekolah yang disulap jadi shopping mall kita. Akupun juga temanku tak bisa membayangkan berapa uang saku anak sekolah sekarang. Lantas aku teringat bahwa temanku itu, yang terpaut 4 tahun diatasku sudah berkeluarga dan punya seorang anak yang kini akan menginjak ke kelas SD.

"100, 500, 5000!"

Mungkin robert maltus perlu menambahkan pernyataannya bahwa tak hanya jumlah penduduk yang mengikuti deret ukur, tetapi uang sakupun mengikuti deret ukur.

4 Apr 2009

Tentang sebuah Poci

Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol ternyata
untuk sesuatu yang tak ada


Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi.
- Kwatrin tentang Sebuah Poci (Gunawan Muhammad)

 

Sudah menjadi tradisi di keluragaku, saban pagi dan saban sore kami mengadakan acara minum teh. Ritual yang dijalankan dari kurun ke kurun waktu, sejak dari moyang, turun ke buyut sampai dengan orangtuaku. Entah siapa yang memulai, tetapi yang jelas kedua pihak kakek, dari pihak ayah maupun pihak ibu mewarisi acara minum teh ini. Meskipun kedua pihak punya cara penyajian dan selerea rasa yang berbeda. Teh telah menjadi bagian keseharian, mengiringi pagi sebelum beraktivitas sepanjang hari dan menutup aktivitas keseharian di sore harinya. Teh pagi disiapkan dengan sebelum pagi buta oleh tangan kaum perempuan; istri buyut, istri eyang, sampai mendiang ibuku. Sedari pagi buta, sudah menjerang air panas, dan menyiapkan teko tanah liat. Di senja hari, kembali teko tanah liat itu cukup dibuang ampas tehnya, lantas ditaburi teh baru.

Embah dari pihak ayah, adalah seseorang terpandang yang menduduki sebuah desa di Sleman. Sebuah desa yang dikelilingi persawahan, dengan penduduk kampung yang notabene masih punya kekerabatan satu sama lain, dengan mayoritas adalah pemeluk NU. Desa ini cukup terkenal karena salahsatunya terdapat kawasan pesantren bernama "Mlangi'. Embahku yang satu ini tipikal kepala keluarga yang otoriter. Ia bak raja kecil di keluarga yang memiliki 2 orang istri dan berpuluh-puluh anak.

Seperti laiknya keluarga embahku, saban pagi ibuku sudah bangun paling awal, membersihkan setiap sudut rumah dari halaman depan sampai merambah ke belakang, di dapur. Terakhir disiapkannya secerek air untuk menyiapkan acara yang kami tunggu-tunggu bersama-sama: 'acara minum teh'.

Saya tidak tahu pasti setua apakah sebuah poci tanah liat yang biasa ibuku pakai untuk meracik teh. Konon kata ibuku, poci tanah liat itupun dibawanya dari rumah eyangku, setelah eyang putriku meninggal dan lantas tidak ada yang menggunakan poci tanah liat itu.

Teh keluarga kami adalah teh tang. Sebuah merk teh yang hanya dibungkus dengan lipatan kertas, membentuk kotak persegi dengan desain luar gambat tang. Aku perhatikan, desain teh tang ini tak jua berubah dari waktu ke waktu. Aroma teh tang adalah aroma melati dan bau apak teh yang khas. Kadangkala selain teh tang, kami juga meracik teh tjap pendawa lima. Teh ini desain luarnya bergambar wayang pendawa lima dan kemasan dalamnya dilapisi plastik sehingga aromanya lebih semerbak.

Apapun teh nya, racikan teh dalam poci tanah liat itu selalu hitam dan kental. Saat teh poci berikut satu set gelas-gelas kecil mendarat di meja, maka aroma yang keluar dari teh yang mengepul-kepul pun telah membuat kami semua tambah bersemangat.

Kini, tak ada lagi acara minum teh di keluargaku seiring satu demi satu anggota keluarga terpisah. Apalagi Ibunda sebagai pewaris peracik teh dalam teko tanah liat poci tua itu telah tiada. Si teko tanah liat tua kini teronggok di sudut dapur. Kadangkala aku menggunakannya untuk meracik teh ku sendiri, tetapi rasanya memang berbeda.