Gombal dalam bahasa Jawa itu berarti kain kumal yang digunakan untuk mengelap kotoran. Tetapi gombal dalam kamus kehidupanku lebih kuat dalam ingatan kepada kain berwana hitam pekat penuh noda oli dan biang mesin sebagai akibat kerja kerasnya menemani Bapakku sebagai Bengkel. Bapakku dulu memang seorang bengkel yang saban hari harus berkutat dengan sparepart dan oli. Maka bisa dibayangkan, 'gombal' seperti itu adalah kain bekas yang munkin awalnya putih mungkin pula pink yang kemudian bakal mengitam penuh daki kotoran dan oli.
Nun, hari ini seperti biasa, kucing yang kuberinama 'Gombal' itu telah diperintahkan oleh nalurinya untuk kembali tidur teronggok di depan rumah, Kalau tidak disamping pintu depan rumah, maka berada di lorong samping rumah. Tidurnya serampangan saja, tetapi pastinya selalu dalam posisi menggelepar seperti seonggok 'gombal'. Maka entah sejak kapan kusebutnya ia gombal.
Asbabulnya, aku bukanlah empu dari si 'gombal'. Tetapi lebih tepatnya kucing tetanggaku yang karena kegemarannya mampir ke rumah dan terkadang diam-diam suka kuberi makan, maka bersaranglah ia ditempatku.
"Boboklah disitu, tidak apa, asal tidak pipis sembarangan!"
Maka pertaruhannya adalah karena 'nyonya besar' yang tidak suka ada 'binatang berbulu' itu berkeliaran di dalam rumah! Jikalau 'indikator' emosinya tengah dalam posisi Awas atau Siaga II, maka jangan sampai dalam sekejap pun, melintas seekorpun binatang berbulu dengan kumis dipipinya itu.
Tak hanya sekali dengan nyonya besar, kami berdebat dengan berbagai dalil, dari dogma agama sampai atas nama Hak Asasi Seluruh makluk Berbulu di muka bumi! Bahkan dengan ribuan kisah-kisah yang aku googling referensinya sekenanya di kepalaku.
"Kucing itu lho, dia itu menangkal energi negatif.!" Terus banyak lho cerita itu kucing mencegah ular masuk rumah!, kataku
"Eh, coba bayangkan itu pantantnya kalau 'eek' gak pernah cebok, terus duduk di lantai seperti itu, terus pantatnya yang tidak cebok itu nempel di lantai... hiii... jorok!", katanya, yang logika itu sulit kubantah dengan sanggahan yang lebih membungkam.
"Lha, emang ada kucing ya kucing yang bisa duduk? Atau yang habis 'eek' terus sengaja mendudukkan pantatnya di lantai?", akhirnya jawabanku sekenanya saja.
Singkatnya akan terjadi sebuah siklus, selepas perdebatan sengit aku 'pura-pura' mengusir 'gombal' yang di mampir teronggok di pojok rumah, namun saat 'nyonya besar' lengah dan indikator emosi sudah mereda menjadi Normal, diam-diam aku aku memanggilnya kembali. Kulirik gombal di kejauahan dengan kode rahasia kami yang seakan-akan kami mengerti dengan chemistry yang terbentuk karena pesekutuan babu dengan kucingnya. Maka gombal pun lantas datang menyambut belaian gemas pada punggung dan lehernya diam-diam serta segenggam whiskas yang sengaja kusimpan diam-diam di balik onggokan barang-barang bekas. Terkadang 'nyonya besar' yang sepertinya sengaja membiarkan kegemaranku pada binatang berbulu itu yang tentunya berarti indikator emosinya telah berada level 'normal' atau masih Siaga I.
------------------------------------------
Nun, 'gombal' yang pertama telah mati, yang menjelang kematiannya, ia memang sakit, hanya tidur, mengeletak tidak mau makan, bahkan memilih menyempil di sudut rumah, sampai akhirnya mati di bawah pohon belimbing. Kematiannya tak hanya membuat sedih pemiliknya, yakni tetangga sebelah, tetapi juga orang-orang yang menganggap gombal sebagai penguasa lorong perumahan ini. Gombal yang hilir mudik di lorong perumahan menjadi satu kesatuan illustrasi dengan keceriaan anak-anak yang gemas saat gombal sekedar lewat (atau sengaja lewat?) untuk menggoda anak-anak agar mengejarnya. Atau kesedihan orang seperti aku yang menggemari gombal sebagai lainya seonggok makhluk yang tertidur penuh kedamaian seolah-olah makhluk terdamai di muka bumi.
Gombal yang kedua datang menggantikan gombal pertama. Gombal kedua ini seluruh bulunya berwarna hitam. Dia datang dengan ciri khasnya yang tak pernah bersuara, hanya sesekali diiringi dengan bunyi 'bersin-bersin . Ia yang kemudian menggantikan gombal pertama untuk menempati tidur teronggok tak hanya pelataran tetapi juga di samping rumah.
"Itu lho bersin-bersinnya, jangan sampai disini to! Mending pelihara ayam apa ikan! Lebih manfaat!" katanya.
Kucing-kucing itu memang tidak memiliki fungsi ekonomis, melainkan justru menimbulkan kegaduhan manakala satu dari mereka mencuri lauk di dapur.
Atau fungsi estetis? Nah, jika fungsi esteris, ini relatif, jangan dibandingkan dengan memelihara ikan atau burung, atau tanaman hias? Gombal yang tidur teronggok dan terlentang di depan rumah dengan berpura-pura seperti sebuah 'keset kaki' itu bagiku estetis! Dia lucu dan menggemaskan. Tetapi tentu tidak estetis sama sekali dimatanya.
"Dimana letak lucunya? coba lihat? Kalau tidak tidur menggelepar, ya pipis sembarangan, atau nyolong ikan, atau mengundang temen-teman kucingnya yang lain."
------------------------------------
Sudah lewat dua hingga tiga pekan Gombal alias kucing hitam tidak terlihat bertengger di tempat-tempat biasa dia mangkrak tergeletak seperti seonggok kain keset di depan rumah ini. Di samping rumahpun juga tidak, bahkan di bawah pohon belimbing, atau di pojok dekat rumpun daun cincau yang merambat juga tak ada.
"Kok kayak ada yang kurang ea?" katanya.
Barangkali ia baru menyadari sudah tidak ada lagi 'gombal yang bertengger di rumah ini. Kan? tak usah memungkiri, anggaplah ia ibarat gelandangan yang tidur di emperan toko kita di malam hari. atau anggaplah simbiosis mutualisme antara kerbau dengan bilbilcus ibis, atau pohon Ficus Benjamina dengan burung-burung?
"Mengkhayal kau", katanya.
Maka kututuplah pleodiku padanya saat sekelebat melintas di jendela kulihat seekor kucing yang kali ini bukan hitam melainkan putih dengan belang kuning. Sekilas kemudian kulihat ia melirik padaku dengan senyum menggenyit!
Komentar