Entri yang Diunggulkan

Seberapa Bermanfaatkah Kamu Seonggok "Gombal"!

Pengayuh Sepeda Purwodadi Semarang



Siang itu karena kejadian di luar prediksi yang mengharuskan pergi ke bilangan pasar Johar Semarang maka ringseklah ia sore harinya di pusaran lalu lintas padat jalan raya Mranggen Semarang. Jalan raya ini adalah berpangkal dari arah simpang lima semarang menuju ke timur arah purwodadi. Maka saban hari seiring matahari terbenam beraruslah kendaraan dengan dominan plat K dan plat H. Sekedar asumsiku saja kendaraan plat H adalah pekerja pekerja yang mengais rejeki di Semarang tetapi punya tempat tinggal di luar semarang. Golongan ini mungkin saja orang-orang pribumi Semarang yang tempat tinggalnya terdesak sampai di luar kota semarang dan memilih wilayah rural sebagai kediaman. Kelompok kedua dengan plat nomer K adalah orang-orang luar semarang, dari Purwodadi dan sekitarnya. Mereka adalah pelaju yang saban pagi dan sore menghabiskan waktu 1 sd 2 jam duduk di atas motor menjelah jalan raya ngrawen. Pelaju dengan motor ini so pasti lihai dengan keterbiasaan mereka menjelah jalan raya ngrawen yang plural dengan aneka kendaraan dari trailer pengangkut kayu, tronton, truk pasir, truk barang, pick up, bus, mikrolet, mobil pribadi, motor roda 3, motor sampai si marjinal pengayuh sepeda.
Ya, pengayuh sepeda adalah kelompok marjinal di jalanan Ngrawen. Ini mengingatkanku pada 'Pengayuh Sepeda Imogiri Jogja'. Setiap kota punya orang-orang komuter sendiri-sendiri. Jakarta, seperti pernah kualami ketika berkunjung 'agak lama' di daerah rawa buaya, juga punya cerita satu unit keluarga yang saban hari hanya ketemu di penghujung malam. Sedang paginya semenjak pukul 5 Ayah sudah bergegas menyandang dasi kekantor dengan motor, Ibu juga berpakaian safari menuju halte dan terakhir 2 anak pukul 6 sudah harus antri dengan seragam menuju penjemputan ke sekolah. 
Saya hanya membayangkan, mungkin 2 dekade lampau jalan raya ngrawen dipenuhi 'pengayuh sepeda'. Mereka adalah orang-orang yang saban pagi menyongsong matahari terbit dari seputaran Purwodadi, gubug, tegowanu, ngrawen dan sekitarnya bergegas menuju ke pabrik-pabrik, pasar johar dan sebagainya. Para pedagang pasar membawa rombong atau keronjot di punggung sepeda, sedang pada buruh menyandang peralatan atau sekedar membawa tas berisi bekal. 
Saya rasa semua kota besar kini mempunyai masalah yang sama. Adalah bagaimana mengatasi mobilitas sementara dari area rural, dan rural urban ke pusat-pusat urban. Apalagi Semarang adalah kota Industri, lengkap dengan pelabuhan, toko-toko tua dan pusat pemerintahan wilayah seluas Jawa Tengah. 
Sore itu saya melalui beberapa titik kemacetan, yakni; Jalan (saya lupa namanya) selepas pasar johar menuju bandara, jalan jalan seputar pasar johar, jalan masuk ke simpang lima dan terakhir jalan simpang lima arah purwodadi. Ini adalah kesimpulan saya pribadi bahwa di titik titik kemacetan itu, motor adalah kendaraan 'egois' yang dikendarai oleh 'seorang diri' yang bisa dengan bebas berakrobat bakmeliuk liukkan diri di antara himpitan trailer bus dan mikrolet, yang dengan leluasa menapaki trotoir, menerobos area parkir, berkompetisi saling salip bila ada sedikit celah di depan. Maka saya hanya membayangkan bagaimana adaptasi atau bahkan evolusi para 'pengendara motor' ini dari hari ke hari. Saya hanya berandai jika saja pengendara motor ini rela menyediakan kursinya untuk orang lain, apakah tak akan semacet ini? atau berandai-andai bila memang saban hari 'mobilitas' harian ini diakomodir menjadi transportasi massal semacam kereta api express purwodadi semarang mungkin jalan raya ngrawen akan lebih santun. Dan pengayuh sepeda Purwodadi Semarang pun barangkali satu demi satu akan tumbuh lagi.

Hmm itu hanya berandai-andai  saja..

Komentar