23 Sep 2008

indigenous 'beauty', indigenous children


Siapakah yang lebih tolol; anak-anak atau kita orang dewasa? Hmm, menghadapi anak-anak adalah pengalaman yang tidak ada habisnya. Sepertinya, sesering apapun kita menghadapi anak-anak tetap saja ada saat dimana kita merasa capek, kering energi, kehabisan otak dan kehabisan kata-kata untuk menjawab berondongan pertanyaan lugu, konyol mereka. Bagi mereka tak ada hal salah, tetapi semuanya soal permainan. Dalam permaian atau game hanya ada menang dan kalah dan menyengankan tidak menyenangkan. (Dikutip dari sumber yang tidak bisa dipercaya)

Alkisah, kami para volunteer LSM dapat kontrak kerja diturunkan di medan juang bernama Desa Salam dan Desa Pengkok, Patuk Gunungkidul. Dua buah desa yang nyempil (kalau dilihat dengan 'Google Earth' memang nampak se-upil) di bukit patuk Gunungkidul. Memang lokasinya belum sampai di Kota wonosari, tetapi jalan menuju dua desa tersebut harus menanjak bukit dan keduanya mengalir sebuah sungai yang melingkar seperti ular dengan air yang tak pernah habis, kadang berwarna kecoklatan kadang berwarna bening, adalah kali Nampu, harus ditempuh dengan jalan licin terjal penuh dengan batu-batu cadas lereng-lereng dengan pohon-pohon dominasi jati, akasia, jambu mete dan ilalalang antah berantah. Desa salam dan desa Pengkok terhitung harus kulalui saban hari, ulang alik dari Jalan Kaliurang (utara Kota Yogyakarta) adalah perjalanan darat dengan kendaraan bermotor berboncengan sambil membawa peralatan tempur standart seorang fasilitator LSM (Gulungan Plano, Spidol Besar, Metaplan, Buku Jurnal, Berkas Absensi, Kamera Digital). Jarak tempuh kurang lebih kalau mengebut mencapai bilangan 1,5 jam dengan rute paling rawan adalah tikungan setelah Piyungan, yakni (kalau ndak salah namanya) "Tikungan bokong semar" dan tikungan -tikungan lain yang harus antri dengan kendaraan-kendaraan truk dilapisi dengan muatan penuh material menggunung (biasanya kalau truk dari gunungkidul membawa batu gamping, hasil bumi, kayu dl). Maka kalau sang driver paling tidah harus punya talenta menyamai paman Rozzie sebelum akhirnya sampai pada sebuah tikungan dengan jalan aspal kecil dan sebuah palang kecil (balai desa Salam) . Tapi jangan merasa lega dulu, karena aspal itu hanya memutari sebagian kecil desa salam dan desa pengkok, selebihnya adalah urat-urat jalan berikut cabang-cabang jalan yang menghunungkan rumah-rumah yang tak beraturan mengikuti Tipografi perbukitan Gunungkidul, adalah ruas jalan yang bercadas mirip sungai yang mengering. Beruntung kalau musim kemarau, tetapi bilamanan musim pennghujan, kami benar-benar mengalami suasan off road, terguncang-guncang, terperosok lumpur dan menuntun motor.

Hmmm, tetapi kami, khususnya aku tiba-tiba bisa merasakan kebahagian tersendiri. Dibalik bukit perbukitan dengan suasana cadas, rumah-rumah kayu dan senyapnya suasana pededaan itu terdapat anak-anak yang lincah. Kalau anda pernah mendengar mitos mengenai cantik-cantiknya gadis Gunungkidul, maka aku tidak menyangkal lagi. Biar saja orang lain mengatakan 'Pedopilia', tetapi yah, apa mau dikata mata sudah terlanjur menangkap barang-barang ranum nyaman lentik-lentik molek-molek dan sliwar sliwer membuat 'darah muda' ala bang roma irama pun meluap-luap. Indigeneus Beuaty Indigenous Children!

Setidaknya terhitung ada sekitar 12 pertemuan dengan anak-anak telah kami tempuh. Kesemuanya dengan teman pendidikan Pengurangan Resiko Bencana. Kami menggunakan metode-metode permaianan seperti yang sudah dilakukan oleh pendidikan lingkungan. Anak-anak diajak ke tanah lapang, bermain-main dengan benda-benda sekeliling sambil diajak berdiskusi. Anak-anak juga diajak membuat sketsa desa mereka, tentu saja sambil mulut klecam-klecem membayangkan kalau saja mereka sesusiaku, langsung aku pinang jadi pacarku. Yah apa mau dikata, tugas tetap jalan tetapi naluri buaya darat kadang sulit dibebat.