Tampilkan postingan dengan label sepeda mail. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sepeda mail. Tampilkan semua postingan

20 Jan 2024

Suatu Pagi dengan Sepeda Mail

 

 
Kali ini aku mengajaknya berkeliling-keliling desa naik sepeda dengan sebuah sepeda tua yang sudah berkarat warisan simbah Buyut Sami. Sepeda itu konon salah satunya yang tersisa dari barang mewah yang dahulu jarang dimiliki gadis desa di masanya, Sepeda itu masih meninggalkan bekas cat aslinya berwarna kuning cerah di bagian body. Entah kenapa melihat sepeda ini ingatanku terbersit pada sepeda 'Mail' dalam serial upin dan upin. Mungkin karena saat pertama kali menjajalnya, usia 'Damai' masih terlalu kebesaran untuk mengendarainya, sehingga yang terlintas di benakku adalah adegan si Mail yang muncul dengan sepedanya yang kebesaran lengkap dengan suara khas epik "theng ..theng ..theng .. theng ...theng...".

Sekitar tahun 1970an, mbah buyut Sami, putri anak orang kaya dan terpandang di desa itu telah dipersunting oleh seorang pemuda yang menjadi pengusaha kerupuk. Konon usaha kerupuk pemuda itu dirintisnya dari sebuah usaha rumahan yang diproduksi sendiri serta dijajakan sendiri. Dengan berbekal sepeda dan rombong untuk menaruh kerupuk, pemuda itu menjajakan kerupuknya dari desa ke desa, dusun ke dusun, kampung ke kampung, warung ke warung serta rumah ke rumah. Usah itu telah melebar yang kemudian menakdirkannya bertemu dengan mbah buyut Sami. Saat ini di kampung halamannya sendiri masih tersisa beberapa rumah yang memproduksi kerupuk, tetapi tidak dengan bekas industri rumahan pemuda yang mempersunting mbah buyut Sami itu.

Saya tak mendapatkan cerita bagaimana kemudian pemudia yang mempersunting mbah Sami itu kemudian berhenti menjadi pengusaha dan penjaja kerupuk, tetapi konon katanya di sekelumit riwayat hidupnya yang kudengar dari anak-anakknya, pemuda yang tak lain simbah buyut kakung itu adalah pekerja keras. Pagi sampai menjelang petang tak berhenti menggarap lahan, memelihara kerbau serta di sela-sela waktu menyempatkan diri membuat batu-bata. Konon simbah buyut kakung tak banyak berucap, hampir keluruhan aktivitasnya adalah tindakan. Maka aku membayangkan dua pasangan itu bertemu; mbah buyut kakung dari latar belakang pekerja keras dengan mbah buyut Sami seorang putri terpandang dan kaya raya di sebuah desa kecil dekat perbatasan Ngawi-Magetan.

==================

Ayunan sepeda kami berhenti sebentar di jalan masuk ke Desa yang ditandai sebuah kuburan tanpa tembok pembatas. Sebuah pohon asam yang tua, mungkin seumuran dengan usia kuburan itu nampak menauingi hampir keseluruhan kuburuan itu. Dahulu anak dari mbah Samsini, anak dari mbah Buyut sami konon waktu kecilnya suka bermain di kuburan tua itu untuk mencari buah asam. Di kuburuan tua itulah kini mbah buyut kakung telah dimakamkan.

"Tak anehkan jika buah-buah asam itu dimakan?" tanyamu.

Hmm, barangkali kalau tau buah-buah asam itu berasal dari kuburan tua itu, ada yang tidak mau memakannya. Tetapi bukankah itu sudah menjadi tanah? 

Aku mencoba mengaburkannya bahwa ada banyak kuburan-kuburan tua itu selalu ditandai dengan pohon-pohon asam, ada juga pohon trembesi, beringin ataupun kamboja. Paling tidak kalau pohon asam, itu bisa bermanfaat buahnya, orang-orang apalagi anak-anak akan tak segan mengunjungi makam walau sekedar mencari buah-buah asam yang jatuh di antara nisan-nisan itu. Nisan yang salah satunya ada nama mbah buyut kakung. 

========

Kami mengayuh sepeda lagi, Ia masih dengan sepeda Mailnya. Matahari  berpendar makin meninggi sampai ke sekujur hamparan sawah dan pematang. Suara mesin diesel dan siebel (sebutan petani setempat untuk menyebut mesin pompa air dalam bertenaga listrik) mulai bersahutan mengisi sawah-sawah. Memang, sudah sejak lama saluran-saluran irigasi itu mengering, berganti dengan pengairan diesel. Kami melanjutkan mengayuh sepeda lagi menuju kembali ke rumah Mbah buyut Sami.