Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan

1 Jun 2013

Multi tasking

....When we grow tired of all this visual/ You had your time - you had the power/ You've yet to have your finest hour / ..... All we hear is radio blah blah....(Queen - Radio Ga Ga)



Ada banyak alasan mengapa anda harus membenci televisi. Setidaknya untuk menghindari dari keterjebakan menonton acara televisi ada baiknya mulai membenci televisi.
Saat anda mulai menyalakannya anda akan tergiring untuk memindah channel dengan mudah lewat remote control. Sehingga dalam waktu yang pararel anda mungkin bisa menikmati 2 atau 4 sekaligus acara televisi. Apalagi saat anda menonton TV seorang diri, maka anda adalah raja di atas singasana kursi sofa yang menentukan nasib tayangan apa yang laik tampil melalui remote control di jemari anda.
Konon otak yang seukuran beberapa kepalan tangan mampu lebih mudah merekam aspek visual dari pada mencerna proses tulisan. Apalagi jenis tayangan iklan komersial yang kerap mengeksploitasi reflek kenikmatan mata pada lelaki lekuk liku wanita.Para perempuan akan langsung berbinar pada aneka produk  pelangsing tubuh, pemutih wajah sampai urusan pribadi dengan alih-alih menambah percaya diri. Sedangkan anak-anak kita, semenjak pagi hari sampai waktu prime time malam hari adalah iklan-iklan makanan dan mainan. Maka dengan mudah fokus kita langsung tergiring pada bunyi tag line yang diulang-ulang pada iklan; "Wajah putih berseri sepanjang hari", "Diputar, dijilat dan dicelupin" dan sebagainya.

Kata peneliti perempuan bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus dalam satu waktu. Dalam bahasa komputasi, ia support multitasking, di saat sedang masak, tangan kanannya sedang memomong anak sambil tangan kiri mengirim SMS hampir tanpa melihat ke layar handphone. Sedangkan telinganya juga sibuk mendengar 2 channel gosip sekaligus yakni pertama dari acara "Insert Selebriti" di televisis sedangkan channel lainnya adalah "Bude Siti" tetangga sebelah yang saban hari selepas 8 pagi datang ke rumah menyiarkan berita update "gosip perumahan". Meski seluruh indera berjalan semua, (hampir) karena indra perasa agak telat bekerja ketika harus mencicipi rasa sayur asem yang tengah dimasak, tetapi semua kegiatan pararel ini berjalan lancar.
Tapi benarkah kita 'betul betul' dan 'benar benar' butuh televisi? Lepas dari semua visi stasiun televisi yang saya yakin kebanyakan menawarkan 'jendela informasi'. Tapi seberapa pentingkah atau seberapa banyakkah informasi yang kita butuhkan? Pernahkah anda coba dorong sejenak kota televisi kita ke pojok, dijauhkan dari arus listrik, atau bahkan dimasukkan dalam kardus. Coba anda lakukan itu sebulan saja, atau kalau atau tak kuat, dicoba mulai membatasi diri di jam jam tertentu.
Ini bukan sebuah persuasi, tetapi bagi yang pernah mengalami tinggal di tempat terpencil, atau taruhlah tempat yang sulit terjangkau sinyal televisi- karena kebetulan tempat tinggal saya adalah perumahan di cekungan lembah dengan kungkungan bukit-bukit piyungan. Maka nyaris menonton televisi adalah perjuangan, selain harus berlomba-lomba meninggikan tiang pancang antena kalau tidak berisiko kena petir, juga karena (jujur saja) saya tak punya televisi yang 'wajar'. Saya katakan televisi yang 'wajar' karena sekali televisi 'wajar' saya berakhir dengan ledakan lengkap dengan sedikit asap persis dalam film jadul Dono-Kasino-Indro. Dan kedua, karena televisi 'wajar' saya tiba-tiba seperti punya penyakit kulit, berubah warna jadi kekuning kuningkan sampai akhirnya mengecil dan mengecil menjadi segaris. Dua kotak televisi 'wajar' itu berakhir di tukang servis tanpa pernah kudengar kabar apakah memang sudah bisa dibetulkan ataukah sudah berakhir di tukang loak didaur ulang jadi ember bekas.
Paragraf akhirnya, saya cuman pingin cerita nostalgia ketika radio masih jaya. Terakhir, seingatku ketika masih SD, ketika channel TV hanya TVRI dengan jam tayang yang terbatas. Hampir saban hari kotak radio tak pernah mati. Kadangkala 1 rumah bisa punya lebih dari 1 radio karena selera pendengar dalam rumah itu yang beda-beda. Tetapi di kampungku, selera pasar paling umum salah satunya adalah drama 'Saur Sepuh'. Bagi anak-anak atau remaja ada serial 'Joni Kukuh', selain tentu saja acara lain seperti berita, lagu-lagu, kirim kiriman salam, sampai dengan berita.
Disini indera tersibuk satu-satunya adalah 'telinga' sehingga adalah biasa mendengar radio sambil mencangkul ladang, mengayuh mesin jahit, mengendarai kendaraan atau kesibukan lainnya.
Salah satu 'drama radio' yang kutunggu seluruh keluarga adalah serial 'Saur Sepuh'. Maka saban sore terjadilah perkumpulan massal pendengar radio dari aku, saudara-saudaraku sampai tetangga sebelah yang ikut nimbrung. Meski kotak radio hanya satu dan dinikmati massal seperti itu, tetapi setiap orang akan punya imajinasi berbeda-beda dari siaran yang sama. Bayanganku tentu saja 'Brama Kumbara' sang tokoh utama 'Saur Sepuh' adalah lelaki dengan rambut gondrong berkostum jubah, ikat kepala, sandal dari kulit badak dan 'pedang nagapuspa' yang bisa menyala saat dikeluarkan. Salah babak yang kutunggu adalah babak pertarungan antara 'Brama Kumbara' dan 'Mpu Tong Bajil'. Meski radio hanya mengeluarkan bunyi 'ciaaat-ciaaat.... gedebak ... gedebuk..." tetapi di kepalaku secara visual telah tersusun adegan pertarungan dahysat antara 'Brama kumbara' yang mengeluarkan ajian sakti melawan 'Mpu Tong Bajil' yang juga punya tongkat sakti.
Kembali ke kotak televisi terkini, kecewanya, dan lebih menyedihkan lagi saat 'Saur Sepuh' tayang jadi acara sinetron. Saya pikir efek 'pertempuran' sengit yang dulu kususun lewat imajinasiku sendiri jauh lebih keren daripada yang tayang di sinetron televisi.
---
Saat perjalanan jauh 5 jam menuju Jogja-Grobohan, telingaku kusumpal radio, bukan MP3 untuk mendengar musik. Ajaibnya, aku seperti menemukan 'kesenangan' lama, membiarkan mengalir mengikuti siaran dan celoteh 'bla-bla-blah" sang penyiar radio.Rasa-rasanya 5 jam pantat penat dan panas di atas jok sepeda motor, seperti sebuah piknik lengkap dengan teman ngobrol, illustrasi musik dan pemandangan sepanjang jalan.

23 Jun 2011

Learning by doing#1:edisi memasak

Learning by doing alias belajar melaui praktek langsung. Tapi jangan praktekkan ini bila anda seorang dokter atau praktek pengobatan karena bisa-bisa anda akan kena mal praktek.

Pelajaran memasak pertama adalah telur dadar cantik. Disebut telur dadar cantik karena bentuknya yang bulat, pipih dengan warna kuning cerah dan tak ada lubang sedikiten. Sebenarnya membuat telur cantik ini adalah gampang kalau kita punya wajan teflon anti lengket. Telur tinggal dikocok dengan sedikit garam lantas dituang pelan pelan sambil wajan digoyang pelan dari tengah sampai ke tepi. Tinggal tunggu beberapa menit api sedang, lantas kalau anda mau coba atraksi melempar telur ke udara mirip master chief tinggal disentakkan ke atas sampai terbalik ke udara dan… pluk! Kalau anda beruntung sang telur akan kembali ke posisi semula pada permukaan yang lain alias side B, tapi kalau tidak beruntung paling-paling telur cantik jatuh tertelungkup tanpa bentuk. Tentu saja lebih sulit membuatnya dengan wajan biasa. Wajan harus benar-benar berlumur minyak tipis. Lebih bagus lagi justru wajan yang belum dicuci untuk menhindari si telur cantik lengket di muka wajan dan jadilah telur bopeng-bopeng. Si telur cantik biasanya jadi menu breakfast alias sarapan kilat atau sekedar lauk pengganjal perut pada malam hari.

 

Tabel 1.1 Absensi kehadiran Bawang Merah & Bawang Putih

  Bawang Merah Bawang Putih
Sayur Sup nihil hadir
Goreng Telur, tempe atau tahu nihil hadir
Lalapan nihil hadir
Tumis/oseng-oseng hadir hadir
Nasi Goreng kadang hadir kadang tidak hadir
Sambal kadang hadir kadang tidak hadir
Dongeng Bawang Merah & Bawang Putih hadir hadir
  = sering bolos = selalu hadir

Aneka Soup

Bosan dengan lauk yang terlalu sederhana mulailah kucoba membuat soup. Bumbunya aku perkirakan sama saja yakni duet dua bersaudara si bawang merah dan si bawah putih lantas digerus halus bersama garam, merica dan kadangkala sedikit aku kasih  kunyit dan lombok. Semua bumbu aku goreng sampai keluar aroma dan lantas kuguyur dengan dua atau tiga gelas air hingga mendidih.

Tinggallah para sayur mayur siap jadi korban mutilasi pisau dapur; kubis, wortel, tomat, sledri terkadang dengan ektrim kutambahkan daun mangga muda, daun katu ataupun segala macam daun yang berwarna hijau yang rasanya tidak pahit dan tidak menimbulkan sakit perut.  Satu demi satu, sayur yang telah kumutilasi dan wortel yang kukuliti dan kupotong kecil-kecil kucampakkan dalam wajan sup yang telah mendidih. Wajan! Ya karena peralatan dapur hanyalah kompor, pisau dan wajan. Menggoreng lauk memakai wajan. Membuat sup juga memakai wajan, dsb. Maka wajan adalah alat masak praktis dari A sampai Z. Beberapa menit sup telah siap. Karena aku tidak suka pada Monosodium Glutamate yang membuat kepalaku pusing setelah memakannya, kutambahkan saja sedikit gula. Kalau sedikit berduit, kumasukkan potongan cakar ayam atau sayap ayam sebagai ganti kaldu. Eksperimen dengan sup hanyalah dengan menambahkan potongan tahu yang digoreng, atau potongan tempe. Selebihnya aku sudah tak kuasa menahan derita lapar daripada terlalu khusuk menambahi menu.

Food and Gathering Lalapan

Aneka lalap adalah menu paling sederhana tetapi juga paling memprihatinkan. Paling sederhana karena aneka daun, apapun bentuknya yang berwarna hijau yang berasa pahit ataupun manis yang didapatkan disepetak kecil belakang rumah atau dengan diam-diam mengendap-endap memetiki daun di pekarangan tetangga pada malam hari, adalah tinggal direbus dengan sedikit garam dan tumbukan si bawang putih tanpa melibatkan saudaranya si bawang merah. Jika sedikit ber-uang, lalapan ini bisa dipadu dengan tempe goreng atau sambal.

Maka aneka lalapan ini adalah semacam evolusi manusia purba dalam caranya survival of the fittest  alias bertahan hidup melalui food and gathering alias berburu dan meramu. Berburu bagiku adalah bagaimana aku mendapatkan daun-daunan bahan lalapan tersebut dari sepetak kecil tanah baik itu pekarangan sendiri ataupun orang lain. Sedangkan meramu adalah meramu hasil perburuan tersebut dalam wajan ajaibku bersama sedikit garam dan bawang putih.

Nasi Goreng

Menurut survey yang perlu diragukan keberaadaanya, tiap anak kos, ataupun homo sapiens yang hidup mandiri dengan cara masak nasinya sendiri, nasi goreng adalah menu sarapan pagi ratting ter tinggi. Ini karena nasi goreng sebenarnyalah adalah ide kereatif bagaimana memanfaatkan sisa nasi yang masih belum habis dan hampir basi untuk bisa tertelan jadi sarapan. Maka nasi gorengkupun tercipta dari wajan ajaibku dengan memasukkan nasi hampir atau sudah basi, garam, lombok, kecap dan lagi-lagi duet dua bersaudara si bawang merah & si bawang putih yang hanya akur di dunia bumbu-bumbuan. Maka nasi goreng jadi menu spesial bila dihadiri sebutir telur.

Nasi sudah jadi Bubur

Nasi sudah jadi bubur artinya tak bisa dikembalikan lagi jadi nasi. Tapi bubur membuatku lekas kenyang dan rasa gurih dan gumpalan dari santan adalah rasa yang membuat bubur ‘kalau kepepet’ jadi menu utama tanpa tambahan lauk pauk. Apalagi dengan segenggam beras saja maka terciptalah dua piring penuh bubur.  Walhasil perut lekas kenyang meskipun resikonya pencernaan dan cacing-cacing di perutku lebih mudah menyerap hingga mengakibatkan alarm rasa lapar akan berbunyi 3 jam lebih cepat dari biasanya. Maka bubur adalah menu emergency respon bila logistik beras di dapur sudah menunjukkan level memprihatinkan alias stok tipis. Asal darurat mengisi perut lapar selanjutnya bisa difikirkan setelah kenyang!

Tumis alias Oseng

Tumis alias oseng adalah ketika potongan tempe, tahu, sayur ataupun segala bentuk remah-remah yang lain beradu dalam wajan ajaibku bersama sedikit minyak, garam, si kembar bawang merah- bawang putih dan sedikit kecap. Jika lagi mujur meskipun frekuensinya 1 banding 30 hari sekali di peraduan bisa bergabung beberapa potong jamur, telur atau potongan ayam. Tumis ini cukup membutuhkan waktu 15 menit untuk siap disantap, sehingga acap jadi menu favorit untuk malam.

Kalau fieasta punya slogan rasa adalah segalanya maka bagiku punya slogan kenyang adalah segalanya. Jika kepepet tak perlu punya pengalaman untuk masak. Asal ada garam dari laut, gula dari ladang dan si kembar bawang merah bawang putih bertemu di wajan ajaibku, jadilah mereka hidangan istimewa.

20 Jun 2011

Cacing

cacing lumbricus
Saya sangat jijik dengan cacing. Binatang lunak tak bertulang tak bermata tak berkaki yang berjalan dengan menjulur julurkan  permukaan tubuhnya yang berlindir ini membuat saya bergidik. Apalagi bila tak sengaja menyetuhnya atau bahkan menginjaknya di atas tanah. Kalau tidak salah, bila semalaman sehabis gerimis, atau cuaca mendung, maka cacing-cacing tanah ini akan keluar di pagi harinya. Puluhan bahkan mungkin ribuan, meninggalkan jejak mirip jalur-jalur rambut di atas permukaan tanah. Barangkali semalam mereka berpesta, musim kawin atau mungkin sekedar pengap karena konon bila cuaca di langit berupa mendung, permukaan tanah sebaliknya, akan terasa panas. Jadio secara hukum fisika, para koloni cacing tanah merasa gerah, terus menyembul keluar mencari udara segar. Bila mereka kurang beruntung, pulang kesiangan, telat masuk kembali ke tanah atau salah jalur karena masuk pekarangan manusia, sang cacing akan terancam mati, disapu oleh  ibu-ibu yang sudah sibuk menyapu di pagi hari, atau di jahilin anak-anak dengan ditaburi garam. Sang cacing akan menggeliat-geliat, tubuhnya memar, memerah, lantas mati.
Kejijikan saya pada cacing juga muncul kala membayangkan para pemancing yang memasang umpan berupa cacing yang masih hidup pada mata kail. Konon, cacing yang masih fresh alias masih hidup lebih diminati sang ikan daripada cacing yang sudah loyo atau wafat. Maka sang cacing jadi bulan-bulanan para pemancing, ditaruh dalam kaleng atau kantung plastik berikut segumpal tanah, lantas diambil pelan-pelan. Si cacing meregang seperti tak rela, beberapa kawannya yang menunggu giliran lantas menggelesot mencoba masuk lebih dalam pada segumpal tanah tersebut. Pelan tapi pasti, dimulai dari ujung kepala, di cacing dimasukkan pada mata kail sampai seluruh mata kail tertutupi  tubuh cacing yang mencoba meronta, tapi tak berdaya. Lantas yang tersisa tinggal sedikit ujung ekor cacing yang bergerak-gerak dan inilah yang jadi penarik luar biasa seperti tangan yang melambai-lambai ‘ayo-ayo makan aku’ bagi gerombolan ikan-ikan yang matanya selalu melotot tak pernah tidur. Dan….. hap…. saat mata kail tertangkap mulut ikan, maka berakhir sudah penderitaan  si cacing. Jadi barangkali berkat doa si cacing pesakitan itulah ‘tuhan, akhirilah penderitaanku, segeralah aku dimakan ikan-ikan itu’, sehingga pemancing bisa segera mendapat ikan.
-----
Sebermula hanya satu tempat saja yang kudatangi. Pertama di lokasi Pak Tarmin yang letaknya 12 kilo ke selatan arah batu jamus dari kota Sragen. Peternakan cacing pak tarmin  berupa petak-petak bak yang diletakkan di bawah kandang ayam. Saat melongok kesana cacing-cacing jenis lumbricus rubellus itu tengah menyembul keluar. Rupa-rupanya hawa gerimis dan udara lembab menyebabkan cacing-cacing tersebut pada keluar. Menurut peternaknya, cacing-cacing ini memang suka mengikuti aliran air, bahkan ada dari cacing-cacing tersebut yang naik ke atap kandang karena ada tetesan air dari atap. Ada ribuan bahkan mungkin ribuan cacing yang bergerombol di bak-bak tersebut, saling menggelesot di antara gundukan kotoran sapi yang becek dan sisa-sisa jerami. Tubuh saya langsung bergidik, kaku dan air liur saya langsung mengering drastis. Kalau tidak karena tugas lapangan untuk peliputan budidaya cacing lumbricus rubellus, saya pilih segera ngacir saja dari tempat tersebut.
Pelajaran pertama dari pak tarmin saya dapat ternyata cacing cacing tersebut bisa menghasilkan puluhan ton bahan pupuk organik atau yang disebut kascing setiap hari. Kalau satu kilo cacing saja menghabiskan 1 kilo kotoran ternak sehari semalam, maka bisa terbayangkan puluhan ton cacing yang sudah diternakkan pak tarmin demi menghasilkan puluhan ton pupuk organik. Maka daripada jatuh ke tangan para pemancing, cacing-cacing di tempat Pak Tarmin diberlakukan jauh lebih beradab; disuruh makan kotoran sapi tiap hari dan dibiarkan beranak pinak jadi banyak. Semakin banyak cacing berarti semakin banyak kascing dihasilkan berarti pula semakin banyak pupuk dihasilkan jadi uang. Sebuah simbiosis mutualisme antara Pak Tarmin dan para koloni cacing lumbricus rubellus.
Pelajaran kedua, para cacing ternyata mempunyai banyak enzim penting yang bisa digunakan untuk pengobatan. Dari ngobrol santai saya dengan pak sapto, seorang penulis buku mengenai cacing, di dalam tubuh cacing dari penelitian punya banyak enzym yang penting untuk pencernaan. Bukan diragukan lagi cacing banyak digunakan untuk penyakit typus, darah tinggi dan ganguan pencernaan lainnya. Bahkan ada yang digunakan untuk bahan kosmetik. Pak sapto juga mempunyai kelompok peternak cacing di daerah bantul yang menternakkan cacing jenis perrytima. Cacing-cacing tersebut, diletakkan dalam rak-rak, dan deberi media bekas  baglog jamur. Konon menurut pak Sapto, cacing paling demen juga dengan potongan batang pisang. Meski cacing tak punya gigi, tapi lihat saja, dalam beberapa hari potongan batang pisang tersebut sudah berubah jadi remah-remah tanah. Jadi  cacing pun tak perlu unjuk gigi.
Pelajaran terakhir, saya dapat dari televisi. Ada tayangan reality show mengenai kehidupan merana seorang pencari cacing. Saya lupa siapa tokohnya, tapi si tokoh yang punya seorang bini dan tiga orang anak ini saban hari pekerjaan utamanya mencari cacing. Si tokoh berburu cacing dari sekujur pematang kali ciliwung, memerosok ke got-got, tumpukan sampah becek sampak ke kandang-kandang sapi. Dikisahkan, entah di dramatisir entah tidak, si tokoh berangkat dengan sepedanya yang berderak-derak dan selalu bermasalah dengan rantai dan pedalnya yang hampir putus, bak penuh tambalan, tanpa rem dengan menenteng ember kecil. Maka si tokoh harus mengayuh sepeda itu pelan-pelan sambil memasangkan sepasang sandal jepitnya pada bagian  sandal untuk menggendalikan laju sepeda agar tidak menabrak penjual sayur. Si tokoh rupa-rupanya sudah menyatu dengan lingkungan profesinya, sehingga dengan gesitnya memasukkkan tangan, mengkorek-korek sampah, bahkan tercebur ke dalam kubangan kotoran sapi.  Ia sudah bisa mendeteksi lokasi-lokasi mana saja yang biasa jadi ajang cacing berkoloni. Digambarkan bagamimana si tokoh kena apes lagi saat rantai sepeda yang dikendarainya putus. Mau tak mau harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Lantas 2 orang anaknya pulang sepulang sekolah juga ikut membantu mengumpulkan cacing. cacing-cacing tersebut ia taruh dalam plastik minuman dan dijual 1.500 per kemasan di toko ikan hias dan pancing. Sehari ia bisa mengumpulkan 15 ribu rupiah saja. Lantas digambarkan pula dalam rumah petak kecil, berdesakan anak pinak si tokoh, bini dan 3 orang anak makan nasi bungkus dari hasil menjual cacing.2 orang anaknya yang gemuk-gemuk yang sudah sekolah di SD mengaku sering diejek temannnya karena profesi ayahnya sebagai pencari cacing. Tapi kelihatannya mereka cukup bahagia. Saya hanya membayangkan bagaimana anak pinak itu hanya hidup dari mengumpulkan cacing? Di akhir kisah, konon si tokoh mendapat bantuan untuk menternakkan cacing, jadi harapannya si tokoh sudah tak susah-susah lagi berburu cacing dan bisa mempensiunkan sepeda kendaraan satu-satunya yang sudah megap-megap berbau barang rosokkan. Amiiin

20 Mei 2010

Berburu Oeng

Dr Hong Djien- Photo By Jacek Stepaneak Kami hanya berdua, aku dan temanku, dan kami hampir tersesat di kota Magelang, sebuah kota kecil sebelah utara kota Yogyakarta di bawah  lembah gunung Merapi dan Merbabu. Hawa kota ini selalu adem dengan lanskap kota penuh jalan berkelok dan bangunan-bangunan tua bekas tangsi Belanda. Bekal tujuan perjalanan hanyalah secarik kertas bertuliskan ‘Galeri HD’ Jl. P. Diponegoro 74. Selebihnya, aku coba yakinkan ke kawanku dari negeri asing Polandia itu bahwa ‘kita bisa tanya pak Polisi’.

‘Pak Polisi adalah GPS yang baik’

Artinya sudah menjadi pengalamannya, bahwa bertanya pada polisi tentang suatu alamat adalah lebih baik daripada bertanya pada orang biasa atau tukang becak. Tukang becak tahu banyak lokasi, tetapi skala ukurannya terkadang sukar dihitung secara matematis.

‘oooo, tinggal dekat mas, barang sak plintengan (1 lemparan ketapel)’

Nun, kami telah memasuki jantung kota Magelang hanya menempuh 1,5 jam perjalanan berangkat dari jam 6 pagi dan sampai di pusat kota kira-kira masih jam 7.30WIB. Setidaknya sudah 2 petugas polisi yang dinas pagi kami tanyai. Sepanjang  jalan dilalui, lalu lintas dipenuhi orang-orang yang berangkat kerja, anak-anak yang berangkat sekolah dan truk-truk pengangkut sayur. Memang jalan utama itu adalah jalan lintas provinsi yang membelah dari Yogykarta, Muntilan, Borobudur, Magelang, terus menerus ke arah utara sampai tembus ke Semarang. Ada yang khas di jalan utama itu, yakni banyaknya para tentara lengkap dengan pakaian dinas dan motor-motor ber cat hijau. Ya, karena Magelang adalah kota Militer dimana banyak akademi militer termasuk yang paling terkenal ‘SMU Taruna Nusantara’ Ada disini.

Setelah 4 Pak Polisi dinas pagi kami tanyai, sampailah kami pada petunjuk terakhi arah Jl. P. Diponegoro itu berada, tepatnya persis di belokan pertama tempat kami mengarahkan motor. Tapi rasa lapar yang menyerang mengurungkan nian kami untuk lansung mengarah kesana.

Lebih baik menyerbu warung soto yang sudah di dekat kami dengan kuali yang hangat mengepul-kepul daripada datang ke rumah Oeng tapi dengan ‘setengah konsentrasi’ saja. Konon perut lapar bisa menghilangkan setengah kendali akal.

Bahkan semua seperti sesuai rencana, ketika suami istri pemilik warung soto, beretnis Cina, kami menunjukkan dimana ‘galeri HD’ berada. Persisnya hanya menyebrang warung soto tempat kami berhenti.

‘Lha itu lho rumah Oeng Djien’

****

Kami ditemui Dr. Oeng Djien secara pribadi. Oeng Djien orang yang super ramah. Dengan senyumnya yang selalu terkikih-kikih, sederet gigi besar-besar yang rapih dan putih, kacamata tebal dengan rambut pendek berminyak dibelah pinggir. Jam tangan bermerek, t-shirt berkerah bermotif strip yang dimasukkan dalam celana pantalon dan diiikat sabuk kulit.

Saya seperti melihat sosok Gus Dur dalam wajahnya. Kacamata, muka bulat, dan tawa yang terkeh-kekeh, Dalam lingkaran para seniman khususnya perupa Indonesia, siapa yang tak kenal Dr. Oeng Djien. Julukan pertama adalah kolektor, seorang yang gigih mengoleksi lukisan-lukisan para perupa Indonesia dari jaman kolonial sampai perupa-perupa muda sekarang. Menurut Hong Djien sendiri koleksinya sekarang mencapai kurang lebih 1.500 karya.

Oeng Djien menemui kami lobby galleri yang langsung disambut lukisan Nasirun membentang memenuhi tembok, kalau ndak salah 2 x 4 meter. Selebihnya, terlalu banyak yang lukisan, patung, karya sampai dengan pernak-pernik di ruangan itu yang tak mampu saya gambarkan dengan kata-kata.  Sepertinya setiap bagian dari ruangan itu saling berhubungan, melengkapi satu sama lain dari mulai kursi, patung, asbak, tempat bunga sampai dengan Hong Djien sendiri.

Ada dua galeri induk milik Hong Djien saat ini. Satu, ia menyebutnya galeri untuk karya-karya klasik sampa  dengan modern yang desainnya cukup unik dengan sebuah ikon kacamata raksasa di atas galeri tersebut. Kedua, adalah galeri untuk karya-karya kontemporer yang didominasi karya perupa-perupa muda. Meskipun pembagian galeri tersebut menurut Hong Djien pribadi tidak sekaku itu tetapi setidaknya saat kami memasuki 2 galeri tersebut memang ada suasana berbeda. Galeri pertama didominasi karya-karya perupa2 senior dari mulai Affandi, Soedarso dan sebagainya. Sedangkan galeri kedua selain lukisan terdapat banyak karya Instalasi termasuk instalasi-instalasi yang dibuat perupa saat ulang tahun Hong Djien. Di galeri ini kami menemukan patung replika Dr. Oeng Djien lengkap dengan suara gelak tawanya yang khas.

Melihat Sejarah

Lukisan-lukisan disekujur galeri ditata dengan apik dengan sistem sirkulasi udara dan pencahayaan yang bagus. Memasukinya adalah pengalaman luar biasa, mengamati tiap karya adalah sempalan-sempalan cerita tentang suatu waktu tertentu, suatu ruang tertentu. Setiap karya punya cerita sendiri-sendiri, seperti buku sejarah, seperti cerita pendek atau mungkin cerita yang membentang jadi novel. Ada karya yang memotret tentang peristiwa tertentu, isu tertentu. Ada juga lukisan tentang keindahan tubuh perempuan.

Dr. Hong Jien masih memandu kami dengan sabar, sambil bercerita dengan bahasa inggrisnya yang fasih.

Kepala saya langsung terasa pening, bukan oleh aroma minyak cat, kanvas dan ruap serbuk udara di galeri yang khas, tetapi karena teralu banyak hal baru yang harus saya serap tiba-tiba. Tak cukup rasanya menjejakkan kaki barang 30 menit.

‘Every picture tell the story’ kata rod steward

17 Feb 2010

Mr. Agus Tahu

 a tahu 6374 Temanku dari Polandia begitu membenci ‘tahu’, makanan khas Indonesia yang terbuat dari kedelai putih yang berasa kenyal dan diolah dalam berbagai aneka. Tahu memang fleksibel, dari sekedar direbus, digoreng dengan sedikit bumbu garam, dipotong kecil-kecil dan dimasukkan dalam aneka olahan. Aneka olahan itupun banyak variasinya, dari yang menaruh ‘tahu’ sebagai unsur pokok' sampai dengan tahu hanya sebagai unsur komplementer. Nah, tahu sebagai unsur pokok ada tahu tek, tahu isi, tahu kupat, tahu guling, tahu sumedang dan sebagainya. Sedangkan unsur komplementer lagi, dari mulai gado-gado, dicampur dalam soto, sup, tahu isi, dicampur dalam mpek-mpek, tahu isi, lontong tahu, sampai dengan dijadikan kerupuk Tahu. Maka karena fleksibelitas Tahu ini, temanku dari Polandia menjadi tersiksa, berhati-hati untuk meneliti lebih dulu tiap kali masuk ke warung makan.

“Tahu….. I hate Tahu’, katanya, sambil melihat pada warung ‘Tahu Tek’ asli Surabaya.

Temanku yang membenci tahu itu sebenarnya bukan orang yang rewel terhadap makanan. Sebagai orang rumpun eropa, ia sanggup makan apa saja, bahkan mungkin kalau aku bohongi bahwa ‘daun ketepeng’ bisa dimakan, iapun akan mencobanya. Tapi untuk tahu, ‘now way’, katanya. Si tahu harus rela disingingkarkan ke keluar dari mangkuk soto yang sudah terlanjur bercampur tahu.

‘Di pasar dekat tempatku ada sate tahu lho… enak sekali, yang jual mbok-mbok pasar’, Sekali aku menggodanya, menawarkan hal lain, hal fantastik tentang tahu. Tapi dia hanya berkenyit dan melanjutkan menyantap sotonya sampai kuah terakhir. Soto memang makanan favoritnya, tapi tentu saja minus potongan tahu.

****

Kunjungan kami ke Palangka beberapa waktu lalu setengah berkarya setengah jalan-jalan. Di Palangkaraya, tepatnya di sebelum daerah Tangkiling, sebelum Sampit, di areal transmigran yang penuh dengan kebun-kebun kelapa sawit, disanalah kami menemu ‘Agus Tahu’. Sebermula kami ingin mengorek keterangan tentang para Transmigran yang memilih menyerah hidup di daerah transmigran, lantas menjual lahanya dengan murah dan pulang lagi ke kampung halamannya yang kebanyakan dari Jawa.

Pak Agus Tahu juga membeli rumahnya yang kini telah disulap menjadi ‘home industri’ pembuatan Tahu dari seorang keluarga transmigran yang pulang kampung. Konon dibelinya rumah dan tanah itu dengan harga yang murah meriah. Sebuah rumah sederhana berpapan kayu seperti umumnya rumah-rumah transmigran lainnya dan areal perkebunan seluas 1 hektar. Toh Pak Agus Tahu hanya memerlukan rumah itu untuk tempat produksinya yang terhitung lumayan jauh dari pusat kota Palangkaraya, hampir 1 jam perjalanan. Tetapi kini semenjak 4 tahun membanting tahu (baca: membanting tulang), Pak Agus tahu sudah mempekerjakan 2 orang, memiliki 3 buah sumur buat menananak tahu dengan kapasitas banyak, memiliki mesin giling kedelai dan tungku penanak kedelai. Untuk distribusi tahu-tahunya Pak Agus Tahu kini tak perlu repot lagi karena para konsumennya yang akan berdatangan ke rumah produksinya dan dibantu sebuah mobil pick up miliknya yang siap mendistribusikan tahu ke seluruh pelosok tangkiling sampai Palangkaraya.

Pak Agus tahu berasal dari Purwokerto, tetapi sebelumnya ia tinggal bersama ayahnya yang merantau bertahun-tahun di Makasar dan membuka pabrik tahu di kota tersebut. Ayahnya sendiri Konon karena suatu hal, Pak Agus memilih pindah dari Makasar bersama Istri dan seorang anaknya merantau ke Palangkaraya ini. Adik pak Agus tahu juga merantau ke Surabaya, membuka pabrik Tahu juga. Sepertinya unik kalau mencatat risalah penyebaran keluarga dinasti  produsen tahu ini. Sayang, saya tidak bisa merunut lebih jauh lagi kisah pengalaman pak Agus tahu dan keluarganya.

****

Temanku dari Polandi itu manggut-manggut. Jepret sana jepret sini dari proses pembuatan tahu dalam ruangan agak sempit penuh dengan aroma ruap kedelai rebus yang memenuhi ruangan. Sambil kami ajak ngobrol, Pak Agus Tahu masih sibuk mengaduk adonan tahu, membuang air sisa limpasan tahu yang diendapkan, mengaduk adonan tahu dan bekerja dengan selang air. Ia bergerak dengan cekatan dengan setengah badan telanjang, celana kolor, tanpa sandal dan otot-otot tubuh basah karena uap air.

“Ini buat ghrook….ghrook…mister, gud..gud”kata Pak Agus Tahu, sambil menunjuk sisa limpasan air endapan tahu.

Maksud Pak agus tahu, air sisa endapan tahu itu biasanya diambil oleh orang-orang untuk minum ternak Babi. Temanku dari Polandia yang membenci Tahu itu makin manggut-manggut, tersenyum-senyum.

Tahu-tahu itu sebenarnya melalui proses yang sederhana dengan alat yang sederhana tidak seperti pembuatan tempe yang melalui proses ‘diinjak-injak’ dengan kaki. Adonan tahu juga dicetak dalam cetakan sederhana, dari kotak kayu dengan alas kain untuk menyaring sisa air. Keenam sumur pemasakan,

Tetapi temanku tetap tidak suka pada tahu. Apapun itu diolahnya meski dia sudah melihat proses pembuatan tahu yang cukup ‘menantang’. Walhasil kala pertemuan singkat dengan pak Agus Tahu, lantas ditawari menunggu sebentar sedang digorengkan tahu, maka tanpa basa-basi temanku yang tidak suka tahu itu mohon pamit.

“Saya sudah tahuuuu, munkin nanti mo coba tahu.. mungkin nanti…permisi”

18 Jan 2010

Jathilan Jalanan

ryanlj986ryanlj985okjatilan

Suara bonang, kempul dan kendang dipukul dengan komposisi yang berulang-ulang. Tidak menghasilkan intonasi yang mengalunkan sebuah lagu, tetapi hanya ‘beat-beat’ monoton yang memandu gerak para penari jatilan yang berpakaian warna-warni, beberapa memakai topeng, beberapa mecoreng moreng mukanya dengan dominasi warna merah semerah saga. Topeng adalah representasi wajah makhluk ganjil. Dengan rambut gimbal awut-awutan, gigi2 besar tak beraturan dan mata yang terbelalak marah. Seiring tempo instrumen yang monoton itu semakin cepat, semakin cepat pula gerakan para penari. kepala mereka bergeleng-geleng, bergoyang-goyang seperti kesurupan. Beberapa dari mereka yang mengenakan lelonceng pada kaki, menambah suara dengan bunyi gemerincing seiring hentakan kaki. Tak ada lagu, lirik, matra atau tembang dalam iringan musik, kecuali bunyi yang monoton itu.  Sesekali bunyi lecutan pecut memecah diudara, memekakkkan telinga dan membuat seketika kerumunan orang yang dalam lingkaran bergidik.

‘Ctarr… ctarrr’ Dan, para pemain jatilan semakin bergerak semakin binal, menggelepar-gelepar dengan kuda-kudaan dari ‘kepang’. Si kuda lantas seperti adegan berlari dengan kecepatan laksana terbang, melonjak-lonjak bagai rodeo, mendengus-dengus mengeluarkan asap dan debu dari dua lubang hidung dan mulut.

Lalu instrumen yang bukan pentatonis pula diatonis itupun terus ditabuh ;‘Pong-pong-pong, pong dil pong, pong dil pong, pong dil pong, blanggentak tung tung dil, pong pong dil pong….’ begitu terus bertalu-talu.

Seperti medan magnit, suara itu memanggil orang-orang yang datang dari berbagai penjuru mata angin, bergerak mendekat, berkerumun, membentuk lingkaran mengelilingi para pemain jatilan.

“Ada jathilan!”, dari kejauhan dalam radius suara itu mengumandang orang-orang di kampung, dijalan-jalan dan di sudut desa mendengarnya, membicarakannya.

 Episentrum adalah pohon angker

Dahulu orang memanggil Jatilan untuk acara selamatan. Bila ada penduduk kampung atau desa merasa diganggu oleh ‘makhluk halus’. Ada banyak pohon-pohon besar di sana yang umurnya melebihi bilangan usia manusia tertua di kampung itu. Tak pernah habis cerita orang-orang kampung tentang penampakan berbagai wewujud makhluk dari dunia lain tersebut. Orang-orang kampung disitu menyebut nyebut tentang ; genderuwo yang kemunculannya dibarengi bau ubi bakar, kuntilanak, tuyul yang kecepatan larinya melebihi kedipan mata, sampai dengan pocong yang muncul dari rerimpun pelepah pisang. Pendek kata kebon itu menjadi kerajaan bagi aneka rupa makhluk gaib tersebut.

Juga pada saat acara pembersihan. Pohon-pohon besar dibabat untuk digunakan sebagai lagan banguna. Ditanggaplah Jatilan yang konon untuk memanggil para penghuni  pohon-pohon angker tersebut. Meminta mereka pindah ke tempat lain, sebagai syarat, tentu ada sesajian; ayam cemani hitam, kembang setaman, teh dan kopi, kelapa muda.

Saat bonang dan kempul mulai bertalu, semakin keras semakin cepat, sang dukun mulai bersiap-siap. Asap dupa, kembang setaman, sesajian berupa ayam cemani hitam, kopi hitam, kelapa muda, jenang merah mutih dan aneka rupa sesajen lainya telah tersedia. Sang dukun duduk bersedeku, mulai berjaga-jaga pada pemain yang mulai ‘trance’, mulai kesurupan.

Seorang pawang yang berjaga-jaga apabila penari jatilan sudah sangat keterlaluan gerakannya tak terkendalikan, sang pawang akan turun tangan, merapal ucapan-ucapan yang tak jelas suaranya, memegang kepala si pemain yang kesurupan, menatap matanya lekat-lekat dan lantas terakhir menyemburkan isi mulut yang penuh air ke muka si pemain yang kesurupan. Kemudian, entah itu sungguh-sungguh atau hanyalah sebuah ‘akting’ (meskipun akting pun, anda tak akan percaya kalau itu akting), pemain yang kesurupan tersebut akan jatuh lunglai ke tanah, tak sadarkan diri beberapa menit lantas siuman dengan wajah yang kini berubah rona, menjadi normal seperti sedia kala. Konon si pemain jatilan yang telah trance alias kesurupan tadi, sudah tak ingat lagi jika sewaktu trance tadi ia sudah berlonjak-lonjak dengan tak karuan, mengupas dan memakan kelapa bulat-bulat, memakan ayam hidup-hidup, mengunyah beling alias pecahan kaca, memakan bara api dan tingkah  tak karuan lainnya.

Pada saat kesurupan itu, sang pawang atau dukun mulai berkomuniksi. Menitahkan para penghuni pohon-pohon besar untuk pindah ke tempat lain. Kalau perlu sang dukun akan menawarkan rumah baru.

The Show must go on

Hidup harus dilanjutkan. Diantara gedung-gedung dan bangunan yang tumbuh pada bekas sawah, centang perentang Baliho yang warna-warni dengan aroma vinyl  dan semakin lenyapnya pohon-pohon besar tempat dedemit bergentayangan, maka tak ada lagi orang menanggap jatilan. Barangkali dedemitpun sudah enggan untuk makan sesaji masih tradisionil karena sudah mencicipi hidangan ‘ala fastfood’.

Maka jatilanpun lantas tak kehilangan akal agar terus hidup dan menabuh bonang dan kempul. Kini mereka mempertontonkan jatilan di tengah perempatan. Seperti yang kini terjadi di perempatan kota Yogyakarta. Para penari jatilan menari saat lampu merah berhenti. Tak ada lagi kerumunan orang yang mengelilingi mereka, tetapi hanya sebuah kaleng yang disodorkan pada pengendara yang tengah berhenti di lampu merah.

Waktu mereka kira-kira 1 menit saja untuk tampil dan menyodorkan kaleng sebelum lampu hijau menyala dan berpindah lagi ke sisi perempatan lain yang tengah berhenti. Maka repertoar jalanan ini akan berputar mengikuti  mengkuti signal lampu. Tidak ada lagi mengunyah beling, sajian kembang setaman atau adegan ‘Trance’. Pada sudut ini, Jatilan telah jadi seni kontemporer. Seni kekinian yang harus merespon ruang dan waktu yang semakin centang perentang.

17 Des 2009

Dilarang Meremehkan Kentut

semar1 Jangan menyepelekan kentut, konon ada cerita kentut yang menyelamatkan nyawa. Ada juga ajian paling dahsyat dari sang Semar namanya ‘Kentut Semar’. Sekali kentut ‘Buzz’ dari belahan pantat besar dari Semar, maka radiasinya bisa sampai radius ratusan kilometer, dan sang kentut, anehnya bisa ‘tebang pilih’ mana lawan yang bisa ditumbangkan dengan bau yang langsung membuat ‘klepek-klepek’ dan mana kawan yang hanya akan didera angin semilir. Kentut Semar hanya dikeluarkan disaat-saat genting, seperti laiknya senjata hulu ledak nuklir di kapal selam yang hanya bisa diluncurkan dengan komando khusus.

Sekali lagi jangan remehkan kentut. Kentut adalah sebuah perangkat ‘gojek kere’. Gojek kere adalah semacam frase basa jawa untuk mengistilahkan humor yang muncul di kalangan kaum miskin, humor yang manusiawi berkisar kejelekan fisik, tingkah laku buruk atau hal-hal yang masih bau primitif. Di saat perbincangan yang formil dan berat, bila tiba-tiba ada orang yang kentut dan berbunyi ‘keras’ maka pecahlah batu formalitas itu. Lihatlah apa yang terjai kemudian; akan ada 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama si kentutters akan didupak sementara dari lingkaran pertemuan formal itu, dan sik kentuters akan mengeloyor pergi dengan malu-malu atau dianggap ‘agak ndak normal’. Kemungkinan kedua, pecahlah formalitas itu dan dimulailah perang ‘bintang’. Sebuah perang balas-membalas ‘kentut’. Makin keras makin ramai dan tertawalah orang-orang. Dan ‘gojek kere’ pun dimulai.

Dua kali lagi jangan remehkan kentut. Aku mengalaminya sendiri bagaimana sebuah kentut tidak peduli dengan suara keras, bunyi gedebum, bunyi buzz, atau keluar hampir tanpa bunyi sama sekalipun, dengan bau anti-semerbak apapun, sedang dinanti-nanti dengan sabar dari hari ke hari. ‘Kentut’ yang dinanti-nanti ini adalah kentutku yang pertama kali selepas operasi usus buntuku.

Aku mendapat serangan usus Buntu kali aku kelas 6 SD. Sewaktu anak-anak lain sibuk mempersiapkan ujian, aku harus terkapar di rumah sakit karena usus yang buntu yang bengkak ini. Masih kuingat betul bahwa beberapa hari sebelum operasi usus buntuku dijalankan, aku masih menikmati saat berbuka puasa yang tumpah ruah dengan aneka makanan dan minuman. Eh, hanya selang sehari , aku terserang sakit perut sampai kemudian si dari hasil chek darah, memvonisku untuk operasi usus buntu.

Lama operasi usus buntu kira-kira hanya kurang dari satu jam saja. Dengan sisa pengaruh bius yang ada, aku tersadarkan diri dengan kondisi tubuh tiba-tiba sudah terbaring di ranjang ruang pasien dengan bagian bawah kanan perut tertutup perban tebal, tubuh lunglai, pakaian daster pasien, selang infus, dan ibundaku yang duduk disamping dengan muka yang ‘sumringah’. Maka itu adalah dimulainya saat penantian bermenit-menit, berjam-jam dan berhari-hari demi keluarnya ‘kentut pertama kali dari ku.

“Pokoknya jangan dikasih minum sedikitpun sebelum kentut” Perintah dokter adalah wajib adanya, tegas dan pasti. Konon kalau melanggar itu, akibatnya sisa luka operasi akan membengkak dan paling buruk membusuk sampai kemudian harus dioperasi. Hiiiii… ngeri membayangkan hal itu.

Maka atas ‘kekhawatiran’ itulah ibundaku melawan ‘kekhawatiran’ yang lain pada aku untuk tak memberikan minum padaku barang setetespun, meski air mukaku kehausan, mengiba dan memelas. Ya, meskipun sudah ada selang infus, yang notabene tetap ada asupan gisi mengalir pada tubuhku yang terbaring, tetapi naluri anak-anak sepertiku seakan-akan merasa selalu ‘kehausan’. Aku bisa melihat wajah ‘kembang kempis’ ibunda demi menetralisir dan meredam keinginananku untuk minum, dari mengipas-kipasi, menepuk-nepuk, mengelus-elus sampai dengan meniup-niup mukaku. Begitupun ibunda meyakinkan padaku dengan berbagai macam cara ‘bahwa setelah bunyi kentut yang pertama’ dari pantatku keluar, maka ia akan memberikan padaku susu coklat.

‘Sabar yoo lee…”

Bermenit, berjam, berhari telah dinanti. Ibunda yang sabar menungguku di pojok ranjang, sesekali menempelkan telinganya lekat-lekat ke sarung yang kukenakan, berharap benar ada ‘bunyi yang dirindukan’ itu keluar dari pantatku. Dan…. “Thuuuuut….” Saat bunyi yang pertama keluar, ibunda masih belum yakin dengan suara itu, ia semakin mendekatkan telinganya ke sarung ku kenakan. Ya… memang ada bau yang tak biasa. Bau yang sesuangguhnya luar biasa dari hasil metabolisme alamiah perut berikut campuran-campuran kimia medik hasil operasi. Itupun tak cukup menjadi indikator bahwa aku sudah kentut.

“Sabar, tadi kok kayak ndak kedengaran kentutnya… kita tunggu lagi”

Maka, seperti menunggu sesuatu yang pasti datang tetapi tak tau pasti datang dan tak mau melewatkan saat yang historik itu, Ibunda, kali ini berikut Papanda, benar-benar mengerubungi sarungku. Mendekatkan telinga mereka lekat-lekat, berdiam menjaga kesenyapan agar bunyi kentut yang nantinya bakal keluar tidak terganggu suara apapun. kalau toh harus bercakap-cakap, mereka berbisik-bisik.

“Thuuuuuutttt….. thuut…. thuuuut…. thuuut…”Kali ini lebih nyaring, dengan intonasi yang jelas meski terbata-bata. Tapi suara yang keluar itu begitu jernih, sejernih Dave koz memainkan saxofone, semerdu siulan axl rose dalam intro lagu ‘patient’ dan senyaring venessa bermain biola. Pokoknya, pecahlah sudah wajah sumringah pada ibunda dan bapakku seketika itu. Ya, sekarang aku sudah bisa kentut yang berarti metabolisme tubuh sudah normal adanya, aku sudah boleh meminum susu coklat kesukaanku, disuapkan sedikit demi sedikit dari sendok.

Sekali lagi dilarang meremehkan kentut.

8 Des 2009

Ku tunggu mangga mu

Foto Courtesy 'Geng Penunggu Pohon Mangga' halaman belakang Kantor KYPA Pohon mangga di halaman sekolah SD Cepokojajar, di pelosok desa Piyungan itu berjumlah dua pohon yang kesemuanya tidak begitu tinggi. Ada sekitar 130 murid, 13 guru, seorang kepala sekolah dan 1 orang petugas penjaga sekolah. Sehingga setidaknya ada 145 kepala yang bakal menjadi beneficieries (penerima manfaat) bagi gerombolan buah mangga itu. Kalau dibagi adil sejumlah kepala itu, pastinya ada yang mendapat mangga seukuran kepalan bayi dan ada yang mendapat mangga terbesar seukuran kepalan raksasa. Tapi dalam kenyataan tak ada mekanisme matematis seperti itu, karena secara alamiah, entah dengan model apa, segenap warga sekolah menerima manfaat dari buah mangga-mangga itu.

Nun, selepas ngobrol santai dengan seorang guru di Sekolah SD tersebut, tiba-tiba saja ia mengeluarkan sebuah bungkusan plastik besar berisi buah-buah Mangga.

“Monggo, Mangga nya. hasil panen dari halaman sekolah’ Maka Semenjak pemberian itu maka saya seperti terikat pada hubungan simbiosis berbalas-budi.

Kejadian itu belum genap seminggu saat saya juga menerima sekeranjang Mangga, Kali ini dari sebuah lembaga yang menjadi tetangga lembaga tempat saya bekerja.

Mampirlah, jemput manggamu sebagai tanda terima kasih membantu acara kami’

Kejadian sebelumnya lagi belum genap beberapa hari saat saya mendapat sekeranjang mangga. Kali ini dari keluarga Kakak Ipar.

Dik, ini panenan dari deso”

Kejadian sebelumnya adalah belum genap beberap jam saja saat kantor saya menerima bejibum mangga dari seorang rekan kantor yang panen mangga dari halaman rumahnya.

“Titipan dari Bapak buat rekan-rekan kantor daripada dimaling anak2’

Pokoknya banjir mangga. Mangga….

****

Bulan November ini selain kemunculan Hujan yang pertama kali di kotaku, Kota Yog, juga musim Mangga. Di mana-mana buah mangga muncul dari pohon-pohon mangga. Dari pelosok kampung sampai pelosok dusun. Bahkan di petak-petak perumahan padat, perjalanan anda akan terhalangi buah-buah mangga yang bergelantungan persis di atas kepala anda. Bila anda sedikit mau nakal, bisa saja anda bisa mengemudi kencang di jalan itu dan mengambil beberapa gelundung mangga sekaligus. Atau kalau pas lagi apes, saat malam gelap gulita, saat anda ngebut, kepala anda akan benar-benar benjut karena menabrak benda keras, pejal, hijau bernama mangga.

Pun di kantor-kantor instansi dan lembaga di sekujur kota Yog. Fenomena panen mangga menjadi situasi ruang ‘hiburan tersendiri’ di tengah rutinitas di depan pendaran komputer, tumpukan arsip, dering telepon dan arus faximilili. Hampir tak ada satupun buah di dunia ini yang langsung matang seketika dari pohonnya. Pasti, seperti mangga di depan halaman instansi, kantor, petak perumahan, atau halaman tetangga, ada proses dari buntil lantas membesar dan terus membesar. Juga perubahan warna dari hijau ke kuning-kuningan. Untuk buah tertentu warna merah merona adalah pertanda buah masak sempurna dan masa skritis dimana kalau tidak disegera dikupas lantas dimakan, maka akan diserbu koloni lain yang berterbangan di malam hari; ‘Kelelawar-atau Codot’.

Mangga dalam bahasa sunda berarti juga ‘Silahkan’. Mangga jika diucapkan dengan fonologi Jawa diucapkan dengan ‘monggo’ yang berarti ‘mempersilahkan dengan sopan’. Ya, jika boleh menghubung-hubungkan harfiah mangga dengan filosofi tentang ‘mempersilahkan’, maka siapapun dipersilahkan oleh pohon mangga itu untuk memetiknya. Memang maha baik hati Tuhan yang menciptakan ‘Mangga’ ataupun kalau tidak mau menghubungkannya dengan Tuhan, sungguh baik bumi pertiwi yang menumbuhkan buah-buahan, dan lantas me'-‘mangga’ kannya kepada kita untuk memetiknya.

Ada banyak macam ‘mangga’'; Mangga madu yang konon manisnya semanis madu, Mangga kuhweni yang kulitnya keras setebal 1/2 cm yang akan membuat bibir kita nyonyor bila tak membersihkannya dari getah, tetapi adalah mangga yang paling ‘tidak tahu diri’ yakni ‘Mangga Mana Lagi’. Ya, namanya ‘Mangga manalagi’, yang setelah mempersihlahkan kita memetik, mengupas lantas memakannya, eh , kita ‘minta lagi’. We want more!

November, musim penghujan, musim mangga juga ditandai dengan pinggir jalan-jalan besar kota Yog dipenuhi penjual mangga dadakan. Ada yang menggelar dengan cara sederhana, di bawah payung, dan memasang umpan tulisan ‘3000’ per kilo dengan sebuah mangga yang disayat sempurna mempertontonkan ‘aduhai’ dagingnya yang lembut, manis, kenyal kekuning-kuningan. Ada juga yang menggunakan mobil bak terbuka, dengan tulisan ‘pilih sendiri manggamu’ –sekilo 2.500. Maka kalau kita boleh sedikit nakal, seperti halnya lorong petak perumahan yang dipenuhi mangga-mangga yang menjuntai tadi, kita bisa saja usil mengambil sebuah mangga saat melintas di penjual mangga tadi.

Berbeda dengan mangga di halaman rumah, mangga di halaman instansi, kantor atau lembaga biasanya tak jelas siapa pemilikinya. Karenanya siapapun yang seharian berteduh di atas atap kantor itu akan berlumba-lumba meng-klaim mangga milik masing-masing. Biasanya memang di –mangga-kan. Berbahagialah bagi instansi, kantor, atau lembaga yang halamanya ditumbuhi mangga. Proses menunggu tadi adalah proses perbincangan para penunggu mangga di bawah kolong kantor, berdebar-debar saban hari, harap-harap cemas mangga-mangga di atas pohon itu bisa matang dengan sempurna, lantas dikupas dan dimakan beramai-ramai. Tetapi memang bukan pada ritual memetik, mengupas dan menelan mangga itu yang ‘mengasyikkan’. Tetapi, adalah proses menunggu berhari-hari, berjam-jam, bermenit-menit, menyaksikan gerombolan mangga, sambil bermufakat dengan rekan-rekan satu kantor mangga mana menjadi bagian dari ‘miliknya’. Di sini buah mangga tidak hanya berfungsi sebagai pelepas rasa lapar dan asupan nutrisi berserat full vitamin C menjadi modal sosial sebuah komunitas suatu kantor.

‘Itu Manggaku lho’, Kalau perlu, sesuatu penanda ‘kepemilikan’ seseorang ditaruh disana, semisal dikerudungi dengan plastik, atau bahkan diberi ‘tanda tangan’, seakan-akan bahwa mangga ini adalah kini syah dijajah dan jadi milik penanda tangan.

Jadi, bagi instansi, kantor atau lembaga apapun, saya sarankan marilah ‘menanam pohon’ untuk mengantisipasi pemanasan global, dan saya sarankan pula jenis pohonnya adalah mangga. Selain peneduh yang cepat tumbuh, perawatannya mudah, pada bulan November seluruh penghuni kantor akan ‘kasak-kusuk’, ‘riuh rendah’ menunggu mangga masak di pohon.

4 Des 2009

PR, 10 Fakta tentang diriku

Sebelumnya maaf, aku mendapatkan PR ini sudah lama sekali, kira-kira beberapa bulan yang lalu.Terlupakan oleh urusan-urusan pating plekenik kata orang Jawa, yang artinya kurang lebih urusan campur aduk. Sampai akhirnya, pada tumpukan memo, ndak sengaja nemu PR ini.

Hari itu aku dapat PR dari blog tetangga . Sungguh keterlaluan dia pemilik blok, yang naruh secara eksplisit namaku pada di link track back. Sepertinya dia PD betul aku akan membaca bagian blog itu. Tapi baiklah, kuturuti saja apa maunya…;

10 Fakta tentangku

1. Korosif

Kalau orang bilang hanya besi saja yang akan berkarat atau korosif, itu tak benar. Pertama-tama aku mempunyai tubuh yang mudah berkeringat. Sedikit bergerak, sehabis makan pedas atau sedikit kecemasan, maka aku akan berkeringat. Apalagi kalau pas berolahraga. Orang akan mengira aku habis dari mandi daripada habis olahraga. Istilah ‘korosif’ ini pertemuan teman baikku yang mengatakan dengan lugas;

“Wah, mesti lho, kalau komputernya habis dipakai alex keyboardnya jadi lecek, Alex qi ‘Korosif’”

“Tuing” aku bukannya sakit hati mendengar celotehan itu, tetapi justru ‘gumbira’ karena aku kini bisa mengistilahkan hal yang memang faktanya terjadi pada diriku ; ‘Korosif’. Kata yang tepat untuk menggambarkan tangan yang selalu mudah berkeringat dan setiap kali menyentuh barang-barang, apapun ituh; keyboard, handphone dsb, akan meninggalkan bekas tanganku.

Yah, harus kuterima karakter ‘korosif’ ini. Aku sudah terbiasa. Dan dengan menerima kenyataan ini, setiap kali aku selalu berusaha membawa saputangan, tissu atau kalau perlu handuk kecil. Biarlah orang akan mengolok-olok aku sebagai ‘tukang becak’ karena suka menyelempangkan handuk kecil selepas datang dari naik sepedah untuk berangkat ke kantor.

“Wis Sanah mandi dulu lex, keringatmu sak jagung-jagung”

Sama saja. Toh selepas mandi, selepas kering, tetap saja ‘korosif’

2. Bau Kaki, Sepatu, dan Celana Kepar 1001

Sebetulnya bukan karena biang kaki yang bau, tapi ini berbanding lurus dengan tipikal tubuhku yang gampang bearkeringat. Maka tempat-tempat tertentu terutama bagian-bagian (maaf) tersembunyi, macam dua lipatan ketiak, buku-buku kaki, adalah tempat paling subur buat pertumbuhan holtikultura jamur-jamuran dan bakteri-bakteri mikroorganisme. Maka, tak perlu diperpanjang lagi, dari tempat itulah metabolisme aroma khas ‘metana’ dari organisme itu menyeruak, menohok hidung orang-orang di sekitarku.

“Maafkan aku”, tapi tak perlu dikatakan lagi, bahasa tubuh biasanya lebih jujur, yakni ketika orang disekitarku sudah dengan reflek tangan menyempil-nyempil hidung atau terlihat pula dari gerakan hidung yang mengendus-endus.

Soal bau ini juga pernah aku utarakan dalam celana kepar 1001 ku, tetapi sumber paling parah adalah ‘sepasang sepatu’. Sepasang sepatu plus kaos kakinya yang dipadu dengan 1 minggu tanpa dicuci lengkap dengan tumpukan perjalanan jauh dibawah terik matahari, tertutup rapat dalam sepatu yang jerat tali temali rapih. Maka sumber bau pada sepatu itu menjadi radioaktif berbahaya apabila sewaktu-waktu dibuka di tempat umum!

“Buzzz" “Iki mesti Alex!”

Yah, teman-teman sudah pada sepaham, semahfum dan sepenanggungan untuk urusan menebak secara pasti bahwa kedatanganku, juga sepasang sepatu di depan pintu, adalah sekonyong-konyong radiasi bau yang menyebar ke seluruh petak ruangan.

“Sanah Cuci Kaki- 7 Kali pakai sabuuun"!

Begitulah, lambat laun sambutan kedatanganku bukan jawaban selamat datang ataupun senyum yang hangat, tetapi kalimat “segera cuci kaki pakai sabun dan letakkan sepatumu di pojok parkiran”

Puh. Tapi beberapa waktu yang lalu aku cukup beruntung, karena adalah ‘Alisha’ si anak bos yang blasteran negeri Inlander Inggris dengan Surabaya. Karena, Alisha, walaupun rambutnya ‘blonda’, cantik dan lincah, tetapi punya bau sepatu yang tak kalah hebat dengan sepatuku.

Bahkan, kala berpergian bersama dalam satu kap mobil, aku, Alisha, bau sepatu Alisha lah yang lebih banyak dikomentari dari pada sepatuku. Maklum, anak Inlander ndak boleh lah punya tabiat buruk ‘bau sepatu’ macam anak kampung sepertiku.

3. Jijik dan takut dengan Cacing dan sebangsa Molusca.

Kalau aku adalah superhero macam Supermen, Spiderman atau Ultramen Taro, Maka tak ada musuh yang mampu mengalahkanku selain cacing dan binatang melata lainnya. Pokoknya sebangsa hewan lunak dengan lendir-lendir dan jalannya merambat, melata, atau nemplok di dinding yang lembab aku jijik sekali. Apalagi dengan cacing. Sampai –sampai pernah aku tidak mau minum obat cacing karena takut kalau cacing yang keluar lewat kotoran masih utuh. Brrrrr… Langsung bergidik saja aku membayangkannya.

Atau ular? hiii, ngeri membayangkan ular bergerak dengan tubuhnya tanpa kaki lantas melilit tubuhkita pelan-pelan. Maka salah satu mimpi burukku pula bila dikejar-kejar oleh ular (atau tafsirnya dikejar-kerja untuk disuruh kawin?). Beruntung aku sebelum sempat ular itu menggigit jempol kakiku, aku sudah bangun dengan megap-megap. Fiufhhh.

‘Ampun Pak, Aku belum siap kawin, punya pacar aja belum!”

4. Kucing .

Kucing itu lucu. Apalagi kalau seekor kucing tidur melingkar di atas perut kita, Walau si kucing berlagak cuek saja saat perut kita turun naik, atau diguncang-guncang, ia akan tetap saja melingkar di situ, terus mendengkur pelan-pelan, memejamkan matanya dan menaruh kepalanya pada salah satu kaki depannya.

Banyak yang bilang kucing binatang pemalas. Ya memang. Apalagi kucing besar, laki-laki pula. Bisa saja seharian si Paijo (kucing kesayangan ku yang berwarna kuning) tidur melingkar di pojok rumah. Bisa seharian pula tiba-tiba Paijo menghilang tak tentu rimbanya dan tiba-tiba pulang dengan tubuh penuh babak belur, atau kalau beruntung membawa pulang seekor lele goreng hasil nyolong lauk dari tetangga sebelah.

Apapun itu, kucing adalah binatang lucu menurutku. Dia tak biarkan saja melingkar dimanapun ia suka. di atas genting, di atas kasurku, atau menemani diantara tumpukan buku, arsip, kertas-kertas atau dengan cuek meminum air putih pada gelas yang tak sengaja kutaruh terbuka.

“Hussyaaah”

Banyak sudah kucing-kucing yang datang pergi di tempatku, juga di dalam hidupku. Ada kucing yang kupelihara sejak kecil, sampai beranak-pinak, kemudian anaknya beranak lagi dan seterusnya. Dulu karena rumahku di dekat jalan raya, hal yang paling sering terjadi kucingku tertabrak kendaraan karena ‘terburu-buru’ menyeberang. Juga, ada seekor kucing hitam, gemuk besar, dengan kaos kaki di keempat kakinya dan motif putih di sekitar mulutnya (hingga seperti memakai topeng), yang suka tidur di balik almari kaca di ruang tamu. Barangkali si kucing tau diri, mana tempat paling strategis agar tamu-tamu bisa melihatnya, lantas bilang ‘aiih kucinnya lucu benar’, lantas mengelus-elusnya dan lantas ia akan pura-pura penurut bak kucing paling hommy di seluruh dunia.

Tereakhir, adalah Paijo, Si kucing yang kutemukan saat gempa Jogja. Kucing berwarna kuning, gemuk besar, yang ditinggalkan pemiliknya karena rumah yang hancur berantakan. Si kucing tiba-tiba saja akrab menjadi keluarga baru dihtempatku, menempati singasananya; kalau tidak di atas jok motor, di pojok rumah, atau di bawah pohon ketepeng yang rindang. Paijo kupelihara hingga kematiannya yang tragis; mati karena sudah terlalu tua, bersembunyi di rerimbun semak pohon teh-tehan di depan rumah. Kini, 2 ekor anak kucing, warnanya kuning, pemberian tante kristi menjadi penghuni baru.

5. Maniak kopi.

Awalnya kopi adalah teman begadang, tetapi kopi kini adalah minuman rutin saban pagi. Juga lepas petang agar adrenalin sedikit terpacu dan mata lebih melek. Sampai-sampai siapapun yang berpergian aku titipi oleh-oleh kopi. Ada teman dari Jember yang kutitipi kopi jember, kopi yang diramu dengan bubuk jahe. Ada kopi Bali, kopi aceh yang harus direbus bersama dan konon dicampur sedikit garam agar lebih keras. Ada kopi luwak biji-bijinya telah dipilih secara alami lewat metabolisme yang keluar dari pantat si binatang berkaki empat bernama Luwak. Ada kopi Joss yang penyajiannya lumayan ekstrim; dimasukki arang bara. Ada kopi semarang, kopi ekspresso yang meskipun dalam gelas kecil, tapi rasa pahitnya terasa sampai kerongkongan dan membuat jantung anda berdebar dari malam sampai pagi. Ada kopi plethok yang dicampur dengan sedikit alkohol dari botol wiskey atau mansion. Kopi toraja, Kopi lampung dan masih banyak lagi kopi-kopi yang pernah kucoba. Teakhir, aku telah mendapat sepaket kiriman Kopi ‘Aroma’ dari sebuah kota B, Kopi Robusta dan Kopi Arabika. Seperti merknya yang dibungkus dengan desain classic, dengan ejaan lama, kopi ini benar-benar ber-Aroma. Konon kopi ini telah disimpan minmal 8 tahun dan dibakar dengan suhu kamar dari kayu karet. Luar biasa kopi Aroma.

6. Gigi Kelinci

Kelinci punya dua gigi besar di mulutnya. Menurut ilmu morfologi hewan, kedua gigi ini berfungsi untuk mengerat biji-bijian, buah-buahan dan tentu saja kalau kelinci untuk mengerat wortel. Tapig apa fungsi gigi kelinci yang kumiliki? Selain hanya sebuah ciri? Ceritanya kira-kira usia kelas 5 SD aku mengalami kecelakaan terjatuh dari sepeda. Apes, sepeda yang kutunggangi dengan ngebut tak bisa menghindari lubang aspal yang berada persis di turunan selepas jembatan kecil yang terkenal angker. Akupun terpelanting jauh, dan mulutku menghujam persis di tepian aspal. Beruntung tak ada luka parah, kecuali keudua gigi depanku yang baru saja tumbuh, langsung menjadi bemper atas tumbukan tadi. Sebulan lebih aku harus minum dengan sedotan dan makan bubur. Maka sisanya, kini bibirku jadi agak monyong dan tumbuhlah sepasang gigi kelinci.

Suatu ketika ada teman, calon dokter gigi, menawarkan kebaikan padaku. Selagi ia punya tugas kuliah untuk ‘anomali’ alias pemilik gigi gigi yang tak wajar untuk diteliti, maka aku sasarannya. Maka demi kebaikan ilmu pengetahuan, relalah mulutku selama hampir di setengah jam diublek-ublek dengan ‘semen putih’ untuk dibikin cetakan olehnya. Jadilah kemudian replika mulutku. Hihihi. Konon katanya kasus morfologi mulutku ini terbilang unik dan konon itu dipresentasikan untuk diberi garis bawah ; “Ini contoh pemilik mulut yang tidak memperhatikan perawatan gigi”

Kebaikkannya sebenarnya berlanjut untuk direkomendasikannya aku kepada kawan-kawan seperkuliahan dia sebagi praktek memberi kawat gigi. Sebermula aku menerima tawaran menarik ini, tapi lantas aku ‘mundur’ pelan-pelan saat tau konsekuensinya; ada 4 gigi yang harus dicabut paksa guna tatatakan kawat gigi dan menjaganya sampai 2 tahun lebih.

Tanpa membayangkan sakitnya alang kepalang saat dicabut 4 buah gigiku dengan paksa, akupun sudah dibuat keki saat dengan setengah jam lebih mulutku diublek-ublek dengan berbagai macam instrumen oleh mahasiswi-mahasiswi cantik calon dokter gigi yang sedang praktek. Sambil menahan keringat basah kuyup di atas kursi pesakitan dokter gigi, aku mengumpat dalam hati ; “Wis mbak, kapok aku, ndak bakal main ke sini lagi, Biarlah kuterima aku dengan kenyataan gigi kelinci. Lebih baik gigi kelinci dari pada sakit hati”

7. Suka bulan purnama

Bukan kebetulan nama tengahku adalah candra, yang berarti bulan. Tetapi aku memang suka sekali pada bulan purnama. Memandang bulan purnama, aku seperti melihat ada seekor kelinci besar disana. Memandang bulan purnama juga membayangkan bisa piknik kesana. Meloncat loncat pada hamparan putih besar, sepertinya empuk seperti kasur, atau seperti sebulat roti keju raksasa. Tetapi bulan purnama ini hanya muncul sebulan sekali dengan mahkotanya yang bulat besar, itupun kalau cuaca tak mendung atau turun hujan. Memandang bulan purnama pada tengah malam yang sepi sambil menyeruput kopi, camilan atau apapun itu, juga seperti melihat film yang tema nya tak pernah membosankan. Film pendek tentang bulan purnama yang akan membawa imjinasi kita kemana-mana, dari kelinci, sebulat roti, atau seseorang di kota lain yang mungkin melihat bulan purnama tengah tersangkut diantara cabang-cabang pohon, menyembul pada bingkai jendela dari meja kerjanya.

8. Sup, Mie kuah atau apapun makanan berkuah bening

“Slurruup” Sop adalah makanan favorit. Apalagi bila didalamnya bersemayam komplit potongan-potongan kentang, wortel yang dipola ala bunga, brokoli, rolade, kubis, cakar ayam, potongan jagung, daging sapi, seledri, daun bawang, dan terakhir taburan remah-remah daun bawang goreng. Sop bisa dibilang makanan yang ederhana, mudah dan cepat membuatnya.

Maka dalam acara jamuan di kondangan, pertemuan, pelatihan, workshop atau apapun itu, yang kusasar pertama kali adalah baskom besar dengan kuah mengepul-kepul dengan aroma rempah-rempah bawang yang menyengat. Sup.

Tapi, sop paling enak adalah milik almarhum Ibunda. Masih kuingat dulu, aku sering menunggui dan memperhatikan ibunda masak sup. Tangan ibunda dengan lincah meracik satu demi satu; pertama, si kakak adik bawang merah dan bawang putih, harus rela ditumbuk sampai halus bersama merica, garam, sedikit gula, sedikit kaldu kalau ada, lantas ditumis dan direbus bersama air sampai mendidih. Kemudian, satu demi satu; berurut dari sayuran paling keras; kentang, kubis, daun bawang, rolade, potongan tomat. dan…. done!

Paduan enak makan sop tentu saja sambal merah, tempe goreng dan kerupuk.

Selamat makan…. (tak terasa air liur saya sudah menetes).

9. Suka Jalan-jalan atau Sepedaan

Aku suka jalan-jalan. Benar-benar jalan-jalan, artinya dengan kedua pasang kaki, berjalan ke mana saja. Berjalan kaki malam hari juga menyenangkan. Kadang-kadang aku sengaja naik bus, kemudian turun ke suatu tempat dan meneruskan sisanya dengan berjalan kaki. Dengan berjalan kaki, selain sehat juga menjadi semancam refreshing bagi rohani kita. Dengan berjalan-jalan sambil menghirup dengan bebas bebauan di sepanjang jalan juga melehat aneka rupa tingkah polah manusia. Jadi dengan jalan-jalan juga bisa belajar sesuatu, mengamati banyak hal yang kita temui di jalan. Kadangkala kita juga menemu hal tak terduga yang tak bisa kita perhatikan saat kita lewat di tempat yang sama tetapi dalam kondisi kita terburu-buru (tengah naik motor atau naik kendaraan lain). “Hey, kenapa aku baru saja melihatnya?”

Kadangkala saat berjalan kaki kita akan berpapasan dengan orang yang kita kenal. Saat itu bisa kita lihat apakah mereka memperhatikan kita atau tidak. Lebih sering mereka terburu-buru dan kita akan berfikir; Kadangkala kita akan menjadi sebaliknya, saking terburu-burunya tak memperhatikan lagi ada orang-orang di sekitar kita yang mengamati kita. Dengan jalan-jalan kita memang lebih banyak jadi penonton. Menonton keadaaan, tetapi tidak terburu-buru.

Kini, selain jalan-jalan aku menemukan kesenangan lain yang hampir sama; Sepedaan. Dengan Sepedaan maka rute yang kutempuh bisa lebih jauh lagi. Suatu kali jarak yang kutempuh bisa memelosok sampai ke kampung kampung, suatu kali yang lain sampai ke areal persawahan sambil mengejar senja, suatu kali yang lain menelusuri kota malam hari diantara cahaya lampu, billboard dan bubungan asap knalpot. Sampil sepedaan nikmat juga mendengarkan musik lewat MP3 Player. tetapi musti pelan dan hati-hati.

Maka dengan kesenanganku yang baru ini pun, seperti nya kalau nanti aku berkeluarga, ada bayangan aku ingin mengajak seluruh keluarga bersepedaan. Rasanya bakal menyenangkan.

10. Suka Anak-anak , Eits, Jangan curiga kalau aku Phedopilia. Yah, meskipun soal teman perempuan sebaya aku memang paling payah. Aku memang si bungsu dari ibu kandungku, meskipun akhirnya aku punya adik tiri. Tetapi pengalaman mengasuh adik atau anak kecil, rasa-rasanya dulu aku tak pernah mendapati. Awalnya aku memang rada bingung bagaimana menghadapi anak kecil, apalagi segerombolan anak kecil yang akan berlagak meniru-niru gerakan kita, atau mengolok-olok sesuatu tentang fisik kita. Salah-salah, kita bisa ‘mati gaya’. Apalagi, sekali segerombolan ‘little bastard’ (begitu aku menyebutnya) itu kompak ‘mengerjai’ kita, tamatlah riwayat kita kalau tidak bisa mengendalikan diri. Sabaar.

Aku belajar banyak tentang dunia ‘little bastard’ dari keponakan-keponakanku. Kepolosan mereka, juga cara mereka bertanya, berpendapat dan mengajak bermain-main membuatku seakan-akan menemukan kembali dunia kecilku.

Masih ingat dalam benakku saat mendiang ibuku mengumumkan kehamilannya kepadaku saat aku berusia 6 tahunan. Sebagai bungsu aku merasa cemburu sehingga beberapa minggu aku berlagak cuek. Sampai akhirnya ‘calon adikku’ keguguran dan aku menyesal sekali, menyumpahi berkali-kali tabiat kecumburuanku, dan berjanji dalam hati ‘sungguh kalau dapat adik lagi, menyenangkan sekali bisa bermain-main dengannya’.

Anak-anak adalah dunia ajaib. Apalagi kini, pekerjaanku menuntutku banyak berinteraksi dengan anak-anak. Konon berceria dengan anak-anak akan membuat kita awet muda.

Terakhir, aku mau ngasih PR juga pada, Lutfi, WindaCandra, TanteKristi, Cumie, Kakak ipar, Kuntz, Si bungsi novie, Tikabanget, Dimas, Arie komikaze, Indra, Mamat, Tovik IVAA, dan Mas Arif

Cara ngerjain PR-nya sebagai berikut:
1. Each blogger must post these rules
2. Each blogger starts with ten random facts/habits about themselves
3. Bloggers that are tagged need to write on their own blog about their ten things and post these rules. At the end of your blog, you need to choose ten people to get tagged and list their names.
4. Don’t forget to leave them a comment telling them they’ve been tagged and to read your blog.

1 Des 2009

Si Unyil

unyil1 Si Unyil boneka yang digerakkan dengan tangan itu adalah benda yang ajaib bagi anak itu. Apalagi di tahun 1988-an ketika kotak televisi yang seukuran almari dengan warna yang masih grayscale serta gelombang siaran televisi masih dimonopoli oleh TVRI, dengan usia jam tayang pendek antara jam 15.00 WIB sampai dengan tengah malam, membuat program-program di televisi ‘apapun’ itu adalah program yang luar biasa. Sementara, khusus hari minggu adalah hari istimewa dengan suguhan siaran dari pagi sampai dengan siang dan format acara lebih didominasi hiburan. Nah, serial boneka Si Unyil mendapatkan slot di Hari minggu ini, dengan waktu tayang sekitar 1 jam.

Maka bocah itu tak mau melewatkan Si Unyil barang se-episode-pun. Meski Sungguh kalau dilihat lagi boneka si Unyil ini bukan bandingan dengan tayangan boneka lainnya di saat ini. boneka sesame misalnya, yang penuh pernak pernik warna warni, dengan bola mata yang bisa berkedip kedip, mulut bisa berbicara dengan lincah, ataupun bisa terlihat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Boneka si Unyil ini hanya bisa menggerak-gerakkan tanganya yang mungil, mengangguk-angguk atau menggeleng-gelengkan kepala. sementara raut muka boneka ini statis saja, tak bisa berkedib dan menggerakkan mulut. Bahkan saking kecilnya tangan boneka-boneka dalam si Unyil terlihat jemarinya saling menyatu.

Kostum juga nyaris tak berubah. Unyil dengan kupiah, sarung di selempang, Pak Raden dengan kumis tebal, baju hitam, ikat kepala, tongkat serta tokoh2 lainnya selalu sama. Maka muncul karakter yang tokoh si Unyil yang stereotype; Pak Ogah yang berkepala plontos dan mulut yang selalu ‘mecucu’ bersama karib Pak Ableh yang berambut gondrong. Keduanya selalu muncul dalam gardu pos kampling yang ‘mini'. Seakan-akan ada kesan bahwa pak Ogah dan Pak Ableh adalah dua sahabat abadi yang asal muasalnya antah beratah dan menghuni pos siskampling tersebut dari waktu ke waktu. Sampai sekarang saya tidak bisa melihat apakah kedua tokoh penghuni pos siskampling mini ini sebagai tokoh Antagonis ataukah Protagonis. Berulangkali saya justru merasa trenyuh melihat kedua tokoh tersebut adalah tokoh yang selalu ketimpa Apes. Misalnya saat keduanya meresmikan perusahaan Batako ; ‘Perusahaan Batoko Ekspress Gembol’. Perusahaan batako dengan nama paling unik sedunia dan berkantor di posiskampling mini. Pak Ogah menjadi direktur utamanya, sedangkan Pak Ableh menjadi Asistenya, entah asisten jabatan apa, tetapi pak Ablehlah yang setia mengabdi pada direkturnya tersebut. Perusahaan ini sering disebut-sebut sebagai perusahaan multiusaha dengan usaha yang berganti-ganti, tidak hanya mencoba memproduksi batako, tetapi apapun itu. Saya sudah tidak begitu ingat lagi apa saja usaha silih berganti dari Perushaaan Batako Ekspress gembol ini, tetapi adalah stereotype kedua tokoh ini untuk ditutup dengan ke-apesan.

‘Apes lagi, apes lagi’

Tak usah lebih jauh membandingkan Boneka si Unyil dengan boneka Sesame, atau boneka Teletubies yang bisa kelihatan ‘punya kaki’ yang berjalan-jalan, bahkan bisa naik otopet. Bandingkan saja boneka si Unyil dengan serial boneka yang lain dari dalam negeri. Setidaknya, boneka si Unyil yang tak pernah terligat kakinya dan mulutnya selalu dengan ekspresi sama ini telah bertahan 1 dekade lebih. Bahkan kini ada laptop si Unyil meskipun hanya memunculkan tokoh si Unyil saja tanpa menampilkan tokoh-tokoh lainnya. Pernah suatu kali PPFN sebagai produsen si Unyil ini menayangkan ulang si Unyil secara komplit, tetapi konon dengan tampilan yang ‘sama persis’ tak ada anak-anak sekarang yang tertarik menontonnya, kecuali orang-orang dewasa yang dulu adalah fans berat si Unyil.

****

Sekali lagi, pokoknya bocah itu tak mau melewatkan si Unyil, barangse sekuel pun. Si bocah itu umur 4 tahun, sudah dititipkan ibunya di sekolah Taman Kanak2. Sekolahnya adalah TK ABA Aisyiyah yang berdiri di bawah naungan yayasan ibu-ibu Aisyiyah yang mempunyai hari libur sekolah hari Jum’at. Sehingga hari Minggu bagi bocah itu adalah hari yang berat ketika harus melewatkan si Unyil.

“Kok tiba-tiba demam ya?”

“Baiklah, hari ini libur'”,kata ibunya.

Bocah itu memang punya ide cemerlang. Maka, setiap hari minggu, apapun itu alasannya, dari sakit demam, sakit perut atau apapun, bocah itu selalu mencari-cari alasan agar tidak masuk sekolah. Sampai suatu ketika beberapa guru menaruh curiga, mengunjungi bocah yang selalu absen saban minggu itu sambil buah-buahan.

“Lhoo… nak candra, katanya sakit, lha kok kelihatan ceria begitu”

“Ndak Bu, libur buat nonton Unyil. Salahnya kok Unyilnya ndak tayang hari jumat atau sekolahnya kok ndak libur pas Minggu”

Ya, ya, akhirnya Ibunda bocah itupun paham betul kemauan anaknya. Akhirnya ibunda bocah itu punya ide cemerlang juga. Memasukkan si bocah ke SD negeri meskipun belum cukup umur dan meskipun baru menjejakkan kaki di TK itu belum genap 1 tahun.

“Yang penting, sekolahnya mau menerima, dan yang penting lagi kamu tidak ketinggalan si Unyil lagi” kata ibunda bocah itu.

Ibunda bocah itu memang bijaksana sekali.

10 Nov 2009

Permainan Gundu

Kira-kira persis di bangunan Warnet itu, warnet Hero namanya, dua puluh tahun lampau adalah hamparan kebun dengan rerimbun pohon pisang, sebuah pohon mangga, pohon sukun tua dan sebuah pohon jambu persis di tengah-tengah. Pembatas halaman hanyalah beberapa deret tanaman teh-tehan yang daun-daunya mirip daun seledri (sampai saat inipun aku tak tahu apa nama dan guna tanaman itu selain sebagai pagar hidup yang bisa dipotong bentuknya sesuai keinginan). Dan, pada pohon jambu itu, bentuknya berliuk-liuk ke dengan cabang-cabang tebal seperti otot-otot raksasa, menengadah ke langit. Pada pokok-pokok cabang itu, biasa bertengger kami anak-anak kampung, bergelantungan, memetiki buah jambu yang baru pentil-pentil, bersenda gurau dan merencanakan ‘apa permainan hari itu’. Pun, sepertinya buah jambu di halaman itu tak pernah berhenti berbuah saban musim.

Piye nak Main damparan?” (Bagaimana kalau main Damparan? - adalah lomba adu batu yang dilempar dari jarak terentu)

“Piye nak nekeran wae!” (Bagaimana kalau main Gundu saja! -Nekeran alias gundu adalah permainan yang bakal tak bahas kali ini)

-----

Gundu atau kelereng adalah permainan yang menurutku ‘kejam’. Aturannya dalam sebidang tanah di halaman rumah kawanku yang memiliki dua saudara, kakak beradik, satu hitam berperawakan gempal dan yang satu berperawakan kurus, adalah membuat gambar kotak persegi di atas tanah tersebut. Kira-kira ukuran kotaknya 1/2 x 1 meter persegi. Lantas pada tengah-tengah kotak persegi tersebut, dibuat cekungan kira-kira seukuran bola kasti (bola yang biasa untuk main tenes) dengan cara dikeruk. Atau dengan cara yang aneh; seseorang dari kami berdiri dengan satu kaki dengan ujung dari satu kaki tersebut persis tengah-tengah kotak persegi. Lantas, ia akan berputar dan berputar terus sampai ujung telapak kaki itu telah membentuk ceruk berbentuk bulat penuh di tanah. Maka jadilah arena permainan gundu tersebut. Terakhir, kira-kira berjarak sepuluh langkah kaki dari kotak itu, dibuat garis tempat para pemain gundu atau kelereng memulai melemparkan gundu, tanda permainan bisa dimulai.

Aturan selanjutnya, mana gundu yang paling mendekati ceruk di pusat gambar kotak persegi itu, dialah pemain gundu yang akan memulai ‘tembakan’ pertama. Tembakan gundu diarahkan kepada gundu yang lain sebagai pesaing. Tetapi pemain gundu harus menembak dari luar bidang kotak persegi, artinya demikianlah fungsi kotak persegi sebagai garis pembatas tembakan pemain. Tugas utama pemain adalah mencoba memasukkan gundu mereka sendiri (gacuk) ke dalam ceruk di pusat kotak persegi. Siapa yang berhasil masuk ceruk, maka ia berhak meninggalkan permainan dan menunggu untuk memberikan hukuman bagi siapa saja pemain terakhir yang tak bisa memasukkan gundu ke delam ceruk sebagai pusat permainan. Masing-masing pemain mendapatkan satu kali kesempatan tembakan bergiliran. Dan disnini para pemaian bisa berstrategi dengan menembak gundu lawan guna menjauhkannya dari pusat ceruk. Pemain yang terakhir masuk ke ceruk, dialah yang kalah dan mendapatkan hukuman.

Sesi hukuman adalah sesi paling kejam dari permainan ini. Si terhukum harus meletakkan kedua telapak kanan di atas ceruk dengan punggung telapak tangan mengadap ke atas. Lantas para pemenang akan melemparkan sejumlah gundu seseuai urutan pemenang dari atas si pesakitan (pemain yang kalah). Cara melemparkannya si penghukum akan berdiri persis di atas pesakitan yang jongkok dengan punggung telapak tangan menghadap ke atas dan melemparkan gundu kira-kira persis dari kepala si penghukum. Berurutan pemenang dari yang pertama sampai terakhir jarak dibuat lebih turun sedikit; tembakan dari kepala, dari dada, lantas dari pusar. Beruntung apabila meleset, gundu hanya mengenai tanah atau langsung masuk ke ceruk sebagi pusat permainan, tetapi apabila gundu mengenai persis tulang belulang pungggung telapak tangan, sakitnya alang kepalang. Gundu yang terbuat dari kaca pejal itu bertemu dengan tulang yang keras, sampai berbunyi ‘Thook’

----

Dua puluh tahun yang lalu, halaman yang kini jadi Warnet, itu adalah halaman tempat kami, kira-kira 10an orang anak kampung biasa bertengger di pohon jambu dan merencanakan sesuatu; ‘Apa permainan kali ini”

“Moh ah nak main kelereng lagi”, Kataku sambil memperlihatkan kedua punggung telapak kananku yang masih memar-memar.

Aku sendiri masih heran, mengapa aku selalu kalah dalam setiap kali bermain gundu? Tetapi saban kali permainan itu diadakan aku tetap ingin ikut saja, sambil sesekali berharap bisa membalas kekalahan.

“Ini bukan soal kalah dan menang kawan, ini soal bersenang-senang”

Bah, pikirku, tapi tetap saja kalau tiap kali kalah dan tembakan hukuman tak pernah meleset, tangan akan merah-merah. melebam sampai berhari-hari. Sungguh, kejamnya permainan ini. Dan kulihat wajah temanku yang sering menang seperti tersenyum puas sebagai si eksekutor paling handal.

Oiya, Kalau anda bingung aturan permainan ini, ah baiknya lupakan saja. Jangan dipelajari dan jangan dibudidayakan lagi permainan ini, karena pada intinya di akhir pemainan ini adalah episode eksekusi pemain yang kalah dengan bunyi ‘thok’ tadi yang berarti tangan yang memar sampai berhari-hari. Lupakan dan biarlah ini jadi trauma masa silamku. Huh

bravoo

23 Okt 2009

Ziarah

100_4443 Aku adalah orang yang bebal perihal ‘nenek moyang’. Bukan karena aku tak mau mengingat apa kelakuan nenek moyang, bagaimanapun nenek moyang adalah turun menurun, beranak-pinak dan mengadakanlah aku. Kalaupun tak ada ‘nenek moyang’ tak ada pula buyutku, tak ada pula nenek kakekku yang menurunkan Ibuku, lantas aku. Letak kebebalanku adalah aku tak mau ‘menjenguk’ atau berziarah ke moyangku. Malas…, itu saja.

*****

Yang pertama kali adalah aku kehilangan Ibuku semasa SMP. Sebenarnya saat ia masih sakit, sudah ada perasaan bahwa Ibu tak mungkin bertahan lama. Kulihat wajah letihnya untuk terakhir kali seperti berkata ‘relakan aku pergi’ dan ia tersenyum ke arah kami; Aku si bungsu, Bapakku yang berambut kriwil dan 3 orang saudaraku.Kak ak perempuanku, adalah sulung yang selalu menjagaku agar aku tegar pada saat akan mendengar berita kematian Ibuku. Pun, saat melihat sendiri ambulance berwarna putih lengkap dengan bunyi ‘liu-liu’ pelan, cahaya lampunya yang berputar juga pelan, memasuki gang depan rumahku, air mataku tumpah sejadi-jadinya. Besok pagi adalah hari pertama ujian ebtanas SMP. Aku sudah tak ingat lagi, luluh lantak segala energi dan terpaku pada tembok di samping rumahku, menangis menderu-deru entah pada apa dan siapa.

“Kuatkan dirimu dik, kuatkan dirimu dik” Kata kakakku sambil mengelus rambut, tengku, sampai punggunggu. Lalu lambat laun seperti ada energi hangat yang menguatkanku. Aku harus melanjutkan hidupku. “Ibunda belum mati, tetapi ia hidup dalam hatimu,”kata peri kecil di lengan kanan.

*****

Sudah 3 tahun. Kuinjak tanah keras dengan rumput-rumput liar yang menyembul. Selalu ada aroma yang aneh saat memasuki tanah pekuburan, entah karena bunga-bunga samboja yang mengering ataupun karena aroma sisa dupa dan mungkin tubuh wadag yang kembali ke tanah. Aku tidak berasa takut walau sendiri, walau seperti ada ribuan pasang mata mengawasiku, pada cungkup-cungkup itu yang letaknya tak beraturan. Cungkup yang sudah menua terlihat telah dimakan oleh lumut-lumut yang mengerak, menghitam dan noktah-noktah putih. Tetapi, selalu ada sisa dupa dan kembang yang mengering.

Aku melangkah hati-hati “Assalamualaikum ya ahlal kubur”, kataku seperti nasehat seorang muslim. Kalaupun ada yang menjawab, pastilah aku lantas lari terbirit-birit. Tetapi desing angin di pelipis kiri seakan menyahut, menyambutku.

Letak cungkup ibuku, berada di ujung timur dan utara. Lepas tiga tahun, berarti sudah melewati 1000 hari dan cungkupnya telah dilapisi nisan dari porselin warna biru muda. Sungguh cantik. Persis di samping cungkup Ibuku adalah cungkup adik ibukku yang konon meninggal kecelakaan. Persis di bawah cungku ibuku konon juga disemayamkan almarhum kakakku. Sang kakak yang meninggal dunia setelah mereguk udara dunia hanya beberapa hari lamanya.

*****

Dalam kereta Ia dikejutkan oleh orang-orang dari Capetown yang berwajah afrika tetapi sedikit bercampur dengan ras Asia. Orang-orang dari Cape town itu memenuhi hampir 1 gerbong lengkap dengan pemandu tour yang menjelaskan kepada seluruh rombongan apa yang akan mereka kunjungi. Iapun mendapatkan informasi dari pemandu tour bahwa kunjangan rombongan dari Cape town seperti itu sudah biasa tiap tahun.

“Ini semacam paket ziarah yang dinanti-nantikan sekelumit warga Cape town yang muslim”

Maka iapun bercakap-cakap dengan salah satu rombongan yang menawarkanya makan siang roti asal capetown, juga menawarkannya sebungkus ‘buah salak’.

“Kami tak makan salak, rasanya aneh”

Dalam pembicaraan iapun mengorek keterangan yang membimbingya pada penulusuran data di Internet tentang sekelompok penduduk beragama islam di Cape town yang masih ada hubungannya dengan ‘Muhammad Yusuf”

“Ya, menelusur jejak Muhammad Zusuf”

Dari makasar, Surabaya, Banten……” Ini adalah penelusuran kembali nenek moyang kami, seorang pelaut yang alim dari negeri Indonesia, yang telah mengajarkan kepada kami agama Islam dan membawa kami ke sini.

Iapun membawa pulang cerita itu yang membuatnya gelisah dan kemudian menceritakannya padaku.

"****

“Antarkan aku ke Payaman” Kata nya. Bisa kulihat kesiriusan di matanya yang tertutupi kacamata. Sementara kami bertiga, aku dua orang kawan lain di ruangan 3 x 4 itu masih bersantai-santai di pagi hari di hari minggu sambil menunggu air dalam dispenser menggelegak panas lantas membikin kopi Robusta yang kubawa dari bingkisan seorang dari kota B. “Sudahlah, kita ngopi dulu”, kata seorang temanku, sambil membersihkan tiga buah gelas dan sebuah sendok kecil.

“Pokoknya aku kudu ziarah”Katanya, bersungguh-sungguh. Dan akhirnya iapun menjelaskan pada kami tentang belakangan hari dimana ia tergangu tidurnya dengan bermimpi dengan Ibu kos-nya.

“Apa hubungan dirimu dengan ibu kos mu?”, tanyaku, juga tanya kedua temanku yang lain. Sementara pada karpet beludru sudah tertuang dalam tiga gelas kecil kopi robusta yang membentuk gumpalan persis seperti ‘moccacino’ pada permukaanya.

“Ini bukan soal ibu-kos, atau siapaun dia, tetapi soal aku harus memenuhi ziarah ini. kalau belum hatiku belum tenang”

Maka aku dan kedua temanku tak menimpali lagi apa yang ia utarakan dengen berbagai macam argumentasi. Bahwa sebagai contoh, akupun yang bebal, jarang sekali ber ziarah ke makam ibuku kecuali setahun sekali atau pada saat ada pemakaman yang membuatku dengan mudah sekali jalan berziarah ke makam ibukku.

Iapun pula meng-ia-kan bahwa ayahnya sudah meninggal dan bahwa semenjak meninggalnya ayahnya, hanya setahun sekali ia berziarah ke makam ayahnya itu.

“Ayolah, aku tak tahu tempatnya dan kesendirian membuatku menderita”, Pada poin yang kedua itu aku lebih menangkap maksudnya.

Di petanya tak ada secarik kertas yang menujuk makam almarhum bekas ‘ibu kos’nya yang baru ia diami selama 2 tahun! Kecuali, hanya sebuah informasi bahwa ia adalah masih keturunan keluarga Joyodiningrat, dimakamkan di payaman!

Ini seperti petualangan terhadap dirinya, bagiku dan kedua temanku yang lain yang pada akhirnya berasa semangat solidaritas menemani teman yang sedang gelisah itu, melaju kencang dalam mobil hanya berbekala secarik ingatan; payaman, makam keluarga Djoyodiningrat!.

“Apa gerangan yang kau cari temanku?” kataku dalam hati saja sambil tmasih bingung membayangkan apakah kami akan sampai benar ke payaman hanya berbekal peta secuil kalimat itu?

Barangkali ziarah juga bukan hanya berarti menjenguk nenek moyang, mengetahui asal usul, tetapi seperti temanku bilang ziarah itu bisa jadi titik tolak untuk melangkah ke suatu jalan. Harus ada alih-alih untuk diajak mohon doa restu. Kalaupun bukan nenek moyang, mungkin orang-orang yang dianggap dekat dengan kita.

“Kalau kau yakin, pasti ada jalan.”

Akhirnya setelah terhitung 5 kali orang kami tanyakan, sampailah kami ke Payaman. Akhirnya pula, setelah mencari-cari pada 3 kompleks makam, membolak-bali satu luasan makam, bertanya pada anak-anak yang bermain-main sambil memunguti samboja kering untuk dijual ke pasar seharga 4000 per keranjang, dan bertanya pada juru kunci, temaku menemu makam itu.