23 Okt 2009

Ziarah

100_4443 Aku adalah orang yang bebal perihal ‘nenek moyang’. Bukan karena aku tak mau mengingat apa kelakuan nenek moyang, bagaimanapun nenek moyang adalah turun menurun, beranak-pinak dan mengadakanlah aku. Kalaupun tak ada ‘nenek moyang’ tak ada pula buyutku, tak ada pula nenek kakekku yang menurunkan Ibuku, lantas aku. Letak kebebalanku adalah aku tak mau ‘menjenguk’ atau berziarah ke moyangku. Malas…, itu saja.

*****

Yang pertama kali adalah aku kehilangan Ibuku semasa SMP. Sebenarnya saat ia masih sakit, sudah ada perasaan bahwa Ibu tak mungkin bertahan lama. Kulihat wajah letihnya untuk terakhir kali seperti berkata ‘relakan aku pergi’ dan ia tersenyum ke arah kami; Aku si bungsu, Bapakku yang berambut kriwil dan 3 orang saudaraku.Kak ak perempuanku, adalah sulung yang selalu menjagaku agar aku tegar pada saat akan mendengar berita kematian Ibuku. Pun, saat melihat sendiri ambulance berwarna putih lengkap dengan bunyi ‘liu-liu’ pelan, cahaya lampunya yang berputar juga pelan, memasuki gang depan rumahku, air mataku tumpah sejadi-jadinya. Besok pagi adalah hari pertama ujian ebtanas SMP. Aku sudah tak ingat lagi, luluh lantak segala energi dan terpaku pada tembok di samping rumahku, menangis menderu-deru entah pada apa dan siapa.

“Kuatkan dirimu dik, kuatkan dirimu dik” Kata kakakku sambil mengelus rambut, tengku, sampai punggunggu. Lalu lambat laun seperti ada energi hangat yang menguatkanku. Aku harus melanjutkan hidupku. “Ibunda belum mati, tetapi ia hidup dalam hatimu,”kata peri kecil di lengan kanan.

*****

Sudah 3 tahun. Kuinjak tanah keras dengan rumput-rumput liar yang menyembul. Selalu ada aroma yang aneh saat memasuki tanah pekuburan, entah karena bunga-bunga samboja yang mengering ataupun karena aroma sisa dupa dan mungkin tubuh wadag yang kembali ke tanah. Aku tidak berasa takut walau sendiri, walau seperti ada ribuan pasang mata mengawasiku, pada cungkup-cungkup itu yang letaknya tak beraturan. Cungkup yang sudah menua terlihat telah dimakan oleh lumut-lumut yang mengerak, menghitam dan noktah-noktah putih. Tetapi, selalu ada sisa dupa dan kembang yang mengering.

Aku melangkah hati-hati “Assalamualaikum ya ahlal kubur”, kataku seperti nasehat seorang muslim. Kalaupun ada yang menjawab, pastilah aku lantas lari terbirit-birit. Tetapi desing angin di pelipis kiri seakan menyahut, menyambutku.

Letak cungkup ibuku, berada di ujung timur dan utara. Lepas tiga tahun, berarti sudah melewati 1000 hari dan cungkupnya telah dilapisi nisan dari porselin warna biru muda. Sungguh cantik. Persis di samping cungkup Ibuku adalah cungkup adik ibukku yang konon meninggal kecelakaan. Persis di bawah cungku ibuku konon juga disemayamkan almarhum kakakku. Sang kakak yang meninggal dunia setelah mereguk udara dunia hanya beberapa hari lamanya.

*****

Dalam kereta Ia dikejutkan oleh orang-orang dari Capetown yang berwajah afrika tetapi sedikit bercampur dengan ras Asia. Orang-orang dari Cape town itu memenuhi hampir 1 gerbong lengkap dengan pemandu tour yang menjelaskan kepada seluruh rombongan apa yang akan mereka kunjungi. Iapun mendapatkan informasi dari pemandu tour bahwa kunjangan rombongan dari Cape town seperti itu sudah biasa tiap tahun.

“Ini semacam paket ziarah yang dinanti-nantikan sekelumit warga Cape town yang muslim”

Maka iapun bercakap-cakap dengan salah satu rombongan yang menawarkanya makan siang roti asal capetown, juga menawarkannya sebungkus ‘buah salak’.

“Kami tak makan salak, rasanya aneh”

Dalam pembicaraan iapun mengorek keterangan yang membimbingya pada penulusuran data di Internet tentang sekelompok penduduk beragama islam di Cape town yang masih ada hubungannya dengan ‘Muhammad Yusuf”

“Ya, menelusur jejak Muhammad Zusuf”

Dari makasar, Surabaya, Banten……” Ini adalah penelusuran kembali nenek moyang kami, seorang pelaut yang alim dari negeri Indonesia, yang telah mengajarkan kepada kami agama Islam dan membawa kami ke sini.

Iapun membawa pulang cerita itu yang membuatnya gelisah dan kemudian menceritakannya padaku.

"****

“Antarkan aku ke Payaman” Kata nya. Bisa kulihat kesiriusan di matanya yang tertutupi kacamata. Sementara kami bertiga, aku dua orang kawan lain di ruangan 3 x 4 itu masih bersantai-santai di pagi hari di hari minggu sambil menunggu air dalam dispenser menggelegak panas lantas membikin kopi Robusta yang kubawa dari bingkisan seorang dari kota B. “Sudahlah, kita ngopi dulu”, kata seorang temanku, sambil membersihkan tiga buah gelas dan sebuah sendok kecil.

“Pokoknya aku kudu ziarah”Katanya, bersungguh-sungguh. Dan akhirnya iapun menjelaskan pada kami tentang belakangan hari dimana ia tergangu tidurnya dengan bermimpi dengan Ibu kos-nya.

“Apa hubungan dirimu dengan ibu kos mu?”, tanyaku, juga tanya kedua temanku yang lain. Sementara pada karpet beludru sudah tertuang dalam tiga gelas kecil kopi robusta yang membentuk gumpalan persis seperti ‘moccacino’ pada permukaanya.

“Ini bukan soal ibu-kos, atau siapaun dia, tetapi soal aku harus memenuhi ziarah ini. kalau belum hatiku belum tenang”

Maka aku dan kedua temanku tak menimpali lagi apa yang ia utarakan dengen berbagai macam argumentasi. Bahwa sebagai contoh, akupun yang bebal, jarang sekali ber ziarah ke makam ibuku kecuali setahun sekali atau pada saat ada pemakaman yang membuatku dengan mudah sekali jalan berziarah ke makam ibukku.

Iapun pula meng-ia-kan bahwa ayahnya sudah meninggal dan bahwa semenjak meninggalnya ayahnya, hanya setahun sekali ia berziarah ke makam ayahnya itu.

“Ayolah, aku tak tahu tempatnya dan kesendirian membuatku menderita”, Pada poin yang kedua itu aku lebih menangkap maksudnya.

Di petanya tak ada secarik kertas yang menujuk makam almarhum bekas ‘ibu kos’nya yang baru ia diami selama 2 tahun! Kecuali, hanya sebuah informasi bahwa ia adalah masih keturunan keluarga Joyodiningrat, dimakamkan di payaman!

Ini seperti petualangan terhadap dirinya, bagiku dan kedua temanku yang lain yang pada akhirnya berasa semangat solidaritas menemani teman yang sedang gelisah itu, melaju kencang dalam mobil hanya berbekala secarik ingatan; payaman, makam keluarga Djoyodiningrat!.

“Apa gerangan yang kau cari temanku?” kataku dalam hati saja sambil tmasih bingung membayangkan apakah kami akan sampai benar ke payaman hanya berbekal peta secuil kalimat itu?

Barangkali ziarah juga bukan hanya berarti menjenguk nenek moyang, mengetahui asal usul, tetapi seperti temanku bilang ziarah itu bisa jadi titik tolak untuk melangkah ke suatu jalan. Harus ada alih-alih untuk diajak mohon doa restu. Kalaupun bukan nenek moyang, mungkin orang-orang yang dianggap dekat dengan kita.

“Kalau kau yakin, pasti ada jalan.”

Akhirnya setelah terhitung 5 kali orang kami tanyakan, sampailah kami ke Payaman. Akhirnya pula, setelah mencari-cari pada 3 kompleks makam, membolak-bali satu luasan makam, bertanya pada anak-anak yang bermain-main sambil memunguti samboja kering untuk dijual ke pasar seharga 4000 per keranjang, dan bertanya pada juru kunci, temaku menemu makam itu.

6 Okt 2009

Kompetisi dan Bermain

(Kompetisi dan bermain- lukisan karya Alex Dhany S)
Setiap kali melihat permainan dadu, seringkali saya teringat pada Sengkuni, tokoh antagonis pada cerita pewayangan Mahabarata. Sengkuni, digambarkan sebagai tokoh yang pintar tapi licik. Licin bagai belut, pendendam, buruk muka karena pernah dihajar oleh ……., Tetapi ia adalah paman yang penyayang bagi ke100 keponakannya, para Kurawa, musuh bebuyutan pandawa lima.

Pada salah salah satu potongan cerita Bharatayuda, Sengkuni suatu kali mengatur siasat licik guna membalas para Pandawa. Ia mengajak pandawa bermain dadu. Sengkuni paham betul kekuatan dan kedigdayaan Pandawa bukan lawan yang seimbang untuk saat itu bagi para Kurawa. Karenanya permainan ini adalah intrik yang licik menghanyutkan Yudistira, Si Sulung dari Pendawa untuk terlibat dalam permainan ini.
“Hidup itu adalah sebuah permainan” Kata Sengkuni pada Yudistira.
Dan Yudistira pun akhirnya terhasut untuk mengambil dadu memulai permainan mereka, permainan mempertaruhkan bulatan angka dari 1, 2, 3, 4, 5 sampai dengan 6.
Bagi Sengkuni, hidup itu sebuah permainan, ada yang menang ada yang kalah. Ketika lemparan pertama dan kedua Yudistira meraih kemenangan, Yudistira semakin terhanyut untuk melanjutkan permainan, sampai akhirnya di lemparan selanjutnya Yudistira didera kekalahan demi kekalahan. Tetapi Yudistira tak jua menghentikan permainan, selagi masih ada hal yang dipertaruhkan, masih ada harapan untuk membalas kekalahan. Yudhistira terhanyut dalam permainan judi. Melanjutkan permainan demi ‘mengejar kemungkinan’ kemenangan, atau harus rela sebagai orang kalah. Demi membela harga diri kekalahan, seluruh isi kerajaan, kerajaan bahkan sampai yang terakhir Drupadi istri Yudistira dijadikan barang pertaruhan.
---
Permainan judi dadu adalah permainan cukup tua, terbukti dari nukilan kisah pewayangan Mahabarata itu. Seperti halnya di kampungku dulu, kalau pas ada perayaan apapun bentuknya; sunatan, pernikahan, kematian, tujuhbelasan, tahun baru, dangdutan dsb, selalu di pojok kampung, di bawah remang-remang kolong langit dengan penerangan lampu petromak atau sentir, digelarlah judi dadu, Cliwik atau Othok namanya. Pada prinsipnya sama, mempertaruhkan dua buah kubus dadu yang berisi angka-angka. Kombinasi munculnya angka dua kubus dadu yang telah dikocok oleh bandar dadu itu dinantikan dengan berdebar-debar oleh kerumunan orang yang memasang taruhan pada gelaran lembaran besar kertas dengan kolom-kolom warna, tanda dan angka. Sudah tak begitu ingat aku, seperti apa rupa gelaran besar berisi kolom-kolom dengan gambar, tanda dan angka itu, seingatku hanya warna-warninya yang menarik hati dengan uang taruhan paling minim koin 100 rupiah. Kalau cukup beruntung, dengan koin 100 rupiah itu, dalam dua sampai tiga kali pasanga taruhan duit 100 rupiah anda akan berlipat menjadi 5.000 rupiah. Sebuah nilai yang lumayan, pada sekitaran tahun 1990an, cukup untuk membeli 1 pak besar rokok.
Adalah (sebut saja) mbah Karto, bandar Cliwik atau Othok terkenal di seantero kampung, bahkan menyebar sampai di kampung-kampung tetangga. Mbah Karto kala siang hari mengelola sebuah bisnis penambagan pasir di pinggir kali Gajah Wong. Kantornya menempel pada bangunan kecil tempat pengontrol bendungan dan saluran irigasi. Mbah Karto sebatang kara dan konon pernah berkeluarga mempunyai seorang istri. Pun, tak ada yang tau persis darimana dia berasal tetapi kini orang-orang lebih mengenalnya sebagai bandar cliwik.
Beda dengan penampilannya di siang hari, Kala kertas cliwik yang berukuran kira-kira 1 meter kali 1 meter telah digelar, dengan diterangi petromak remang-remang, Mbah karto terlihat lebih energik. Orang-orang yang sudah berkerumun mengelilingi gelaran cliwik itu tak akan mengira kalau itu Mbah karto yang kalau siang hari menyeburkan diri di kali Gajah wong menciduki pasir dan mengumpulkannya jadi gundukan-gundukan pasir di sebelah pintu air.
Semakin banyak orang pasang taruhan, semakin banyak uang bisa dikumpulkan. Tetapi aku lihat dari waktu ke waktu tak ada yang berubah pada wujud Mbah Karto. Tetap menjadi penggali pasir pinggir gajah wong di siang hari.
Suatu ketika, orang-orang pada terkejut saat mbah karto datang ke masjid, lengkap dengan kupiah dan sarung mengikuti pengajian di masjid. Orang-orang, terutama barisan ibu-ibu mulai berbisik satu sama lain. Bukanlah disebut tabiat orang Indonesia kalau lah tak bisa dilihat membisiki orang sambil melihat pada orag yang dibisikinya. Sama saja Mbah Karto (yang kuketahui dengan nalar kalkulasi ringan saja) sudah berusaha setegar mungkin melangkah memasuki masjid dengan kupiah dan sarung yang masih baru itu, lantas memucat seperti cahaya petromak yang kehabisan minyak spiritus.
“Wah, mbah Karto mertobat?”
Itu adalah kalimat dahsyat yang muncul meruntuhkan niat yang paling kuat pun kalau tidak disikiapi ‘permisif’. Lantas dikemudian hari tak kulihat lagi Mbah karto muncul di masjid. Lantas di kemudian haripula pada perjumpaan yang tak sengaja, aku bertemua dengan Mbah Karto yang lagi ngaso di sebelah gundukan-gundukan pasir di sebelah rumah pintu air kali gajah wong. Mbah Karto masih seperti dulu, dengan celana hitam, kaos yang bladus dan topi yang dikibas-kibaskannya untuk mengusir hawa panas.
“Ya, hidup adalah sebuah permainan” kata mbah karto membisiki dalam hati “Tetapi dalam permainanku tak ada yang menang ataupun kalah, yang ada aku hanya mengalah untuk melayani orang-orang yang mau bermain cliwik padaku, di malam hari, selepasnya aku mengalah pada kali gajah wong itu”