9 Mei 2009

Uang Saku

Di suatu petang aku berbincang dengan seorang kawan yang terpaut sekitar 4 tahun denganku. Ia sudah berkeluarga dan punya profesi yang sama denganku sebagai pekerja sosial (untuk menyebut kata lain bekerja di LSM).

"Apakah beda pekerja sosial dengan pekerja seks komersial?"

Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu kali ini, karena itu adalah banyolan lama tentang perdebatan makna kata 'melacur' menurut pekerja LSM dan makna 'melacur' dalam makna harfiah sebagai PSK. Lantas aku bisa menebak kecapaian di matanya atau mungkin kejenuhannya pada karena diburu oleh laporan-laporan kelembagaan. Karenanya petang itu aku segera bergerak hati membuatkannya secangkir kopi kental panas dengan sedikit gula. Dan mungkin karena terganggu aroma kopi yang mengepul-kepul di hidungnya lantas ia mengubah topik pembicaraan.

"Berapa uang sakumu waktu jaman SD?"katanya sambil menyeruput kopi

"100 rupiah, itu tahun 1986-an" jawabku dengan tegas padanya. Dan benakku lantas meluncur pada waktu itu, seratus rupiah adalah sekantong plastik es sirup dengan potongan nanas dan bakso penthol tusuk. Hmm....

------

Aku menjalani sekolah dasar di sebuah SD Negeri di kampung yang mulai beranjak menjadi kota. Sebuah kampung yang berjarak cukup dekat dengan terminal utama Yogyakarta dan sebuah kompleks lokalisasi yang sangat terkenal bernama 'Sanggrahan'. Kini lokalisasi ini telah ditutup dan disulap jadi terminal induk yang baru. Tak ada bangunan yang tersisa kecuali sebuah beringin besar di ujung simpangan jalan yang dulu menjadi tempat bertengger deretan tukang becak yang ngantri menunggu penumpang 'pria hidung belang', mucikari, sampai perempuan-perempuan yang bekerja jadi penjual jasa disitu. Konon katanya meski telah disulap jadi terminal, lorong-lorong kampung itu, juga hotel-hotel kelas melati yang berdiri di situ tetap membuka layanan jasa 'terselubung'.

Hidup di kampung yang berbenah jadi kota, aku menyaksikan sawah-sawah yang dijual pemiliknya, diurug dan lambat laun berdirilah bangunan-bangunan baru. orang-orang berdatangan, warung-warung, toko-toko dan centang perentang aneka penjual jasa dari tukang tambal ban sampai penjual bensin eceren.

Gambar Rp.25, Rp.50 dan Rp. 100 (sejoemlah oeang sakokoe doleo di sekolah dasar kelas 1 sampai kelas 6 tahoean 80an)

Pertama kali aku masuk sekolah dasar, kalau tidak salah sekitar th 1987, uang sakuku 50 rupiah. Besaran uang saku itu adalah separo dibandingkan Rp.100 rupiah yang didapat 3 kakakku yang lain menginjak di kelas 3, 5 dan 6.

"Nanti kalau kamu sudah kelas 3, uang sakumu naik 100 rupiah", kata ibundaku dulu.

Memang ketika kelas 3 nanti, seperti kakaku, aku bakal pulang lebih siang, yakni jam 12.00 siang dan aku akan mendapatkan dua kali jam istirahat. Karena aku masih kelas 1 dan 2, aku hanya menjalani pelajaran di sekolah sampai jam 10.00 siang.

Jam istirahat adalah waktu yang ditunggu tung gu semua penghuni kelas. Jam istirahat kami ditandai dengan bel yang muncul dari besi bekas potongan rel kereta yang dipukul oleh pak bon (panggilan oleh penjaga sekolah) sebanyak 3 kali. Aku masih ingat 'pak bon' sekolahku bernama pak Legi dan aku masih penasaran sampai sekarang apakah Pak Legi masih sosok dengan tubuh kerempeng dan kupiah yang menutupi rambut jabrik nya. Saat bel dipukul 3 kali, murid-murid lantas mengambur keluar dari ruangan kelas menuju ke pelataran teempat penjual es, penjual soto, penjual 'gambar templek' (stiker), penyewa gembot (aku baru tahu gembot merupakan kesalahan pengucapan dari gamewatch), penjual bakso pentol, penjual gulali sampai dengan penjual pong-pongan (Sejenis kerang darat). Kesemuanya sudah sabar menanti di pelataran sekolah, berderet-deret menempati lokasi favorit masing-masing. Ada yang merupakan penjual tetap, termasuk juga ibu salah seorang temanku, ada pula yang merupakan penjual nomaden berpindah dari satu pelataran sekolah ke satu pelataran sekolah yang lain.

Tetapi, kami hanya punya waktu 15 menit jam istirahat buat belanja di pelatan sekolah yang mirip "pasar tiban" pada jam-jam itu.

Bagiku sendiri, 15 menit adalah saat yang genting bagaimana memanfaatkan 50 rupiah sebaik-baiknya. Apakah 25 rupiah untuk sekantong plastik es sirup dengan potongan nanas dan sisannya 25 rupiah untuk dua plastik'anak mamie' . Anak mamie adalah makanan salah satu makanan oldschool yang aku temukan berwujud remah-remah mie instan kering yang berasa gurih yang dikemas dalam bungkusan kecil dengan desain yang tak pernah berubah dari kurun ke kurun bergambar seorang bocah kecil. Ukuran anak mamie seukuran setengah kali saku baju seragam SD. Terakhir kali aku melihat anak mamie adalah di kantin sekolah SMU di tahun 2000an masih dengan bentuk dan rupa yang sama.

Pilihan selanjutnya 50 rupiah adalah untuk sebuah bakso penthol dan kue terang lekker (kue dari tepung yang digoreng yang berisi potongan pisang dan taburan coklat). Tetapi di pojok lain aku melihat penjual gambar templek menggelar aneka gambar templek terbaru. Kali ini penjual gambar templek menggelar pula trik baru. Ia membuat permainan 'tarik tali'. Ia taruh aneka rupa gambar templek dari ukuran mini sampai sebesar folio dalam sekumpulan tali. Kalau beruntung kita bisa dapat tali yang berujung pada gambar templek atau stiker yang berukuran besar, tetapi kalau buntung kita hanya dapat seutas tali kosong. lantas uang 50 rupiah kita hanya diganti dengan potongan 'brem'.

Menginjak kelas 3 SD, hari-hari pertama aku bersorak-sorak sorai, karena kenaikan uang sakuku yang menjadi 100 rupiah. Tetapi kini tantanganku lebih hebat lagi. 'pasar tiban' di pelataran sekolah kini lebih berfariasi. Penjualnya pun kini punya aneka macam permainan dan trik untuk menarik pembeli. Ada permainan baru berupa 'rolet' sederhana cukup menarik perhatian. Dengan ongkos 50 rupiah kita diberi kesempatan memencet tombol yang akan memutar sebuah piringan yang diberi angka-angka. kalau beruntung bisa dapat hadiah berupa mainan-mainan plastik, sampai dengan jam dinding untuk angka tertinggi, kalau tak beruntung kita dapat sepotong bakso pentol yang dicelup dalam saos kacang pedas.

Di sudut lain penjual gambar templek kini mengenalkan permainan baru pada anak-anak. Namanya 'gacok-an' alias mengadu dua buah gambar templek. Permaianan ini cukup sederhana, kita hanya mengadu gambar templek kita dengan gambar templek lawan dengan sebuah tepukan tangan. Saat gambar templek melayang jatuh ke tanah dengan posisi terbalik, maka iapun kalah. Karena gambar templek waktu itu bergambar aneka tokoh tokoh kartun dari flash gordon, superman sampai spiderman maka permaian ini jadi semakin seru. Uangsaku 100 rupiahku kini menjadi belanja aneka warna gambar templek sampai musim permainan 'gacok-an' ini mereda.

Penjual makanan juga tidak kalah akal. Mereka membuat modifikasi bakso penthol baru. Kini seorang bakso penthol berani memasukkan potongan telur kedalam bakso pentolnya. Bahkan ada bakso penthol ukuran raksasa sebesar bola pingpong dan dibandrol dengan harga 100 rupiah. Gerobaknya sepedanya juga tak kalah eksentrik. di cat warna warni dan ditulis 'Penthol super'. Pentol super cukup populer sampai datang penjual penjual makanan yang lain, ada penjual burjo sampai dengan es cendol.

=====

Yah, dulu 100 rupiah kita bisa jajan dan bersenang-senang di sebuah pelataran sekolah yang disulap jadi shopping mall kita. Akupun juga temanku tak bisa membayangkan berapa uang saku anak sekolah sekarang. Lantas aku teringat bahwa temanku itu, yang terpaut 4 tahun diatasku sudah berkeluarga dan punya seorang anak yang kini akan menginjak ke kelas SD.

"100, 500, 5000!"

Mungkin robert maltus perlu menambahkan pernyataannya bahwa tak hanya jumlah penduduk yang mengikuti deret ukur, tetapi uang sakupun mengikuti deret ukur.