1 Jun 2013

Multi tasking

....When we grow tired of all this visual/ You had your time - you had the power/ You've yet to have your finest hour / ..... All we hear is radio blah blah....(Queen - Radio Ga Ga)



Ada banyak alasan mengapa anda harus membenci televisi. Setidaknya untuk menghindari dari keterjebakan menonton acara televisi ada baiknya mulai membenci televisi.
Saat anda mulai menyalakannya anda akan tergiring untuk memindah channel dengan mudah lewat remote control. Sehingga dalam waktu yang pararel anda mungkin bisa menikmati 2 atau 4 sekaligus acara televisi. Apalagi saat anda menonton TV seorang diri, maka anda adalah raja di atas singasana kursi sofa yang menentukan nasib tayangan apa yang laik tampil melalui remote control di jemari anda.
Konon otak yang seukuran beberapa kepalan tangan mampu lebih mudah merekam aspek visual dari pada mencerna proses tulisan. Apalagi jenis tayangan iklan komersial yang kerap mengeksploitasi reflek kenikmatan mata pada lelaki lekuk liku wanita.Para perempuan akan langsung berbinar pada aneka produk  pelangsing tubuh, pemutih wajah sampai urusan pribadi dengan alih-alih menambah percaya diri. Sedangkan anak-anak kita, semenjak pagi hari sampai waktu prime time malam hari adalah iklan-iklan makanan dan mainan. Maka dengan mudah fokus kita langsung tergiring pada bunyi tag line yang diulang-ulang pada iklan; "Wajah putih berseri sepanjang hari", "Diputar, dijilat dan dicelupin" dan sebagainya.

Kata peneliti perempuan bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus dalam satu waktu. Dalam bahasa komputasi, ia support multitasking, di saat sedang masak, tangan kanannya sedang memomong anak sambil tangan kiri mengirim SMS hampir tanpa melihat ke layar handphone. Sedangkan telinganya juga sibuk mendengar 2 channel gosip sekaligus yakni pertama dari acara "Insert Selebriti" di televisis sedangkan channel lainnya adalah "Bude Siti" tetangga sebelah yang saban hari selepas 8 pagi datang ke rumah menyiarkan berita update "gosip perumahan". Meski seluruh indera berjalan semua, (hampir) karena indra perasa agak telat bekerja ketika harus mencicipi rasa sayur asem yang tengah dimasak, tetapi semua kegiatan pararel ini berjalan lancar.
Tapi benarkah kita 'betul betul' dan 'benar benar' butuh televisi? Lepas dari semua visi stasiun televisi yang saya yakin kebanyakan menawarkan 'jendela informasi'. Tapi seberapa pentingkah atau seberapa banyakkah informasi yang kita butuhkan? Pernahkah anda coba dorong sejenak kota televisi kita ke pojok, dijauhkan dari arus listrik, atau bahkan dimasukkan dalam kardus. Coba anda lakukan itu sebulan saja, atau kalau atau tak kuat, dicoba mulai membatasi diri di jam jam tertentu.
Ini bukan sebuah persuasi, tetapi bagi yang pernah mengalami tinggal di tempat terpencil, atau taruhlah tempat yang sulit terjangkau sinyal televisi- karena kebetulan tempat tinggal saya adalah perumahan di cekungan lembah dengan kungkungan bukit-bukit piyungan. Maka nyaris menonton televisi adalah perjuangan, selain harus berlomba-lomba meninggikan tiang pancang antena kalau tidak berisiko kena petir, juga karena (jujur saja) saya tak punya televisi yang 'wajar'. Saya katakan televisi yang 'wajar' karena sekali televisi 'wajar' saya berakhir dengan ledakan lengkap dengan sedikit asap persis dalam film jadul Dono-Kasino-Indro. Dan kedua, karena televisi 'wajar' saya tiba-tiba seperti punya penyakit kulit, berubah warna jadi kekuning kuningkan sampai akhirnya mengecil dan mengecil menjadi segaris. Dua kotak televisi 'wajar' itu berakhir di tukang servis tanpa pernah kudengar kabar apakah memang sudah bisa dibetulkan ataukah sudah berakhir di tukang loak didaur ulang jadi ember bekas.
Paragraf akhirnya, saya cuman pingin cerita nostalgia ketika radio masih jaya. Terakhir, seingatku ketika masih SD, ketika channel TV hanya TVRI dengan jam tayang yang terbatas. Hampir saban hari kotak radio tak pernah mati. Kadangkala 1 rumah bisa punya lebih dari 1 radio karena selera pendengar dalam rumah itu yang beda-beda. Tetapi di kampungku, selera pasar paling umum salah satunya adalah drama 'Saur Sepuh'. Bagi anak-anak atau remaja ada serial 'Joni Kukuh', selain tentu saja acara lain seperti berita, lagu-lagu, kirim kiriman salam, sampai dengan berita.
Disini indera tersibuk satu-satunya adalah 'telinga' sehingga adalah biasa mendengar radio sambil mencangkul ladang, mengayuh mesin jahit, mengendarai kendaraan atau kesibukan lainnya.
Salah satu 'drama radio' yang kutunggu seluruh keluarga adalah serial 'Saur Sepuh'. Maka saban sore terjadilah perkumpulan massal pendengar radio dari aku, saudara-saudaraku sampai tetangga sebelah yang ikut nimbrung. Meski kotak radio hanya satu dan dinikmati massal seperti itu, tetapi setiap orang akan punya imajinasi berbeda-beda dari siaran yang sama. Bayanganku tentu saja 'Brama Kumbara' sang tokoh utama 'Saur Sepuh' adalah lelaki dengan rambut gondrong berkostum jubah, ikat kepala, sandal dari kulit badak dan 'pedang nagapuspa' yang bisa menyala saat dikeluarkan. Salah babak yang kutunggu adalah babak pertarungan antara 'Brama Kumbara' dan 'Mpu Tong Bajil'. Meski radio hanya mengeluarkan bunyi 'ciaaat-ciaaat.... gedebak ... gedebuk..." tetapi di kepalaku secara visual telah tersusun adegan pertarungan dahysat antara 'Brama kumbara' yang mengeluarkan ajian sakti melawan 'Mpu Tong Bajil' yang juga punya tongkat sakti.
Kembali ke kotak televisi terkini, kecewanya, dan lebih menyedihkan lagi saat 'Saur Sepuh' tayang jadi acara sinetron. Saya pikir efek 'pertempuran' sengit yang dulu kususun lewat imajinasiku sendiri jauh lebih keren daripada yang tayang di sinetron televisi.
---
Saat perjalanan jauh 5 jam menuju Jogja-Grobohan, telingaku kusumpal radio, bukan MP3 untuk mendengar musik. Ajaibnya, aku seperti menemukan 'kesenangan' lama, membiarkan mengalir mengikuti siaran dan celoteh 'bla-bla-blah" sang penyiar radio.Rasa-rasanya 5 jam pantat penat dan panas di atas jok sepeda motor, seperti sebuah piknik lengkap dengan teman ngobrol, illustrasi musik dan pemandangan sepanjang jalan.