20 Agu 2013

Are you Singing?

946260_10200619693068555_1055009167_n

Ada ritual yang selalu susah dilakukan saban waktu ia mudik ke desa magetan. Desa itu bernama nglemi, sungguh aneh nama desa itu, terletak di dekat stasiun barat, daerah tanggung antara magetan dan madiun. Sebenarnya lebih dekat dengan madiun meskipun secara antropologis masyarakatnya, terutama laki-laki banyak yang sejak dini telah dibekai seni bela diri pencak silat 'Teratai'. Penanda, ada patung si pendekar 'teratai' di pertigaan masuk menuju desa 'nglemi' yang makmur permai ini. Penduduknya terutama yang tua tua adalah petani tradisionil yang menanam padi setahun minimal 2 kali bertenaga pengairan dari pompa air yang menyedot dari saluran irigasi yang dibangun sejak tahun 1970. Maka memandang landscape 'nglemi' seperti mencomot lukisan 'realisme-romantis' pemandangan sawah yang hijau, petani dengan caping, penggembala menggiring kerbau dan gunung lawu di kejauhan.

Dan ritual saban tahun yang selalu terulang saat ia mudik ke 'Nglemi' adalah buang hajat di sungai. Hampir semua rumah penduduk memang belum memiliki kakus. Kalaupun ada, konstuksi kakus adalah tembok bata rendah yang cukup untuk menutupi sebagian tubuh anda ketika berjoniok dengan menyisahkan sejumput rambut kepala. Konstriksi 'kakus' pribadi itupun langsung beratapkan langit.

***

Memang saluran irigasi itu memanjang dari ujung timur ke barat persis di tepian areal persawahan yang berlandscape seperti comotan lukisan 'mooi indie' itu. Biasanya jam sibuk adalah pagi hari, saluran irigasi itu, sudah diantri para penduduk yang ngantri ingin 'melarung' isi perut sisa makanan. Maka ada protokorel tak tercatat bagi siapa saja yang ingin mengantri kakus panjang ini. Terutama juga bagi dia yang dirumahnya memang tak punya kakus pribadi;
1. Lihat pandangan
Lihat pandangan anda sejauh mata memandang apakah jarak terdekat di areal irigasi sudah terisi orang yang   berjongkok. Karena biasanya antrian terawal orang akan mencari tempat terfavorit di persis di bawah jembatan. Selain karena struktur jembatan yang dibangun sejak 1970 itu menyediakan blok yang nyaman buat nangkring juga karena ujung jembatan berarti tempat pertama anda bisa mendaratkan muatan anda tanpa mendapatkan umpan mentah dari peserta 'buang hajat' yang lain.
Maka jika kurang beruntung, anda akan dapat tempat terujung dengan konsekuensi tumpukan umpan mentah dari yang mengalir menuju anda dari para pembuang 'hajat' sebelumnya. Dan yang harus anda harus berjalan dengan pura pura tak melihat para 'pejongkok' sampai menemukan tempat anda sendiri.
2. Jaga jarak
Jaga jarak adalah etika kedua, terutama di jam sibuk pagi hari untuk ritual buang hajat berjamah ini. Kira-kira seratus meter, cukup agar aliran irigasi bisa menerpa deras benda yang anda larung dan simbiosis mutualisme antara benda yang anda larung dengan organisme di sungai macam ikan, lumut kodok, kepiting dan lain lain bisa berebutan menguraikannya.
Jaga jarak juga terjadi agar anda tidak terlalu sakit mata saat seorang peserta buang hajat berjamaah selesai duluan dan mengangkat (maaf) bongkahan p**tatnya di depan mata anda. Cahaya matahari pagi bisa bisa langsung memantul padanya dan sekejap membahayakan mata anda.
3. Kasih tanda
Kasih kode seperti saat anda makan di restoran berkelas. Jika anda memesan meja, maka anda akan menandai meja itu dengan kartu atau semacamnya. Maka peserta buang hajat berjamaah ini biasanya kasih tanda di depan tempat mereka berjongkok, misal dengan menaruh sandal, sepeda atau benda-benda apa saja yang bisa ditinggalkan untuk memberi tanda, dalam radius beberapa langkah ada si fulan sudah jongkok disitu.
4. Tetap waspada
Tetap waspada karena anda berada di alam terbuka. Tantanganya adalah binatang binatang liar macam ular, kodok atau apapun itu.
5. Menundukkan pandangan
Disinilah anda diuji untuk menundukkan pandangan saat melewati peserta lain. Tidak usah menoleh atau bahkan menyapa, cukup tetapkan langkah ke depan luruskan niat ke depan.
***
Tiap kali ia mudik ke desanya, maka tiap kali pula kejadian ini terulang. Sebenarnya mudah baginya untuk membuatkan kakus permanen bagi pak dan mboknya. Tapi bukan itu yang pak dan mbok nya ingini. Pun akhirnya dia mengerti mengapa penduduk desa nglemi lebih banyak yang suka berhajat di saluran irigasi itu. Karena sampai sejauh apapun seseorang mengejar status, mengejar keinginan, darimanapun orang, kemanapun orang, kalau sudah berjongkok akhirnya berakhir sama saja. Apapun yang dimakan orang, berapapun mahalnya, apapun rasanya ketika telah dikeluarkan hasilnya sama saja.
***
Saat ia pulang, sayup sayup terdengar di telinganya
'Ayo ngising... ayo ngi sing..."
'Ning kebon, ning kebon.."
'Tutupi godong pring...
tutupi godong pring"
'ben gareng'

To the top of java

PICT0065 Kadangkala aku berusaha keras mengingat wajah ibuku. Sedemikian kerasnya sehingga harus memejamkan mata untuk bisa menyusun satu demi satu potongan ingatan wajah ibuku. Atau wajah kakekku, atau orang orang yang sudah tiada. Meskipun terkadang sekilas muncul tanpa sengaja wajah demi wajah itu. Wajah yang ingin selalu kuingat. Seperti halnya dini hari ini aku bermimpi bertemu dengan wajah-wajah itu yang membuatku menjadi disorentasi saat tersigap untuk bangun. Tak menyadari sebenarnya wadagku tengah bermil mil jauhnya dari kota Yog dan berada di ketinggian kira-kira 1500dpl di kaki gunung Lawu. Tapi bukan karena bermimpi bertemu dengan wajah wajah itu yang membangunkanku.

***

Udara yang dingin membangunkanku, udara yang mengandung debu sehingga hampir hampir aku terbatuk. Sudah tak kutemukan lagi selimut atau sarung, terhempas entah kemana. Sepertinya ada setumpuk karung beban di kepalaku, menindihku hingga tak dapat membuatku bangkit dengan leluasa.

Pada awalnya yang nampak hanyalah langit langit ruangan, bilah-bilah kayu dan tiang tiang kayu menyangga genting. Tak ada asbes, tak ada plafon atau penutup langit langit. Kolong atap itu penuh jaring laba-laba, gelap dan tanpa cahaya. Sehingga kesimpulan pertamaku menangkap bahwa ini masih terlalu dini untuk bangun. Bahkan mungkin belum beranjak subuh. Tetapi udara dingin menggelitiki seluruh tubuhku untuk lantas bangun, mencari cari mana secarik selimut dan atau sarung yang semalam sepertinya ada.

Sekilas kesadaranku belum menangkap dimana aku berada. Mungkin di tepian bumi lain, mungkin di kampung halaman, mungkin di kota lama dimana aku pernah bertemu wajah-wajah asing. Sebegitu heningnya dan tak kudengar bunyi kokok ayam jantan satupun. Tetapi memang udara dingin sekali lagi memaksaku untuk lantas bergegas bangkit.

Aku masih seperti buntalan karung, atau mungkin lebih tepatnya seonggok batu yang kedinginan yang ingin rasanya menggelindingkan diri agar bisa jatuh kebawah tetapi menunggu kekuatan atau seseorang untuk mendorong untuk menggerakkannya.

***

Perlu beberapa menit agar kesadaran ruangku mulai muncul. Koordinat menunjukkan aku kini berada di lembah gunung lawu. Di sebuah gubuk warga dengan 2 orang di sampingku. Beberapa menit kemudian kesadaran akan wajah mulai berkerja. 2 orang di sampingku, adalah 2 orang asing yang belum lama kukenal. Tapi mereka tidaklah asing, wajah yang sepertinya puluhan masa silam pernah kutemui dalam sebuah perjumpaan. De Javu!

Satu pemuda jangkung asal Polandia. Kejangkungannya hampir 125 persen di atasku. Tipikal ras eropa persis, dengan kulit putih pucat, wajah runcing, hidung mancung dan mata biru. Seekor lagi adalah asia dari belahan benua India. Dia adalah pribumi Bangladesh yang tak selalu merasa pongah bahwa negaranya tidak lebih buruk dari yang diceritakan sampai ke Indonesia.

***

Apa gerangan yang aku cari saat ini? Bersama 2 ekor kawan asing yang di ketinggian 1500dpl dan rencananya akan melanjutkan pendakian ke 3500dpl di salah satu puncak pulau Jawa ini? Kalau tak salah 7 tahun berselang, awal 2000 aku pernah menapaki gunung ini bersama kakak dan seorang temanku. Di puncak ini hanya kami bertiga dengan bekal minim dan cuaca ekstrim. Di basecamp terakhir hampir puncak, ketika basecamp disitu bukanlah sebentuk rumah warga tetapi hanya lahan agak datar dengan sisa-sisa perkemahan sebelemnya kami berpapasan dengan 2 orang pendaki yang nekat. Nekat karena mereka mau melanjutkan menuju ke puncak meski bekal minim dan cuaca agak berkabut. Berapa hari kemudian tersiar kabar 2 orang pendaki tersebut kehabisan bekal sampai akhirnya mengalami hipotermia dan seorang diantaranya meninggal. Aku bergidik ketika mengingat kami pernah memberikan sejumput gula jawa bekal kami ke mereka saat seorang dari mereka dipapah oleh petugas SAR. Mulut pendaki tersebut melebam dan kaku hingga sulit menelan potongan gula jawa yang kami jejalkan ke bibirnya.

***

Di gunung, alam terbuka, 3 orang kawan dari belahan bumi berbeda. Konon katanya di alam terbuka ini sifat asli orang akan muncul. Mungkin itu yang kami cari.