Fungsi itu sungguh kontras dengan wujud angkringan sendiri yang bersahaja, berupa gerobak kayu dengan dua roda sepeda yang menempel di kedua sisi kanan kiri, tempat duduk dari papan kayu sederhana dan tenda dari terpal plastik (biasanya warna biru atau oranye) untuk mengayomi keseluruhan areal angkringan. Untuk tempat duduk para klien hanya disediakan tiga buah kursi kayu yang disedikan, ditaruh mengelilingi gerobak angkringan, selebihnya bakul (penjual) angkringan menaruh tikar untuk lesehan.
Tak ada peraturan untuk membedakan siapa yang lebih berhak menempati kursi kayu itu, pengunjung yang datang lebih awal atau pengunjung yang datang belakangan. Walhasil semakin malam, karena angkringan umumnya buka pada sore hari, pegunjung semakin berdesak-desakkan. Tetapi sambil berdesak-desakkan seperti itu konsumen bisa menikmati menu khas Warung angkringan berupa racikan wedhang jahe, aneka gorengan dari mendoan sampai tahu, sampai makanan yang menurut orang eropa agak radikal; kepala ayam, ceker ayam, sate usus, sate kerang, sampai sate kikil. Makanannya pun serba porsi mini, seperti nasi ‘kucing’ untuk sebungkus nasi sekepalan tangan dengan sekelumit sambal atau oseng-oseng
Tak ada undang-undang tentang apa saja topik pembicaraan yang boleh muncul disana. Sebatas pembicaraan itu bisa nyambung ke kepala orang lain, maka topik perbincangan akan melesat dari persoalan utang, gosip para artis sampai dengan masalah hangat kancah perpolitikan Nasional. Angkringan jadi ruang bebas dan kadangkala menjadi jendela informasi mengenai apa yang tengah hangat dibicarakan di lingkungan setempat.
Si penjual angkringan atau yang disebut bakul angkringan umumnya terkenal diantara konsumen fanatik setempat. Pembawaan bakul angkringan yang besahaja, enak diajak omong atau kadangkala sering curhat soal topik-topik sederhana di kesehariaanya akan menjadi daya tarik tersendiri. Sebaliknya, sering bakul angkringan adalah mediator, keranjang sampah tempat uneg-uneg, teman curhat dengan jaminan kerahasiaan, tempat menitip salam tempel, sampai dengan spionase untuk mencari-cari informasi tentang seorang target percintaan. Tetapi peran-peran khusus bakul angkring itu sendiri sangat tergantung dengan dimana letak angkringan itu berada.
Angkringan lembaga adalah angkringan yang terletak tak jauh atau melekat dengan suatu kantor atau sekretariat. Sebagai mana hukum ekonomi klasik, supply mengikuti demand alias pernwaran mengikuti penawaran, maka alasan sebuah angkringan menyondorkan gerobaknya di tempat tertentupun bisa dijelaskan dengan hal itu. Apalagi kini dengan semakian ketatnya persaiangan antara bakul angkring, bak kemunculan franchise yang menggurita dimana-mana, maka si gerobak dengan tiga cerek air ini pun tak melewati tiap titik peluang yang ada. Kalau disitu ditengarai ada koloni masyarakat atau tempat hilir midik orang-orang, bisa dipastikan ada angkringan disana. Begitupun sebuah lembaga, atau komunitas yang ramai dengan hilir mudik manusia dengan berbagai kepentingan, berbagai omongan, angkringan menjadi tempat santai sambil yang terlepas keluar dari kotak formal bernama ‘kantor’, rapat atau ‘pekerjaan’. Walhasil angkringan lembaga adalah tempat alternative. Angkringan juga menjadi ajang untuk melepas gerundelan, kecemasan, atau ketidak puasan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kantor sampai dengan intrik-intrik seputar hubungan sesama rekan kerja di kantor.
Angkringan Lik Yanto IOM
Sang bakul, adalah Lik Yanto, Pria berbadan gempal, kumis tipis yang selalu mengenakan kemeja di outlet angkringannya. Dari caranya berpakaian yang selalu mengenakan kemeja, seakan-akan mencerminkan bagaimana Lik Yanto begitu mencintai profesinya sebagai bakul angkringan. Melayani para konsumennya yang datang dengan racikan khas wedang Jahe gula Jawa, atau teh dekok gula batu. Wedang Jahe pun diracik dengan dibakar terlebih dulu, lalu dikupas sampai bersih, baru diracik dalam segelas wedang.Lik Yanto adalah tipikal orang yang tak banyak omong, bahkan jarang tertawa lebar, kecuali ia akan menyambung pembicaraan tentang hal-hal umum keseharian seperti minyak tanah yang lenyap atau sepakbola.
Angkringan Pak Yanto menempel di sebelah kantor IOM. Dulunya, angkringan ini hanya meliputi tiga kursi panjang dengan daya kekuatan 3 cerek teko, kini semenjak berdiri kantor IOM yang penuh dengan hilir mudik relawan, ankringan LIk Yanto harus menambah kapasitas menjadi sekitar 6 buah cerek teko, 2 buah tungku arang yang dipersiapkan khusus untuk pembakaran apapun dari menu yang tersedia. Untuk tempat duduk ditambah dua unit kursi dengan bangku lebar.
Sebenarnya ada 2 awak angkringan yang me-nangkring di areal Gelanggang UGM. Tetapi kedua bakul nya berasal dari tempat yang sama, yakni Klaten (konon kebanyakan bakul angkringan berasal dari Klaten) dan disuplai dari tempat yang sama; gorengan, sate usus, bacem cakar sampai kerupuk jamur (disuplai oleh ‘Mungil’ soerang mantan aktivis gelanggang).
Satu awak angkringan, terletak dekat pintu masuk sebelah Utara Gelanggang UGM dimana kebanyakan yang berkumpul di
Lik Sugeng menghafali betul satu persatu nama dan wajah pelanggannya. Apalagi di Gelanggang UGM banyak bercokol wajah-wajah lama, yakni para mahasiswa yang muasalnya dan ‘takdirnya’ sudah tak kentara lagi, masih hilir mudik berkunjung di angkringan Lik Sugeng. Sebenarya tak ada menu khas dari Angkringan Lik Sugeng, kecuali ada tambahan mie rebus saja. Tetapi koloni di situ sangat kondusif untuk pembicaraan-pembicaraan ‘idelis’, diskursus, diskusi dan menyusun gerakan. Karenanya Angkringan Lik Sugeng setia melayani sampai dini hari, bahkan terkadang sampai lewat shubuh.
Bagi mahasiswa-mahasiswa di
Berbeda dengan angkringan yang lain yang kemunculannya alamiah, Angkringan Umar Kayam dibuka oleh pengelola yayasan Umar Kayam. Bakul Angkringannya juga merangkap penjaga kantor yayasan itu, sehingga kini kalau pas ada kegiatan apapun di tempat itu, angkringan selalu menjadi menu utama. DI Angkringan ini penyajiannya dikemas lebih modern dengan tempat yang dipasang ‘hot spot’, sebuah gitar, kotak catur dan televisi. Pengunjung bisa bercokol dan berkerumun dimana saja, di sekitar areal yayasan umar kayam.
Kebanyakan orang-orang yang datang kesana adalah anak-anak muda dari kalangan Fakultas Sastra, komunitas Blogger, atau komunitas tertentu yang ingin mencari tempat untuk Rapat. Tempatnya memang agak tertutup sehingga tak banyak orang di luar komunitas itu yang datang mengunjunginya.
Angkringan ini belum genap satu tahun ‘nangkring’ di depan toko Trekkers. Toko Trekkers sendiri adalah sebuah toko sepatu dan alat alat pendakian yang dimiliki oleh Ferry, seseorang aktivis LSM, aktivis lingkungan yang sekarang tengah getol turut mengkampanyakan gerakan bersepeda ke kantor (B2W). Angkringan Trekkers melengkapi dirinya dengan ‘hot spot’ dan beberapa alternatif tempat duduk dengan meja meja kecil. Karena latar belakang pengelolanya sendiri yang memiliki jaringan di lingkaran LSM Lingkungan, maka kebanyakan yang datang disana adalah para aktvisis-aktivis Lingkungan. Penjualnya sendiri salah satunya adalah Mbak Dina yang kalau siang hari masih aktif bekerja di sebuah kantor yayasan. Kini, angkringan itu juga menjadi ajang pertemuan diantara rekan-rekan aktivis lingkungan.
Angkringan kang Sulis ‘Lingkar’ adalah angkringan yang terletak di seberang kantor Lingkar (sebuah LSM yang baru 2 tahun berdiri pasca gempa 29 Mei 2006). Angkringan ini dimiliki oleh kang Sulis, pra gempal berkacamata asli Muntilan. Angkringan ini berdiri persis di tengah-tengah kampung Banteng Baru yang umumnya lebih banyak rumah-rumah dari pendatang daripada penduduk asli dari