23 Jun 2011

Learning by doing#1:edisi memasak

Learning by doing alias belajar melaui praktek langsung. Tapi jangan praktekkan ini bila anda seorang dokter atau praktek pengobatan karena bisa-bisa anda akan kena mal praktek.

Pelajaran memasak pertama adalah telur dadar cantik. Disebut telur dadar cantik karena bentuknya yang bulat, pipih dengan warna kuning cerah dan tak ada lubang sedikiten. Sebenarnya membuat telur cantik ini adalah gampang kalau kita punya wajan teflon anti lengket. Telur tinggal dikocok dengan sedikit garam lantas dituang pelan pelan sambil wajan digoyang pelan dari tengah sampai ke tepi. Tinggal tunggu beberapa menit api sedang, lantas kalau anda mau coba atraksi melempar telur ke udara mirip master chief tinggal disentakkan ke atas sampai terbalik ke udara dan… pluk! Kalau anda beruntung sang telur akan kembali ke posisi semula pada permukaan yang lain alias side B, tapi kalau tidak beruntung paling-paling telur cantik jatuh tertelungkup tanpa bentuk. Tentu saja lebih sulit membuatnya dengan wajan biasa. Wajan harus benar-benar berlumur minyak tipis. Lebih bagus lagi justru wajan yang belum dicuci untuk menhindari si telur cantik lengket di muka wajan dan jadilah telur bopeng-bopeng. Si telur cantik biasanya jadi menu breakfast alias sarapan kilat atau sekedar lauk pengganjal perut pada malam hari.

 

Tabel 1.1 Absensi kehadiran Bawang Merah & Bawang Putih

  Bawang Merah Bawang Putih
Sayur Sup nihil hadir
Goreng Telur, tempe atau tahu nihil hadir
Lalapan nihil hadir
Tumis/oseng-oseng hadir hadir
Nasi Goreng kadang hadir kadang tidak hadir
Sambal kadang hadir kadang tidak hadir
Dongeng Bawang Merah & Bawang Putih hadir hadir
  = sering bolos = selalu hadir

Aneka Soup

Bosan dengan lauk yang terlalu sederhana mulailah kucoba membuat soup. Bumbunya aku perkirakan sama saja yakni duet dua bersaudara si bawang merah dan si bawah putih lantas digerus halus bersama garam, merica dan kadangkala sedikit aku kasih  kunyit dan lombok. Semua bumbu aku goreng sampai keluar aroma dan lantas kuguyur dengan dua atau tiga gelas air hingga mendidih.

Tinggallah para sayur mayur siap jadi korban mutilasi pisau dapur; kubis, wortel, tomat, sledri terkadang dengan ektrim kutambahkan daun mangga muda, daun katu ataupun segala macam daun yang berwarna hijau yang rasanya tidak pahit dan tidak menimbulkan sakit perut.  Satu demi satu, sayur yang telah kumutilasi dan wortel yang kukuliti dan kupotong kecil-kecil kucampakkan dalam wajan sup yang telah mendidih. Wajan! Ya karena peralatan dapur hanyalah kompor, pisau dan wajan. Menggoreng lauk memakai wajan. Membuat sup juga memakai wajan, dsb. Maka wajan adalah alat masak praktis dari A sampai Z. Beberapa menit sup telah siap. Karena aku tidak suka pada Monosodium Glutamate yang membuat kepalaku pusing setelah memakannya, kutambahkan saja sedikit gula. Kalau sedikit berduit, kumasukkan potongan cakar ayam atau sayap ayam sebagai ganti kaldu. Eksperimen dengan sup hanyalah dengan menambahkan potongan tahu yang digoreng, atau potongan tempe. Selebihnya aku sudah tak kuasa menahan derita lapar daripada terlalu khusuk menambahi menu.

Food and Gathering Lalapan

Aneka lalap adalah menu paling sederhana tetapi juga paling memprihatinkan. Paling sederhana karena aneka daun, apapun bentuknya yang berwarna hijau yang berasa pahit ataupun manis yang didapatkan disepetak kecil belakang rumah atau dengan diam-diam mengendap-endap memetiki daun di pekarangan tetangga pada malam hari, adalah tinggal direbus dengan sedikit garam dan tumbukan si bawang putih tanpa melibatkan saudaranya si bawang merah. Jika sedikit ber-uang, lalapan ini bisa dipadu dengan tempe goreng atau sambal.

Maka aneka lalapan ini adalah semacam evolusi manusia purba dalam caranya survival of the fittest  alias bertahan hidup melalui food and gathering alias berburu dan meramu. Berburu bagiku adalah bagaimana aku mendapatkan daun-daunan bahan lalapan tersebut dari sepetak kecil tanah baik itu pekarangan sendiri ataupun orang lain. Sedangkan meramu adalah meramu hasil perburuan tersebut dalam wajan ajaibku bersama sedikit garam dan bawang putih.

Nasi Goreng

Menurut survey yang perlu diragukan keberaadaanya, tiap anak kos, ataupun homo sapiens yang hidup mandiri dengan cara masak nasinya sendiri, nasi goreng adalah menu sarapan pagi ratting ter tinggi. Ini karena nasi goreng sebenarnyalah adalah ide kereatif bagaimana memanfaatkan sisa nasi yang masih belum habis dan hampir basi untuk bisa tertelan jadi sarapan. Maka nasi gorengkupun tercipta dari wajan ajaibku dengan memasukkan nasi hampir atau sudah basi, garam, lombok, kecap dan lagi-lagi duet dua bersaudara si bawang merah & si bawang putih yang hanya akur di dunia bumbu-bumbuan. Maka nasi goreng jadi menu spesial bila dihadiri sebutir telur.

Nasi sudah jadi Bubur

Nasi sudah jadi bubur artinya tak bisa dikembalikan lagi jadi nasi. Tapi bubur membuatku lekas kenyang dan rasa gurih dan gumpalan dari santan adalah rasa yang membuat bubur ‘kalau kepepet’ jadi menu utama tanpa tambahan lauk pauk. Apalagi dengan segenggam beras saja maka terciptalah dua piring penuh bubur.  Walhasil perut lekas kenyang meskipun resikonya pencernaan dan cacing-cacing di perutku lebih mudah menyerap hingga mengakibatkan alarm rasa lapar akan berbunyi 3 jam lebih cepat dari biasanya. Maka bubur adalah menu emergency respon bila logistik beras di dapur sudah menunjukkan level memprihatinkan alias stok tipis. Asal darurat mengisi perut lapar selanjutnya bisa difikirkan setelah kenyang!

Tumis alias Oseng

Tumis alias oseng adalah ketika potongan tempe, tahu, sayur ataupun segala bentuk remah-remah yang lain beradu dalam wajan ajaibku bersama sedikit minyak, garam, si kembar bawang merah- bawang putih dan sedikit kecap. Jika lagi mujur meskipun frekuensinya 1 banding 30 hari sekali di peraduan bisa bergabung beberapa potong jamur, telur atau potongan ayam. Tumis ini cukup membutuhkan waktu 15 menit untuk siap disantap, sehingga acap jadi menu favorit untuk malam.

Kalau fieasta punya slogan rasa adalah segalanya maka bagiku punya slogan kenyang adalah segalanya. Jika kepepet tak perlu punya pengalaman untuk masak. Asal ada garam dari laut, gula dari ladang dan si kembar bawang merah bawang putih bertemu di wajan ajaibku, jadilah mereka hidangan istimewa.

22 Jun 2011

Pauline

pauline Ada banyak cerita bersama Pauline. Dari yang paling sweet, sampai saat paling apes telah kami lalui bersama. Dari mulai pertama kali aku mengenalnya, bersamanya, sampai saat terakhir aku harus merelakan kepergiannya. Sampai saat terakhirnya, kuhempaskan begitu saja Pauline yang tak berdaya di pojok ruangan. Tapi baru kusadari kini begitu banyak kenangan bersama Pauline yang sepertinya tak bakal terulang lagi.

Dulu, hampir saban siang, di hari gerah dengan sinar matahari yang melucuti keringat di muka setetes demi setetes, ataupun di saat hujan yang lebat dan membuat kami berdua harus berbasah-basah, telah terbukti kesetiaan Pauline padaku. Lalu, seperti kebisaanku dulu, kami sering pergi malam-malam, meluncur di permukaan aspal kota atau ke pinggiran-pinggiran kota yang sepi ditemani cahaya lampu, bintang-bintang dan orang-orang yang terkena insomnia.

Body Pauline yang ramping memebuatnya terlihat sexy dengan lekuk liku dan perawakan kemerah-merahan sangat pas denganku yang berperawakan kecil. Tiap kali kami melintas di keramaian dari kejauhan orang-orang sudah melirik ke arah kami. Tapi lambat laun aku mulai terbiasa seperti halnya Pauline yang cuek saja.

Kadangkala kami juga jalan bertiga, Aku Pauline dan temen cewek. Dalam kondisi seperti itu aku sangat was-was. Bukan was-was pada Pauline tetapi pada temen cewek yang kuajak tersebut. Kekhawatiranku karena tak banyak yang bisa cocok bersama Pauline. Sudah selusin lebih perempuan bahkan laki-laki yang hengkang, mengolok oloki aku dan Pauline. Tak jarang ada yang menunjukkan sikap risih saat aku bersama Pauline. Meskipun ada yang tahu beberapa teman melakukannya dengan bercanda, tapi tak apalah kumaklumkan mereka. Dalam hati kukatakan ‘kalian tak mengerti betapa berharganya Pauline’ melebihi yang sebelum-sebelumnya………..

--------

Medio 2002 – Kebersamaanku dengan Tessy

Ia bukan seorang banci meski namanya Tessy. Sebenarnya ia punya kembaran bernama Tessa. Jadi ada Tessa dan Tessy meski tahun lahirnya sama.  Perawakan keduanya hitam dan dengan suara nyaring menggelegar. Suatu hari si Tessy sakit sampai akhirnya harus dioperasi yang membuat beberapa bagian organ Tessa direlakan untuk Tessy. Maka tinggallah Tessy yang kemudian menemaniku dari mulai medio 2002. Tessy bersamaku saat aku masih bekerja di majalah BLANK! Magazine. Karena hubunganku dengan Tessy membuatku langsung terkenal di antara lingkungan kerjaku yang baru. Alex dan Tessy!

“Alex datang!”

Kantor Blank Magazine berjarak 30 depa dari jalan Bantul. Berkelok masuk memasuki gang sempit dan pasar yang surut menjelang siang. Maka aku dan Tessy datang dengan tergopoh gopok memasuki gang-gang itu. Suara Tessy yang bergetar nyaring memantul mantul diantara dinding-dinding bangunan gang dan memerosok masuk ke ruangan head quarter  Petakumpet dan Blank! Magazine! Kemudian di dinding-dinding ruangan dipantulkan lagi oleh lusinan pot pot bunga, tembok bercoret grafiti, jajaran meja, kursi layar monitor lantas masuk ke gendang telinga sigit lele, simbah, jody, arif budiman,  iis, zaini, ratna, sonia, itok dll. Bahkan terlampau menggelegarnya, Itok sebagai board manajer petakumpet yang tengah memimpin rapat mulai terganggu oleh suara ini yang kemudian mengeluarkan policy  khusus buat kantor “Bagi alex dan motornya Tessy  diharap mematikan mesin dulu 300 meter sebelum masuk area parkir kantor!”

Sebenarnya Tessy adalah jenis motor Binter Joy keluaran 80 dengan type 4 langkah. Artinya Tessy bisa melaju lebih irit tanpa polusi asap dan bersuara lebih halus daripada type 2 langkah yang banyak membutuhkan oli. Namun karena kejadian luar biasa saat Tesy dipaksa naik menanjak ke jalan bukit dekat Wonosari, semenjak itulah Tessy berubah wujud menjadi mesin 2 langkah yang bersuara laksana mesin gergaji dan berasap seperti mesin penyemprot nyamuk dari kampung ke kampung . Lebih drastis lagi, gigi 4 kecepatan Tessy lambat laun rontok dan hanya memiliki 2 kecepatan saja; normal atau melaju.

Korban berikutnya adalah Sonia, meski lebih tepatnya kusebut korban yang menikmati. Sonia, rekan kantorku di Blank Magazine yang berasal dari Malang adalah tipe perempuan yang ceplas ceplos. Beberapa kali kubonceng dengan Tessy Sonia lambat laun menikmatinya sebagai kendaraaan plus-plus; plus alat pijat dan plus mandi lulur uap oli. Sonialah yang memberi Tessy gelar baru sebagai vibrator.

 

Tak kuingat pasti kapan karir Tesy berakhir menjadi barang antik dan teronggok pula bersama saudara kembarnya Tessa.

Suzuki Jet Coulet legenda Summerbee

Aku tak pernah memberinya nama meski kenanganku bersama motorku kali ini lumayan banyak. Aku membelinya 2 juta saja pertengahan tahun 2003. Saat itu bensin masih seharga seribu perak dan motor ini kubeli dari bekas motor balapan sehingga bodynya sudah tak lengkap dan mesin termodifikasi. Paling parah bagian karburator adalah hasil hibrida milik karburator RX king sehiggga lajunya tambah kencang seiring juga dengan bensinya yang boros. Bagian gigi telah dimodifikasi pula sehingga walau bebek tapi punya presneleng khas motor sport.

Sebermula aku membelinya dengan surat-surat komplit sampai suatu ketika aku menabrak pantat mobil yang menyeretku untuk menanggung ganti rugi. Karena ganti rugi tak bisa kulinasi, akhirnya STNK tetap tertahan pemilik mobil, bahkan mungkin sampai sekarangpun STNK masih berada di sana. ‘Somewhere out there”

Suzuki Jet Coulet pernah mencelakai mas Rizki yang kini dikenal sebagai Rizky Summerbee. Suatu malam sekitar jam 1, di kantor LSM hijau, mas rizky meminjam motorku. Sampai di depan pagar dia menyalakan motor tersebut, namun tak disangka sang justru menyala dan langsung mengangkat gas tinggi. Suara motor semakin tinggi dan mengerang keras tetapi nampaknya setelan gas tak dapat membalik. Orang-orang kampung yang tengah meronda dan beberapa tietangga sekitar langsung berhamburan dan mengerumuti mas Rizky.  Beberapa saat karena kegugupan kami dan wajah orang-orang yang memerah barulah kami bisa mengatasi motor tersebut. Jalan satu-satunya dengan mencabut kabel busi.

Mas Rizky minta maaf ke orang-orang dan dengan terbata-bata menjelaskan betapa apesnya motor tersebut tak bisa dikembalikan gasnya.

Keapesan Rizky berlanjut lagi selang sehari kemudian. Di tengah jalan motorku yang dipinjamnya tiba-tiba mogok. Dikira kehabisan bensin lepas diisi bensin motor tetap saja mogok, bahkan lebih tragis lagi karburator Hibrida RX King tersebut tiba-tiba meloncat dari tempat bertenggernya. “Mak Pluk”

“Mak Pluk, Lex”, telepon Rizky ke HP, dengan panduan lewat HP kujelaskan bahwa hal itu sangat lumrah dibandingkan tiba-tiba copot rodanya.

“Ya dipasang lagi mas”

Memang, motorpun bisa melaju lagi dengan kesimpulan di dalam hati Mas Rizky untuk kapok tak akan meminjam lagi kalau tidak benar-benar kepepet.

Si Suzuki memang hebat di jalan, tentunya saat ia masih beraksi sebagai tunggangan untuk lomba balapan motor. Tapi selepasnya konon si empunya memang menjualnya dengan harga murah selepas si motor membuatnya jatuh. Selepas itu mitos pun terbukti kalau motor itu bikin apes saja. Nasibnya kini bisa dijumpai di lorong bengkel pula bersama pendahulunya Tessa dan Tessi.

 

Ketemu Pauline

Ketemu Pauline bukan mimpi. Sebenarnya Pauline benar-benar ada. Ia adalah temanya temanku dari perancis yang kemudian menjadi temanku pula. Rambutnya blonda dan hidungnya mancung 2 kali lipat dari hidungku. Matanya biru dan kesimpulan terakhirnya Pauline adalah perempuan cantik. Dia menguasai 4 bahasa; Prancis, Inggris, sedikit arab, dan Bahasa Indonesia tentunya. Barangkali lebih dari 4 karena kesukaanya pada jurnalistik dan petualangan. Petualangannya mengalahkan bolang, dari belantara Eropa, Palestina, sampai pulau-pulau di Indonesia. Maka pertemuanku dengan Pauline adalah di Yogyakarta. Pauline lah yang membukakan mata bahwa belajar bahasa Inggris Cas Cis Cus dengan modal keberanian adalah lebih penting dari pada ikut kursus yang mahal-mahal.

Tahun 2007 Pauline tinggal lama di Indonesia. Ia menikmati beasiswa setahun dan kesenangannya pada hobinya yang banyak, terbentang antara fotografi, jalan-jalan, tulis menulis, petualangan, membaca buku dan lain-lain. Untuk mempermudah wara wiri dia di sekujur tubuh jogja, akhirnya Pauline membeli Pauline. Ya, Pauline adalah tinggalan Pauline, sebuah kendaraan yamaha bebek keluaran tahun 76 an. Warnanya merah lengkap dengan bercak-bercak besi berkarat karena usia Pauline yang sudah berjarak puluhan tahun dengan usia kami.

Pauline dibeli pauline dengan harga 800 ribu lengkap dengan surat-surat dan bonus berupa helm butut dan jas hujan. Pauline juga baru belajar nyetir motor meski kelihaiannya mengendarai mobil dan naik sepeda sudah tak diragukan lagi. Maka pengalaman Pauline mengendarai pauline adalah pengalaman pertama mencengangkan yang membuatnya hampir terperosok di got.

Sewaktu Pauline pulang kembali ke negaranya di perancis, maka diwariskanlah Pauline padaku.

“Ku kan selalu menjaganya” kataku

Pauline terhitung tangguh di usianya. Kuajak ke rute-rute yang jauh sampai ke luar kota. Meskipun bila panas mesin mencapai titik jenuh dengan ditandai aroma oli yang menyeruak, Pauline kemudian ngambeg dan dan berangsur mati. Tapi Ia dapat melaju lagi setelah istirahat sebentar. Rumusnya sangat gampang, bensin dicampur sedikit oli, dan oli mesin diganti 2 bulan sekali sudah cukup membuatnya trengginas.

Tombol Bel Jarak Jauh

Aku pernah punya teman. Kedekatan kami juga karena nama tengah kami yang sama. Kenangan aku dan teman dekatku itu dan Pauline adalah karena Pauline ini rupa-rupanya adalah motor ajaib. Teman dekatku membuktikan keajaiban itu berkali-kali sampai aku percaya Pauline memang motor yang aneh. Keajaibannya karena suara motor Pauline yang melengking, bertalu-talu punya frekuensi yang bisa memicu bel yang di pasang dipagar kos-kosan teman dekatku itu. Maka belum sampai aku dan pauline masuk pagar dan menghentikan masin, bel pagar itu otomatis berbunyi.

------

Sebetulnya enggan aku selingkuh dengan motor lain kalau tidak karena karena dipaksa oper kredit motor dari Kakakku. Pauline kini masih dengan setia menunggu sampai penuh debu di lorong ruangan. Terima kasih Pauline. Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi ya…..

20 Jun 2011

Cacing

cacing lumbricus
Saya sangat jijik dengan cacing. Binatang lunak tak bertulang tak bermata tak berkaki yang berjalan dengan menjulur julurkan  permukaan tubuhnya yang berlindir ini membuat saya bergidik. Apalagi bila tak sengaja menyetuhnya atau bahkan menginjaknya di atas tanah. Kalau tidak salah, bila semalaman sehabis gerimis, atau cuaca mendung, maka cacing-cacing tanah ini akan keluar di pagi harinya. Puluhan bahkan mungkin ribuan, meninggalkan jejak mirip jalur-jalur rambut di atas permukaan tanah. Barangkali semalam mereka berpesta, musim kawin atau mungkin sekedar pengap karena konon bila cuaca di langit berupa mendung, permukaan tanah sebaliknya, akan terasa panas. Jadio secara hukum fisika, para koloni cacing tanah merasa gerah, terus menyembul keluar mencari udara segar. Bila mereka kurang beruntung, pulang kesiangan, telat masuk kembali ke tanah atau salah jalur karena masuk pekarangan manusia, sang cacing akan terancam mati, disapu oleh  ibu-ibu yang sudah sibuk menyapu di pagi hari, atau di jahilin anak-anak dengan ditaburi garam. Sang cacing akan menggeliat-geliat, tubuhnya memar, memerah, lantas mati.
Kejijikan saya pada cacing juga muncul kala membayangkan para pemancing yang memasang umpan berupa cacing yang masih hidup pada mata kail. Konon, cacing yang masih fresh alias masih hidup lebih diminati sang ikan daripada cacing yang sudah loyo atau wafat. Maka sang cacing jadi bulan-bulanan para pemancing, ditaruh dalam kaleng atau kantung plastik berikut segumpal tanah, lantas diambil pelan-pelan. Si cacing meregang seperti tak rela, beberapa kawannya yang menunggu giliran lantas menggelesot mencoba masuk lebih dalam pada segumpal tanah tersebut. Pelan tapi pasti, dimulai dari ujung kepala, di cacing dimasukkan pada mata kail sampai seluruh mata kail tertutupi  tubuh cacing yang mencoba meronta, tapi tak berdaya. Lantas yang tersisa tinggal sedikit ujung ekor cacing yang bergerak-gerak dan inilah yang jadi penarik luar biasa seperti tangan yang melambai-lambai ‘ayo-ayo makan aku’ bagi gerombolan ikan-ikan yang matanya selalu melotot tak pernah tidur. Dan….. hap…. saat mata kail tertangkap mulut ikan, maka berakhir sudah penderitaan  si cacing. Jadi barangkali berkat doa si cacing pesakitan itulah ‘tuhan, akhirilah penderitaanku, segeralah aku dimakan ikan-ikan itu’, sehingga pemancing bisa segera mendapat ikan.
-----
Sebermula hanya satu tempat saja yang kudatangi. Pertama di lokasi Pak Tarmin yang letaknya 12 kilo ke selatan arah batu jamus dari kota Sragen. Peternakan cacing pak tarmin  berupa petak-petak bak yang diletakkan di bawah kandang ayam. Saat melongok kesana cacing-cacing jenis lumbricus rubellus itu tengah menyembul keluar. Rupa-rupanya hawa gerimis dan udara lembab menyebabkan cacing-cacing tersebut pada keluar. Menurut peternaknya, cacing-cacing ini memang suka mengikuti aliran air, bahkan ada dari cacing-cacing tersebut yang naik ke atap kandang karena ada tetesan air dari atap. Ada ribuan bahkan mungkin ribuan cacing yang bergerombol di bak-bak tersebut, saling menggelesot di antara gundukan kotoran sapi yang becek dan sisa-sisa jerami. Tubuh saya langsung bergidik, kaku dan air liur saya langsung mengering drastis. Kalau tidak karena tugas lapangan untuk peliputan budidaya cacing lumbricus rubellus, saya pilih segera ngacir saja dari tempat tersebut.
Pelajaran pertama dari pak tarmin saya dapat ternyata cacing cacing tersebut bisa menghasilkan puluhan ton bahan pupuk organik atau yang disebut kascing setiap hari. Kalau satu kilo cacing saja menghabiskan 1 kilo kotoran ternak sehari semalam, maka bisa terbayangkan puluhan ton cacing yang sudah diternakkan pak tarmin demi menghasilkan puluhan ton pupuk organik. Maka daripada jatuh ke tangan para pemancing, cacing-cacing di tempat Pak Tarmin diberlakukan jauh lebih beradab; disuruh makan kotoran sapi tiap hari dan dibiarkan beranak pinak jadi banyak. Semakin banyak cacing berarti semakin banyak kascing dihasilkan berarti pula semakin banyak pupuk dihasilkan jadi uang. Sebuah simbiosis mutualisme antara Pak Tarmin dan para koloni cacing lumbricus rubellus.
Pelajaran kedua, para cacing ternyata mempunyai banyak enzim penting yang bisa digunakan untuk pengobatan. Dari ngobrol santai saya dengan pak sapto, seorang penulis buku mengenai cacing, di dalam tubuh cacing dari penelitian punya banyak enzym yang penting untuk pencernaan. Bukan diragukan lagi cacing banyak digunakan untuk penyakit typus, darah tinggi dan ganguan pencernaan lainnya. Bahkan ada yang digunakan untuk bahan kosmetik. Pak sapto juga mempunyai kelompok peternak cacing di daerah bantul yang menternakkan cacing jenis perrytima. Cacing-cacing tersebut, diletakkan dalam rak-rak, dan deberi media bekas  baglog jamur. Konon menurut pak Sapto, cacing paling demen juga dengan potongan batang pisang. Meski cacing tak punya gigi, tapi lihat saja, dalam beberapa hari potongan batang pisang tersebut sudah berubah jadi remah-remah tanah. Jadi  cacing pun tak perlu unjuk gigi.
Pelajaran terakhir, saya dapat dari televisi. Ada tayangan reality show mengenai kehidupan merana seorang pencari cacing. Saya lupa siapa tokohnya, tapi si tokoh yang punya seorang bini dan tiga orang anak ini saban hari pekerjaan utamanya mencari cacing. Si tokoh berburu cacing dari sekujur pematang kali ciliwung, memerosok ke got-got, tumpukan sampah becek sampak ke kandang-kandang sapi. Dikisahkan, entah di dramatisir entah tidak, si tokoh berangkat dengan sepedanya yang berderak-derak dan selalu bermasalah dengan rantai dan pedalnya yang hampir putus, bak penuh tambalan, tanpa rem dengan menenteng ember kecil. Maka si tokoh harus mengayuh sepeda itu pelan-pelan sambil memasangkan sepasang sandal jepitnya pada bagian  sandal untuk menggendalikan laju sepeda agar tidak menabrak penjual sayur. Si tokoh rupa-rupanya sudah menyatu dengan lingkungan profesinya, sehingga dengan gesitnya memasukkkan tangan, mengkorek-korek sampah, bahkan tercebur ke dalam kubangan kotoran sapi.  Ia sudah bisa mendeteksi lokasi-lokasi mana saja yang biasa jadi ajang cacing berkoloni. Digambarkan bagamimana si tokoh kena apes lagi saat rantai sepeda yang dikendarainya putus. Mau tak mau harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Lantas 2 orang anaknya pulang sepulang sekolah juga ikut membantu mengumpulkan cacing. cacing-cacing tersebut ia taruh dalam plastik minuman dan dijual 1.500 per kemasan di toko ikan hias dan pancing. Sehari ia bisa mengumpulkan 15 ribu rupiah saja. Lantas digambarkan pula dalam rumah petak kecil, berdesakan anak pinak si tokoh, bini dan 3 orang anak makan nasi bungkus dari hasil menjual cacing.2 orang anaknya yang gemuk-gemuk yang sudah sekolah di SD mengaku sering diejek temannnya karena profesi ayahnya sebagai pencari cacing. Tapi kelihatannya mereka cukup bahagia. Saya hanya membayangkan bagaimana anak pinak itu hanya hidup dari mengumpulkan cacing? Di akhir kisah, konon si tokoh mendapat bantuan untuk menternakkan cacing, jadi harapannya si tokoh sudah tak susah-susah lagi berburu cacing dan bisa mempensiunkan sepeda kendaraan satu-satunya yang sudah megap-megap berbau barang rosokkan. Amiiin