Temanku dari Polandia begitu membenci ‘tahu’, makanan khas Indonesia yang terbuat dari kedelai putih yang berasa kenyal dan diolah dalam berbagai aneka. Tahu memang fleksibel, dari sekedar direbus, digoreng dengan sedikit bumbu garam, dipotong kecil-kecil dan dimasukkan dalam aneka olahan. Aneka olahan itupun banyak variasinya, dari yang menaruh ‘tahu’ sebagai unsur pokok' sampai dengan tahu hanya sebagai unsur komplementer. Nah, tahu sebagai unsur pokok ada tahu tek, tahu isi, tahu kupat, tahu guling, tahu sumedang dan sebagainya. Sedangkan unsur komplementer lagi, dari mulai gado-gado, dicampur dalam soto, sup, tahu isi, dicampur dalam mpek-mpek, tahu isi, lontong tahu, sampai dengan dijadikan kerupuk Tahu. Maka karena fleksibelitas Tahu ini, temanku dari Polandia menjadi tersiksa, berhati-hati untuk meneliti lebih dulu tiap kali masuk ke warung makan.
“Tahu….. I hate Tahu’, katanya, sambil melihat pada warung ‘Tahu Tek’ asli Surabaya.
Temanku yang membenci tahu itu sebenarnya bukan orang yang rewel terhadap makanan. Sebagai orang rumpun eropa, ia sanggup makan apa saja, bahkan mungkin kalau aku bohongi bahwa ‘daun ketepeng’ bisa dimakan, iapun akan mencobanya. Tapi untuk tahu, ‘now way’, katanya. Si tahu harus rela disingingkarkan ke keluar dari mangkuk soto yang sudah terlanjur bercampur tahu.
‘Di pasar dekat tempatku ada sate tahu lho… enak sekali, yang jual mbok-mbok pasar’, Sekali aku menggodanya, menawarkan hal lain, hal fantastik tentang tahu. Tapi dia hanya berkenyit dan melanjutkan menyantap sotonya sampai kuah terakhir. Soto memang makanan favoritnya, tapi tentu saja minus potongan tahu.
****
Kunjungan kami ke Palangka beberapa waktu lalu setengah berkarya setengah jalan-jalan. Di Palangkaraya, tepatnya di sebelum daerah Tangkiling, sebelum Sampit, di areal transmigran yang penuh dengan kebun-kebun kelapa sawit, disanalah kami menemu ‘Agus Tahu’. Sebermula kami ingin mengorek keterangan tentang para Transmigran yang memilih menyerah hidup di daerah transmigran, lantas menjual lahanya dengan murah dan pulang lagi ke kampung halamannya yang kebanyakan dari Jawa.
Pak Agus Tahu juga membeli rumahnya yang kini telah disulap menjadi ‘home industri’ pembuatan Tahu dari seorang keluarga transmigran yang pulang kampung. Konon dibelinya rumah dan tanah itu dengan harga yang murah meriah. Sebuah rumah sederhana berpapan kayu seperti umumnya rumah-rumah transmigran lainnya dan areal perkebunan seluas 1 hektar. Toh Pak Agus Tahu hanya memerlukan rumah itu untuk tempat produksinya yang terhitung lumayan jauh dari pusat kota Palangkaraya, hampir 1 jam perjalanan. Tetapi kini semenjak 4 tahun membanting tahu (baca: membanting tulang), Pak Agus tahu sudah mempekerjakan 2 orang, memiliki 3 buah sumur buat menananak tahu dengan kapasitas banyak, memiliki mesin giling kedelai dan tungku penanak kedelai. Untuk distribusi tahu-tahunya Pak Agus Tahu kini tak perlu repot lagi karena para konsumennya yang akan berdatangan ke rumah produksinya dan dibantu sebuah mobil pick up miliknya yang siap mendistribusikan tahu ke seluruh pelosok tangkiling sampai Palangkaraya.
Pak Agus tahu berasal dari Purwokerto, tetapi sebelumnya ia tinggal bersama ayahnya yang merantau bertahun-tahun di Makasar dan membuka pabrik tahu di kota tersebut. Ayahnya sendiri Konon karena suatu hal, Pak Agus memilih pindah dari Makasar bersama Istri dan seorang anaknya merantau ke Palangkaraya ini. Adik pak Agus tahu juga merantau ke Surabaya, membuka pabrik Tahu juga. Sepertinya unik kalau mencatat risalah penyebaran keluarga dinasti produsen tahu ini. Sayang, saya tidak bisa merunut lebih jauh lagi kisah pengalaman pak Agus tahu dan keluarganya.
****
Temanku dari Polandi itu manggut-manggut. Jepret sana jepret sini dari proses pembuatan tahu dalam ruangan agak sempit penuh dengan aroma ruap kedelai rebus yang memenuhi ruangan. Sambil kami ajak ngobrol, Pak Agus Tahu masih sibuk mengaduk adonan tahu, membuang air sisa limpasan tahu yang diendapkan, mengaduk adonan tahu dan bekerja dengan selang air. Ia bergerak dengan cekatan dengan setengah badan telanjang, celana kolor, tanpa sandal dan otot-otot tubuh basah karena uap air.
“Ini buat ghrook….ghrook…mister, gud..gud”kata Pak Agus Tahu, sambil menunjuk sisa limpasan air endapan tahu.
Maksud Pak agus tahu, air sisa endapan tahu itu biasanya diambil oleh orang-orang untuk minum ternak Babi. Temanku dari Polandia yang membenci Tahu itu makin manggut-manggut, tersenyum-senyum.
Tahu-tahu itu sebenarnya melalui proses yang sederhana dengan alat yang sederhana tidak seperti pembuatan tempe yang melalui proses ‘diinjak-injak’ dengan kaki. Adonan tahu juga dicetak dalam cetakan sederhana, dari kotak kayu dengan alas kain untuk menyaring sisa air. Keenam sumur pemasakan,
Tetapi temanku tetap tidak suka pada tahu. Apapun itu diolahnya meski dia sudah melihat proses pembuatan tahu yang cukup ‘menantang’. Walhasil kala pertemuan singkat dengan pak Agus Tahu, lantas ditawari menunggu sebentar sedang digorengkan tahu, maka tanpa basa-basi temanku yang tidak suka tahu itu mohon pamit.
“Saya sudah tahuuuu, munkin nanti mo coba tahu.. mungkin nanti…permisi”