Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

21 Jan 2024

Tak ada kebahagiaan menaiki kemewaran Rollercoaster ala ibu-ibu Tani di Food Estate!


 

"Hey, itu seperti ibuk!" katamu setengah berteriak!"

 Dan kami pun harus mengentikan laju motor kami setengah mendadak. Di depan kami tengah berjalan terseok sebuah mobil pick up yang penuh muatan. Kami tentu saja dapat dengan mudah menyalipnya, tinggal menunggu saat yang tepat ketika lajur kanan kami telah kosong, lantas dapat dengan mudah menghela gas dan menyalipnya. Tetapi sesekali ini kami ingin mengikuti mobil pick up ini.

Mobil pick up ini tengah berjalan terseok. Suara mesinnya benderam dengan asap knalpot yang sedikit menebal mendakan betapa ia tengah terengah-engah melaju antara menjaga kecepatan serta keseimbangan muatan yang lumayan diluar kondisi ideal. Di bak muatannya karung-karung serta tumpukan jerami yang menggunung melampaui volume biasanya. Diatasnya tentu saja yang membuat kami terpana adalah segerombolan perempuan-perempuan tani yang duduk bertengger di gundukan jerami itu. Mereka tidak seling berpegangan satu sama lain yang menandakan tak ada cemas sedikitpun bila tergelincir jatuh. Melainkan, tangan mereka memegang buntalan masing-masing. Ada yang membawa ceret minuman, sisa bekal, serta centang perentang lain yang entah apa isinya. Di kepala mereka masing-masing mengenakan caping yang sepertinya mampu mengusir hawa terik siang hari ini. 

Ini bukan di Magetan, tentu saja. Dan yang bertengger diatas gundukan jerami mobil bak itu tentunya bukan ibuk, meskipun ibuk hampir pasti tak pernah absen pergi ke sawah bersama perempuan perempuan lain di desa sana saat musim panen tiba.

Atau ingatkah kamu pada rombongan ibu-ibu bersepeda dengan membawa jerami hasil panen? Tentu bukan pula pertama kalinya kita melihatnya, tetapi tetap saja kita selalu selalu merasa takjub pada mereka.

Kamu menyebutnya Ibuk, meskipun sebenarnya ia adalah nenekmu, seorang perempuan paruh baya hampir menginjak kepala lima yang dahulu konon pernah bekerja di kota untuk kemudian kembali ke desa menemani mbah buyut Sami. Barangkali ibu adalah segelintir dari generasi terakhir ibu-ibu yang masih aktif menjadi buruh tani setiap musim tanam maupun panen padi desa sana.

======

Laju kendaraan kami masih mengikuti mobil pick up penuh muatan perempuan perempuan tani yang bertengger dan bercengkrama dengan gembira di atas tumpukan jerami itu. Mata kami tertuju pada wajah-wajah mereka serta mulut kami seakan ingin berbincang mengikuti percakapan mereka yang renyah di tengah terik matahari siang itu. 

"25ribu, 40 ribu, atau 50 ribu mungkin lebih. Hey, tapi bukankah kebagian tak terbeli?" Katamu sekali lagi.

Ya, di Magetan sana Ibuk pernah bilang padamu, sekali ikut matun (menanam padi), atau panen biasanya mendapat kira-kira 30 ribu. Saat panen, jika telaten, bisa juga membawa sisa-sisa hasil panen, seperti jerami untuk pakan ternak dan sisa-sisa gabah yang dapat dikumpulkan untuk dijadikan beras.

Tetapi apa yang lebih khidmat dan bahagia selain barisan perempuan-perempuan yang berjajar menelisik padi lalu memanen beriringan? Apa yang lebih syahdu selain alunan hempasan panenan padi serta meriah obrolan yang terlontar dari perempuan-perempuan petani itu? Apa yang lebih bijak selain saat tangan perempuan-perempuan itu bercengkrama dengan batang-batang padi yang tumbuh dari tanah ibu pertiwi? 

Juga betapa nikmatnya duduk bertengger di atas bak tumpukan jerami yang lebih menantang daripada menaiki rollercoaster tertinggi sekalipun di dunia ini?

"Aih, alangkah buruknya mesin-mesin itu?", katamu dengan sedikit nada getir.

Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu itu, tentunya. Mungkin banyak pertanyaan itu akan terjawab oleh waktu. Tetapi saat ini cukuplah kamu masih memiliki ibuk-mu yang masih memelihara "penghidupan" tani "seru" itu, Penghidupan tani yang tidak kesemuanya diukur dengan uang, atau hasil panen; atau kecepatan panen lewat mesin-mesin itu. 

Barangkali orang-orang akan digantikan mesin, tetapi juga barangkali romantisme itu juga akan digantikan hal lain.

20 Jan 2024

Suatu Pagi dengan Sepeda Mail

 

 
Kali ini aku mengajaknya berkeliling-keliling desa naik sepeda dengan sebuah sepeda tua yang sudah berkarat warisan simbah Buyut Sami. Sepeda itu konon salah satunya yang tersisa dari barang mewah yang dahulu jarang dimiliki gadis desa di masanya, Sepeda itu masih meninggalkan bekas cat aslinya berwarna kuning cerah di bagian body. Entah kenapa melihat sepeda ini ingatanku terbersit pada sepeda 'Mail' dalam serial upin dan upin. Mungkin karena saat pertama kali menjajalnya, usia 'Damai' masih terlalu kebesaran untuk mengendarainya, sehingga yang terlintas di benakku adalah adegan si Mail yang muncul dengan sepedanya yang kebesaran lengkap dengan suara khas epik "theng ..theng ..theng .. theng ...theng...".

Sekitar tahun 1970an, mbah buyut Sami, putri anak orang kaya dan terpandang di desa itu telah dipersunting oleh seorang pemuda yang menjadi pengusaha kerupuk. Konon usaha kerupuk pemuda itu dirintisnya dari sebuah usaha rumahan yang diproduksi sendiri serta dijajakan sendiri. Dengan berbekal sepeda dan rombong untuk menaruh kerupuk, pemuda itu menjajakan kerupuknya dari desa ke desa, dusun ke dusun, kampung ke kampung, warung ke warung serta rumah ke rumah. Usah itu telah melebar yang kemudian menakdirkannya bertemu dengan mbah buyut Sami. Saat ini di kampung halamannya sendiri masih tersisa beberapa rumah yang memproduksi kerupuk, tetapi tidak dengan bekas industri rumahan pemuda yang mempersunting mbah buyut Sami itu.

Saya tak mendapatkan cerita bagaimana kemudian pemudia yang mempersunting mbah Sami itu kemudian berhenti menjadi pengusaha dan penjaja kerupuk, tetapi konon katanya di sekelumit riwayat hidupnya yang kudengar dari anak-anakknya, pemuda yang tak lain simbah buyut kakung itu adalah pekerja keras. Pagi sampai menjelang petang tak berhenti menggarap lahan, memelihara kerbau serta di sela-sela waktu menyempatkan diri membuat batu-bata. Konon simbah buyut kakung tak banyak berucap, hampir keluruhan aktivitasnya adalah tindakan. Maka aku membayangkan dua pasangan itu bertemu; mbah buyut kakung dari latar belakang pekerja keras dengan mbah buyut Sami seorang putri terpandang dan kaya raya di sebuah desa kecil dekat perbatasan Ngawi-Magetan.

==================

Ayunan sepeda kami berhenti sebentar di jalan masuk ke Desa yang ditandai sebuah kuburan tanpa tembok pembatas. Sebuah pohon asam yang tua, mungkin seumuran dengan usia kuburan itu nampak menauingi hampir keseluruhan kuburuan itu. Dahulu anak dari mbah Samsini, anak dari mbah Buyut sami konon waktu kecilnya suka bermain di kuburan tua itu untuk mencari buah asam. Di kuburuan tua itulah kini mbah buyut kakung telah dimakamkan.

"Tak anehkan jika buah-buah asam itu dimakan?" tanyamu.

Hmm, barangkali kalau tau buah-buah asam itu berasal dari kuburan tua itu, ada yang tidak mau memakannya. Tetapi bukankah itu sudah menjadi tanah? 

Aku mencoba mengaburkannya bahwa ada banyak kuburan-kuburan tua itu selalu ditandai dengan pohon-pohon asam, ada juga pohon trembesi, beringin ataupun kamboja. Paling tidak kalau pohon asam, itu bisa bermanfaat buahnya, orang-orang apalagi anak-anak akan tak segan mengunjungi makam walau sekedar mencari buah-buah asam yang jatuh di antara nisan-nisan itu. Nisan yang salah satunya ada nama mbah buyut kakung. 

========

Kami mengayuh sepeda lagi, Ia masih dengan sepeda Mailnya. Matahari  berpendar makin meninggi sampai ke sekujur hamparan sawah dan pematang. Suara mesin diesel dan siebel (sebutan petani setempat untuk menyebut mesin pompa air dalam bertenaga listrik) mulai bersahutan mengisi sawah-sawah. Memang, sudah sejak lama saluran-saluran irigasi itu mengering, berganti dengan pengairan diesel. Kami melanjutkan mengayuh sepeda lagi menuju kembali ke rumah Mbah buyut Sami.


19 Agu 2023

Trees and the bees, please..

 

 


leave me the trees and the bees, please...

Ada banyak mimpiku dengan pohon. Satu pohon terngiang di kepalaku adalah pohon randu. Karena pohon itu adalah seperti salah satu pohon yang menjadi kosakata pertama di masa kanakku. Ingatan pertama kali dimana aku dilahirkan dan tinggal; sebuah pohon randu di tepian jalan Imogiri ti

mur yang di tahun-tahun itu jalan imogiri adalah sebuah jalan yang masih belum sempurna beraspal yang saban pagi dan sore masih dilalui pesepeda imogiri jogja, juga landscape sebuah masjid tua, sawah, dan kuburan tua jauh memencil. Tapi saat itu kuburan tua itu masih terlihat bebas, tegak lurus arah pandang, belum terhalang apapun. Maka ketika kau tepat berdiri di balik pohon randu itu, landscape sawah dan sepotong kuburan tua akan terbingkai seperti sebuah lukisan misterius.Konon katanya kakakku pernah melihat pocong yang kesiangan tengah duduk di atas kijing saat ia berdiri disamping pohon randu itu.
2014, pohon randu itu tak tersisa, bahkan sepanjang pinggir jalan imogiri itu seingatku dulu penuh dengan pohon randu. Kelopaknya berwarna oranye, lebar, dengan engan tungkai-tungkai yang menjulur. Daun itu adalah mainan kami dari membuat mahkota di kepala sampai membuat pewarna alami dengan melunturkannya pada air.

Pohon Kapuk
Pohon lainnya adalah pohon kapuk, adalah pohon kapuk tua yang biasanya di musim berbuah,

15 Agu 2023

The Motorcycle Diary

 


Bagi yang pernah menonton motorcycle diary, mungkin sependapat dengan saya bahwa film yang dinukil dari "catatan harian" che guevara ini di bagian akhirnya kurang mengigit. Tapi bagaimanapun saya yakin, sangat sulit menggambarkan 'berbagai petualangan', refleksi dan pikiran-pikiran si aktivis muda 'che guevara' ini kedalam sebuah kemasan tontonan yang mengasyikkan.
====
Nun, sore itu aku dihubungi temanku dari Malang tentang seorang anak laki-laki sahabatnya sesama 'aktivis' yang telah terlantar di kota Yog. Anak laki-laki ini, melakukan perjalanan petualangan ke kota Yog dengan mengendarai motor  honda 'pitung'. Motor honda pitung adalah istilah motor honda bebek C70 yang umurnya kira-kira berjarak 4 dekade dari umur anak laki-laki yang kini 'terlantar' di kota Yog itu.
Sebenarnya istilah 'terlantar' bukan istilah yang tepat bagi anak laki-laki itu, karena saat aku meluncur dan menemuinya, ia nampak baik-baik saja. Agaknya, ada orang-orang 'baik' yang telah menolongnya, memberikan tumpangan serta menghubungi salah satu keluarganya yang kemudian menghubungiku untuk menemuinya.

Ya, kesulitan anak laki-laki itu dimulai saat handphone anak laki-laki itu dijambret orang. Ditambah lagi motor honda bebek C70 yang dikendarainya telah mogok, sedikit uang tersisa dan beberapa bungkus mie instan. Pun, tak ada catatan alamat tujuan yang ia bawa di Kota Yog.

"Tak ada! tak rekan! Saudara juga tidak!"
===
Aku berangkat dari Malang pada hari jumat. Seorang diri, dengan bersemangat, aku memacu honda bebek C70 ku melalui kota kediri, tulungagung, Trenggalek, lantas melewati Ponorogo, Wonogiri lantas melintasi protokol kota Solo, sampai akhirnya melewati Kutoarjo, jalan beraspal lebar dengan kiri kanan persawahan di Klaten, untuk kemudian sampai di Prambanan yang menjadi ujung timur kota Yog. 

Hari sudah benar-benar gelap, mungkin sudah melewati dini hari dimana jalanan mulai lenggang dengan cahaya cahaya lampu, neon serta billboard pada plafon, pohon pohon yang membeku, tikus yang bergerak cepat di gorong-gorong serta sesekali suara derum kereta di kejauhan, saat aku memasuki kota Yog. Dengan suasana seperti itu, aku seperti memasuki lorong tanpa pertanda juga penanda akan perhentian manakah yang akan kutemui. Maka rasa kantukpun seperti sudah menyatu dengan kabut dan debu jalanan itu, juga pada pedagang-pedagang pasar yang mulai hibuk melintas dengan motor bertumpuk rombong serta aneka hasil bumi. Sepertinya pedagang pasar itu jadi penunjuk ruang dan waktu, hari telah lepas tengah malam dan aroma pasar tua kota Yog jadi pertanda pusat kota Yog sudah dekat

Apes, lepas memasuki kota Yog, saat melewati Kalasan honda bebek C70 ku tiba-tiba batuk-batuk untuk untuk berhenti melakukan pembakaran di mesinnya. Maka akupun berhenti, meneliti, apakah bensin habis, apakah busi, atau hanya karena terlalu panas?

"Ikhtiarku gagal!"

Honda C70 itu tak sedikipun bergeming, bahkan bunyi mesin batuk-batuk atau sekedar asap yang mengepul tak jua muncul. Aku menyerah sampai akhirnya menuntunnya sampai jauh, mungkin 7, mungkin pula 10 atau mungkin lebih kilometer telah kujalani dengan menuntunnya. 

Aku ditolong oleh orang baik itu. Ia menamakan dirinya mas relawan yang kemudian memberikan beruntun kebaikan dari tumpangan sampai dengan uang saku. 

===

10 Agu 2023

Kotak Televisi itu Bernama Imajinasi

 

 
Kami berdua adalah penyuka kartun Spongbob, meskipun dalam lingkungkan rumah kami saat ini, hanya kami berdua yang melakukannya, yakni menonton kartun spongbob. Meskipun berulangkali kami mendapat pertentangan tentang sebegitu absudnya film kartun Spongbob!
Bayangkan, ada makhluk seaneh itu, ada api di dalam dasar laut, ada tupai yang memakai baju selam dan membangun rumah pohon di dasar laut bernama Sandy. Atau ada rumah nanas, siput gery yang bisa 'mengeong' seperti kucing, patrik yang rumahnya berupa batu, atau squidward si Tentakel yang memakai baju tetapi tidak memakai celana. 
Lebih absurd lagi bagaimana ada Tuan Crab si kepiting yang memiliki anak gadis berupa Hiu bernama 'Pearl'.
Kami berdua tetap saja menikmati setiap seri tayangan Spongbob, karena dalam tiap episode selalu ada petualangan seru yang membawa kami ke dunia bernama 'Imajinasi'.
Kotak Imajinasi
Ya, kami ingat betul bagaimana salah satu cerita spongbob paling unik adalah saat Squidward membeli televisi set baru. Tentu di karakter Squidward yang angkuh, lantas akan membagakan dirinya bagaimana ia sebagai orang yang merasa 'berkelas; akan menonton akan menonton siaran televisi dari kotak TV yang 'berkelas' pula. 
Squidward yang menerima kiriman TV Set terbaru itu yang masih terbungkus kotak kardus tersebut,  lantas membuka kotak kardunya dan meletakkan televisi set terbarunya di depan sofa rumah 'Moi' nya.
Sementara Spongbob dan Partrick dengan senang hati mendapatkan kardus bekas bungkus dari TV Set tersebut. 
Keseruan pun dimulai saat di dalam rumah Squidward mulai menjajal set televisi terbarunya, sementara di luar, terlihat dari jendela rumah Squirdward, Patrick dan Spongbob tengah bermain dengan kotak kardus bekas bungkus televisi tersebut.
Spongbob dan Patrik masuk dalam kotak kardus tersebut, dan mulai dalam keseruan permainan tersebut, mereka mulai menimbulkan suara-suara gaduh. Dari luar kotak kardus itu, terdengar suara-suara seperti berbagai macam 'petualangan' dari permainan balab mobil, petualangan di antariksa, dan berbagai keseruan mereka.
Maka, tak ayal, Squirdward mulai Gabud  dan terganggu, ditambah lagi kotak televisi box terbarunya mulai membuat ulah. Siaran televisinya seperti monoton, bahkan mengejek squirdward yang semakin menambah 'ke gabud' tan Squirdward.
Semakin lama suara di kotak box itu semakin seru, hingga menambah efek ke kegundahan hati Squirdward. Iapun lantas beranjak menuju kotak box itu, dan membuka isinya yang tentu saja di dalamnya bercokol Patrick dan Spongbob yang seperti tertawa bahagia.
"Mau ikut bermain dengan kami Squirdward? Kotak televisi ini luar biasa hebat!"
 Maka terjadilah berdebatan di antara mereka yang tentu saja Squirdward menyangkal tindakan mereka berdua (Patrick dan Spongbob) sebagai orang yang bodoh dan tolol.
"Bagaimana mungkin kalian bermain-main di dalam kotak kosong itu? Hanya orang Tolol yang melakukannya!" Ejek Squirdward.

Tetapi saat Patrick dan Spongbob masuk dan bermain kembali di dalam kotak kardus itu, Squirdward kembali mendengar "suara-suara" petualangan yang sangat realistis. Bahkan lebih realistis dari televisi box yang baru saja ia beli. Ada suara petualangan di negeri dinasaurus, ada suara konser musik grup band terkenal, ada suara permainan balap mobil, lomba balap karung, lomba makan kerupuk, lomba panjat pinang, tarik tambang dan keseruan lomba 17 agustus lainnya. Ada pula suara hewan-hewan; kucing bertengkar,  harimau mengaum, kuda yang kehilangan sepatu, gajah yang mandi bola dan lain sebaginya.

Squirdward semakin penasaran, lantas membuka kotak box itu dan mengatakan pada mereka bahwa itu hanyalah trik, atau tipuan. Pasti mereka mau menipu daya padanya agar ia lebih memilih kotak kardus itu dan mereka berdua bisa melihat TV set Box terbaru milik Squirdward.
"Pasti ada sesuatu, mungkin rekaman yang kamu sembunyikan di kotak kardus ini!"
Squirdward lantas meringsek masuk dalam kotak kardus itu, dan memaksa mereka berdua keluar. 
Ia lantas meneliti tiap kotak kardus itu, semili demi semili, tetapi tak menemukan apa-apa selain "hampa".
"Begini cara kerjanya Squirdward! Semua ini hanyalah Imajinasi!" Kata Spongbob!
Maka di Squirdward pun menjajal apa yang dikatakan Spongbob, mencoba membayangkan dirinya mengendari mobil dalam kotak box.
Saat kotak box itu seakan-akan mulai berjalan dan terdengar suara mobil yang melaju, Squirdward pun tercengang!
"Berhasil! Imajinasinya berhasil! Spongbob benar!"
Tetapi dia tidak menyadari sesuatu di luar bahwa kotak box itu tengah diangkut oleh mobil truk sampah yang membawanya ke tempat pembuangan sampah luar kota Bikini Bottom.
----
Ada banyak serial Spongbob yang seru dengan cerita cerita unik, tetapi sequel tersebut menurut kami adalah sequel paling menggambarkan apa yang menjadi misi utama dari tontonan kartun 'Spongbob', yakni "Imajinasi". Maka jika di rumah itu hanya kami berdua, "Aku dan putri sulungku" yang menonton Spongbob,  pastilah di kepala kami punya imajinasi yang beda-beda. 
Semenjak itu jikalau ada di rumah yang menyeletuk perihal kebiasaan kami nonton Spongebob, akan kami jawab "Hanya orang-orang yang ber-Imajinasi- tinggi" yang bisa menikmati tontonan ini!
Kalau tidak akan senangsip seperti Squirdward yang coba-coba berimajinasi sampai akhirnya terjebak di tempat sampah.

"Terbanglah yang tinggi, Imajinasi..., agar kau tau asalnya dari membumi!"





9 Agu 2023

Pada Sebuah Pantai yang Berwarna Merah


Pada sebuah pantai yang berwarna merah, sesunguhnya bukan merah darah, melainkan pendaran senja yang sebentar lagi akan larut ke ujung samudera itu.....

Nun, ia pulang dari rutinitasnya dari bekerja, tetapi kali ini beda, yang menyeretnya ke sebuah pantai di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi. Di pantai itu, tepatnya agak menyeberang sedikit, terdapat seonggok batuan raksasa yang membukit sehingga oleh penduduk sekitar dinamai dengan pulau merah. Nama yang mungkin karena pendaran cahaya senja yang memantul pada sekujur pulau itu.

Iapun kini terduduk di pinggir pantai itu, sementara permainan cahaya masih silih berganti secara konsisten membiaskan perubahan dari  biru langit, hijaunya ganggang-ganggang serta bakau yang khusuk berbisik bersama angin dan pasir, serta merahnya matahari yang berangsur menyerap seluruh permainan cahaya di sekujur ujung samudra. 

Sesekali ia seperti melihat perahu layar di kejauhan, atau mungkin itu hanya ilusi optik yang membayang dari pikirannya sendiri tentang para nelayan-nelayan pemberani yang mengarungi samudera demi samudera sambil menggengam rangsum perbekalan yang dibawanya dari kampung halaman.Barangkali dari rangsum perbekalan itu, nelayan itu bisa mencium aroma rumput halaman rumah. Barangkali juga aroma tanah, aroma pohon pohon nyamplung yang menyambutnya di panti, aroma bakau serta batu-batu kali, aroma kayu bakar dari tungku dapur, serta aroma ketiak ibunya yang tengah memasak sayur buat sarapan anak-anaknya. Karenanya ia bisa selalu teringat jalan untuk kembali.

Kali ini ia seperti nihil diantara permainan cahaya itu. Ia hanyalah seonggok kayu tanpa tanpa nama itu, yang sesekali bergerak karena terhempas arus pantai. Kali ini kebahagiaan ataupun kesedihan atau apapun rasa itu hanyalah permainan cahaya yang bersumber dari warna yang sama.

Pulau Merah, Banyuwangi, Februari 2023


3 Agu 2023

How Cat You Go?

 


Saya hanya kangen membuat tulisan. Saat ini tulisan di blog itu tidak sepopuler orang membuat konten youtube, tiktok ataupun instagram. Tapi biarlah, karena blog ini barangkali eranya sudah lewat. Orang Indonesia, sudahlah terbukti memang kurang suka membaca, atau memang tradisi lisan sudah mengakar dari jaman moyang. Tradisi audio visual kalau dahulu mungkin berbentuk kesenian ketoprak, tarian, atau bahkan sampai ke pertunjukan wayang menjadi media yang banyak berkembang yang kini menemukan tempatnya pada kanal-kanal youtube, facebook, instagram, tik-tok atau platform lainnya.

Bagaimana dengan tulisan? apakah lambat laun tulisan sendiri akan berganti dengan AI? yang kemudian orang tidak perlu 'secara teknis' membaca, tetapi mendengarkan tulisan yang dibaca oleh AI? 

Kembali ke judul
Kembali ke judul tulisan "How Cat You Go? sebenarnya saya pingin nulis saja tentang 'kucing' untuk sekedar mengobati rasa kangenku untuk nge'blog'. Kucing ini adalah adalah fenomena yang aneh dikehidupanku hanya karena 'aku pecinta kucing'! 
Jadi kalau anda bukan pecinta kucing, atau bahkan pembenci hewan berbulu lembut dengan kumis di mukanya serta bola mata bulat yang bisa mengkomunikasikan 'suasana hatinya ini', maka jangan teruskan membaca tulisan ini. Kecuali, jika anda sekedar penasaran,atau sekedar iseng ingin membaca tulisan ini sebagai sesuatu yang minim 'faedah'.

Masa kecil dan 'Mbok Kucing'
Kami menyebutnya 'mbok kucing' sebagai kucing betina yang telah beranak-pinak sampai benar-benar sudah tidak ada lagi peranakan kucing darinya. Sebenarnya ada banyak kucing datang dan pergi di kehidupan kecilku, akan tetapi 'Mbok Kucing' ini tak anggap sebagai momentum pertama kucing yang perjalanan hidupnya paling lengkap dan kuingat di kepalaku.

Mbok kucing tidak kami pelihara sedari kecil, tetapi ia sekonyong-konyong entah datang dari mana sudah dalam keadaan besar. Bulunya belang-belang, kembang telon, kami mengistilahkan, dengan ekor panjang, ujung lancip tetapi 'tertekuk'. Saya baru mengetahui kemudian ekor yang 'tertekuk' itu dikarenakan saat dalam kandungan ia berjubal dengan jabang bayi anak kucing yang  lain, sehingga menyebabkan ekornya tertekuk semenjak lahir. Matanya menyipit sebelah yang sepertinya bukan karena bawaan lahir tetapi karena kesembuhan dari penyakit mata yang menyisahkan cacat mata menyipit sebelah. Selain matanya yang sipit, Mbok kucing itu tubuhnya kurus kering ketika pertama kali datang. Maka kami menamai mbok kucing itu dengan 'Sipit' dan secara resmi menempati rumah kami hingga kemudian beranak-pinak.
Sekilas tak ada yang istimewa dari 'Sipit' mengingat ia hanya kucing kampung kurus dengan muka yang tak begitu menarik dan cerewet karena sering 'mengeong'.

Mbok kucing alias si 'Sipit' ternyata adalah semacam kembang kampung bagi kucing-kucing kampung di tempat kami. Selepas kedatangan 'Sipit', banyak kucing-kucing cowok berdatangan ke rumah kami. Ada yang nangkring di genting, bergelanjutan di pohon, duduk di jok motor sambil pura-pura mau ngajak piknik, atau bergulung-gulung di jalan depan rumah berpura-pura mau 'bunuh diri' untuk menarik perhatian 'Sipit'. Kadangkala ada yang datang sambil mempersemahkan hadiah berupa hasil perburuan masing-masing; dari tikus, ular, burung sampai dengan lauk ikan curian.

Sireng
Dari kesekian kucing yang saling berkompetisi itu, barulah kami mengetahui siapa pemenangnya saat si 'Sipit' hamil akibat 'pergaulan bebas' ini hinga kemudian melahirkan anak kucing. "Sireng"  adalah singkatan dari Si Ireng atau si hitam yang merupakan salah satu anak kucing peranakan sipit dengan kucing pemenang berbulu hitam. Karena dominasi warna kulit dari bapaknya adalah hitam, maka sireng ini tentu saja berbulu hitam dengan sedikit putih di bagian kaki, hidung serta perut ke dada. Sementara ciri khas dari 'Sipit' hanyalah menyisakan ekor yang lancip 'tapi tertekuk'. 
Tak banyak kenangan yang kuingat dari sireng selain ia akhirnya tumbuh menjadi 'berandal' kampung. Pada awalnya Sireng ini adalah penghuni manis etalase kios bengkel yang dijaga ibuku, hingga akhirnya ia lebih suka keluyuran ke kampung-kampung hingga akhirnya menghilang entah kemana. Sesekali 'Sireng' pulang dengan sekujur tubuh sudah babak bundas sekedar terlihat sebentar untuk kemudian lantas pergi menghilang lagi.  

Paijo


 

13 Des 2018

Jogo cakruk- Edisi Ketemu orang Tersesat

Tempat tinggalku sekarang memang persis di pinggiran sungai Opak. Sebuah perumahan yang berada di ujung desa Jogotirto dan jalan aspal masuknya berujung pada jalan buntu menuju tepian sungai. Maka tak heran apabila beberapa kali pelancong atau sekedar orang yang pertama kali melewati di sana bisa tersesat. Dianggapnya jalan aspal yang masuk melalui perumahan itu akan berujung pada jembatan menyeberang sungai opak dan menuju aspal lain di seberang desa. Tetapi mungkin untuk adanya jembatan tersebut perlu waktu bertahun-tahun lagi. Pun bisa jadi hanya angan-angan.
---------
Nun, seperti biasa, suasana malam seputaran dirgantara asri sudah mulai sepi. Pintu pintu rumah sudah tertutup dan kucing-kucing mulai berseliweran di genting. Meski kemarau belum berakhir, tetapi udara tidak terlalu dingin. Jalan aspal yang masuk ke perumahan masih berkabut debu, yang belum mengendap setelah seharian digerus roda-roda kendaraan dan mobil bak pasir. Pak Sugi, salah satu anggota ronda paling rajin, sudah berangkat meluncur menuju pos ronda, lengkap dengan celana training, kaos pudar dan selempang sarung.  Pos ronda masih belum ada orang, tikar pun belum digelar dan tampak remah sisa makanan dan bungkus snack berserakan. Pasti seperti biasa, sore tadi jadi arena kumpul anak-anak perumahan. Pak Sugi memukul kentongan beberapa kali, sekedar isyarat agar rekan-rekan rondanya lain yang dalam papan daftar ada sekitar 14 orang bisa segera hadir. Maka tak perlu waktu lama, satu persatu personilpun berdatangan, dari Algi, Pak Joko, Pak Yanuar, Alex, Pak Padi, Pak Faisal, Pak Samino, Pak Heri dll. Malam itu agak lengkap, meskipun tidak ada yang membawa camilan atau minuman. Obrolan pun mulai membuncah keberbagai topik, dari sepakbola sampai politik kampung. Dari plesetan sampai parodi.  Cerita paling seru  akhirnya datang dari Algi si anak rantau mahasiswa asal NTB yang malang melintang sampai akhirnya terdampar di PDA.
----------------
Malam itu tokoh utama adalah Algi yang dengan gayanya yang eksentrik khas orang timur gemar bercerita sepak terjang keseharian hidupnya  Tiba-tiba, ditengah keasyikan Algi yang mencerita-kan kelihaiannya sebagai sales parabola, seorang bapak paruh baya turun dari jalan menuju ke pos ronda. Si Bapak muncul sambil menuntun sepeda gunung karatan. Kabut debu jalanan ditambah kemunculannya yang tiba-tiba membuat kami semua bergidik terkejut. Taksirannya sekitar umur kepala 5 dan perawakannya tegap. Dikepalanya memakai topi dan nampak dari pakaiannya yang sedikit rapi menandakan ia bukan datang dari tempat jauh.
“Jalan buntu itu pak, bapak dari mana mau kemana?”
"Klaten! Lewat mana ya?"
 Malam-malam jam 11 an begini mau ke klaten? dengan sepeda bocor?
Berbagai pertanyaan tentu saja muncul di benak kami. Ditanya namapun si Bapak hanya menjawab berputar-putar.  Ditanya A jawabnya B. Jikapun orang gila, cara ngomong  Bapak ini tidak menujukkan seperti itu. Tetapi kelihatan sekali Bapak ini agak linglung.  Mungkin pula pikun.
"Jangan jangan intel? Intel yang ngaku-ngaku orang gila, apalagi jelang pilkada begini"
Sepeda yang dituntunya itu baik ban depan maupun belakang tampak gembos yang membuat kami berfikir bahwa hal itu bukan tanpa disengaja. Kalaupun maling sepeda, bapak itu tak menunjukkan perawakan seperti itu, pun sepeda itu kelihatannya tidak cukup berharga kecuali di tangan tukang loak. Satu per satu dari kami mencoba mengorek, keterangan, sekedar dapat secuil informasi. Tetapi si Bapak tetap kebingungan. Kecuali Algi, pengalamannya sebagai sales parabola mungkin mengasahnya untuk menghadapi berbagai bergai macam orang termasuk dengan Bapak itu.
-----
Setelah ngobrol panjang lebar Algi mendapatkan cerita Bapak ini bukan orang sembarangan, paling tidak jika bukan dari kalangan tentara, mungkin pensiunan tentara. Ada sekelumit cerita juga Bapak ini pernah dikeroyok dengan banyak orang  dari tentara. Apapun cerita Bapak tadi, Algi terus mengikuti sambil mengulik informasi.  Di tengah-tengah percakapan Algi dengan Bapak itu, lamat-lamat muncul nama seseorang yang cukup populer. “Tejo. Tejo mantan dukuh kita!”  “Masih saudaranya pak Tejo kayaknya” Dengan bujukan Algi, rombongan piket ronda akhirnya mengantarkan Bapak itu ke tempat pak Tejo. Sambil berjalan Algi masih ngobrol dan mengikuti cerita Bapak itu.
-----
  Jalan kaki menuju rumah pak tejo yang berada di tengah pemukiman Jragung lumayan jauh dan saat itu sudah jam 12 lebih, berbekal  secarik nama kami berharap kami mengantarkan ke tempat yang tepat. Lagipula tengah malam begini sangat berisiko kami mengetuk pintu rumah Pak Tejo besar kemungkinan sudah lelap. 3 kali lebih kami mengetuk rumah Pak Tejo dan yang bersangkutan belum jua kelihatan. Hampir saja kami menyerah saat tiba-tiba di tikungan depan rumah Pak Tejo muncul sesosok perempuan paruh baya.  “Ealah pak, pulang! Tak Jewer kupingmu lho!” Ternyata sosok itu adalah istrinya dan benar Bapak itu adalah adik pak tejo yang rumahnya persis hanya beberapa petak dari rumah Pak Tejo. Tambah lagi bapak itu memang pensiunan perwira dan sudah beberapa waktu ingatannya sudah mulai pikun. Sang istri sengaja menggemboskan sepeda itu agar si Bapak tidak mengeluyur kemana-mana. Perempuan itupun meminta maaf dan berterima kasih sudah menghantarkannya pulang.
----
  Syukurlah, masalah sudah terselesaikan dan kamipun harus jalan kaki lagi pulang ke perumahan. Benar-benar malam yang melelahkan. 

22 Sep 2018

Otak Atik Gatuk

Otak atik gatuk adalah semacam ilmu mistik perhitungan ala orang Jawa. Kalau dulu ilmu otak atik gatuk ini mungkin dengan berbagai perhitungan tanggal dan tanda-tanda alam yang rumit, tetapi kini penerapannya mungkin lebih sekedar istilah; "Menghubung-hubungkan". Pengambilan nomer urut presiden 22 September 2018 kemarin, mengingatkanku pada memori tentang ilmu otak atik gatuk. Tetapi ingatanku ini bukan soal politik, tetapi soal ilmu otak atik gatuk iseng ala mbah Atemo.

           Namanya mbah atemo, tetapi kami memanggilnya mbah atmo. Tidak banyak yang tahu kecuali anak dan cucu-cucunya dan keluarga dekatnya kalau mbak atemo ini dulunya adalah veteran tentara yang ikut dikirim saat operasi ganyang malaysia. Pun tidak banyak yang tahu, kecuali istri dan anak-anaknya kalau mbah atemo pernah terombang-ambing menjadi ABK kapal selama berbulan-bulan saat mencoba kembali ke Indonesia dan harus jalan kaki mengikuti jalur kereta api dari anyer menuju tugu untuk bisa kembali ke Yogyakarta menemui kembali keluarganya yang menganggapnya telah tiada. Tetapi torehan blog kali ini bukan mau menulis soal mbah atemo, Mungkin lain kali, karena Mbah atemo ini segmen khusus dengan kontemplasi dan olah sejarah yang mungkin perlu waktu lama.
         Salah satu kebiasan mbah atmo selepas menjadi veteran tanpa penghargaan adalah pasang nomor togel. Waktu itu masih tenar jaman SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang konon katanya adalah judi berkedok iuran sosial yang dilembagakan. Wah. entah lupa siapa dulu yang mencanangkan, tetapi itu sudah lama sekali sewaktu pemerintah jaman Sohearto, dan sik penulis blog sendiri masih seumuran SD.
          Mbah Atemo tidak selalu pasang nomer, karena juga sebagai veteran tanpa gelar, pekerjaan mbah atemo sebagai kuli pabrik batik cap di imogiri hanya memberikan imbalan (kalau tidak salah ingat) Rp. 5.000,- saban minggu. Itupun Mbah Atemo berangkat mengayuh sepeda pagi-pagi dari Prenggan Kotagede ke Imogiri sekitar 1 jam lebih.
Sehingga pasang nomer baginya adalah adu peruntungan, siapa tau nasib mujur bisa tembus 2 angka sehingga bisa buat bonus belanja kebutuhan.
         Aspiyah, adalah istri mbah atemo, tahu betul berapa pendapatan suami tercintanya ini, sehingga mbah atemo harus pandai-pandai menyisihkan setoran buat istrinya dan menyimpannya sendiri.
Nah, belakangan baru diketahui tempat paling rapih untuk menyimpan sisihan uang setoran itu adalah di kap lampu sepeda onthelnya. Sehingga, setelah beberapa hari, mbah atemo baru bisa mendatangi kios penjual nomer SDSB.
Otak aktik Gatuk
Tidak sekedar pasang, dengan pengalaman pahit getir yang dialami mbah atemo, mungkin di punya ilmu tersendiri buat pasang nomer. "Didalam sebuah keapesan pastilah ada keberuntungan" adalah prinsip matematik mistik yang dipegang mbah atemo. Dan prinsip matematik ini bukan tanpa bukti empirik. Seperti disampaikan sebelumnya, mbah Atemo tidak selalu membeli SDSB buat dirinya sendiri tetapi ia sering diminta tetangga atau teman-temannya bila ada yang mau memasang nomer.
Salah satu kejadian yang kuingat, ketika ada anaknya yang kemalingan motor. Saat mendengar kabar anaknya kemalingan motor itu, seketika hari itu juga mbah atemo memasang nomer SDSB, kebetulan karena uang yang ia dapat hanya cukup membeli 2 nomer dari sekian banyak nomer yang bisa dipasang (penulis rupa sampai berapa nomer). Nomer yang dipasang adalah persis 2 digit pertama pada plat nomer motor yang hilang tersebut. Maka benarlah, ternyata angka yang keluar sebenarnya kalau mbah Atemo pasang 4 digit maka keberuntungan berlipat dari sekedar pasang 2 digit. Karena memang seperti yang diprediksi bahwa angka yang keluar adalah 4 digit persis sesuai plat nomer motor yang hilang itu.

20 Agu 2013

Are you Singing?

946260_10200619693068555_1055009167_n

Ada ritual yang selalu susah dilakukan saban waktu ia mudik ke desa magetan. Desa itu bernama nglemi, sungguh aneh nama desa itu, terletak di dekat stasiun barat, daerah tanggung antara magetan dan madiun. Sebenarnya lebih dekat dengan madiun meskipun secara antropologis masyarakatnya, terutama laki-laki banyak yang sejak dini telah dibekai seni bela diri pencak silat 'Teratai'. Penanda, ada patung si pendekar 'teratai' di pertigaan masuk menuju desa 'nglemi' yang makmur permai ini. Penduduknya terutama yang tua tua adalah petani tradisionil yang menanam padi setahun minimal 2 kali bertenaga pengairan dari pompa air yang menyedot dari saluran irigasi yang dibangun sejak tahun 1970. Maka memandang landscape 'nglemi' seperti mencomot lukisan 'realisme-romantis' pemandangan sawah yang hijau, petani dengan caping, penggembala menggiring kerbau dan gunung lawu di kejauhan.

Dan ritual saban tahun yang selalu terulang saat ia mudik ke 'Nglemi' adalah buang hajat di sungai. Hampir semua rumah penduduk memang belum memiliki kakus. Kalaupun ada, konstuksi kakus adalah tembok bata rendah yang cukup untuk menutupi sebagian tubuh anda ketika berjoniok dengan menyisahkan sejumput rambut kepala. Konstriksi 'kakus' pribadi itupun langsung beratapkan langit.

***

Memang saluran irigasi itu memanjang dari ujung timur ke barat persis di tepian areal persawahan yang berlandscape seperti comotan lukisan 'mooi indie' itu. Biasanya jam sibuk adalah pagi hari, saluran irigasi itu, sudah diantri para penduduk yang ngantri ingin 'melarung' isi perut sisa makanan. Maka ada protokorel tak tercatat bagi siapa saja yang ingin mengantri kakus panjang ini. Terutama juga bagi dia yang dirumahnya memang tak punya kakus pribadi;
1. Lihat pandangan
Lihat pandangan anda sejauh mata memandang apakah jarak terdekat di areal irigasi sudah terisi orang yang   berjongkok. Karena biasanya antrian terawal orang akan mencari tempat terfavorit di persis di bawah jembatan. Selain karena struktur jembatan yang dibangun sejak 1970 itu menyediakan blok yang nyaman buat nangkring juga karena ujung jembatan berarti tempat pertama anda bisa mendaratkan muatan anda tanpa mendapatkan umpan mentah dari peserta 'buang hajat' yang lain.
Maka jika kurang beruntung, anda akan dapat tempat terujung dengan konsekuensi tumpukan umpan mentah dari yang mengalir menuju anda dari para pembuang 'hajat' sebelumnya. Dan yang harus anda harus berjalan dengan pura pura tak melihat para 'pejongkok' sampai menemukan tempat anda sendiri.
2. Jaga jarak
Jaga jarak adalah etika kedua, terutama di jam sibuk pagi hari untuk ritual buang hajat berjamah ini. Kira-kira seratus meter, cukup agar aliran irigasi bisa menerpa deras benda yang anda larung dan simbiosis mutualisme antara benda yang anda larung dengan organisme di sungai macam ikan, lumut kodok, kepiting dan lain lain bisa berebutan menguraikannya.
Jaga jarak juga terjadi agar anda tidak terlalu sakit mata saat seorang peserta buang hajat berjamaah selesai duluan dan mengangkat (maaf) bongkahan p**tatnya di depan mata anda. Cahaya matahari pagi bisa bisa langsung memantul padanya dan sekejap membahayakan mata anda.
3. Kasih tanda
Kasih kode seperti saat anda makan di restoran berkelas. Jika anda memesan meja, maka anda akan menandai meja itu dengan kartu atau semacamnya. Maka peserta buang hajat berjamaah ini biasanya kasih tanda di depan tempat mereka berjongkok, misal dengan menaruh sandal, sepeda atau benda-benda apa saja yang bisa ditinggalkan untuk memberi tanda, dalam radius beberapa langkah ada si fulan sudah jongkok disitu.
4. Tetap waspada
Tetap waspada karena anda berada di alam terbuka. Tantanganya adalah binatang binatang liar macam ular, kodok atau apapun itu.
5. Menundukkan pandangan
Disinilah anda diuji untuk menundukkan pandangan saat melewati peserta lain. Tidak usah menoleh atau bahkan menyapa, cukup tetapkan langkah ke depan luruskan niat ke depan.
***
Tiap kali ia mudik ke desanya, maka tiap kali pula kejadian ini terulang. Sebenarnya mudah baginya untuk membuatkan kakus permanen bagi pak dan mboknya. Tapi bukan itu yang pak dan mbok nya ingini. Pun akhirnya dia mengerti mengapa penduduk desa nglemi lebih banyak yang suka berhajat di saluran irigasi itu. Karena sampai sejauh apapun seseorang mengejar status, mengejar keinginan, darimanapun orang, kemanapun orang, kalau sudah berjongkok akhirnya berakhir sama saja. Apapun yang dimakan orang, berapapun mahalnya, apapun rasanya ketika telah dikeluarkan hasilnya sama saja.
***
Saat ia pulang, sayup sayup terdengar di telinganya
'Ayo ngising... ayo ngi sing..."
'Ning kebon, ning kebon.."
'Tutupi godong pring...
tutupi godong pring"
'ben gareng'

23 Jun 2011

Learning by doing#1:edisi memasak

Learning by doing alias belajar melaui praktek langsung. Tapi jangan praktekkan ini bila anda seorang dokter atau praktek pengobatan karena bisa-bisa anda akan kena mal praktek.

Pelajaran memasak pertama adalah telur dadar cantik. Disebut telur dadar cantik karena bentuknya yang bulat, pipih dengan warna kuning cerah dan tak ada lubang sedikiten. Sebenarnya membuat telur cantik ini adalah gampang kalau kita punya wajan teflon anti lengket. Telur tinggal dikocok dengan sedikit garam lantas dituang pelan pelan sambil wajan digoyang pelan dari tengah sampai ke tepi. Tinggal tunggu beberapa menit api sedang, lantas kalau anda mau coba atraksi melempar telur ke udara mirip master chief tinggal disentakkan ke atas sampai terbalik ke udara dan… pluk! Kalau anda beruntung sang telur akan kembali ke posisi semula pada permukaan yang lain alias side B, tapi kalau tidak beruntung paling-paling telur cantik jatuh tertelungkup tanpa bentuk. Tentu saja lebih sulit membuatnya dengan wajan biasa. Wajan harus benar-benar berlumur minyak tipis. Lebih bagus lagi justru wajan yang belum dicuci untuk menhindari si telur cantik lengket di muka wajan dan jadilah telur bopeng-bopeng. Si telur cantik biasanya jadi menu breakfast alias sarapan kilat atau sekedar lauk pengganjal perut pada malam hari.

 

Tabel 1.1 Absensi kehadiran Bawang Merah & Bawang Putih

  Bawang Merah Bawang Putih
Sayur Sup nihil hadir
Goreng Telur, tempe atau tahu nihil hadir
Lalapan nihil hadir
Tumis/oseng-oseng hadir hadir
Nasi Goreng kadang hadir kadang tidak hadir
Sambal kadang hadir kadang tidak hadir
Dongeng Bawang Merah & Bawang Putih hadir hadir
  = sering bolos = selalu hadir

Aneka Soup

Bosan dengan lauk yang terlalu sederhana mulailah kucoba membuat soup. Bumbunya aku perkirakan sama saja yakni duet dua bersaudara si bawang merah dan si bawah putih lantas digerus halus bersama garam, merica dan kadangkala sedikit aku kasih  kunyit dan lombok. Semua bumbu aku goreng sampai keluar aroma dan lantas kuguyur dengan dua atau tiga gelas air hingga mendidih.

Tinggallah para sayur mayur siap jadi korban mutilasi pisau dapur; kubis, wortel, tomat, sledri terkadang dengan ektrim kutambahkan daun mangga muda, daun katu ataupun segala macam daun yang berwarna hijau yang rasanya tidak pahit dan tidak menimbulkan sakit perut.  Satu demi satu, sayur yang telah kumutilasi dan wortel yang kukuliti dan kupotong kecil-kecil kucampakkan dalam wajan sup yang telah mendidih. Wajan! Ya karena peralatan dapur hanyalah kompor, pisau dan wajan. Menggoreng lauk memakai wajan. Membuat sup juga memakai wajan, dsb. Maka wajan adalah alat masak praktis dari A sampai Z. Beberapa menit sup telah siap. Karena aku tidak suka pada Monosodium Glutamate yang membuat kepalaku pusing setelah memakannya, kutambahkan saja sedikit gula. Kalau sedikit berduit, kumasukkan potongan cakar ayam atau sayap ayam sebagai ganti kaldu. Eksperimen dengan sup hanyalah dengan menambahkan potongan tahu yang digoreng, atau potongan tempe. Selebihnya aku sudah tak kuasa menahan derita lapar daripada terlalu khusuk menambahi menu.

Food and Gathering Lalapan

Aneka lalap adalah menu paling sederhana tetapi juga paling memprihatinkan. Paling sederhana karena aneka daun, apapun bentuknya yang berwarna hijau yang berasa pahit ataupun manis yang didapatkan disepetak kecil belakang rumah atau dengan diam-diam mengendap-endap memetiki daun di pekarangan tetangga pada malam hari, adalah tinggal direbus dengan sedikit garam dan tumbukan si bawang putih tanpa melibatkan saudaranya si bawang merah. Jika sedikit ber-uang, lalapan ini bisa dipadu dengan tempe goreng atau sambal.

Maka aneka lalapan ini adalah semacam evolusi manusia purba dalam caranya survival of the fittest  alias bertahan hidup melalui food and gathering alias berburu dan meramu. Berburu bagiku adalah bagaimana aku mendapatkan daun-daunan bahan lalapan tersebut dari sepetak kecil tanah baik itu pekarangan sendiri ataupun orang lain. Sedangkan meramu adalah meramu hasil perburuan tersebut dalam wajan ajaibku bersama sedikit garam dan bawang putih.

Nasi Goreng

Menurut survey yang perlu diragukan keberaadaanya, tiap anak kos, ataupun homo sapiens yang hidup mandiri dengan cara masak nasinya sendiri, nasi goreng adalah menu sarapan pagi ratting ter tinggi. Ini karena nasi goreng sebenarnyalah adalah ide kereatif bagaimana memanfaatkan sisa nasi yang masih belum habis dan hampir basi untuk bisa tertelan jadi sarapan. Maka nasi gorengkupun tercipta dari wajan ajaibku dengan memasukkan nasi hampir atau sudah basi, garam, lombok, kecap dan lagi-lagi duet dua bersaudara si bawang merah & si bawang putih yang hanya akur di dunia bumbu-bumbuan. Maka nasi goreng jadi menu spesial bila dihadiri sebutir telur.

Nasi sudah jadi Bubur

Nasi sudah jadi bubur artinya tak bisa dikembalikan lagi jadi nasi. Tapi bubur membuatku lekas kenyang dan rasa gurih dan gumpalan dari santan adalah rasa yang membuat bubur ‘kalau kepepet’ jadi menu utama tanpa tambahan lauk pauk. Apalagi dengan segenggam beras saja maka terciptalah dua piring penuh bubur.  Walhasil perut lekas kenyang meskipun resikonya pencernaan dan cacing-cacing di perutku lebih mudah menyerap hingga mengakibatkan alarm rasa lapar akan berbunyi 3 jam lebih cepat dari biasanya. Maka bubur adalah menu emergency respon bila logistik beras di dapur sudah menunjukkan level memprihatinkan alias stok tipis. Asal darurat mengisi perut lapar selanjutnya bisa difikirkan setelah kenyang!

Tumis alias Oseng

Tumis alias oseng adalah ketika potongan tempe, tahu, sayur ataupun segala bentuk remah-remah yang lain beradu dalam wajan ajaibku bersama sedikit minyak, garam, si kembar bawang merah- bawang putih dan sedikit kecap. Jika lagi mujur meskipun frekuensinya 1 banding 30 hari sekali di peraduan bisa bergabung beberapa potong jamur, telur atau potongan ayam. Tumis ini cukup membutuhkan waktu 15 menit untuk siap disantap, sehingga acap jadi menu favorit untuk malam.

Kalau fieasta punya slogan rasa adalah segalanya maka bagiku punya slogan kenyang adalah segalanya. Jika kepepet tak perlu punya pengalaman untuk masak. Asal ada garam dari laut, gula dari ladang dan si kembar bawang merah bawang putih bertemu di wajan ajaibku, jadilah mereka hidangan istimewa.

22 Jun 2011

Pauline

pauline Ada banyak cerita bersama Pauline. Dari yang paling sweet, sampai saat paling apes telah kami lalui bersama. Dari mulai pertama kali aku mengenalnya, bersamanya, sampai saat terakhir aku harus merelakan kepergiannya. Sampai saat terakhirnya, kuhempaskan begitu saja Pauline yang tak berdaya di pojok ruangan. Tapi baru kusadari kini begitu banyak kenangan bersama Pauline yang sepertinya tak bakal terulang lagi.

Dulu, hampir saban siang, di hari gerah dengan sinar matahari yang melucuti keringat di muka setetes demi setetes, ataupun di saat hujan yang lebat dan membuat kami berdua harus berbasah-basah, telah terbukti kesetiaan Pauline padaku. Lalu, seperti kebisaanku dulu, kami sering pergi malam-malam, meluncur di permukaan aspal kota atau ke pinggiran-pinggiran kota yang sepi ditemani cahaya lampu, bintang-bintang dan orang-orang yang terkena insomnia.

Body Pauline yang ramping memebuatnya terlihat sexy dengan lekuk liku dan perawakan kemerah-merahan sangat pas denganku yang berperawakan kecil. Tiap kali kami melintas di keramaian dari kejauhan orang-orang sudah melirik ke arah kami. Tapi lambat laun aku mulai terbiasa seperti halnya Pauline yang cuek saja.

Kadangkala kami juga jalan bertiga, Aku Pauline dan temen cewek. Dalam kondisi seperti itu aku sangat was-was. Bukan was-was pada Pauline tetapi pada temen cewek yang kuajak tersebut. Kekhawatiranku karena tak banyak yang bisa cocok bersama Pauline. Sudah selusin lebih perempuan bahkan laki-laki yang hengkang, mengolok oloki aku dan Pauline. Tak jarang ada yang menunjukkan sikap risih saat aku bersama Pauline. Meskipun ada yang tahu beberapa teman melakukannya dengan bercanda, tapi tak apalah kumaklumkan mereka. Dalam hati kukatakan ‘kalian tak mengerti betapa berharganya Pauline’ melebihi yang sebelum-sebelumnya………..

--------

Medio 2002 – Kebersamaanku dengan Tessy

Ia bukan seorang banci meski namanya Tessy. Sebenarnya ia punya kembaran bernama Tessa. Jadi ada Tessa dan Tessy meski tahun lahirnya sama.  Perawakan keduanya hitam dan dengan suara nyaring menggelegar. Suatu hari si Tessy sakit sampai akhirnya harus dioperasi yang membuat beberapa bagian organ Tessa direlakan untuk Tessy. Maka tinggallah Tessy yang kemudian menemaniku dari mulai medio 2002. Tessy bersamaku saat aku masih bekerja di majalah BLANK! Magazine. Karena hubunganku dengan Tessy membuatku langsung terkenal di antara lingkungan kerjaku yang baru. Alex dan Tessy!

“Alex datang!”

Kantor Blank Magazine berjarak 30 depa dari jalan Bantul. Berkelok masuk memasuki gang sempit dan pasar yang surut menjelang siang. Maka aku dan Tessy datang dengan tergopoh gopok memasuki gang-gang itu. Suara Tessy yang bergetar nyaring memantul mantul diantara dinding-dinding bangunan gang dan memerosok masuk ke ruangan head quarter  Petakumpet dan Blank! Magazine! Kemudian di dinding-dinding ruangan dipantulkan lagi oleh lusinan pot pot bunga, tembok bercoret grafiti, jajaran meja, kursi layar monitor lantas masuk ke gendang telinga sigit lele, simbah, jody, arif budiman,  iis, zaini, ratna, sonia, itok dll. Bahkan terlampau menggelegarnya, Itok sebagai board manajer petakumpet yang tengah memimpin rapat mulai terganggu oleh suara ini yang kemudian mengeluarkan policy  khusus buat kantor “Bagi alex dan motornya Tessy  diharap mematikan mesin dulu 300 meter sebelum masuk area parkir kantor!”

Sebenarnya Tessy adalah jenis motor Binter Joy keluaran 80 dengan type 4 langkah. Artinya Tessy bisa melaju lebih irit tanpa polusi asap dan bersuara lebih halus daripada type 2 langkah yang banyak membutuhkan oli. Namun karena kejadian luar biasa saat Tesy dipaksa naik menanjak ke jalan bukit dekat Wonosari, semenjak itulah Tessy berubah wujud menjadi mesin 2 langkah yang bersuara laksana mesin gergaji dan berasap seperti mesin penyemprot nyamuk dari kampung ke kampung . Lebih drastis lagi, gigi 4 kecepatan Tessy lambat laun rontok dan hanya memiliki 2 kecepatan saja; normal atau melaju.

Korban berikutnya adalah Sonia, meski lebih tepatnya kusebut korban yang menikmati. Sonia, rekan kantorku di Blank Magazine yang berasal dari Malang adalah tipe perempuan yang ceplas ceplos. Beberapa kali kubonceng dengan Tessy Sonia lambat laun menikmatinya sebagai kendaraaan plus-plus; plus alat pijat dan plus mandi lulur uap oli. Sonialah yang memberi Tessy gelar baru sebagai vibrator.

 

Tak kuingat pasti kapan karir Tesy berakhir menjadi barang antik dan teronggok pula bersama saudara kembarnya Tessa.

Suzuki Jet Coulet legenda Summerbee

Aku tak pernah memberinya nama meski kenanganku bersama motorku kali ini lumayan banyak. Aku membelinya 2 juta saja pertengahan tahun 2003. Saat itu bensin masih seharga seribu perak dan motor ini kubeli dari bekas motor balapan sehingga bodynya sudah tak lengkap dan mesin termodifikasi. Paling parah bagian karburator adalah hasil hibrida milik karburator RX king sehiggga lajunya tambah kencang seiring juga dengan bensinya yang boros. Bagian gigi telah dimodifikasi pula sehingga walau bebek tapi punya presneleng khas motor sport.

Sebermula aku membelinya dengan surat-surat komplit sampai suatu ketika aku menabrak pantat mobil yang menyeretku untuk menanggung ganti rugi. Karena ganti rugi tak bisa kulinasi, akhirnya STNK tetap tertahan pemilik mobil, bahkan mungkin sampai sekarangpun STNK masih berada di sana. ‘Somewhere out there”

Suzuki Jet Coulet pernah mencelakai mas Rizki yang kini dikenal sebagai Rizky Summerbee. Suatu malam sekitar jam 1, di kantor LSM hijau, mas rizky meminjam motorku. Sampai di depan pagar dia menyalakan motor tersebut, namun tak disangka sang justru menyala dan langsung mengangkat gas tinggi. Suara motor semakin tinggi dan mengerang keras tetapi nampaknya setelan gas tak dapat membalik. Orang-orang kampung yang tengah meronda dan beberapa tietangga sekitar langsung berhamburan dan mengerumuti mas Rizky.  Beberapa saat karena kegugupan kami dan wajah orang-orang yang memerah barulah kami bisa mengatasi motor tersebut. Jalan satu-satunya dengan mencabut kabel busi.

Mas Rizky minta maaf ke orang-orang dan dengan terbata-bata menjelaskan betapa apesnya motor tersebut tak bisa dikembalikan gasnya.

Keapesan Rizky berlanjut lagi selang sehari kemudian. Di tengah jalan motorku yang dipinjamnya tiba-tiba mogok. Dikira kehabisan bensin lepas diisi bensin motor tetap saja mogok, bahkan lebih tragis lagi karburator Hibrida RX King tersebut tiba-tiba meloncat dari tempat bertenggernya. “Mak Pluk”

“Mak Pluk, Lex”, telepon Rizky ke HP, dengan panduan lewat HP kujelaskan bahwa hal itu sangat lumrah dibandingkan tiba-tiba copot rodanya.

“Ya dipasang lagi mas”

Memang, motorpun bisa melaju lagi dengan kesimpulan di dalam hati Mas Rizky untuk kapok tak akan meminjam lagi kalau tidak benar-benar kepepet.

Si Suzuki memang hebat di jalan, tentunya saat ia masih beraksi sebagai tunggangan untuk lomba balapan motor. Tapi selepasnya konon si empunya memang menjualnya dengan harga murah selepas si motor membuatnya jatuh. Selepas itu mitos pun terbukti kalau motor itu bikin apes saja. Nasibnya kini bisa dijumpai di lorong bengkel pula bersama pendahulunya Tessa dan Tessi.

 

Ketemu Pauline

Ketemu Pauline bukan mimpi. Sebenarnya Pauline benar-benar ada. Ia adalah temanya temanku dari perancis yang kemudian menjadi temanku pula. Rambutnya blonda dan hidungnya mancung 2 kali lipat dari hidungku. Matanya biru dan kesimpulan terakhirnya Pauline adalah perempuan cantik. Dia menguasai 4 bahasa; Prancis, Inggris, sedikit arab, dan Bahasa Indonesia tentunya. Barangkali lebih dari 4 karena kesukaanya pada jurnalistik dan petualangan. Petualangannya mengalahkan bolang, dari belantara Eropa, Palestina, sampai pulau-pulau di Indonesia. Maka pertemuanku dengan Pauline adalah di Yogyakarta. Pauline lah yang membukakan mata bahwa belajar bahasa Inggris Cas Cis Cus dengan modal keberanian adalah lebih penting dari pada ikut kursus yang mahal-mahal.

Tahun 2007 Pauline tinggal lama di Indonesia. Ia menikmati beasiswa setahun dan kesenangannya pada hobinya yang banyak, terbentang antara fotografi, jalan-jalan, tulis menulis, petualangan, membaca buku dan lain-lain. Untuk mempermudah wara wiri dia di sekujur tubuh jogja, akhirnya Pauline membeli Pauline. Ya, Pauline adalah tinggalan Pauline, sebuah kendaraan yamaha bebek keluaran tahun 76 an. Warnanya merah lengkap dengan bercak-bercak besi berkarat karena usia Pauline yang sudah berjarak puluhan tahun dengan usia kami.

Pauline dibeli pauline dengan harga 800 ribu lengkap dengan surat-surat dan bonus berupa helm butut dan jas hujan. Pauline juga baru belajar nyetir motor meski kelihaiannya mengendarai mobil dan naik sepeda sudah tak diragukan lagi. Maka pengalaman Pauline mengendarai pauline adalah pengalaman pertama mencengangkan yang membuatnya hampir terperosok di got.

Sewaktu Pauline pulang kembali ke negaranya di perancis, maka diwariskanlah Pauline padaku.

“Ku kan selalu menjaganya” kataku

Pauline terhitung tangguh di usianya. Kuajak ke rute-rute yang jauh sampai ke luar kota. Meskipun bila panas mesin mencapai titik jenuh dengan ditandai aroma oli yang menyeruak, Pauline kemudian ngambeg dan dan berangsur mati. Tapi Ia dapat melaju lagi setelah istirahat sebentar. Rumusnya sangat gampang, bensin dicampur sedikit oli, dan oli mesin diganti 2 bulan sekali sudah cukup membuatnya trengginas.

Tombol Bel Jarak Jauh

Aku pernah punya teman. Kedekatan kami juga karena nama tengah kami yang sama. Kenangan aku dan teman dekatku itu dan Pauline adalah karena Pauline ini rupa-rupanya adalah motor ajaib. Teman dekatku membuktikan keajaiban itu berkali-kali sampai aku percaya Pauline memang motor yang aneh. Keajaibannya karena suara motor Pauline yang melengking, bertalu-talu punya frekuensi yang bisa memicu bel yang di pasang dipagar kos-kosan teman dekatku itu. Maka belum sampai aku dan pauline masuk pagar dan menghentikan masin, bel pagar itu otomatis berbunyi.

------

Sebetulnya enggan aku selingkuh dengan motor lain kalau tidak karena karena dipaksa oper kredit motor dari Kakakku. Pauline kini masih dengan setia menunggu sampai penuh debu di lorong ruangan. Terima kasih Pauline. Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi ya…..

7 Sep 2010

The Three cycle of Bombay - Passage to India Part#1

Kunjungan ke India adalah kunjungan pertama kaliku ke luar negeri, kalau tidak dihitung dengan transit di Bandara Internasional Changi Airport, bandara yang membuaku bergidik sebagai seorang udik yang pertama kali menapakkan kakinya di ruangan dengan aroma dingin menyegarkan, lantai  berbentngan karpet bersih seperti masjid, etalase-etalase yang penuh dengan barang-barang hi-tech sampai minuman dengan botol2 cantik macam Chivas regal, neon-neon dengan ikon-ikon dan tulisan penunjuk arah, lorong kereta skytrain yang mengingatkanku pada game Half Life, travalator yang mempercepat langkahmu menjadi 3 atau 4 kali lipat dan aneka rupa wajah orang yang bergegas.

P1020689

Aku sempat mencoba skytrain yang mengingatkanku pada game Half life itu, mengantarku pada terminal 3, menuju penerbangan berikutnya di Chenai International airport India. Disini, aku sempat salah membaca antara Changi airport di Singapura dengan Chenai Airport di India. Karena keduanya memang cukup kontras.

Menuju bandara Chenai dari bandara Changi adalah penerbangan sekitar 4 jam dengan Jet Airways yang kuisi dengan menonton film di layar kursi, berganti membaca-baca informasi, mendengarkan musik dan mencoba tidur memejamkan mata, mencoba melawan telinga yang pekak seperti mau pecah.Di jendela yang terlihat hanya lapisan awan, seperti pulau-pulau kapuk yang melayang-layang.

Bandara Chenai, kalau boleh kubilang, lebih mirip terminal bis kota di kotaku, hanya lebih besar beberapa kali lipat. Aku dan teman-teman di Indonesia disambut sebuah relief warna-warni bergambar berukuran 2 x 3 meter di lobby masuk bergambar krisna membawa kereta bertuliskan; ‘ seek to perform your duty but lay not claim to its fruits’, ‘mencoba melakukan tugasmu tetapi menempatkan diri tidak untuk memiliki hasilnya’, selebihnya anda akan disambut aroma yang menyeruak perpaduan antara parfum ‘sinyongnyong’ bercampur dengan keringat yang keluar dari metabolisme pencernaan makanan yang banyak mengandung rempah-rempah. Seorang temanku, Mona berkali-kali mengucapkan kata ‘busyet’ sambil geleng-geleng kepala tidak mirip gelengan kepala orang India diikuti kalimat deskriptif bahwa bandara ini mengingatkannya pada bandara di kampung halamannya dengan penerbangan komersiil dengan fasilitas yang serba manual.

Kejutan selanjutnya adalah bandara Bangalore, yakni 1 jam saja penerbangan dari bandara Chenai. Bandara Bangalore atau Bangaluru kalau tak salah memang baru dibangun, seiring Bangalore menggeliat menjadi kota lembah Silikon pusat para IT-IT India yang terkenal dan perusahan-perusahaan produsen software kelas dunia. Bandara Bangalore jauh mentereng dari bandara Changi, sebuah kontras yang membuat mulut Edri, teman satu komplotan dari Indonesia mengeluarkan prakata sambutan di Lobby bandara Bangalore;

“Nah, ini nih bedanya dengan negeri kita. India tuh jujur, jadi kita diperlihatkan juga yang jelek-jelek, kayak di Chenai itu, ndak hanya yang bagus2 saja yang diperlihatkan’

 

Bangalore, Kota Bajaj

Kesempatan pertama naik Bajaj adalah hari ke 3 diriku menginjakkan kakiku di Bangalore India dan menghirup udara bangalore yang penuh aroma rempah-rempah. Bajaj yang kutemui disini adalah bajaj berbahan bakar gas, sehingga pengendara tidak dimabuk uap oli dan menghitam jelaga setelah keluar dari kotak besi berukuran 1 x 1 meter saja itu. Dari sekitar 5 kali mengendarai bajaj, setidaknya kutemui 3 jenis klasifikasi supir Bajaj.

P1020018

(deretan bajaj menunggu penumpang di Bangalore, meningatkanku pada deretan becak menunggu penumpang di protokol malioboro)

Supir Bajaj pertama tak banyak omong dalam perjalanan. Sekali deal 200 rupe untuk perjalanan antara pinggiran kota sampai di MG road (Mahatma Gandi Road) pusat kota bangalore. Sang pilot bajaj mengendarai bajaj seperti tak punya penumpang saja, berkelit sana, berkelit sini melewati hiruk pikuk jalan. Baru kami sadari banyak kendaraan motor roda empat yang tidak mempunyai spion sebelah kiri. Premis kami tentang spion itu ; 1) Spion kiri banyak yang patah karena disambet/menyambet kendaraan dari samping, 2) Spion kiri lebih mahal di pasar ‘klitikan/barang bekas’ sehingga banyak maling spion yang lebih mengincarnya, 3) Para pengendara mobil di India punya kelebihan otak kiri yang yang membuat instingnya luar biasa bekerja tanpa perlu bantuan indera mata

Sopir Bajaj kedua, lebih banyak omong, bahkan terlalu banyak bertanya. Sekali menjawab 1 topik pertanyaan, maka dia akan mencerca dengan 3 atau lima lebih topik pertanyaan selanjutnya. Entah di paham atau tidak, suka atau tidak, kepalanya akan bergeleng-geleng. Sang pilot bajaj tipe ini perlu keahlian ‘listening’ atau pendengaran tingkat tinggi dari kami. Apalagi dengan terganggu oleh gemeretak mesin bajaj dan getaran seluruh tubuh bajaj itu membuat bahasa Inggris logat India yang diucapkan oleh pilot bajaj itu hanya sepatah-patah bisa kutangkap.

P1020543

(Argo meter Bajaj, konon juga bisa mengukur seberapa tinggi kadar senyum seseorang)

Bajaj India mempunyai Argo meter macam taksi di Jakarta pada bagian kabin. Kapasitas penumpang adalah 3 orang di tempat penumpang dan 1 sopir, meskipun pada prakteknya overloaded adalah hal biasa dengan 4 penumpang dibelakang dan buntalan-buntalan barang-barang. Tetapi ajaibnya, seperti pernah kulihat bajaj yang ditumpangi 5 orang anak pinak anggota keluarga plus barang-barang bawaan, kendaraan roda tiga ini tetap bisa berjalan dengan stabil. Sang sopir dengan lihainya bisa meliuk-liuk sambil menghidupkan klakson berkali-kali dan menyelusup diantara celah-celah  kepadatan kendaraan.

P1020192

(Auto gas, lebih ramah lingkungan dan tidak membuat penumpang mabuk uap oli)

Sopir bajaj tipe ketiga, adalah yang kami takuti dan bersyukur hanya sekali kami temui. Sopir bajaj yang berlagak sopan, dengan bahasa inggris pas-pasan dan geleng-geleng (entah tau entah tidak)  menjawab mengetahui lokasi yang akan kami tuju.

‘Yes, I know- I know, bangalor palace, bangalore palace, 250 rupees’

Pilot bajaj tipe ini kami temui saat kami ingin melancong melihat Bangalore palace setelah diiming – imingi foto narsis teman satu komplotan yang telah terlebih dulu datang kesana. Terpaksa 250 rupee kami ambil mengingat kami rombongan berempat, jumlah yang nanggung untuk menyewa 2 bajaj.

Pilot bajaj hanya diam saja sepanjang jalan, melewati lorong-lorong kota bangalore, setidaknya 3 hari kami berada di kota bangalore kami mulai curiga karena sepertinya kami hanya berputar-putar saja pada tengah kota. 30 menit berlalu, bahkan melewati jalan tikus menghindari kemacetan.

Bajaj berhenti di depan sebuah tempat hiburan, bertuliskan ‘sea world’, dengan sebuah komidi putar menyeruak diatasnya. Kami telah ditipu.

“Ya… bangalore palace” Pilot bajaj geleng2 kepala.

Maka kamipun sepakat tidak jadi memberikannya tambahan tips 30 rupe, keluar dari tubuh bajaj dengan muka sewot dan celingak celinguk mencari dimana tempat bertanya lokasi bangalore palace.

“Oooo, bangalorrrr pelec…. it stilll pery par prom hir” kata penjaga tiket sea world sambil geleng-geleng kepala lagi.

 

Pilot bajaj terkhir, tipe paling baik yang kami temui. Setelah insiden penipuan pilot bajaj tadi, kami lantas lebih selektif memilih supir bajaj berikutnya. Dengan perundingan alot, setidaknya 5 kali sopir bajaj tak lolos seleksi ketat kami, sampai tawaran teakhir pada seorang pria India.

“Ayem Muslim, Bangalorr pelec, yes I knoww welll bangalor pelec.”lagi-lagi pria hindia berkumis ini menggeleng-gelengkan kepala.

Sepertinya wajahnya santun, begitu opini subyektifku dan mbak Susi yang memakai jilbab. Meski masih memendam was-was akhirnya kami berempat meringsek ke tubuh bajaj yang memang menghantarkan kami ke Bangalore Palace.

Tak hanya sampai disitu, supir bajaj ini menemani kami masuk di Bangalore Palace, menghantarkan kami ke Gedung Mahkamah tingginya kota Bangalor dan gedung DPRD kota bangalore. Lalu masih ditambah menghantarkan ke kantor pos, toko ‘Indian Store’ gudang kain dan busana  yang lumayan murah dan terakhir kami berpisah di perempatan MG Road. Sopir baik hati ini memang sempat meminta kenang-kenangan dari kami.

“If therrr sopenir promm Indonesia?”

Selamat tinggal Farooq, semoga kapan2 kita bertemu lagi.

P1020544

(kalau datang ke bangalore lagi, silakan kontak saya, Farooq 9900495254)

 

17 Feb 2010

Mr. Agus Tahu

 a tahu 6374 Temanku dari Polandia begitu membenci ‘tahu’, makanan khas Indonesia yang terbuat dari kedelai putih yang berasa kenyal dan diolah dalam berbagai aneka. Tahu memang fleksibel, dari sekedar direbus, digoreng dengan sedikit bumbu garam, dipotong kecil-kecil dan dimasukkan dalam aneka olahan. Aneka olahan itupun banyak variasinya, dari yang menaruh ‘tahu’ sebagai unsur pokok' sampai dengan tahu hanya sebagai unsur komplementer. Nah, tahu sebagai unsur pokok ada tahu tek, tahu isi, tahu kupat, tahu guling, tahu sumedang dan sebagainya. Sedangkan unsur komplementer lagi, dari mulai gado-gado, dicampur dalam soto, sup, tahu isi, dicampur dalam mpek-mpek, tahu isi, lontong tahu, sampai dengan dijadikan kerupuk Tahu. Maka karena fleksibelitas Tahu ini, temanku dari Polandia menjadi tersiksa, berhati-hati untuk meneliti lebih dulu tiap kali masuk ke warung makan.

“Tahu….. I hate Tahu’, katanya, sambil melihat pada warung ‘Tahu Tek’ asli Surabaya.

Temanku yang membenci tahu itu sebenarnya bukan orang yang rewel terhadap makanan. Sebagai orang rumpun eropa, ia sanggup makan apa saja, bahkan mungkin kalau aku bohongi bahwa ‘daun ketepeng’ bisa dimakan, iapun akan mencobanya. Tapi untuk tahu, ‘now way’, katanya. Si tahu harus rela disingingkarkan ke keluar dari mangkuk soto yang sudah terlanjur bercampur tahu.

‘Di pasar dekat tempatku ada sate tahu lho… enak sekali, yang jual mbok-mbok pasar’, Sekali aku menggodanya, menawarkan hal lain, hal fantastik tentang tahu. Tapi dia hanya berkenyit dan melanjutkan menyantap sotonya sampai kuah terakhir. Soto memang makanan favoritnya, tapi tentu saja minus potongan tahu.

****

Kunjungan kami ke Palangka beberapa waktu lalu setengah berkarya setengah jalan-jalan. Di Palangkaraya, tepatnya di sebelum daerah Tangkiling, sebelum Sampit, di areal transmigran yang penuh dengan kebun-kebun kelapa sawit, disanalah kami menemu ‘Agus Tahu’. Sebermula kami ingin mengorek keterangan tentang para Transmigran yang memilih menyerah hidup di daerah transmigran, lantas menjual lahanya dengan murah dan pulang lagi ke kampung halamannya yang kebanyakan dari Jawa.

Pak Agus Tahu juga membeli rumahnya yang kini telah disulap menjadi ‘home industri’ pembuatan Tahu dari seorang keluarga transmigran yang pulang kampung. Konon dibelinya rumah dan tanah itu dengan harga yang murah meriah. Sebuah rumah sederhana berpapan kayu seperti umumnya rumah-rumah transmigran lainnya dan areal perkebunan seluas 1 hektar. Toh Pak Agus Tahu hanya memerlukan rumah itu untuk tempat produksinya yang terhitung lumayan jauh dari pusat kota Palangkaraya, hampir 1 jam perjalanan. Tetapi kini semenjak 4 tahun membanting tahu (baca: membanting tulang), Pak Agus tahu sudah mempekerjakan 2 orang, memiliki 3 buah sumur buat menananak tahu dengan kapasitas banyak, memiliki mesin giling kedelai dan tungku penanak kedelai. Untuk distribusi tahu-tahunya Pak Agus Tahu kini tak perlu repot lagi karena para konsumennya yang akan berdatangan ke rumah produksinya dan dibantu sebuah mobil pick up miliknya yang siap mendistribusikan tahu ke seluruh pelosok tangkiling sampai Palangkaraya.

Pak Agus tahu berasal dari Purwokerto, tetapi sebelumnya ia tinggal bersama ayahnya yang merantau bertahun-tahun di Makasar dan membuka pabrik tahu di kota tersebut. Ayahnya sendiri Konon karena suatu hal, Pak Agus memilih pindah dari Makasar bersama Istri dan seorang anaknya merantau ke Palangkaraya ini. Adik pak Agus tahu juga merantau ke Surabaya, membuka pabrik Tahu juga. Sepertinya unik kalau mencatat risalah penyebaran keluarga dinasti  produsen tahu ini. Sayang, saya tidak bisa merunut lebih jauh lagi kisah pengalaman pak Agus tahu dan keluarganya.

****

Temanku dari Polandi itu manggut-manggut. Jepret sana jepret sini dari proses pembuatan tahu dalam ruangan agak sempit penuh dengan aroma ruap kedelai rebus yang memenuhi ruangan. Sambil kami ajak ngobrol, Pak Agus Tahu masih sibuk mengaduk adonan tahu, membuang air sisa limpasan tahu yang diendapkan, mengaduk adonan tahu dan bekerja dengan selang air. Ia bergerak dengan cekatan dengan setengah badan telanjang, celana kolor, tanpa sandal dan otot-otot tubuh basah karena uap air.

“Ini buat ghrook….ghrook…mister, gud..gud”kata Pak Agus Tahu, sambil menunjuk sisa limpasan air endapan tahu.

Maksud Pak agus tahu, air sisa endapan tahu itu biasanya diambil oleh orang-orang untuk minum ternak Babi. Temanku dari Polandia yang membenci Tahu itu makin manggut-manggut, tersenyum-senyum.

Tahu-tahu itu sebenarnya melalui proses yang sederhana dengan alat yang sederhana tidak seperti pembuatan tempe yang melalui proses ‘diinjak-injak’ dengan kaki. Adonan tahu juga dicetak dalam cetakan sederhana, dari kotak kayu dengan alas kain untuk menyaring sisa air. Keenam sumur pemasakan,

Tetapi temanku tetap tidak suka pada tahu. Apapun itu diolahnya meski dia sudah melihat proses pembuatan tahu yang cukup ‘menantang’. Walhasil kala pertemuan singkat dengan pak Agus Tahu, lantas ditawari menunggu sebentar sedang digorengkan tahu, maka tanpa basa-basi temanku yang tidak suka tahu itu mohon pamit.

“Saya sudah tahuuuu, munkin nanti mo coba tahu.. mungkin nanti…permisi”

18 Jan 2010

Jathilan Jalanan

ryanlj986ryanlj985okjatilan

Suara bonang, kempul dan kendang dipukul dengan komposisi yang berulang-ulang. Tidak menghasilkan intonasi yang mengalunkan sebuah lagu, tetapi hanya ‘beat-beat’ monoton yang memandu gerak para penari jatilan yang berpakaian warna-warni, beberapa memakai topeng, beberapa mecoreng moreng mukanya dengan dominasi warna merah semerah saga. Topeng adalah representasi wajah makhluk ganjil. Dengan rambut gimbal awut-awutan, gigi2 besar tak beraturan dan mata yang terbelalak marah. Seiring tempo instrumen yang monoton itu semakin cepat, semakin cepat pula gerakan para penari. kepala mereka bergeleng-geleng, bergoyang-goyang seperti kesurupan. Beberapa dari mereka yang mengenakan lelonceng pada kaki, menambah suara dengan bunyi gemerincing seiring hentakan kaki. Tak ada lagu, lirik, matra atau tembang dalam iringan musik, kecuali bunyi yang monoton itu.  Sesekali bunyi lecutan pecut memecah diudara, memekakkkan telinga dan membuat seketika kerumunan orang yang dalam lingkaran bergidik.

‘Ctarr… ctarrr’ Dan, para pemain jatilan semakin bergerak semakin binal, menggelepar-gelepar dengan kuda-kudaan dari ‘kepang’. Si kuda lantas seperti adegan berlari dengan kecepatan laksana terbang, melonjak-lonjak bagai rodeo, mendengus-dengus mengeluarkan asap dan debu dari dua lubang hidung dan mulut.

Lalu instrumen yang bukan pentatonis pula diatonis itupun terus ditabuh ;‘Pong-pong-pong, pong dil pong, pong dil pong, pong dil pong, blanggentak tung tung dil, pong pong dil pong….’ begitu terus bertalu-talu.

Seperti medan magnit, suara itu memanggil orang-orang yang datang dari berbagai penjuru mata angin, bergerak mendekat, berkerumun, membentuk lingkaran mengelilingi para pemain jatilan.

“Ada jathilan!”, dari kejauhan dalam radius suara itu mengumandang orang-orang di kampung, dijalan-jalan dan di sudut desa mendengarnya, membicarakannya.

 Episentrum adalah pohon angker

Dahulu orang memanggil Jatilan untuk acara selamatan. Bila ada penduduk kampung atau desa merasa diganggu oleh ‘makhluk halus’. Ada banyak pohon-pohon besar di sana yang umurnya melebihi bilangan usia manusia tertua di kampung itu. Tak pernah habis cerita orang-orang kampung tentang penampakan berbagai wewujud makhluk dari dunia lain tersebut. Orang-orang kampung disitu menyebut nyebut tentang ; genderuwo yang kemunculannya dibarengi bau ubi bakar, kuntilanak, tuyul yang kecepatan larinya melebihi kedipan mata, sampai dengan pocong yang muncul dari rerimpun pelepah pisang. Pendek kata kebon itu menjadi kerajaan bagi aneka rupa makhluk gaib tersebut.

Juga pada saat acara pembersihan. Pohon-pohon besar dibabat untuk digunakan sebagai lagan banguna. Ditanggaplah Jatilan yang konon untuk memanggil para penghuni  pohon-pohon angker tersebut. Meminta mereka pindah ke tempat lain, sebagai syarat, tentu ada sesajian; ayam cemani hitam, kembang setaman, teh dan kopi, kelapa muda.

Saat bonang dan kempul mulai bertalu, semakin keras semakin cepat, sang dukun mulai bersiap-siap. Asap dupa, kembang setaman, sesajian berupa ayam cemani hitam, kopi hitam, kelapa muda, jenang merah mutih dan aneka rupa sesajen lainya telah tersedia. Sang dukun duduk bersedeku, mulai berjaga-jaga pada pemain yang mulai ‘trance’, mulai kesurupan.

Seorang pawang yang berjaga-jaga apabila penari jatilan sudah sangat keterlaluan gerakannya tak terkendalikan, sang pawang akan turun tangan, merapal ucapan-ucapan yang tak jelas suaranya, memegang kepala si pemain yang kesurupan, menatap matanya lekat-lekat dan lantas terakhir menyemburkan isi mulut yang penuh air ke muka si pemain yang kesurupan. Kemudian, entah itu sungguh-sungguh atau hanyalah sebuah ‘akting’ (meskipun akting pun, anda tak akan percaya kalau itu akting), pemain yang kesurupan tersebut akan jatuh lunglai ke tanah, tak sadarkan diri beberapa menit lantas siuman dengan wajah yang kini berubah rona, menjadi normal seperti sedia kala. Konon si pemain jatilan yang telah trance alias kesurupan tadi, sudah tak ingat lagi jika sewaktu trance tadi ia sudah berlonjak-lonjak dengan tak karuan, mengupas dan memakan kelapa bulat-bulat, memakan ayam hidup-hidup, mengunyah beling alias pecahan kaca, memakan bara api dan tingkah  tak karuan lainnya.

Pada saat kesurupan itu, sang pawang atau dukun mulai berkomuniksi. Menitahkan para penghuni pohon-pohon besar untuk pindah ke tempat lain. Kalau perlu sang dukun akan menawarkan rumah baru.

The Show must go on

Hidup harus dilanjutkan. Diantara gedung-gedung dan bangunan yang tumbuh pada bekas sawah, centang perentang Baliho yang warna-warni dengan aroma vinyl  dan semakin lenyapnya pohon-pohon besar tempat dedemit bergentayangan, maka tak ada lagi orang menanggap jatilan. Barangkali dedemitpun sudah enggan untuk makan sesaji masih tradisionil karena sudah mencicipi hidangan ‘ala fastfood’.

Maka jatilanpun lantas tak kehilangan akal agar terus hidup dan menabuh bonang dan kempul. Kini mereka mempertontonkan jatilan di tengah perempatan. Seperti yang kini terjadi di perempatan kota Yogyakarta. Para penari jatilan menari saat lampu merah berhenti. Tak ada lagi kerumunan orang yang mengelilingi mereka, tetapi hanya sebuah kaleng yang disodorkan pada pengendara yang tengah berhenti di lampu merah.

Waktu mereka kira-kira 1 menit saja untuk tampil dan menyodorkan kaleng sebelum lampu hijau menyala dan berpindah lagi ke sisi perempatan lain yang tengah berhenti. Maka repertoar jalanan ini akan berputar mengikuti  mengkuti signal lampu. Tidak ada lagi mengunyah beling, sajian kembang setaman atau adegan ‘Trance’. Pada sudut ini, Jatilan telah jadi seni kontemporer. Seni kekinian yang harus merespon ruang dan waktu yang semakin centang perentang.

17 Des 2009

Dilarang Meremehkan Kentut

semar1 Jangan menyepelekan kentut, konon ada cerita kentut yang menyelamatkan nyawa. Ada juga ajian paling dahsyat dari sang Semar namanya ‘Kentut Semar’. Sekali kentut ‘Buzz’ dari belahan pantat besar dari Semar, maka radiasinya bisa sampai radius ratusan kilometer, dan sang kentut, anehnya bisa ‘tebang pilih’ mana lawan yang bisa ditumbangkan dengan bau yang langsung membuat ‘klepek-klepek’ dan mana kawan yang hanya akan didera angin semilir. Kentut Semar hanya dikeluarkan disaat-saat genting, seperti laiknya senjata hulu ledak nuklir di kapal selam yang hanya bisa diluncurkan dengan komando khusus.

Sekali lagi jangan remehkan kentut. Kentut adalah sebuah perangkat ‘gojek kere’. Gojek kere adalah semacam frase basa jawa untuk mengistilahkan humor yang muncul di kalangan kaum miskin, humor yang manusiawi berkisar kejelekan fisik, tingkah laku buruk atau hal-hal yang masih bau primitif. Di saat perbincangan yang formil dan berat, bila tiba-tiba ada orang yang kentut dan berbunyi ‘keras’ maka pecahlah batu formalitas itu. Lihatlah apa yang terjai kemudian; akan ada 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama si kentutters akan didupak sementara dari lingkaran pertemuan formal itu, dan sik kentuters akan mengeloyor pergi dengan malu-malu atau dianggap ‘agak ndak normal’. Kemungkinan kedua, pecahlah formalitas itu dan dimulailah perang ‘bintang’. Sebuah perang balas-membalas ‘kentut’. Makin keras makin ramai dan tertawalah orang-orang. Dan ‘gojek kere’ pun dimulai.

Dua kali lagi jangan remehkan kentut. Aku mengalaminya sendiri bagaimana sebuah kentut tidak peduli dengan suara keras, bunyi gedebum, bunyi buzz, atau keluar hampir tanpa bunyi sama sekalipun, dengan bau anti-semerbak apapun, sedang dinanti-nanti dengan sabar dari hari ke hari. ‘Kentut’ yang dinanti-nanti ini adalah kentutku yang pertama kali selepas operasi usus buntuku.

Aku mendapat serangan usus Buntu kali aku kelas 6 SD. Sewaktu anak-anak lain sibuk mempersiapkan ujian, aku harus terkapar di rumah sakit karena usus yang buntu yang bengkak ini. Masih kuingat betul bahwa beberapa hari sebelum operasi usus buntuku dijalankan, aku masih menikmati saat berbuka puasa yang tumpah ruah dengan aneka makanan dan minuman. Eh, hanya selang sehari , aku terserang sakit perut sampai kemudian si dari hasil chek darah, memvonisku untuk operasi usus buntu.

Lama operasi usus buntu kira-kira hanya kurang dari satu jam saja. Dengan sisa pengaruh bius yang ada, aku tersadarkan diri dengan kondisi tubuh tiba-tiba sudah terbaring di ranjang ruang pasien dengan bagian bawah kanan perut tertutup perban tebal, tubuh lunglai, pakaian daster pasien, selang infus, dan ibundaku yang duduk disamping dengan muka yang ‘sumringah’. Maka itu adalah dimulainya saat penantian bermenit-menit, berjam-jam dan berhari-hari demi keluarnya ‘kentut pertama kali dari ku.

“Pokoknya jangan dikasih minum sedikitpun sebelum kentut” Perintah dokter adalah wajib adanya, tegas dan pasti. Konon kalau melanggar itu, akibatnya sisa luka operasi akan membengkak dan paling buruk membusuk sampai kemudian harus dioperasi. Hiiiii… ngeri membayangkan hal itu.

Maka atas ‘kekhawatiran’ itulah ibundaku melawan ‘kekhawatiran’ yang lain pada aku untuk tak memberikan minum padaku barang setetespun, meski air mukaku kehausan, mengiba dan memelas. Ya, meskipun sudah ada selang infus, yang notabene tetap ada asupan gisi mengalir pada tubuhku yang terbaring, tetapi naluri anak-anak sepertiku seakan-akan merasa selalu ‘kehausan’. Aku bisa melihat wajah ‘kembang kempis’ ibunda demi menetralisir dan meredam keinginananku untuk minum, dari mengipas-kipasi, menepuk-nepuk, mengelus-elus sampai dengan meniup-niup mukaku. Begitupun ibunda meyakinkan padaku dengan berbagai macam cara ‘bahwa setelah bunyi kentut yang pertama’ dari pantatku keluar, maka ia akan memberikan padaku susu coklat.

‘Sabar yoo lee…”

Bermenit, berjam, berhari telah dinanti. Ibunda yang sabar menungguku di pojok ranjang, sesekali menempelkan telinganya lekat-lekat ke sarung yang kukenakan, berharap benar ada ‘bunyi yang dirindukan’ itu keluar dari pantatku. Dan…. “Thuuuuut….” Saat bunyi yang pertama keluar, ibunda masih belum yakin dengan suara itu, ia semakin mendekatkan telinganya ke sarung ku kenakan. Ya… memang ada bau yang tak biasa. Bau yang sesuangguhnya luar biasa dari hasil metabolisme alamiah perut berikut campuran-campuran kimia medik hasil operasi. Itupun tak cukup menjadi indikator bahwa aku sudah kentut.

“Sabar, tadi kok kayak ndak kedengaran kentutnya… kita tunggu lagi”

Maka, seperti menunggu sesuatu yang pasti datang tetapi tak tau pasti datang dan tak mau melewatkan saat yang historik itu, Ibunda, kali ini berikut Papanda, benar-benar mengerubungi sarungku. Mendekatkan telinga mereka lekat-lekat, berdiam menjaga kesenyapan agar bunyi kentut yang nantinya bakal keluar tidak terganggu suara apapun. kalau toh harus bercakap-cakap, mereka berbisik-bisik.

“Thuuuuuutttt….. thuut…. thuuuut…. thuuut…”Kali ini lebih nyaring, dengan intonasi yang jelas meski terbata-bata. Tapi suara yang keluar itu begitu jernih, sejernih Dave koz memainkan saxofone, semerdu siulan axl rose dalam intro lagu ‘patient’ dan senyaring venessa bermain biola. Pokoknya, pecahlah sudah wajah sumringah pada ibunda dan bapakku seketika itu. Ya, sekarang aku sudah bisa kentut yang berarti metabolisme tubuh sudah normal adanya, aku sudah boleh meminum susu coklat kesukaanku, disuapkan sedikit demi sedikit dari sendok.

Sekali lagi dilarang meremehkan kentut.