3 Jun 2008

das community haus



Rumah itu berada di tengah-tengah kampung di pinggiran kota. Lurus memasuki jalan yang membelah kampung pinggiran kota itu, jalan beraspal kasar dengan permukaannya sudah bopeng-bopeng, di kanan kiri jalan rumah-rumah khas kampung pinggiran kota yang sangat beragam, seakan akan berlomba menunjukkan status; rumah si kaya dibangun bertingkat dengan garasi dan pagar yang tinggi, sedang pada rumah orang-orang kebanyakan adalah rumah-rumah tembok, centang perentang dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda.
Tetapi rumah di tengah-tengah kampung itu, kira-kira 300 meter masuk ke lorong jalan gang yang membelah kampung, mempunyai bentuk yang berbeda. Temboknya corat moret warna-warni yang hampit tiap taun berganti warna, yang memiliki rerimbun tanaman pagar 'teh-tehan', pohon jambu klutuk, pohon pelem sampai melati. Sekilas rumah itu adalah dua buah rumah yang berbeda yang dihubungkan dengan lorong berpintu. Memang, dulunya adalah dua rumah berbeda yang dibangun pada waktu yang berbeda pula. Bagian rumah yang lebih besar dulunya joglo semi permanen dengan dinding gedeg kutangan dari anyaman bambu yang kini setelah dijadikan satu turut dibangun tembok, menyatu dengan bangunan sebelahnya yang usianya lebih baru. Bagian rumah yang lebih kecil usianya muda, tetapi konstruksinya hanya dinding yang terlalu banyak campuran gamping, sehingga mudah untuk dilubangi dengan paku.
Nah, di rumah itulah tinggal diriku sendiri, dua kakak laki-laki yang dulu sempat kuliah di ISI, seorang kakak Ipar perempuan , satu keponakan kecil dan dua ekor kucing bernama Paijo dan Bejo. Tentang dua ekor kucing ini, si Bejo kucing berbulu putih dengan sedikit totol-totol hitam tumbuh besar, kupelihara sejak kecil, sebagai satu-satunya pertalian kucing terakhir yang turun temurun induk semang kucing belang bermata sipit. Si bejo punya 2 saudara kembar lain yang satu demi satu mati saat masih kecil. Meskipun kupelihara semenjak kecil, si Bejo punya sifat liar, keluar masuk rumah dengan leluasa, mengobrak-abrik genting, sampai dengan mencuri lauk pauk tetangga. Si bejo yang liar tidak pernah mau dipegang.
Satu kucing lagi, Si Paijo adalah kucing yang sekonyong-konyong ada semenjak gempa 27 mei 2006 kemarin. Sebagai kucing pulung 'gempa', Si Paijo punya perawakan besar, kecoklatan dan sangat pemalas. Saking malasnya, sehingga gampang menemu Si Paijo ini, kalau tidak tidur melingkar di sudut-sudut rumah, paling ia sedang duduk termenung di atas jok motor atau kursi. Jika sudah begitu, walau dikagetkanpun si Paijo cuek saja……
Das Haus adalah ekosistem yang unik
Nama Das communiy haus berarti rumah komunitas, bukan nama yang mengada-ada. Di Das Community haus, selain anak pinak, satu kemenakan kecil dan dua ekor kucing yang hilir mudik itu, ada banyak orang-orang berdatangan, pergi, datang, pergi, lalu datang lagi untuk kembali lagi atau untuk pamit selama-lamanya. Das Community haus, adalah nama yang diberikan seorang Jerman Bernama Jakob yang dalam kurun waktu 6 bulan pernah hilir mudik dan tinggal di rumah ini.
Setelah ibunda meninggal, ayahku yang tinggal dengan istri baru dan keluarga baru, anak-anak baru, masalah-masalah kelaurga baru, dari C1 sampai bayar SPP, dari arisan sampai ronda, dari digerutui mertua sampai digerutui istri yang nagih uang belanja. Lantas sekurun waktu kami anak berpinak, satu ipar, satu kemenakan dan dua ekor kucing ini jadi maklum kalau sang ayah, the godfather yang dulu terkenal galak dan tegas itu, lambat laun jarang inspeksi ke rumah ini.
Dengan begitu Suasana das community haus makin cair, tak ada ‘the god father’, figur partonisme yang galak, kalaupun ada sudah pasrah pada anak-pinak, satu ipar, satu kemenakan dan dua ekor kucing untuk mengelolanya.
Pada hari-hari biasa, kakak iparku jadi ‘the only beutifull women’ di Das Community Haus. Dengan, kompisisi gender yang tak setimbang ini maka bisa dibayangkan bagaimana ekosistem rumah adalah ‘kapal pecah’ dengan bagian-bagiannya lebih banyak menonjolkan hal-hal maskulin, seperti tumpukan-tumpukan baju, tumpukan-tumpukan barang bekas, centang-perentang perkakas, dapur yang penuh dengan perkakas kotor.
Komunitas-komunitas yang pertama muncul adalah 'sanggar bakat anak salam' atau yang disingkat SABANA yang hadir pada sekitaran tahun 1998 sampai 2000. Di dalamnya adalah dua kakakku, teman-teman main yang dulu juga teman sekolah, anak-anak muda dari kampung dan teman-teman dari kampus. Gerombolan kawan-kawan itu masing-masing juga membawa kawan-kawan lain atau pacar yang sengaja di gandeng masuk das community haus. Walhasil, sanggar SABANA ini jadi penuh berjejal dengan anak-anak muda dari berbagai bentuk. SABANA mengalami perpecahan yang sporadis, untuk bahasa halusnya bubar tanpa kejelasan, setelah sukses besar menyelenggarakan Lomba Lukis 'Jogja Ceria'.

Ide terus bergulir dalam Das Commuity haus, seperti halnya usaha-usaha mandiri 'jatuh bangun ' diusahakan oleh dua orang kakakku dan teman-temannya. Deretan usaha itu dari tukang sablonase kaos, spanduk, stiker sampai bandana beralih ke tukang buat reklame. Kemudian beralih lagi membuat aneka kerajinan dari kayu dengan yang pernah mencatat sukses memperkerjakan ibu-ibu dan perempuan di kampung ponggalan dengan upah Rp. 125 rupiah tiap merakit souvenir pulpen kayu. Sayang ekspor 'pulpen kayu' yang konon ke Norwegia itu dengan omset pertama sampai bilangan 7 jutaan gagal di tengah pengiriman karena kena 'ngengat'.
Gagal dengan usaha kerajinan pertama, berpindah nama dari Sanggar Sabana menjadi Studio Bebekku. Nama ini asal comot dari usaha ternak bebek 3 ekor yang hanya menghasilkan telur-telur yang selalu jadi rebutan buat sarapan. 3 ekor bebek itupun setelah berbulan-bulan lamanya berakhir tragis jadi 'potong bebek' di 'bakar' pakai kecap pada pesta ulang tahun dari siapa, sudah tak ingat!
Dengan kibaran nama baru Studio Bebekku, usaha beralih jadi tukang buat tas. Berawal dari seseorang yang 'ndak jelas' kedatangannya yang mempunyai keahlian 'bikin tas' dan memulai 'hidup baru'nya di Das community haus. Usaha tas berkembang pesat, dari mulai memenuhi pesanan personal, tas gunung, tas kantor sampai pesanan tas-tas seminar. Bahkan sampai menambah tenaga tukang jahit yang didatangkan dari bandung, Asep namanya. Usaha ini berakhir dengan perginya sik tukang Jahit dan memilih kontrak usaha sendiri setelah menikah. Lalu, bubar dengan usaha produksi tas, beralih ke usaha cetak fiberglass. Usaha fiberglass ini mencatat sukses dengan membuat berbagai macam souvenir yang kemudian mesti gulung tikar karena gagal produksi membuat helm dari fiberglass. Helm yang kalah harga dengan helm berbahan plastik yang cuma dijual Rp. 25.000 per kepala.


29 Apr 2008

Alit

Karena Van Gogh mengiris telinga kirinya, Leonardo membedah mayat dan sederet eksperimen 'nyleneh', Bob Sick menutupi sekujut tubuhnya dengan Tatto, sampai dengan akhir yang tragis seorang pelukis muda bernama Alit Sembodo yang konon memilih mengakiri hidupnya pada rentang usia yang masih muda, maka lengkaplah sudah menjadi pelukis adalah 'kutukan'. Ini mungkin terlalu ekstrim, tetapi sebagian dari mereka mengamini bahwa menjadi pelukis adalah sebuah perjuangan berat yang melalui berbagai lapis ‘ring’ pertarungan.

Lingkaran pertama, adalah dalam diri sendiri, si individu akan menghadapi pertentangan-pertentangan semisal; benarkah ini sebuah profesi? Pada ring selanjutnya adalah keluarga. Keluarga yang merupakan unit sosial terkecil pada awalnya menjadi ruang untuk basis awal untuk berlindung dalam segenap aspek, baik ekonomi sampai dengan psikologis. Tapi seperti juga yang dialami Alit, pada pertarungan di ring kedua ini, ia akan menghadapi kesulitan tentang ;seberapa relevankah menjadi pelukis sebagai sebuah pekerjaan yang punya prospek kedepan? Apalagi jika dalam ring keluarga itu belum si seniman (pelukis) adalah satu-satunya yang keluar dari tradisi ‘pilihan’ yang sudah turun-temurun. Maka pilihan itu menjadi sangat sulit seperti juga yang dialami seniman muda sang Alit.

Lukisan meskipun itu benda yang muncul dari cipta rasa dan karsa bukan seperti halnya gerabah yang bisa dengan merta diperbanyak lantas dipajang untuk kemudian segera laku menjadi duit. Tetapi, lukisan juga meliputi daya dukung si pelukisnya yang meliputi bagaimana ia bergaul, bergelut, melewati ring demi ring pertarungan, atau bahkan mungkin pertaruhan itu.

Jika ring pertarungan di keluarga itu sudah bisa dilalui, pelukis/seniman akan menghadapi ring yang lebih besar lagi bernama masyarakat. Tergantung dimana lingkungan ia bercokol dan menempatkan diri tetapi masyarakat kebanyakan sudah memiliki label-label yang melekat tentang pelukis/senimant. Bahwa seorang pelukis/seniman adalah orang-orang ‘nyleneh’ berpenampilan eksentrik, rambut gondrong atau gimbal. Bahwa pelukis sibuk dengan imajinasinya sendiri, tak punya kontribusi berarti mengenai ‘bagaimana menurunkan inflasi dan bla-bla-bla…”

Mereka mungkin tak melihat bahwa pelukis-pelukis muda ini, seniman-seniman muda ini, adalah kawan di garis pinggir. Dalam masyarakat yang dinamis yang didalamnya dipenuhi nuansa gerakan sosial, maka pelukis-pelukis muda ini, seperti juga Alit sembodo adalah kawan-kawan yang tak pernah habis-habisnya menjadi energi bagi gerakan sosial.


12 Des 2007

Manusia Pohon


Si manusia pohon....

Hijau adalah tempat bercokolku semenjak keluar dari majalah blank!, sebuah majalah desain grafis yang harus gulung tikar pada edisi 6 thok!




16 Okt 2007

Naik vespa keliling kota sekeluarga



Scooter alias vespa, selain bentuknya yang klasik, nyaris tak pernah berubah dari semenjak edisi perdana pertama sampai keluarannya terkini. Motor asal Italy ini menggunakan mesin tempel di bagian kanan belakang, sehingga bagi pengguna skooter punya kiat-kiat khusus memberlakukannya, misalnya; Memiringkan ke kanan apabila mogok, membawa ban serep untuk jaga-jaga dari ban bocor (Vespa paling dibenci tukang tambal ban karena tingkat kesulitan menambalnya)dan tips-tips lainnya. India yang mempunyai Bollywood untuk meniru langkah Hollywood, sampai-sampai memproduksi 'Bajaj', sejenis motor dengan desain mirip Vespa. Sayang, kedasyatan mesin Bajaj ini telah dikebiri satu-satu, dirombak total kelongsongannya menjadi Bajaj-Bajaj yang sekarang jadi trand mark kendaraan aseli Jakarta. Maka nasib sang Bajaj aseli tak dapat diketemukan lagi dan orang lebih mengenal bajaj sebagai Bajaj yang sekarang.

Sewaktu kecil Bapakku memutuskan untuk membeli vespa dengan alasan kendaraan ini potensial sebagai kendaraan keluarga. Bisa memuat segenap anggota keluarga yang 6 gelintir manusia; Bapak, ibu, dan empat orang kakak-beradik, termasuk aku.
Bapak pegang kendali setir, dengan diapit Ibu yang menggendong aku, kakak perempuan cukup duduk mepet ditengah-tengah, berbagi jok dengan ibu. Sedangkan space longgar antara kemudi dan jok tempat duduk bapaku telah diisi berjejal dua orang kakakku. Bisa terbayangkan bagaimana tingkat kesulitan Bapakku, mengontrol kemudi sambil berteriak-teriak agar kedua kakaku berhenti bertingkah dan bertengkar.
Sementera aku sebagai si bungsu dengan nyaman menikmati gendongan Ibunda (Sebagai bungsu, aku digendong Ibunda sampai hampir berumur 7th!). Ibunda punya tugas tambahan sebagai co-pilot, melambai-lambaikan tangan saat belok, memberi instruksi berhenti pada lampu lalu lintas dan ikut mengerem mendadak dengan kedua kaki saat berhenti. Pada bagasi telah penuh berisi centang perentang, alat ganti popok, bekal-bekal makanan dan tremos minuman. Walhasil sang vespa berjalan terseok-seok mirip karapan Gipsy, penuh rumbai-rumbai, teriak-teriak penumpang dan aneka buntalan-buntalan bawaan. Potret seperti ini masih terekam dalam benakku, terutama saat mudik lebaran ke kampung halaman dan acara tamasya keluarga.

Si Vespa Keluarga hanya bertahan kira-kira sampai aku kelas 6 SD, dengan lambat laun selain mesin sudah uzur dengan asap knalpot yang sudah mirip kakek-kakek perokok klobot, juga karena daya muat vespa stagnat berbanding kali lipat pertumbuhan badan para penumpang. Satu demi satu, dimulai dari kakak terbesar ke paling kecil sudah tidak bisa menaiki vespa bersama-sama, sampai pada akhir riwayat tugas, aku kini menempati posisi istimewa, duduk di rongga vespa depan Sang Bapak yang galak. Posisi ini selalu kunikmati, sambil berimajinasi, membayangkan mengemudikan sebuah pesawat antariksa, mirip serial kartun flash gordon, serial kartun silver hawk atau tantangan gobot.... (Dulu film-film fantasi kartun hanya ada di TVRI saban sore)

Si Vespa Keluarga, hilang ditipu orang
Akhir riwayat vespa keluarga memang tragis. Suatu ketika Bapak berniat menjualnya. Yah maklum, kini kami sudah punya kendaraan lain yang baru trend, canggih dan lebih trendy, bernama "astrea grand" yang beli dari kredit (Masih ingat aku, Sistem Kredit baru muncul awal pertama kali). Kami masing-masing sempat foto bergiliran di depan motor baru ini, di samping si Vespa yang mengonggrok, menunggu pemilik baru.
Seseorang misterus, dengan muka necis, yang ngakunya ingin tertarik membeli vespa itu datang berlagak menawar. Ternyata ia seorang 'penipu'. Tidak ingat aku detil peristiwanya tapi intinya vespa itu telah raib ditangan penipu. Saya hanya ingat untuk beberapa hari setelahnya, lamanya orangtuaku sudah sibuk menguber-uber informasi, dari satu orang pintar ke orang pintar lain, sebelum akhirnya vespa kami diketemukan. Kondisi vespa waktu diketemukan memang masih utuh, meski memicu banyak masalah dengan aparat, karena 'cara' pencarian orangtuaku yang menempuh jalur dan alibi yang "irrasionil". Akhirnya sang vespa keluarga telah resmi berpindah ke tangan orang.....

Masa SMU yang indah dan sebuah Lambreta
Sampai penghujung kelas dua, berbeda dengan teman -teman sesekolah lain, aku cukup menikmati berangkat sekolah dengan bus kota atau dengan pit onthel. Bahkan kadang kadangkala memilih jalan kaki sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan Kotagede-Yogyakarta, yang aspalnya selalu dipenuhi ruap tahi kuda (Jalan aspal kotagede memang menjadi salah satu jalur tetap kereta andong).
Kelas 3 SMU aku mendapatkan kendaraan bermotor pertamaku, sebuah Lambreta. Motor Lambreta, termasuk motor tua, yang sepengetahuanku merupakan generasi pertama sebelum vespa. Pada prinsipnya bentuknya sama, sudah seperti vespa umumnya hanya masih kaku dengan shape body lebih mirip box biskuit, kotak-kotak. Bentuk jok masih menyatu lurus datar, belum dibelah menjadi dua jok antara pengemudi dan penumpang. Lambreta ini kubeli dengan harga 125 ribu saja, hasil dari sedikit kerja rodi dan menodong bapakku. Surat-suratnya masih komplit meski angka plat nomer telah telat.
Suatu ketika, pas malam minggu teman-teman SMU itu mengajak konvoi keliling kota, sambil memboncengkan cewek-cewek. Aku dengan Lambreta-ku sebagai motor vintage yang hanya bisa melaju sampai batas 40km perjam itu, harus puas tertinggal jauh, dan mesti berteriak-teriak kencang agar menunggu kami. Tak terasa konvoi sudah menembus jauh sampai batas luar kota dan berencana meneruskan ke rute Jalan kaliurang yang rutenya merangkak naik. Si Lambreta mendadak mogok dan mengeluarkan banyak asap, sampai akhirnya Si Lambreta harus ditarik pulang dengan tali. Nasib si Lambreta selepas itu tak kunjung membaik. Si Lambreta tak pernah selesai diperbaiiki dan berakhir menjadi pajangan di teras rumah, dimodifikasi jadi duduk, ditorehi aneka rupa cat dan sebuah grafiti;"Angkutan barang pindah kos, trayek brosot jogja".

My little bastard



Kehadirannya diluar dugaan kami sekeluarga. Empat orang kakak adik, kini bertambah dengan satu kakak ipar dan seekor keponakan lucu.

27 Agu 2007

Mbah Kakung



Tulisan ini berkorelasi dengan tulisan lain di :
http://alexcandra.blogspot.com/2006/10/mbah-kakung.html

Aku memanggilnya mbah Kung atau singkatan dari mbah Kakung. Aku memang tidak tahu nama mbah Kung sebenarnya sampai dengan aku melihat nama yang tertera di tonggak nisan kuburan Mbah Kung. Atmo Sumarto namanya dan Ia telah meninggal dunia setahun yang lalu pas 5 hari setelah Idul Fitri, meninggalkan Mbah putri yang telah mendampinginya dari usia 17 tahun dan anak-anak, cucu sampai cicit.
Mbah kung bekas tentara KNIL. Ia pernah dikirim oleh misi serangan fajar Jogja kembali ,Gayang Malaysia sampai dengan Perebutan Irian Barat. Pas waktu konflik dakan angkatan darat meletus, Kakekku berserta kesatuannya pecah cerai berai. Mbah Kung menghilang,bersembunyi karena gayang komunis.
Mbah kung pengagum sukarno, di rumahnya ia pajang foto sukarno. Katanya; sukarno itu kharismatik. belum selesai......

2 Agu 2007

Juzz Vaganza


Ini adalah warung juzz vaganza, tempat melepas dahaga, sehat dan menyegarkan. Nah, warung ini memang strategis karena letaknya yang membelah pematang areal kos-kosan di utara bilangan kampus Gadjah mada. Menyusurilah ke jalan konblok belakang kampus gadjah mada, lalu berbeloklah ke utara, dan cari jalan yang hanya dilapisi semen sudah berlubang-lubang. Pada kanan kiri jalan bertengger warung-warung makan, fotocopy, tempat loundry, rental komputer, dll, pokoknya apa saja yang berhubugan dengan kebutuhan anak-anak kos pasti ada disana. Letakknya kira-kira 50 meteran sebelah kanan jalan. Warung juss vaganza tak pernah absen, kecuali hari-ahri khusus dan buka pagi sekitar jam 8an sampai sore menjelang malam kecuali stok habis. Buah-buahan yang tersedia lumayan komplit, meski terkadang tergantung musim. Dua buah mesin blender siap melumat potongan-potongan buah-buahan yang anda minta. Anda juga menambah campuran susu atau krim mocca kedalamnya, tergantung selera. Nah, mengenai selera, saya sering bereksperimen dengan beberapa campuran buah-buahan; tomat dengan wortel, mangga dengan wortel, anggur dengan alpukat, atau tambah sedikit sawo dan jeruk nipis. Saya punya menu favorit campuran mangga dengan wortel, karena rasa asam dan manis yang imbang.
Persis di samping warung juzz vagansa ini ada warung penjual gorengan. Si penjual tak henti-henti merakit mendoan, tahu susur, pisang goreng sampai bakwa di wajan dan penggorengan dengan dibantu anak gadisnya yang 'maaf', agak ngak normal.
Kebetulan pula mayoritas konsumen juzz vaganza adalah mahasiswi-mahasiswi yang setia ikut ngantri.
Si penjual, laki-laki paruh baya dengan ditemani asistennya, sang istrinya sendiri, dengan cekatan melayani para konsumen. Bapak penjual itu sepertinya sudah hapal siapa-siapa konsumen-konsumen-nya dan campuran apa saja buah-buahan yang diingini. Semua masih dengan bandrol harga yang murah meriah, cukup dengan merogoh kocek 1500 rupiah saja, pukul rata, anda akan mendapatkan menu juzz vaganza, bisa ditaruh di kantong plastik atau dalam gelas besar. Anda bisa menaruh potongan-potongan es juga menurut selera kedalamanya.
Bapak penjual juzz vaganza ini selalu ramah dengan konsumennya meski pembeli berdesakan ngantri. Nah yang jadi pelampiasan kemarahan justru asistennya yang setia, sang istri yang siap menangkap segenap umpan balik omelan sang penjual juzz Baganza; "Cepet thoo buneeee, qi mbak ini..,mbak itu... keburu nunggu.....! Jadinya sang Penjual juzz vaganza berkumis, bisa berubah roman dengan cepat dari tersenyum manis pada mbak-mbak mahasiswi itu, lantas berubah mendelik, menggerutu pada asisten setiannya itu.
Saya tahu persis banyak warung juzz tertentu menggunakan gula sintetis jikakalau kepala saya terasa pening setelah meminumnya. Jadi saya tahu kalau warung juzz vaganza favoritku ini menggunakan 100% gula aseli. Hingga membuat rasa dan bau manisnya yang legit mengundang kawanan tawon pada berterbangan di sekelilingnya.
Saya sering bawa kawan-kawan ke tempat ini. Bahkan seorang kawan dari Magetan, dulunya pernah kuliah di Yogya sampai keranjingan dan menemukan kode khusus buat kesana ;"Mabuk juzz!" Si penjual hapal betul dengan anak dari kampung magetan ini karena plat nomer AE, dan pesanan dua gelas juzz besar!
Lebih nikmat memang minum ditempat, seperti kebiasaanku, sambil menunggu antrian kita bisa mencomot "gorengan" hangat-hangat di belakang kita sambil mengamati lalu-lalang jalan di depan juzz vagansa itu yang ramai oleh mahasiswa-mahasiswi yang hilir mudik dari kampus ke tempat kos. Kalau sore akan lebih ramai lagi terutama oleh konsumen loyal macam mahasiswi-mahasiswi yang baru pulang dari jogging. Jadi bagi laki-laki normal, selain juzz yang menyegarkan, gorengan yang panas-panas gurih, tentulah menu cuci mata. Kalau saya pas beruntung kita bisa ketemu dengan kawan lama sesama konsumen juzz vaganza dan berjumpa dengan orang-orang tua penghuni tetap kampus UGM, lalu mengundangnya nimbrung minum juzzz vaganza.... yoook mampir yook

28 Jul 2007

nothing to say today

Tak ada yang ingin kuceritakan padamu kali ini, kecuali mengajakmu memandang pada sebuah senja. Menikmati camar-camar yang lewat senyap di udara dan menghirup udara dalam-dalam, nafas kota yang penat. Tak ada yang ingin kubisikkan padamu, kecuali membiarkan mulut kita masing-masing terkunci dan soliluqui--kesempatan ini diri sendiri adalah kawan bicara paling mengerti. Tak ada yang ingin kupertanyakan pada kesempatan ini kecuali biar kita pandang lekat-lekat dan kita petakan satu demi perlahan demi perlahan perubahan warna itu.

27 Jul 2007

Situs Gampingan

Keponakanku satu-satunya, namanya Gading. Nama yang diberikan bapaknya karena kenangan khusus akan "Gampingan". Sebuah tempat yang kini seperti selongsong kepompong yang ditinggalkan kupu-kupunya. Sebuah gedung bekas kampus ISI (Instutut Seni Indonisia). Semenjak ditinggalkan "kupu-kupunya', gedung itu lantas satu demi lantas bermetamorfosis; laun demi laun orang-orang menorehkan grafiti dan coretan-coretan dinding pada temboknya, orang-orang gila yang menempati bekas kelas-kelas kosong, patung-patung dan monumen-monumen hilang dicuri dan penjarahan-penjarahan. Lantas puing-puing itu lengkaplah sudah dengan rumput-rumput dan pohon-pohon yang menjalar.
Orang-orang bilang;"Pada beringin besar di sebelah pendopo Sasana Aji itu ada Wewe-nya."
Suatu pernah bermukim juga komunitas Taring Padi, yang mengobarkan kiprahnya, secara underground di selongsong bangunan itu. Sang kupu-kupu itu juga telah terbang dari kepompongnya setelah musim reformasi bergulir. Kini beberapa orang mantan taring padi sering datang di bangunan itu, sekedar beromansa atau mengatakan pada orang-orang;"Dulu kami kencing di sini lho?"

Keponakanku satu-satunya yang bandel bukan main yang selalu membuat ruang keluarga seperti kapal selam pecah yang selalu berteriak-teriak yang sekarang sudah bisa bernyanyi balonku ada lima yang suka, dulu bercikal bakal di selongsong gampingan itu.Di selonsong gampingan itu, Bapaknya, karib-karib lama, dalam suasana komunal, hari-hari penuh rencana,riang gitar, botol-botol, kanvas dan kuas.

Kadang-kadang orang-orang yang menggeliat dalam selongsong bangunan itu bilang pada kawan-kawan baru yang datang;"Penah melihat sang hantu Donna?"

Kawan-kawan baru datang setelah kawan-kawan lama menjadi kupu-kupu dan terbang meninggalkan kepompong bangunan itu. Kawan-kawan baru terkadang masih bermimpi seperti mimpi kawan-kawan lama yang meninggalkannya. Kini selongsong gampingan itu akan dipugar menjadi sebuah museum.

Metamorfosis terus berlanjut....

23 Jul 2007

Riwayat Pengayoeh Sepeda Imogiri Djogja

Doloe roemahkoe menempati persis di pinggir jalan imogiri. Jalan yang membikin kenangan terekam koeat. Masih koeingat saat aspal pertama ditoerehkan pada jalan tanah keras berbatoe itu, juga saat akoe menangis keras-keras maoe naik "setom" pertama jang melindas jalan imoegiri itu. Semendjak itoe lambat laoen soroet lenjaplah soedah kini gerobak pedati dengan sapi-sapi jang berjalan lemah gemoelai dengan malas. Akoe soeka ndompleng di belakang gerobak sapi-sapi itu djang terkadang mengangkoet teboe, setoempok roempet, hasil panen padi atau tembikar-tembikar batoe bata dan genting oenteok dipasarkan di iboe kota. Akoe juga masih ingat saat Trotoir pertama dibangun dan saloeran irigasi diperkoeat dengan semen setjara goetoeng roejoeng oleh program ABRI masoek desa. Saloeran irigasi itu menjadi tempat bermainkoe mentjari ikan ketjil-ketjil dan boeang hajat sebeloem bapak membangoen kakoes sendiri di halaman belakang.
Akoe juga masih ingat saat akoe harus menghindari "Plumbir", alias padjak oentoek sepeda saat aku maoe berangkat sekoelah naik sepeda BMX. Tjukong-tjukong penarik "pumbir" itoe soedahlah mendjadi kenangan djoega sifat galak-galak mereka.
Jalan Imogiri itoe selaloe ramai siang dan malam, karena jalan ini menjadi oerat nadi bagi masjarakat Bantoel. Tentoelah banjak, bahkan semenjak pagi boeta bakoel-bakoel dari bantoel, petani-petani, boeroeh-boeroeh pabrik, anak-anak sekoelah berangkat mengayoeh sepeda melewati jalan imogiri ini.
Saja doleo sampai taoe persis djadwal siboek ruas jalan imoegiri ini, kira-kira berlangsoeng sampai atkhir saja menjelesaikan sekoealah rendah; dimoelai semenjak dini hari sebeloem soeboeh, oemoemnya iboe-iboe atau bapak-bapak penjoeal sajur. Dengan sepeda dan kronjot di belakang jang penoeh berisi hasil boemi mereka mengajoeh di saat orang-orang dan saja sendiri masih terlelap. Kadangkala terdengar soeara gemerisik ajam-ajam dalam keronjoet pengangkoet ajam dari bapak-bapak pengangkoet ajam itoe. Laloe, selepas soeboeh, masih dengan oedara yang dingin dan kaboet djang lindap, saat fadjar pertama merekah, para boereh-boereoh pabrik dan pekerdja-pekerdja kantoeran giliran melaloe djalan itoe. Di belakang sepeda onthel mereka biasa terpasang alat-alat toekang seperti tali tampar, pacoel, tas kantoeng dan sebagainya. Akoe bisa taoe kalaoe mereka sejenis pekerdja penggali soemoer kaloe di mereka beriringan bertiga ataoe berdoea sadja dengan belakang sepeda mereka beberapa goeloeng tali tampar, ember plastik, linggis, dan patcoel lengkap dengan seboeah topi penoetoep kepala.
Mengindjak poekoel enam pagi sampai sekitar djam toejoe, gantian para peladjar-peladjar dan karjawan kantoer djang melaloe jalan itoe. Para karjawan kantoran terlihat mlipis, dengan bajoe pantalon dan sepatoe kinclong, Sedangkan anak-anak sekolah seperti akoe waktoe doleo baru gempar-gemparnya sepeda BMX.
Itoelah sekeloemit cerita mengenai pengajoeh sepeda Imogiri Djogja. Kalaoe kini Bapak-bapak, Iboe, saudara,saudari melewati jalan imogiri, moengkin tinggal orang-orang toea pedagang-pedagang sajoer saja jang bisa anda temoei, masih oetoeh seperti jang doloe lengkap dengan keronjotnja.