---------
Nun, seperti biasa, suasana malam seputaran dirgantara asri sudah mulai sepi. Pintu pintu rumah sudah tertutup dan kucing-kucing mulai berseliweran di genting. Meski kemarau belum berakhir, tetapi udara tidak terlalu dingin. Jalan aspal yang masuk ke perumahan masih berkabut debu, yang belum mengendap setelah seharian digerus roda-roda kendaraan dan mobil bak pasir. Pak Sugi, salah satu anggota ronda paling rajin, sudah berangkat meluncur menuju pos ronda, lengkap dengan celana training, kaos pudar dan selempang sarung. Pos ronda masih belum ada orang, tikar pun belum digelar dan tampak remah sisa makanan dan bungkus snack berserakan. Pasti seperti biasa, sore tadi jadi arena kumpul anak-anak perumahan. Pak Sugi memukul kentongan beberapa kali, sekedar isyarat agar rekan-rekan rondanya lain yang dalam papan daftar ada sekitar 14 orang bisa segera hadir. Maka tak perlu waktu lama, satu persatu personilpun berdatangan, dari Algi, Pak Joko, Pak Yanuar, Alex, Pak Padi, Pak Faisal, Pak Samino, Pak Heri dll. Malam itu agak lengkap, meskipun tidak ada yang membawa camilan atau minuman. Obrolan pun mulai membuncah keberbagai topik, dari sepakbola sampai politik kampung. Dari plesetan sampai parodi. Cerita paling seru akhirnya datang dari Algi si anak rantau mahasiswa asal NTB yang malang melintang sampai akhirnya terdampar di PDA.
----------------
Malam itu tokoh utama adalah Algi yang dengan gayanya yang eksentrik khas orang timur gemar bercerita sepak terjang keseharian hidupnya Tiba-tiba, ditengah keasyikan Algi yang mencerita-kan kelihaiannya sebagai sales parabola, seorang bapak paruh baya turun dari jalan menuju ke pos ronda. Si Bapak muncul sambil menuntun sepeda gunung karatan. Kabut debu jalanan ditambah kemunculannya yang tiba-tiba membuat kami semua bergidik terkejut. Taksirannya sekitar umur kepala 5 dan perawakannya tegap. Dikepalanya memakai topi dan nampak dari pakaiannya yang sedikit rapi menandakan ia bukan datang dari tempat jauh.
“Jalan buntu itu pak, bapak dari mana mau kemana?”
"Klaten! Lewat mana ya?"
Malam-malam jam 11 an begini mau ke klaten? dengan sepeda bocor?
Berbagai pertanyaan tentu saja muncul di benak kami. Ditanya namapun si Bapak hanya menjawab berputar-putar. Ditanya A jawabnya B. Jikapun orang gila, cara ngomong Bapak ini tidak menujukkan seperti itu. Tetapi kelihatan sekali Bapak ini agak linglung. Mungkin pula pikun.
"Jangan jangan intel? Intel yang ngaku-ngaku orang gila, apalagi jelang pilkada begini"
Sepeda yang dituntunya itu baik ban depan maupun belakang tampak gembos yang membuat kami berfikir bahwa hal itu bukan tanpa disengaja. Kalaupun maling sepeda, bapak itu tak menunjukkan perawakan seperti itu, pun sepeda itu kelihatannya tidak cukup berharga kecuali di tangan tukang loak. Satu per satu dari kami mencoba mengorek, keterangan, sekedar dapat secuil informasi. Tetapi si Bapak tetap kebingungan. Kecuali Algi, pengalamannya sebagai sales parabola mungkin mengasahnya untuk menghadapi berbagai bergai macam orang termasuk dengan Bapak itu.
-----
Setelah ngobrol panjang lebar Algi mendapatkan cerita Bapak ini bukan orang sembarangan, paling tidak jika bukan dari kalangan tentara, mungkin pensiunan tentara. Ada sekelumit cerita juga Bapak ini pernah dikeroyok dengan banyak orang dari tentara. Apapun cerita Bapak tadi, Algi terus mengikuti sambil mengulik informasi. Di tengah-tengah percakapan Algi dengan Bapak itu, lamat-lamat muncul nama seseorang yang cukup populer. “Tejo. Tejo mantan dukuh kita!” “Masih saudaranya pak Tejo kayaknya” Dengan bujukan Algi, rombongan piket ronda akhirnya mengantarkan Bapak itu ke tempat pak Tejo. Sambil berjalan Algi masih ngobrol dan mengikuti cerita Bapak itu.
-----
Jalan kaki menuju rumah pak tejo yang berada di tengah pemukiman Jragung lumayan jauh dan saat itu sudah jam 12 lebih, berbekal secarik nama kami berharap kami mengantarkan ke tempat yang tepat. Lagipula tengah malam begini sangat berisiko kami mengetuk pintu rumah Pak Tejo besar kemungkinan sudah lelap. 3 kali lebih kami mengetuk rumah Pak Tejo dan yang bersangkutan belum jua kelihatan. Hampir saja kami menyerah saat tiba-tiba di tikungan depan rumah Pak Tejo muncul sesosok perempuan paruh baya. “Ealah pak, pulang! Tak Jewer kupingmu lho!” Ternyata sosok itu adalah istrinya dan benar Bapak itu adalah adik pak tejo yang rumahnya persis hanya beberapa petak dari rumah Pak Tejo. Tambah lagi bapak itu memang pensiunan perwira dan sudah beberapa waktu ingatannya sudah mulai pikun. Sang istri sengaja menggemboskan sepeda itu agar si Bapak tidak mengeluyur kemana-mana. Perempuan itupun meminta maaf dan berterima kasih sudah menghantarkannya pulang.
----
Syukurlah, masalah sudah terselesaikan dan kamipun harus jalan kaki lagi pulang ke perumahan. Benar-benar malam yang melelahkan.