15 Des 2008

Sunset di tengah hujan

Jam 2 dini hari, aku terjebak Hujan. Perjalanan yang sudah kumulai semenjak jam 9 malam terpotong-potong karena hukan yang ber-fluktuasi seperti naik turunnya saham, dari lebat ke mereda lalu melebat lagi. Perjalanan sebenarnya adalah sekitar 30 km membelah kota Yogya yang sebenarnya dalam kondisi normal bisa ditempuh dalam waktu 45 menit dengan rata-rata kecepatan tercepat mesin turbo motor bobrok warna merah jambuku. Tapi mesin motorku di saat cuaca hujan begini bisa teramat manja, suka batuk-batuk dan mendadak mogok karena kemasukan biang air. Aku tak mau menemupuh resiko dan memilih berangkat dengan siasat "kutu loncat" alias bergerak dan berhenti dari satu titik emperan dan emperan lain. Karena malam yang sudah dini, dan semua deretan toko, kantor sudah tutup, sangat memudahkanku untuk memilih emperan mana yang bisa aku masuki. Alasan lain karena aku memang tak membawa jas hujan, sebuah kesialan (atau ketololan) yang lain yang tak mau kuterangkan dengan teliti karena ini sudah terjadi berkali-kali. Tapi kadangkala (seperti firasatku malam ini) pastinya aku akan menemukan pengaalaman yang dasyat malam ini.

Melirik pada jam di layar handphone aku tersentak, angka digital sudah menunjuk jam 2 dini hari, ini berarti, berarti sudah 5 jam aku terjebak Hujan. Berteduh dari satu emperan ke emperan lain, aku saksikan beberapa orang nekat lewat menembus hujan tanpa jas hujan. Pada jam segini, dini hari orang-orang masih keluyuran, seperti aku. Beberapa orang menggerombol di bawah tenda warung angkringan dengan cahaya lampu kerlap-kerlip dan tiga ceret di atas bara tungku yang mengepul-kepul. Aku jadi ingin menyeberang jalan dan menerobos hujan menuju ke sana. Tapi keinginan itu kuurungkan karena hujan mereda lagi dan aku segera menyepak starter motorku, tancap gas, meluncur di aspal yang basah penuh dengan aliran sungai-sungai kecil itu. Tempias hujan seperti ribuan jarum-jarum jatuh, masih turun dan memedihkan kedua mataku. Ya, aku jadi teringat dengan selarik sajak Gunawan Muhammad ;

"Gerimis turun seperti jarum-jarum jatuh /Seribu gugur dari sebuah jam yang jauh...."

Hanya selepas lemparan batu, hujan melebat lagi dan aku segera memutar manuver mencari emperan-emperan bangunan, rumah dan toko yang telah kesemuanya tutup. Sebuah toko kelontong dengan rolling door besi dan plat bertuliskan "dilarang parkir di depan pintu " kuhampiri. Di depanku deretan toko toko yang lain, dengan tumpukan billboard aneka warni, lampu-lampu neon yang berbendar dan lampu merkuri yang membayang pada aspal seperti bayang-bayang sunset warna kuning. Sunset? kenapa terbayang dikepalaku sebuah sunset yang hangat dan megah pada bayang-bayang kuning merkuri itu?

Sepi benar dini hari itu dan aku hampir terlupa ketika suara-suara hujan yang lebat turun membentuk kegaduhan diantara genting-genting, tembok-tembok, asbes dan plat-plat seng. Suaranya menggemuruh, tapi anehnya tidak memekakkan telingaku.

Aku memerosokkan diriku di pojok emperan toko, menyudut di situ, berjongkok, mengusap-usap kedua telapak tanganku dan mengumpati diriku sendiri saat tak kutemukan 'pematik api'. Ada rokok tapi tak ada pematik api adalah kesialan sempurna di bagi perokok di saat cuaca dingin begini.

Dari tikungan jalan kulihat seorang pengendara motor bergegas menghampiri sebuah emperan yang lain di seberang jalan ini.

"Hey kenapa ia tidak memilih emperan ini dan aku bisa meminjam pematik api darinya?"

Hujan makin lebat dan orkes hujan makin berdentum dengan hebat, persis disebelahku baru kusadari sebuah sepeda onthel dengan keranjang bambu bertengger dan dibawahnya sesosok orang terbuntal dalam sarung lusuh di atas alas kardus. Sepasang sandal jepit nampak tertata rapi (seperti sandal jepit yang sengaja di lepas di depan pintu masuk sebuah rumah) diletakkan di tepiannya.

Diam-diam aku mengambil fotonya. Dalam hati kupikir ;"Jahat benar mengambil foto orang lain tanpa ijin"

Sesosok yang tengah tidur pulas dalam buntalan sarung. Sedang bermimpi apakah dia? Di keranjang bambu itu tak penuh dengan muatan. Apakah ia seorang penjual? apa yang ia jual? Darimanakah asalnya? satu demi satu pertanyaan itu muncul.

Sesosok dalam buntalan sarung itu tak bergeming sama sekali. Tidur pulas di emperan toko yang kalau siang seingatku adalah toko kelontong yang penuh dengan hiruk pikuk orang dan tumpukan barang-barang. Berarti tinggal 4 jam lagi saat toko itu buka dan kalau sosok dalam buntalan sarung itu belum bangun, sesuatu akan terjadi.

Aku menggigil kedinginan, mungkin karena tak bergerak. Tetapi tak bisa bagiku untuk meniru sesosok dalam buntalan sarung itu. Untuk manusia sepertiku, tidur yang nyenyak hanya bisa dilakukan saat aku sudah tiba di Rumah dengan dinding bantal, kasur yang empuk dan selimut yang hangat.

Ya, Seperti biasa, aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali bersyukur aku masih lebih baik dari dia. Hujan pun reda dan aku segera menancap kunci, menyepak starter motor dan meluncur pulang ke "rumah". Rumah dengan dinding, kasur empuk, kopi hangat dan dua ekor kucing rumah yang melingkar. Mungkin segera kulupakan malam yang dingin ini dan sesosok dengan buntalan sarung itu.

"Selamat tinggal sesosok tidur dengan buntalan sarung, Aku mau pulang ke rumahku, semoga engkau tak terlambat bangun"

14 Nov 2008

Sekolah me-Lingkar

"Sekolah me - Lingkar mungkin hanya ada satu-satunya di dunia. Yah, karena adat tabiatnya yang luar biasa unik. Kepala sekolahnya ditunjuk langsung oleh murid-muridnya, tidak digaji, tapi justru dimak-maki jikakalau sang kepala sekolah terlalu membebankan PR atau tugas yang berat . Kerena beban berat ini, sang kepala sekolah sering absen buat perjalanan dinas yang tak ada hubungannya dengan sekolah pun" (dikutip dari sumber yang tak bisa dipercaya)

Suasana sekolah Lingkar pas dijunjungi mentor spesial dari Aceh, sebuah LSM
yang bergerak di Pendidikan PRB di Aceh. Kalau pas Mentornya 'menarik'
seperti itu, Murid-murid akan menampakkan muka lembut dan penurut
-diambil dari my activityFrom my activity

Sekolah Lingkar adalah sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga yang bernama Lingkar, sebuah LSM yang tumbuh akibat pulung Gempa 27 Mei di Yogyakarta lalu. Gempa memang bencana, tapi di satu sisi mendatangkan banyak lembaga baru yang mengurusi dari bantuan, recovery sampai sekedar numpang nama. Tapi Lingkar memang beda, awalanya hanya sebuah forum relawan yang kini bermufakat menjadi lembaga baru dengan isu yang lebih aktual "Penanganan Resiko Bencana". Yups, karena musibah pun ada asuransinya, bencanapun kini istilahnya di mitigasi, alias diteliti tanda-tandanya, ancaman, resiko sampaidengan antisipasinya. Nun, Lingkar berkutat pada soal-soal tersebut.

Seperti kisah asal muasal Lingkar, pada mulanya murid-murid sekolah Lingkar hanya meliputi relawan-relawan Lingkar dan jumlahnya kalau ditotal bisa mencapai 50 relawan lebih. Tetapi seiring waktu sekolah lingkar menyusut. Mungkin karena ruang kelas yang sempit hanya kira-kira sepetak 4 x 10m maka jumlah muridnya menyusut jadi rata-rata selusinan. Itupun karana kondisi tempat yang memang tak di set up untuk sebuah kelas yang 'wajar' maka amatlah biasa dalam sekolah Lingkar murid bisa duduk sambil selonjor di bawah bangku, sambil duduk di bawah tangga, sambil pijat-pijat an satu sama lain, atau duduk sekursi buat berdua.

Sekolah Lingkar dijalankan secara periodik di Lingkar tiap hari Jum'at, petang. Topik kelas berganti-ganti seusai dengan wilayah isu soal ke-LSM an seperti ; Fasilitasi , Gender, Susitanable Development, Lingkungan Hidup, isu-isu kontekstual kebencanaan, dan sebagainya dan sebagainya.

Uniknya, demi menyambung semangat untuk belajar di sekolah Lingkar, para murid-murid dengan sukaela membawa SPP. SPP-nya bukan sebentuk upeti uang buat kepala sekolah atau buat pengelola sekolah, tapi berwujud makanan ala kadarnya yang disajikan langsung di dalam kelas. Maka SPP di sekolah Lingkara adalah kepanjangan "Sumbangan Pangan dan Panganan". 'Pangan' untuk makanan berat yang dibungkus atau dibawa dalam kardus (yang berarti seseorang relawan atau murid mendapat bingkisan dari daerah 'dampingan') sedangkan panganan berwujud makanan-makanan kecil seperti bakwan, mendoan atau roti bakar (biasanya yang membawa adalah Abang Yosi yang nyambi bakul roti bakar). Hmmm, Kalau SPP melimpah, suasana kelas menjadi lebih meriah. Sudah biasa di dalam sekolah Lingkar murid-muridnya menyimak kelas sambil makan kacang, menyeruput kopi, menyrudug gorengan dan centang perentang bungkusan SPP.

Murid-murid sekolah Lingkar adalah komposisi yang cambur aduk dari relawan, buruh cetak mencetak, penjual Roti sampai ibu-ibu PKK, orang kampung.... Bahkan ada seorang Ibu yang mengikuti kelas sambil menggendong anaknya yang masih kecil dan seorang anak bleseteran Inggris-Suroboyo yang wara-wiri hilir mudik di dalam ruangan kelas Demi mengatasi kekacauan ini konon sedang dipikirkan untuk membuat sekolah Lingkar Yunior, untuk menampung anak-anak kecil generasi sekolah Lingkar berikutnya tersebut.

Dengan murid murid yang campur aduk dari usia sampai latar belakang ini maka materi yang disampaikan pun biasanya dimulai dari paling basic. Jadi, apapun tema pelakarannya, selalu ditambahi dengan '....blablabla for beginer'.

Di sekolah Lingkar, mereka menyebut guru dengan istilah "Mentor" yang didatangkan dari lembaga lain. Kebanyakan dari mereka kebetulan adalah rekan sejawat semasa masih kuliah murid-murid. Jika yang terjadi demikian pastilah 2/3 dari per-kelasan akan berupa Reuni yang mengharu biru....

"Wah, lama ndak ketemu, kamu masih ndak berubah juga"

"Dulu berkecimpung asyik masyuk di sudut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), eh kini ketemu lagi meng-LSM"

Kalau kita ingat murid-murid yang di asuh ibu guru Nur dalam laskar pelanginya andra Hirata itu, kurang lebih sama-sama mengenaskan. Perbedaanya, kalau murid asuhan Ibu Nur dalam Laskar pelangi itu sekolahnya sudah hampir roboh dan kapal pecah dengan genting bocor sana-sini dan sebuah poster roma irama menenteng gitar dengan jubag rumbai-rumbai dan mata mendongak menghamba "Hujan Duit", Nah kalau ruangan sekolah lingkar, adalah sebuah ruangan laiknya medan rapat (sebuah meja besar, billboard, gelas-gelas penuh kopi, asbak dengan puntung rokok, berkas berkas, dan centang perentang poster kampanye advokasi dari soal lingkungan sampai advokasi perempuan). Kesamaanya, murid-murid sekolah lingkar sama-sama "Tengil", dalam artian, mereka suka bikin ulah di dalam kelas. Karena kadangkala sang guru lebih takut di depan murid (murid nya ada yang punya tatto) maka murid-murid bebas melakukan apa saja sembari mengukuti kelas. Ada yang sambil makan minum, merokok, sambil kentut atau yang paling parah mengupil di dalam kelas dan menaruh upil di bawah meja. Beruntung, sang mentor tidak mendapat 'surat kaleng' atau disorak-sorai sampai berlumuran keringat karena dengan sengaja menggunakan kata-kata yang sulit dalam pidato kelas.


Kadangkala kalau sekolah membludag, murid-murid ada yang duduk di bawah-
tangga,sambil berdiri, duduk di lantai, bahkan ada yang sambil tidur.

Apa mau dikata, pada niat punya niat, sekolah Lingkar memang punya tujuan baik. Istilahnya, kalau sekarang ini sebuah LSM harus terus meningkatkan Capacity Building alias Peningkatan Kapasitas, supaya para murid lebih luwes di lapangan, punya inisiatif, bisa meng-LSM, menjadi pekerja sosial, Meng-Lingkar, atau apapun itu namanya dengan baik dan benar. Soalnya, konon kembang-kempisnya sebuah lembaga tergantung bagaimana LSM itu mengelola laporan-laporan dan mengelola isu yang ada sedemikian rupa. Biar bijakana dan selamat.