9 Agu 2023

Pada Sebuah Pantai yang Berwarna Merah


Pada sebuah pantai yang berwarna merah, sesunguhnya bukan merah darah, melainkan pendaran senja yang sebentar lagi akan larut ke ujung samudera itu.....

Nun, ia pulang dari rutinitasnya dari bekerja, tetapi kali ini beda, yang menyeretnya ke sebuah pantai di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi. Di pantai itu, tepatnya agak menyeberang sedikit, terdapat seonggok batuan raksasa yang membukit sehingga oleh penduduk sekitar dinamai dengan pulau merah. Nama yang mungkin karena pendaran cahaya senja yang memantul pada sekujur pulau itu.

Iapun kini terduduk di pinggir pantai itu, sementara permainan cahaya masih silih berganti secara konsisten membiaskan perubahan dari  biru langit, hijaunya ganggang-ganggang serta bakau yang khusuk berbisik bersama angin dan pasir, serta merahnya matahari yang berangsur menyerap seluruh permainan cahaya di sekujur ujung samudra. 

Sesekali ia seperti melihat perahu layar di kejauhan, atau mungkin itu hanya ilusi optik yang membayang dari pikirannya sendiri tentang para nelayan-nelayan pemberani yang mengarungi samudera demi samudera sambil menggengam rangsum perbekalan yang dibawanya dari kampung halaman.Barangkali dari rangsum perbekalan itu, nelayan itu bisa mencium aroma rumput halaman rumah. Barangkali juga aroma tanah, aroma pohon pohon nyamplung yang menyambutnya di panti, aroma bakau serta batu-batu kali, aroma kayu bakar dari tungku dapur, serta aroma ketiak ibunya yang tengah memasak sayur buat sarapan anak-anaknya. Karenanya ia bisa selalu teringat jalan untuk kembali.

Kali ini ia seperti nihil diantara permainan cahaya itu. Ia hanyalah seonggok kayu tanpa tanpa nama itu, yang sesekali bergerak karena terhempas arus pantai. Kali ini kebahagiaan ataupun kesedihan atau apapun rasa itu hanyalah permainan cahaya yang bersumber dari warna yang sama.

Pulau Merah, Banyuwangi, Februari 2023


3 Agu 2023

How Cat You Go?

 


Saya hanya kangen membuat tulisan. Saat ini tulisan di blog itu tidak sepopuler orang membuat konten youtube, tiktok ataupun instagram. Tapi biarlah, karena blog ini barangkali eranya sudah lewat. Orang Indonesia, sudahlah terbukti memang kurang suka membaca, atau memang tradisi lisan sudah mengakar dari jaman moyang. Tradisi audio visual kalau dahulu mungkin berbentuk kesenian ketoprak, tarian, atau bahkan sampai ke pertunjukan wayang menjadi media yang banyak berkembang yang kini menemukan tempatnya pada kanal-kanal youtube, facebook, instagram, tik-tok atau platform lainnya.

Bagaimana dengan tulisan? apakah lambat laun tulisan sendiri akan berganti dengan AI? yang kemudian orang tidak perlu 'secara teknis' membaca, tetapi mendengarkan tulisan yang dibaca oleh AI? 

Kembali ke judul
Kembali ke judul tulisan "How Cat You Go? sebenarnya saya pingin nulis saja tentang 'kucing' untuk sekedar mengobati rasa kangenku untuk nge'blog'. Kucing ini adalah adalah fenomena yang aneh dikehidupanku hanya karena 'aku pecinta kucing'! 
Jadi kalau anda bukan pecinta kucing, atau bahkan pembenci hewan berbulu lembut dengan kumis di mukanya serta bola mata bulat yang bisa mengkomunikasikan 'suasana hatinya ini', maka jangan teruskan membaca tulisan ini. Kecuali, jika anda sekedar penasaran,atau sekedar iseng ingin membaca tulisan ini sebagai sesuatu yang minim 'faedah'.

Masa kecil dan 'Mbok Kucing'
Kami menyebutnya 'mbok kucing' sebagai kucing betina yang telah beranak-pinak sampai benar-benar sudah tidak ada lagi peranakan kucing darinya. Sebenarnya ada banyak kucing datang dan pergi di kehidupan kecilku, akan tetapi 'Mbok Kucing' ini tak anggap sebagai momentum pertama kucing yang perjalanan hidupnya paling lengkap dan kuingat di kepalaku.

Mbok kucing tidak kami pelihara sedari kecil, tetapi ia sekonyong-konyong entah datang dari mana sudah dalam keadaan besar. Bulunya belang-belang, kembang telon, kami mengistilahkan, dengan ekor panjang, ujung lancip tetapi 'tertekuk'. Saya baru mengetahui kemudian ekor yang 'tertekuk' itu dikarenakan saat dalam kandungan ia berjubal dengan jabang bayi anak kucing yang  lain, sehingga menyebabkan ekornya tertekuk semenjak lahir. Matanya menyipit sebelah yang sepertinya bukan karena bawaan lahir tetapi karena kesembuhan dari penyakit mata yang menyisahkan cacat mata menyipit sebelah. Selain matanya yang sipit, Mbok kucing itu tubuhnya kurus kering ketika pertama kali datang. Maka kami menamai mbok kucing itu dengan 'Sipit' dan secara resmi menempati rumah kami hingga kemudian beranak-pinak.
Sekilas tak ada yang istimewa dari 'Sipit' mengingat ia hanya kucing kampung kurus dengan muka yang tak begitu menarik dan cerewet karena sering 'mengeong'.

Mbok kucing alias si 'Sipit' ternyata adalah semacam kembang kampung bagi kucing-kucing kampung di tempat kami. Selepas kedatangan 'Sipit', banyak kucing-kucing cowok berdatangan ke rumah kami. Ada yang nangkring di genting, bergelanjutan di pohon, duduk di jok motor sambil pura-pura mau ngajak piknik, atau bergulung-gulung di jalan depan rumah berpura-pura mau 'bunuh diri' untuk menarik perhatian 'Sipit'. Kadangkala ada yang datang sambil mempersemahkan hadiah berupa hasil perburuan masing-masing; dari tikus, ular, burung sampai dengan lauk ikan curian.

Sireng
Dari kesekian kucing yang saling berkompetisi itu, barulah kami mengetahui siapa pemenangnya saat si 'Sipit' hamil akibat 'pergaulan bebas' ini hinga kemudian melahirkan anak kucing. "Sireng"  adalah singkatan dari Si Ireng atau si hitam yang merupakan salah satu anak kucing peranakan sipit dengan kucing pemenang berbulu hitam. Karena dominasi warna kulit dari bapaknya adalah hitam, maka sireng ini tentu saja berbulu hitam dengan sedikit putih di bagian kaki, hidung serta perut ke dada. Sementara ciri khas dari 'Sipit' hanyalah menyisakan ekor yang lancip 'tapi tertekuk'. 
Tak banyak kenangan yang kuingat dari sireng selain ia akhirnya tumbuh menjadi 'berandal' kampung. Pada awalnya Sireng ini adalah penghuni manis etalase kios bengkel yang dijaga ibuku, hingga akhirnya ia lebih suka keluyuran ke kampung-kampung hingga akhirnya menghilang entah kemana. Sesekali 'Sireng' pulang dengan sekujur tubuh sudah babak bundas sekedar terlihat sebentar untuk kemudian lantas pergi menghilang lagi.  

Paijo


 

13 Des 2018

The Last Durian

Nun, aku pernah tinggal lama di sebuah kampung bernama ponggalan. Konon, kampung yang sekarang sudah menjadi perkotaan itu dulunya sebuah desa. Setidaknya pinggiran kota yang masih didominasi orang-orang yang bekerja di sawah alias bertani. Pun aku masih mengalami masa-masa ketika di musim tertentu orang-orang memanggil anak-anak untuk mengadakan wiwitan. Wiwitan adalah semacam membuat tumpeng kecil dengan sayuran, potongan telur, ikan asin, tempe garit dan teh yang digilir dengan gelas omprong. Maka anak-anak kecil tanpa perlu dipanggil sudah berlarian mengular, membututi petani yang sedang mengendong nasi wiwit itu ke pematang menuju petak sawah yang akan digarapnya. Lantas, beberapa pincuk atau  tempat makan dari daun pisang sudah disipakan untuk kami anak-anak berbagi nasi wiwitan tersebut. Masing anak mendapat 1 pincuk kecil nasi, lalap sayur, potongan tempe garit, ikan asin dan paling hits atau istilah kami adalah pukulan gongnya adalah sepotong, tepatnya seperdelapan potong telur rebus. Itu sungguh nikmat sekali. Tetapi kurun itu sudah berlalu lama-sekali, terkikis habis seiring dibukanya akses aspal lebar dan perkembangan pesat kota kami.
--------
Ponggalan beberapa tahun belakangan terus bergerak. Rumah-rumah baru bermunculan, orang-orang berdatangan. Apalagi kini ada kampus baru agak berdekatan dengan kampung kami, sehingga banyak mahasiswa, paling banyak mahasiswi yang indekos di kampung kami. Maka bisnis kamar kos, laundry sampai warung-warung mulai bermunculan. Depan rumah masih kokoh 2 pohon durian tua. Seingatku itu adalah tahun 2000an dan 2 pohon itu adalah durian terakhir di kampung kami.

Mendiang bapak pernah membeli sepetak tanah, tepatnya agak ke tepi timur kampung kami. Di tanah itu masih tersisa 1 buah pohon durian tua. Tetapi selepas berganti pemilik, ternyata pemilik baru tidak mempertahankan durian itu. Maka 2 pohon durian di depan rumah itulah yang tersisa di kampung kami.
-----
Ini adalah musim kemarau dan 2 Pohon durian terakhir mulai berbuah lebat. bahkan beberapa buah sudah mulai nampak menyeruakkan aroma khas harum durian. Sang pemilik pohon yang notabene adalah tetangga kami tentu saja sangat senang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, jika bola-bola buah durian  sudah mulai nampak membesar, ia akan mengundang seorang tetangga kami juga (yang saya lupa namanya) yang sangat gesit memanjat pohon dan kemudian mengikat satu persatu durian tersebut dengan tali. Walhasil jika durian itu sudah matang sempurna, sik durian akan jatuh dengan sendirinya dari tangkainya. Tetapi karena sudah terikat dengan tali, sik durian hanya bergelantungan saja pada batang ikatan. Maka pagi harinya atau mungkin beberapa hari kemudian, sekalian susul susul menyusul menunggu bergelantungannya buah-buah durian masak lainnya, sik pemilik (Mas Panut namanaya) akan memanen dengan mudah.
"Tapi sepandai-pandainya diikat, tetap saja ada beberapa durian yang jatuh jua ke tanah"
Apalagi 2 pohon durian terakhir itu cukup subur. 1 pohon usianya mungkin jauh melampaui dari usia usiaku saat itu, dengan urat-urat batang yang menujukkan perjalannanya tumbuh telah melalui berbagai musim, mungkin saksi bisu juga ketika jalan aspal depan rumah masih berupa jalan setapak.
1 pohon yang terbesar kali ini buahnya luar biasa banyak. Apalagi pada ujung-ujung batang yang jauh dan agak rapuh, tidak terjangkau tangan sang pemanjat dan pengikat gesit. maka saat keberuntungan bagi kami menunggu durian jatuh. Utamanya di malam hari.
-----
Nun, sang pemilik 2 pohon durian terakhir mulai was-was akhir-akhir ini. Beberapa buah durian pada ujung batang memang sulit diikat dan aromanya kian menyeruak menujukkan tingkat kematangan semakin mendekat. Sebentar lagi jatuh. kalau toh siang hari, tentu masih bisa diselamatkan dari tangan kami, penikmat durian jatuh, tapi jika malam hari harus berjaga apabila mendengar bunyi suara "GdeBukkk!"
---
Malam ini sedang banyak rekan-rekan berkumpul di rumah. Sebenarnya sudah menjadi malam sewajarnya, rumah kami selalu ramai pada bergadang sampai malam. Namun untuk menunggu durian jatuh agak sulit bagi kami. Karen akhir-akhir ini mas Panut lebih sering lebih gesit dari kami dalam urusan bunyi "Gdebukk!"
Tiba-tiba entah ide dari siapa yang memulai, salah seorang dari kami mengambil batu bata besar. Dilemparkannya batu bata itu ke tanah kosong dekat pohon durian itu. Lantas kami semua pura-pura tidak tau serta kembali ngobrol seperti biasa di depan rumah.
Benar saja, tak menunggu waktu lama keluarlah mas Panut dari rumahnya. Terlihat kemudian hilir mudik mencari arah sumber suara dan melihat ke arah kerumunan kami.
Tak percaya, Mas panut sempat mendekat ke arah kami, sambil menyelidik, kiranya ada aroma durian jatuh disembunyikan di sekitar tempat kami duduk. Tetapi tak nampak olehnya... Mungkin pikirnya sudah disembunyikan oleh kami.
"Gdebukkk", kali kedua salah satu dari kami melempar batu bata lagi ke petak kosong. Kali ini Mas panut keluar lagi. Di tangannya menggengam senter, lalu disorotnya ke arah kira-kira sumber suara serta ke arah atas pada ikatan-ikatan rerimbun buah durian. Lalu ia sempatkan Celingak celinguk dan menyelidik ke arah kami. Masih pula nihil.
Entah apa yang terlintas di pikiran mas panut waktu itu... apakah sudah sadar dikerjai oleh kami, ataukah mungkin  dia berfikir 2 buah durian matang jatuh ke tangan kami. Barangkali ikatannya lepas....
---
Malam sudah sangat larut saat "Gdebukkk" yang ketiga kalinya muncul. Kali ini bukan dari buah tangan ulah kawanku. Tetapi memang suara alami dari sebuah durian matang sempurna yang tangkainya sudah tidak kuat lagi menahan beban kematangan lalu melepaskan cengkramannya dan membuatnya jatuh ke bawah oleh gaya gravitasi bumi dan tertangkap dengan empuk oleh tanah kosong beberapa langkah dari pohon induknya. Sang durian jatuh lantas agak berguling sebentar lantas diam menunggu diambil orang. Dan sangat beruntungnya kami karena mas panut tak jua keluar dari rumahnya. Setelah kami diamkan sejenak, barulah kami diam-diam mengendap meraih durian itu. Maka di penghujung malam itupun kami berpesta membelah durian. Sebuah durian terakhir di kampung kami yang bisa kami nikmati karena di tahun berikutnya pohon durian itu telah ditebang karena berganti pemilih tanah. Kini bekas 2 durian terakhir di kampung kami telah berdiri rumah. Dan mas panut tak perlu lagi was-was jika malam tiba saat musim durian mulai datang. 

Jogo cakruk- Edisi Ketemu orang Tersesat

Tempat tinggalku sekarang memang persis di pinggiran sungai Opak. Sebuah perumahan yang berada di ujung desa Jogotirto dan jalan aspal masuknya berujung pada jalan buntu menuju tepian sungai. Maka tak heran apabila beberapa kali pelancong atau sekedar orang yang pertama kali melewati di sana bisa tersesat. Dianggapnya jalan aspal yang masuk melalui perumahan itu akan berujung pada jembatan menyeberang sungai opak dan menuju aspal lain di seberang desa. Tetapi mungkin untuk adanya jembatan tersebut perlu waktu bertahun-tahun lagi. Pun bisa jadi hanya angan-angan.
---------
Nun, seperti biasa, suasana malam seputaran dirgantara asri sudah mulai sepi. Pintu pintu rumah sudah tertutup dan kucing-kucing mulai berseliweran di genting. Meski kemarau belum berakhir, tetapi udara tidak terlalu dingin. Jalan aspal yang masuk ke perumahan masih berkabut debu, yang belum mengendap setelah seharian digerus roda-roda kendaraan dan mobil bak pasir. Pak Sugi, salah satu anggota ronda paling rajin, sudah berangkat meluncur menuju pos ronda, lengkap dengan celana training, kaos pudar dan selempang sarung.  Pos ronda masih belum ada orang, tikar pun belum digelar dan tampak remah sisa makanan dan bungkus snack berserakan. Pasti seperti biasa, sore tadi jadi arena kumpul anak-anak perumahan. Pak Sugi memukul kentongan beberapa kali, sekedar isyarat agar rekan-rekan rondanya lain yang dalam papan daftar ada sekitar 14 orang bisa segera hadir. Maka tak perlu waktu lama, satu persatu personilpun berdatangan, dari Algi, Pak Joko, Pak Yanuar, Alex, Pak Padi, Pak Faisal, Pak Samino, Pak Heri dll. Malam itu agak lengkap, meskipun tidak ada yang membawa camilan atau minuman. Obrolan pun mulai membuncah keberbagai topik, dari sepakbola sampai politik kampung. Dari plesetan sampai parodi.  Cerita paling seru  akhirnya datang dari Algi si anak rantau mahasiswa asal NTB yang malang melintang sampai akhirnya terdampar di PDA.
----------------
Malam itu tokoh utama adalah Algi yang dengan gayanya yang eksentrik khas orang timur gemar bercerita sepak terjang keseharian hidupnya  Tiba-tiba, ditengah keasyikan Algi yang mencerita-kan kelihaiannya sebagai sales parabola, seorang bapak paruh baya turun dari jalan menuju ke pos ronda. Si Bapak muncul sambil menuntun sepeda gunung karatan. Kabut debu jalanan ditambah kemunculannya yang tiba-tiba membuat kami semua bergidik terkejut. Taksirannya sekitar umur kepala 5 dan perawakannya tegap. Dikepalanya memakai topi dan nampak dari pakaiannya yang sedikit rapi menandakan ia bukan datang dari tempat jauh.
“Jalan buntu itu pak, bapak dari mana mau kemana?”
"Klaten! Lewat mana ya?"
 Malam-malam jam 11 an begini mau ke klaten? dengan sepeda bocor?
Berbagai pertanyaan tentu saja muncul di benak kami. Ditanya namapun si Bapak hanya menjawab berputar-putar.  Ditanya A jawabnya B. Jikapun orang gila, cara ngomong  Bapak ini tidak menujukkan seperti itu. Tetapi kelihatan sekali Bapak ini agak linglung.  Mungkin pula pikun.
"Jangan jangan intel? Intel yang ngaku-ngaku orang gila, apalagi jelang pilkada begini"
Sepeda yang dituntunya itu baik ban depan maupun belakang tampak gembos yang membuat kami berfikir bahwa hal itu bukan tanpa disengaja. Kalaupun maling sepeda, bapak itu tak menunjukkan perawakan seperti itu, pun sepeda itu kelihatannya tidak cukup berharga kecuali di tangan tukang loak. Satu per satu dari kami mencoba mengorek, keterangan, sekedar dapat secuil informasi. Tetapi si Bapak tetap kebingungan. Kecuali Algi, pengalamannya sebagai sales parabola mungkin mengasahnya untuk menghadapi berbagai bergai macam orang termasuk dengan Bapak itu.
-----
Setelah ngobrol panjang lebar Algi mendapatkan cerita Bapak ini bukan orang sembarangan, paling tidak jika bukan dari kalangan tentara, mungkin pensiunan tentara. Ada sekelumit cerita juga Bapak ini pernah dikeroyok dengan banyak orang  dari tentara. Apapun cerita Bapak tadi, Algi terus mengikuti sambil mengulik informasi.  Di tengah-tengah percakapan Algi dengan Bapak itu, lamat-lamat muncul nama seseorang yang cukup populer. “Tejo. Tejo mantan dukuh kita!”  “Masih saudaranya pak Tejo kayaknya” Dengan bujukan Algi, rombongan piket ronda akhirnya mengantarkan Bapak itu ke tempat pak Tejo. Sambil berjalan Algi masih ngobrol dan mengikuti cerita Bapak itu.
-----
  Jalan kaki menuju rumah pak tejo yang berada di tengah pemukiman Jragung lumayan jauh dan saat itu sudah jam 12 lebih, berbekal  secarik nama kami berharap kami mengantarkan ke tempat yang tepat. Lagipula tengah malam begini sangat berisiko kami mengetuk pintu rumah Pak Tejo besar kemungkinan sudah lelap. 3 kali lebih kami mengetuk rumah Pak Tejo dan yang bersangkutan belum jua kelihatan. Hampir saja kami menyerah saat tiba-tiba di tikungan depan rumah Pak Tejo muncul sesosok perempuan paruh baya.  “Ealah pak, pulang! Tak Jewer kupingmu lho!” Ternyata sosok itu adalah istrinya dan benar Bapak itu adalah adik pak tejo yang rumahnya persis hanya beberapa petak dari rumah Pak Tejo. Tambah lagi bapak itu memang pensiunan perwira dan sudah beberapa waktu ingatannya sudah mulai pikun. Sang istri sengaja menggemboskan sepeda itu agar si Bapak tidak mengeluyur kemana-mana. Perempuan itupun meminta maaf dan berterima kasih sudah menghantarkannya pulang.
----
  Syukurlah, masalah sudah terselesaikan dan kamipun harus jalan kaki lagi pulang ke perumahan. Benar-benar malam yang melelahkan. 

12 Des 2018

Mbayung

        Makan siang kali adalah sayur mbayung yang mengingatkanku pada masakan simbok. Saat usia SMP aku dititipkan pada simbok, yakni panggilanku pada simbah putri, ibu dari ibukku. Kebiasaan ibu ku memanggil simbah dengan simbok sehingga aku dan saudara-saudaraku terus memanggilnya dengan simbok.
Mbayung adalah daun kacang panjang. Daun ini dahulu identik dengan bahan masakan kelas bawah. Karena tidak seperti daun-daun yang lain, misalnya bayam, sawi dsb, daun kacang panjang ini bisa dikatakan limbah pertanian. Dahulu simbok mendapatkan daun mbayung dengan cuma-cuma dari kebun tetangga ataupun kalau dibeli dipasar sangatlah murah.
     Di usianya yang sudah lanjut, dengan rambut yang keseluruhannya sudah putih, simbok masih gesit di kesehariannya. Memasak, mengurus 'mbah kung' suaminya tercinta, mencuci dan segenap centang perentang keperluan rumah. Simbok kesehariannya memakai jarit serta kebaya sederhana. Sebuah stagen panjang selalu melilit di pinggang simbok membuat seusianya masih terlihat tegap.
     Di ingatanku untuk urusan masak, simbok adalah koki terhebat. Masakannya meskipun dengan bahan-bahan seadanya, selalu terasa nikmat. Simbok sepertinya menikmati urusan memasak ini sebagai rutinitas yang menyenangkan.
Di sekitar rumah simbok ada beberapa tanaman yang sering jadi sasaran untuk olahan masak. Beberapa batang pohon melinjo, tanaman katuk, tanaman bluntas, singkong, pepaya dan kebun sayuran dengan paling banyak diisi cabai dan kemangi. Lantas bisa dibayangkan deretan tanaman diatas sudah menjadi menu bergilir untuk olahan sayuran. Buah Pepaya muda dijadikan sayur bobor atau kadang oseng-oseng, daun pepayanya diolah jadi oseng-oseng, daun katuk dijadikan bobor, daun ketela dijadikan lodeh dan sebagainya. Khusus menu protein apabila sedikit beruntung sedang panen telur di kandang ayam mbah kakung, 1 atau 2 butir telur diaduk dicampur potongan halus daun melinjo muda. Dadar daun melinjo muda ini rasanya enak sekali, meskpun harus dipotong-potong menjadi beberapa bagian, untuk lauk pagi, siang dan sore.
Terakhir, kembali ke soal mbayung, jikalau simbok pulang dari pasar sayur yang sering dibawa adalah daun mbayung, mungkin karena sayuran itu paling murah. Diolah dengan santan, diberi  tempe busuk (tempe bosok) dan jikalau sedang musim petai, cukup 5 atau 7 mata petai dimasukkan ke sayur mbayung sebagai bumpu pelengkap. Rasanya tidak ada yang mengalahkan sayur mbayung bikinan simbok. Beberapa kali sayuran bayung itu dulu muncul meja makan rumah simbok, beberapa kali pula tak pernah bosan rasanya menikmatinya. 

22 Sep 2018

Otak Atik Gatuk

Otak atik gatuk adalah semacam ilmu mistik perhitungan ala orang Jawa. Kalau dulu ilmu otak atik gatuk ini mungkin dengan berbagai perhitungan tanggal dan tanda-tanda alam yang rumit, tetapi kini penerapannya mungkin lebih sekedar istilah; "Menghubung-hubungkan". Pengambilan nomer urut presiden 22 September 2018 kemarin, mengingatkanku pada memori tentang ilmu otak atik gatuk. Tetapi ingatanku ini bukan soal politik, tetapi soal ilmu otak atik gatuk iseng ala mbah Atemo.

           Namanya mbah atemo, tetapi kami memanggilnya mbah atmo. Tidak banyak yang tahu kecuali anak dan cucu-cucunya dan keluarga dekatnya kalau mbak atemo ini dulunya adalah veteran tentara yang ikut dikirim saat operasi ganyang malaysia. Pun tidak banyak yang tahu, kecuali istri dan anak-anaknya kalau mbah atemo pernah terombang-ambing menjadi ABK kapal selama berbulan-bulan saat mencoba kembali ke Indonesia dan harus jalan kaki mengikuti jalur kereta api dari anyer menuju tugu untuk bisa kembali ke Yogyakarta menemui kembali keluarganya yang menganggapnya telah tiada. Tetapi torehan blog kali ini bukan mau menulis soal mbah atemo, Mungkin lain kali, karena Mbah atemo ini segmen khusus dengan kontemplasi dan olah sejarah yang mungkin perlu waktu lama.
         Salah satu kebiasan mbah atmo selepas menjadi veteran tanpa penghargaan adalah pasang nomor togel. Waktu itu masih tenar jaman SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang konon katanya adalah judi berkedok iuran sosial yang dilembagakan. Wah. entah lupa siapa dulu yang mencanangkan, tetapi itu sudah lama sekali sewaktu pemerintah jaman Sohearto, dan sik penulis blog sendiri masih seumuran SD.
          Mbah Atemo tidak selalu pasang nomer, karena juga sebagai veteran tanpa gelar, pekerjaan mbah atemo sebagai kuli pabrik batik cap di imogiri hanya memberikan imbalan (kalau tidak salah ingat) Rp. 5.000,- saban minggu. Itupun Mbah Atemo berangkat mengayuh sepeda pagi-pagi dari Prenggan Kotagede ke Imogiri sekitar 1 jam lebih.
Sehingga pasang nomer baginya adalah adu peruntungan, siapa tau nasib mujur bisa tembus 2 angka sehingga bisa buat bonus belanja kebutuhan.
         Aspiyah, adalah istri mbah atemo, tahu betul berapa pendapatan suami tercintanya ini, sehingga mbah atemo harus pandai-pandai menyisihkan setoran buat istrinya dan menyimpannya sendiri.
Nah, belakangan baru diketahui tempat paling rapih untuk menyimpan sisihan uang setoran itu adalah di kap lampu sepeda onthelnya. Sehingga, setelah beberapa hari, mbah atemo baru bisa mendatangi kios penjual nomer SDSB.
Otak aktik Gatuk
Tidak sekedar pasang, dengan pengalaman pahit getir yang dialami mbah atemo, mungkin di punya ilmu tersendiri buat pasang nomer. "Didalam sebuah keapesan pastilah ada keberuntungan" adalah prinsip matematik mistik yang dipegang mbah atemo. Dan prinsip matematik ini bukan tanpa bukti empirik. Seperti disampaikan sebelumnya, mbah Atemo tidak selalu membeli SDSB buat dirinya sendiri tetapi ia sering diminta tetangga atau teman-temannya bila ada yang mau memasang nomer.
Salah satu kejadian yang kuingat, ketika ada anaknya yang kemalingan motor. Saat mendengar kabar anaknya kemalingan motor itu, seketika hari itu juga mbah atemo memasang nomer SDSB, kebetulan karena uang yang ia dapat hanya cukup membeli 2 nomer dari sekian banyak nomer yang bisa dipasang (penulis rupa sampai berapa nomer). Nomer yang dipasang adalah persis 2 digit pertama pada plat nomer motor yang hilang tersebut. Maka benarlah, ternyata angka yang keluar sebenarnya kalau mbah Atemo pasang 4 digit maka keberuntungan berlipat dari sekedar pasang 2 digit. Karena memang seperti yang diprediksi bahwa angka yang keluar adalah 4 digit persis sesuai plat nomer motor yang hilang itu.

20 Agu 2013

Are you Singing?

946260_10200619693068555_1055009167_n

Ada ritual yang selalu susah dilakukan saban waktu ia mudik ke desa magetan. Desa itu bernama nglemi, sungguh aneh nama desa itu, terletak di dekat stasiun barat, daerah tanggung antara magetan dan madiun. Sebenarnya lebih dekat dengan madiun meskipun secara antropologis masyarakatnya, terutama laki-laki banyak yang sejak dini telah dibekai seni bela diri pencak silat 'Teratai'. Penanda, ada patung si pendekar 'teratai' di pertigaan masuk menuju desa 'nglemi' yang makmur permai ini. Penduduknya terutama yang tua tua adalah petani tradisionil yang menanam padi setahun minimal 2 kali bertenaga pengairan dari pompa air yang menyedot dari saluran irigasi yang dibangun sejak tahun 1970. Maka memandang landscape 'nglemi' seperti mencomot lukisan 'realisme-romantis' pemandangan sawah yang hijau, petani dengan caping, penggembala menggiring kerbau dan gunung lawu di kejauhan.

Dan ritual saban tahun yang selalu terulang saat ia mudik ke 'Nglemi' adalah buang hajat di sungai. Hampir semua rumah penduduk memang belum memiliki kakus. Kalaupun ada, konstuksi kakus adalah tembok bata rendah yang cukup untuk menutupi sebagian tubuh anda ketika berjoniok dengan menyisahkan sejumput rambut kepala. Konstriksi 'kakus' pribadi itupun langsung beratapkan langit.

***

Memang saluran irigasi itu memanjang dari ujung timur ke barat persis di tepian areal persawahan yang berlandscape seperti comotan lukisan 'mooi indie' itu. Biasanya jam sibuk adalah pagi hari, saluran irigasi itu, sudah diantri para penduduk yang ngantri ingin 'melarung' isi perut sisa makanan. Maka ada protokorel tak tercatat bagi siapa saja yang ingin mengantri kakus panjang ini. Terutama juga bagi dia yang dirumahnya memang tak punya kakus pribadi;
1. Lihat pandangan
Lihat pandangan anda sejauh mata memandang apakah jarak terdekat di areal irigasi sudah terisi orang yang   berjongkok. Karena biasanya antrian terawal orang akan mencari tempat terfavorit di persis di bawah jembatan. Selain karena struktur jembatan yang dibangun sejak 1970 itu menyediakan blok yang nyaman buat nangkring juga karena ujung jembatan berarti tempat pertama anda bisa mendaratkan muatan anda tanpa mendapatkan umpan mentah dari peserta 'buang hajat' yang lain.
Maka jika kurang beruntung, anda akan dapat tempat terujung dengan konsekuensi tumpukan umpan mentah dari yang mengalir menuju anda dari para pembuang 'hajat' sebelumnya. Dan yang harus anda harus berjalan dengan pura pura tak melihat para 'pejongkok' sampai menemukan tempat anda sendiri.
2. Jaga jarak
Jaga jarak adalah etika kedua, terutama di jam sibuk pagi hari untuk ritual buang hajat berjamah ini. Kira-kira seratus meter, cukup agar aliran irigasi bisa menerpa deras benda yang anda larung dan simbiosis mutualisme antara benda yang anda larung dengan organisme di sungai macam ikan, lumut kodok, kepiting dan lain lain bisa berebutan menguraikannya.
Jaga jarak juga terjadi agar anda tidak terlalu sakit mata saat seorang peserta buang hajat berjamaah selesai duluan dan mengangkat (maaf) bongkahan p**tatnya di depan mata anda. Cahaya matahari pagi bisa bisa langsung memantul padanya dan sekejap membahayakan mata anda.
3. Kasih tanda
Kasih kode seperti saat anda makan di restoran berkelas. Jika anda memesan meja, maka anda akan menandai meja itu dengan kartu atau semacamnya. Maka peserta buang hajat berjamaah ini biasanya kasih tanda di depan tempat mereka berjongkok, misal dengan menaruh sandal, sepeda atau benda-benda apa saja yang bisa ditinggalkan untuk memberi tanda, dalam radius beberapa langkah ada si fulan sudah jongkok disitu.
4. Tetap waspada
Tetap waspada karena anda berada di alam terbuka. Tantanganya adalah binatang binatang liar macam ular, kodok atau apapun itu.
5. Menundukkan pandangan
Disinilah anda diuji untuk menundukkan pandangan saat melewati peserta lain. Tidak usah menoleh atau bahkan menyapa, cukup tetapkan langkah ke depan luruskan niat ke depan.
***
Tiap kali ia mudik ke desanya, maka tiap kali pula kejadian ini terulang. Sebenarnya mudah baginya untuk membuatkan kakus permanen bagi pak dan mboknya. Tapi bukan itu yang pak dan mbok nya ingini. Pun akhirnya dia mengerti mengapa penduduk desa nglemi lebih banyak yang suka berhajat di saluran irigasi itu. Karena sampai sejauh apapun seseorang mengejar status, mengejar keinginan, darimanapun orang, kemanapun orang, kalau sudah berjongkok akhirnya berakhir sama saja. Apapun yang dimakan orang, berapapun mahalnya, apapun rasanya ketika telah dikeluarkan hasilnya sama saja.
***
Saat ia pulang, sayup sayup terdengar di telinganya
'Ayo ngising... ayo ngi sing..."
'Ning kebon, ning kebon.."
'Tutupi godong pring...
tutupi godong pring"
'ben gareng'

To the top of java

PICT0065 Kadangkala aku berusaha keras mengingat wajah ibuku. Sedemikian kerasnya sehingga harus memejamkan mata untuk bisa menyusun satu demi satu potongan ingatan wajah ibuku. Atau wajah kakekku, atau orang orang yang sudah tiada. Meskipun terkadang sekilas muncul tanpa sengaja wajah demi wajah itu. Wajah yang ingin selalu kuingat. Seperti halnya dini hari ini aku bermimpi bertemu dengan wajah-wajah itu yang membuatku menjadi disorentasi saat tersigap untuk bangun. Tak menyadari sebenarnya wadagku tengah bermil mil jauhnya dari kota Yog dan berada di ketinggian kira-kira 1500dpl di kaki gunung Lawu. Tapi bukan karena bermimpi bertemu dengan wajah wajah itu yang membangunkanku.

***

Udara yang dingin membangunkanku, udara yang mengandung debu sehingga hampir hampir aku terbatuk. Sudah tak kutemukan lagi selimut atau sarung, terhempas entah kemana. Sepertinya ada setumpuk karung beban di kepalaku, menindihku hingga tak dapat membuatku bangkit dengan leluasa.

Pada awalnya yang nampak hanyalah langit langit ruangan, bilah-bilah kayu dan tiang tiang kayu menyangga genting. Tak ada asbes, tak ada plafon atau penutup langit langit. Kolong atap itu penuh jaring laba-laba, gelap dan tanpa cahaya. Sehingga kesimpulan pertamaku menangkap bahwa ini masih terlalu dini untuk bangun. Bahkan mungkin belum beranjak subuh. Tetapi udara dingin menggelitiki seluruh tubuhku untuk lantas bangun, mencari cari mana secarik selimut dan atau sarung yang semalam sepertinya ada.

Sekilas kesadaranku belum menangkap dimana aku berada. Mungkin di tepian bumi lain, mungkin di kampung halaman, mungkin di kota lama dimana aku pernah bertemu wajah-wajah asing. Sebegitu heningnya dan tak kudengar bunyi kokok ayam jantan satupun. Tetapi memang udara dingin sekali lagi memaksaku untuk lantas bergegas bangkit.

Aku masih seperti buntalan karung, atau mungkin lebih tepatnya seonggok batu yang kedinginan yang ingin rasanya menggelindingkan diri agar bisa jatuh kebawah tetapi menunggu kekuatan atau seseorang untuk mendorong untuk menggerakkannya.

***

Perlu beberapa menit agar kesadaran ruangku mulai muncul. Koordinat menunjukkan aku kini berada di lembah gunung lawu. Di sebuah gubuk warga dengan 2 orang di sampingku. Beberapa menit kemudian kesadaran akan wajah mulai berkerja. 2 orang di sampingku, adalah 2 orang asing yang belum lama kukenal. Tapi mereka tidaklah asing, wajah yang sepertinya puluhan masa silam pernah kutemui dalam sebuah perjumpaan. De Javu!

Satu pemuda jangkung asal Polandia. Kejangkungannya hampir 125 persen di atasku. Tipikal ras eropa persis, dengan kulit putih pucat, wajah runcing, hidung mancung dan mata biru. Seekor lagi adalah asia dari belahan benua India. Dia adalah pribumi Bangladesh yang tak selalu merasa pongah bahwa negaranya tidak lebih buruk dari yang diceritakan sampai ke Indonesia.

***

Apa gerangan yang aku cari saat ini? Bersama 2 ekor kawan asing yang di ketinggian 1500dpl dan rencananya akan melanjutkan pendakian ke 3500dpl di salah satu puncak pulau Jawa ini? Kalau tak salah 7 tahun berselang, awal 2000 aku pernah menapaki gunung ini bersama kakak dan seorang temanku. Di puncak ini hanya kami bertiga dengan bekal minim dan cuaca ekstrim. Di basecamp terakhir hampir puncak, ketika basecamp disitu bukanlah sebentuk rumah warga tetapi hanya lahan agak datar dengan sisa-sisa perkemahan sebelemnya kami berpapasan dengan 2 orang pendaki yang nekat. Nekat karena mereka mau melanjutkan menuju ke puncak meski bekal minim dan cuaca agak berkabut. Berapa hari kemudian tersiar kabar 2 orang pendaki tersebut kehabisan bekal sampai akhirnya mengalami hipotermia dan seorang diantaranya meninggal. Aku bergidik ketika mengingat kami pernah memberikan sejumput gula jawa bekal kami ke mereka saat seorang dari mereka dipapah oleh petugas SAR. Mulut pendaki tersebut melebam dan kaku hingga sulit menelan potongan gula jawa yang kami jejalkan ke bibirnya.

***

Di gunung, alam terbuka, 3 orang kawan dari belahan bumi berbeda. Konon katanya di alam terbuka ini sifat asli orang akan muncul. Mungkin itu yang kami cari.

1 Jun 2013

Multi tasking

....When we grow tired of all this visual/ You had your time - you had the power/ You've yet to have your finest hour / ..... All we hear is radio blah blah....(Queen - Radio Ga Ga)



Ada banyak alasan mengapa anda harus membenci televisi. Setidaknya untuk menghindari dari keterjebakan menonton acara televisi ada baiknya mulai membenci televisi.
Saat anda mulai menyalakannya anda akan tergiring untuk memindah channel dengan mudah lewat remote control. Sehingga dalam waktu yang pararel anda mungkin bisa menikmati 2 atau 4 sekaligus acara televisi. Apalagi saat anda menonton TV seorang diri, maka anda adalah raja di atas singasana kursi sofa yang menentukan nasib tayangan apa yang laik tampil melalui remote control di jemari anda.
Konon otak yang seukuran beberapa kepalan tangan mampu lebih mudah merekam aspek visual dari pada mencerna proses tulisan. Apalagi jenis tayangan iklan komersial yang kerap mengeksploitasi reflek kenikmatan mata pada lelaki lekuk liku wanita.Para perempuan akan langsung berbinar pada aneka produk  pelangsing tubuh, pemutih wajah sampai urusan pribadi dengan alih-alih menambah percaya diri. Sedangkan anak-anak kita, semenjak pagi hari sampai waktu prime time malam hari adalah iklan-iklan makanan dan mainan. Maka dengan mudah fokus kita langsung tergiring pada bunyi tag line yang diulang-ulang pada iklan; "Wajah putih berseri sepanjang hari", "Diputar, dijilat dan dicelupin" dan sebagainya.

Kata peneliti perempuan bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus dalam satu waktu. Dalam bahasa komputasi, ia support multitasking, di saat sedang masak, tangan kanannya sedang memomong anak sambil tangan kiri mengirim SMS hampir tanpa melihat ke layar handphone. Sedangkan telinganya juga sibuk mendengar 2 channel gosip sekaligus yakni pertama dari acara "Insert Selebriti" di televisis sedangkan channel lainnya adalah "Bude Siti" tetangga sebelah yang saban hari selepas 8 pagi datang ke rumah menyiarkan berita update "gosip perumahan". Meski seluruh indera berjalan semua, (hampir) karena indra perasa agak telat bekerja ketika harus mencicipi rasa sayur asem yang tengah dimasak, tetapi semua kegiatan pararel ini berjalan lancar.
Tapi benarkah kita 'betul betul' dan 'benar benar' butuh televisi? Lepas dari semua visi stasiun televisi yang saya yakin kebanyakan menawarkan 'jendela informasi'. Tapi seberapa pentingkah atau seberapa banyakkah informasi yang kita butuhkan? Pernahkah anda coba dorong sejenak kota televisi kita ke pojok, dijauhkan dari arus listrik, atau bahkan dimasukkan dalam kardus. Coba anda lakukan itu sebulan saja, atau kalau atau tak kuat, dicoba mulai membatasi diri di jam jam tertentu.
Ini bukan sebuah persuasi, tetapi bagi yang pernah mengalami tinggal di tempat terpencil, atau taruhlah tempat yang sulit terjangkau sinyal televisi- karena kebetulan tempat tinggal saya adalah perumahan di cekungan lembah dengan kungkungan bukit-bukit piyungan. Maka nyaris menonton televisi adalah perjuangan, selain harus berlomba-lomba meninggikan tiang pancang antena kalau tidak berisiko kena petir, juga karena (jujur saja) saya tak punya televisi yang 'wajar'. Saya katakan televisi yang 'wajar' karena sekali televisi 'wajar' saya berakhir dengan ledakan lengkap dengan sedikit asap persis dalam film jadul Dono-Kasino-Indro. Dan kedua, karena televisi 'wajar' saya tiba-tiba seperti punya penyakit kulit, berubah warna jadi kekuning kuningkan sampai akhirnya mengecil dan mengecil menjadi segaris. Dua kotak televisi 'wajar' itu berakhir di tukang servis tanpa pernah kudengar kabar apakah memang sudah bisa dibetulkan ataukah sudah berakhir di tukang loak didaur ulang jadi ember bekas.
Paragraf akhirnya, saya cuman pingin cerita nostalgia ketika radio masih jaya. Terakhir, seingatku ketika masih SD, ketika channel TV hanya TVRI dengan jam tayang yang terbatas. Hampir saban hari kotak radio tak pernah mati. Kadangkala 1 rumah bisa punya lebih dari 1 radio karena selera pendengar dalam rumah itu yang beda-beda. Tetapi di kampungku, selera pasar paling umum salah satunya adalah drama 'Saur Sepuh'. Bagi anak-anak atau remaja ada serial 'Joni Kukuh', selain tentu saja acara lain seperti berita, lagu-lagu, kirim kiriman salam, sampai dengan berita.
Disini indera tersibuk satu-satunya adalah 'telinga' sehingga adalah biasa mendengar radio sambil mencangkul ladang, mengayuh mesin jahit, mengendarai kendaraan atau kesibukan lainnya.
Salah satu 'drama radio' yang kutunggu seluruh keluarga adalah serial 'Saur Sepuh'. Maka saban sore terjadilah perkumpulan massal pendengar radio dari aku, saudara-saudaraku sampai tetangga sebelah yang ikut nimbrung. Meski kotak radio hanya satu dan dinikmati massal seperti itu, tetapi setiap orang akan punya imajinasi berbeda-beda dari siaran yang sama. Bayanganku tentu saja 'Brama Kumbara' sang tokoh utama 'Saur Sepuh' adalah lelaki dengan rambut gondrong berkostum jubah, ikat kepala, sandal dari kulit badak dan 'pedang nagapuspa' yang bisa menyala saat dikeluarkan. Salah babak yang kutunggu adalah babak pertarungan antara 'Brama Kumbara' dan 'Mpu Tong Bajil'. Meski radio hanya mengeluarkan bunyi 'ciaaat-ciaaat.... gedebak ... gedebuk..." tetapi di kepalaku secara visual telah tersusun adegan pertarungan dahysat antara 'Brama kumbara' yang mengeluarkan ajian sakti melawan 'Mpu Tong Bajil' yang juga punya tongkat sakti.
Kembali ke kotak televisi terkini, kecewanya, dan lebih menyedihkan lagi saat 'Saur Sepuh' tayang jadi acara sinetron. Saya pikir efek 'pertempuran' sengit yang dulu kususun lewat imajinasiku sendiri jauh lebih keren daripada yang tayang di sinetron televisi.
---
Saat perjalanan jauh 5 jam menuju Jogja-Grobohan, telingaku kusumpal radio, bukan MP3 untuk mendengar musik. Ajaibnya, aku seperti menemukan 'kesenangan' lama, membiarkan mengalir mengikuti siaran dan celoteh 'bla-bla-blah" sang penyiar radio.Rasa-rasanya 5 jam pantat penat dan panas di atas jok sepeda motor, seperti sebuah piknik lengkap dengan teman ngobrol, illustrasi musik dan pemandangan sepanjang jalan.

27 Sep 2012

Catatan

Ini bukanlah catatan awal tahun, atau akhir tahun. Tapi catatan sama spesialnya dengan catatan catatan yang lain. Bahkan mungkin lebih spesial lagi karena akhirnya Ia mulai menulis lagi.

Seperti seorang atlet lari lagi yang telah lama menggantungkan sepatu, berganti dengan sandal rumah yang jinak, sang atlet suatu saat termenung sendiri di depan tembok dimana sepatu larinya ia gantung bersama perabot perabot rumah lain. Bukankah kau kangen bernostalgia bersama sepasang sepatu itu? – sepasang sepatu yang sudah lusuh dengan sisa merk sedikit mengelupas dengan sol yang telah tertambal beberapa kali yang menemani langkahmu mengukur jalan puluhan kilometer bersama nafasmu yang terengah engah itu?

Sepasang sepatu nampak riang gumbira saat tangan ia mulai meraihnya. Sudah ratusan hari, ribuan menit, jutaan detik, endapan debu itu bedebum, ada yang mengambang di udara ada yang jatuh ke tanah, kalah oleh sorak gumbira sepasang sepatu.

“Ayo ajak aku berlari lagi bung!'”

8 Sep 2011

Aroma

Siapa yang bisa menggambarkan dengan kata-kata selain diri kita sendiri? Saya kira ada pendekatan untuk menggambarkan aroma dengan ingatan kolektif. Aroma mawar yang wangi misalnya, semua sepakat aroma mawar adalah spesifik  dengan bunga mawar, tak di temukan aroma bunga yang lain. Aroma mawar katakanlah, mengingatkan ingatan kolektif tentang nyekar di kuburan. Tapi paling sering aroma adalah ingatan subyektif, atau mungkin lebih ingatan kolektif yang terbatas. Misalnya terbatas 2 orang saja, antara aku dan dia. Kecuali aku ceritakan padamu tentang aroma ranum buah-buahan….

------

Kersen

Orang kampungku menamainya talok, sedangkan orang orang di kota besar menamainya ceri atau kersen. Tumbuhan ini sungguh luar biasa pertumbuhannya. Sebuah tunas mungil muncul di halaman rumahku, dekat kolam ikan di tahun 2002. Selang 2 tahun saja tunas ini sudah tumbuh memohon, menjuntai menjadi pohon dengan daun-daun yang selalu lebat di tiap musim. Dari pohon itupun saban hari selalu muncul putik-putik bunga dan buah-buah talok yang ranum berjatuhan hingga membuat halaman rumah ditebari daun-daun talok kering dan buah-buah talok yang matang. Buah talok mengundang anak-anak kecil untuk memanjat dan berburu butir-butir talok. Dengan plastik, gelas ataupun langsung menangkapi satu-per satu talok tersebut dan memasukkannya ke mulut mereka yang mungil. Rasanya kress, manis dan legit. Aroma talok adalah ingatanku tentang halaman rumahku yang dulu ditumbuhi talok setelah ibundaku meninggal.

Di halaman rumah kami yang sekarang juga tumbuh sepohon talok, juga anak-anak kecil yang saban hari berdatangan. Sekedar bermain-main di bawahnya sambil berloncatan berburu talok.

23 Jun 2011

Learning by doing#1:edisi memasak

Learning by doing alias belajar melaui praktek langsung. Tapi jangan praktekkan ini bila anda seorang dokter atau praktek pengobatan karena bisa-bisa anda akan kena mal praktek.

Pelajaran memasak pertama adalah telur dadar cantik. Disebut telur dadar cantik karena bentuknya yang bulat, pipih dengan warna kuning cerah dan tak ada lubang sedikiten. Sebenarnya membuat telur cantik ini adalah gampang kalau kita punya wajan teflon anti lengket. Telur tinggal dikocok dengan sedikit garam lantas dituang pelan pelan sambil wajan digoyang pelan dari tengah sampai ke tepi. Tinggal tunggu beberapa menit api sedang, lantas kalau anda mau coba atraksi melempar telur ke udara mirip master chief tinggal disentakkan ke atas sampai terbalik ke udara dan… pluk! Kalau anda beruntung sang telur akan kembali ke posisi semula pada permukaan yang lain alias side B, tapi kalau tidak beruntung paling-paling telur cantik jatuh tertelungkup tanpa bentuk. Tentu saja lebih sulit membuatnya dengan wajan biasa. Wajan harus benar-benar berlumur minyak tipis. Lebih bagus lagi justru wajan yang belum dicuci untuk menhindari si telur cantik lengket di muka wajan dan jadilah telur bopeng-bopeng. Si telur cantik biasanya jadi menu breakfast alias sarapan kilat atau sekedar lauk pengganjal perut pada malam hari.

 

Tabel 1.1 Absensi kehadiran Bawang Merah & Bawang Putih

  Bawang Merah Bawang Putih
Sayur Sup nihil hadir
Goreng Telur, tempe atau tahu nihil hadir
Lalapan nihil hadir
Tumis/oseng-oseng hadir hadir
Nasi Goreng kadang hadir kadang tidak hadir
Sambal kadang hadir kadang tidak hadir
Dongeng Bawang Merah & Bawang Putih hadir hadir
  = sering bolos = selalu hadir

Aneka Soup

Bosan dengan lauk yang terlalu sederhana mulailah kucoba membuat soup. Bumbunya aku perkirakan sama saja yakni duet dua bersaudara si bawang merah dan si bawah putih lantas digerus halus bersama garam, merica dan kadangkala sedikit aku kasih  kunyit dan lombok. Semua bumbu aku goreng sampai keluar aroma dan lantas kuguyur dengan dua atau tiga gelas air hingga mendidih.

Tinggallah para sayur mayur siap jadi korban mutilasi pisau dapur; kubis, wortel, tomat, sledri terkadang dengan ektrim kutambahkan daun mangga muda, daun katu ataupun segala macam daun yang berwarna hijau yang rasanya tidak pahit dan tidak menimbulkan sakit perut.  Satu demi satu, sayur yang telah kumutilasi dan wortel yang kukuliti dan kupotong kecil-kecil kucampakkan dalam wajan sup yang telah mendidih. Wajan! Ya karena peralatan dapur hanyalah kompor, pisau dan wajan. Menggoreng lauk memakai wajan. Membuat sup juga memakai wajan, dsb. Maka wajan adalah alat masak praktis dari A sampai Z. Beberapa menit sup telah siap. Karena aku tidak suka pada Monosodium Glutamate yang membuat kepalaku pusing setelah memakannya, kutambahkan saja sedikit gula. Kalau sedikit berduit, kumasukkan potongan cakar ayam atau sayap ayam sebagai ganti kaldu. Eksperimen dengan sup hanyalah dengan menambahkan potongan tahu yang digoreng, atau potongan tempe. Selebihnya aku sudah tak kuasa menahan derita lapar daripada terlalu khusuk menambahi menu.

Food and Gathering Lalapan

Aneka lalap adalah menu paling sederhana tetapi juga paling memprihatinkan. Paling sederhana karena aneka daun, apapun bentuknya yang berwarna hijau yang berasa pahit ataupun manis yang didapatkan disepetak kecil belakang rumah atau dengan diam-diam mengendap-endap memetiki daun di pekarangan tetangga pada malam hari, adalah tinggal direbus dengan sedikit garam dan tumbukan si bawang putih tanpa melibatkan saudaranya si bawang merah. Jika sedikit ber-uang, lalapan ini bisa dipadu dengan tempe goreng atau sambal.

Maka aneka lalapan ini adalah semacam evolusi manusia purba dalam caranya survival of the fittest  alias bertahan hidup melalui food and gathering alias berburu dan meramu. Berburu bagiku adalah bagaimana aku mendapatkan daun-daunan bahan lalapan tersebut dari sepetak kecil tanah baik itu pekarangan sendiri ataupun orang lain. Sedangkan meramu adalah meramu hasil perburuan tersebut dalam wajan ajaibku bersama sedikit garam dan bawang putih.

Nasi Goreng

Menurut survey yang perlu diragukan keberaadaanya, tiap anak kos, ataupun homo sapiens yang hidup mandiri dengan cara masak nasinya sendiri, nasi goreng adalah menu sarapan pagi ratting ter tinggi. Ini karena nasi goreng sebenarnyalah adalah ide kereatif bagaimana memanfaatkan sisa nasi yang masih belum habis dan hampir basi untuk bisa tertelan jadi sarapan. Maka nasi gorengkupun tercipta dari wajan ajaibku dengan memasukkan nasi hampir atau sudah basi, garam, lombok, kecap dan lagi-lagi duet dua bersaudara si bawang merah & si bawang putih yang hanya akur di dunia bumbu-bumbuan. Maka nasi goreng jadi menu spesial bila dihadiri sebutir telur.

Nasi sudah jadi Bubur

Nasi sudah jadi bubur artinya tak bisa dikembalikan lagi jadi nasi. Tapi bubur membuatku lekas kenyang dan rasa gurih dan gumpalan dari santan adalah rasa yang membuat bubur ‘kalau kepepet’ jadi menu utama tanpa tambahan lauk pauk. Apalagi dengan segenggam beras saja maka terciptalah dua piring penuh bubur.  Walhasil perut lekas kenyang meskipun resikonya pencernaan dan cacing-cacing di perutku lebih mudah menyerap hingga mengakibatkan alarm rasa lapar akan berbunyi 3 jam lebih cepat dari biasanya. Maka bubur adalah menu emergency respon bila logistik beras di dapur sudah menunjukkan level memprihatinkan alias stok tipis. Asal darurat mengisi perut lapar selanjutnya bisa difikirkan setelah kenyang!

Tumis alias Oseng

Tumis alias oseng adalah ketika potongan tempe, tahu, sayur ataupun segala bentuk remah-remah yang lain beradu dalam wajan ajaibku bersama sedikit minyak, garam, si kembar bawang merah- bawang putih dan sedikit kecap. Jika lagi mujur meskipun frekuensinya 1 banding 30 hari sekali di peraduan bisa bergabung beberapa potong jamur, telur atau potongan ayam. Tumis ini cukup membutuhkan waktu 15 menit untuk siap disantap, sehingga acap jadi menu favorit untuk malam.

Kalau fieasta punya slogan rasa adalah segalanya maka bagiku punya slogan kenyang adalah segalanya. Jika kepepet tak perlu punya pengalaman untuk masak. Asal ada garam dari laut, gula dari ladang dan si kembar bawang merah bawang putih bertemu di wajan ajaibku, jadilah mereka hidangan istimewa.

22 Jun 2011

Pauline

pauline Ada banyak cerita bersama Pauline. Dari yang paling sweet, sampai saat paling apes telah kami lalui bersama. Dari mulai pertama kali aku mengenalnya, bersamanya, sampai saat terakhir aku harus merelakan kepergiannya. Sampai saat terakhirnya, kuhempaskan begitu saja Pauline yang tak berdaya di pojok ruangan. Tapi baru kusadari kini begitu banyak kenangan bersama Pauline yang sepertinya tak bakal terulang lagi.

Dulu, hampir saban siang, di hari gerah dengan sinar matahari yang melucuti keringat di muka setetes demi setetes, ataupun di saat hujan yang lebat dan membuat kami berdua harus berbasah-basah, telah terbukti kesetiaan Pauline padaku. Lalu, seperti kebisaanku dulu, kami sering pergi malam-malam, meluncur di permukaan aspal kota atau ke pinggiran-pinggiran kota yang sepi ditemani cahaya lampu, bintang-bintang dan orang-orang yang terkena insomnia.

Body Pauline yang ramping memebuatnya terlihat sexy dengan lekuk liku dan perawakan kemerah-merahan sangat pas denganku yang berperawakan kecil. Tiap kali kami melintas di keramaian dari kejauhan orang-orang sudah melirik ke arah kami. Tapi lambat laun aku mulai terbiasa seperti halnya Pauline yang cuek saja.

Kadangkala kami juga jalan bertiga, Aku Pauline dan temen cewek. Dalam kondisi seperti itu aku sangat was-was. Bukan was-was pada Pauline tetapi pada temen cewek yang kuajak tersebut. Kekhawatiranku karena tak banyak yang bisa cocok bersama Pauline. Sudah selusin lebih perempuan bahkan laki-laki yang hengkang, mengolok oloki aku dan Pauline. Tak jarang ada yang menunjukkan sikap risih saat aku bersama Pauline. Meskipun ada yang tahu beberapa teman melakukannya dengan bercanda, tapi tak apalah kumaklumkan mereka. Dalam hati kukatakan ‘kalian tak mengerti betapa berharganya Pauline’ melebihi yang sebelum-sebelumnya………..

--------

Medio 2002 – Kebersamaanku dengan Tessy

Ia bukan seorang banci meski namanya Tessy. Sebenarnya ia punya kembaran bernama Tessa. Jadi ada Tessa dan Tessy meski tahun lahirnya sama.  Perawakan keduanya hitam dan dengan suara nyaring menggelegar. Suatu hari si Tessy sakit sampai akhirnya harus dioperasi yang membuat beberapa bagian organ Tessa direlakan untuk Tessy. Maka tinggallah Tessy yang kemudian menemaniku dari mulai medio 2002. Tessy bersamaku saat aku masih bekerja di majalah BLANK! Magazine. Karena hubunganku dengan Tessy membuatku langsung terkenal di antara lingkungan kerjaku yang baru. Alex dan Tessy!

“Alex datang!”

Kantor Blank Magazine berjarak 30 depa dari jalan Bantul. Berkelok masuk memasuki gang sempit dan pasar yang surut menjelang siang. Maka aku dan Tessy datang dengan tergopoh gopok memasuki gang-gang itu. Suara Tessy yang bergetar nyaring memantul mantul diantara dinding-dinding bangunan gang dan memerosok masuk ke ruangan head quarter  Petakumpet dan Blank! Magazine! Kemudian di dinding-dinding ruangan dipantulkan lagi oleh lusinan pot pot bunga, tembok bercoret grafiti, jajaran meja, kursi layar monitor lantas masuk ke gendang telinga sigit lele, simbah, jody, arif budiman,  iis, zaini, ratna, sonia, itok dll. Bahkan terlampau menggelegarnya, Itok sebagai board manajer petakumpet yang tengah memimpin rapat mulai terganggu oleh suara ini yang kemudian mengeluarkan policy  khusus buat kantor “Bagi alex dan motornya Tessy  diharap mematikan mesin dulu 300 meter sebelum masuk area parkir kantor!”

Sebenarnya Tessy adalah jenis motor Binter Joy keluaran 80 dengan type 4 langkah. Artinya Tessy bisa melaju lebih irit tanpa polusi asap dan bersuara lebih halus daripada type 2 langkah yang banyak membutuhkan oli. Namun karena kejadian luar biasa saat Tesy dipaksa naik menanjak ke jalan bukit dekat Wonosari, semenjak itulah Tessy berubah wujud menjadi mesin 2 langkah yang bersuara laksana mesin gergaji dan berasap seperti mesin penyemprot nyamuk dari kampung ke kampung . Lebih drastis lagi, gigi 4 kecepatan Tessy lambat laun rontok dan hanya memiliki 2 kecepatan saja; normal atau melaju.

Korban berikutnya adalah Sonia, meski lebih tepatnya kusebut korban yang menikmati. Sonia, rekan kantorku di Blank Magazine yang berasal dari Malang adalah tipe perempuan yang ceplas ceplos. Beberapa kali kubonceng dengan Tessy Sonia lambat laun menikmatinya sebagai kendaraaan plus-plus; plus alat pijat dan plus mandi lulur uap oli. Sonialah yang memberi Tessy gelar baru sebagai vibrator.

 

Tak kuingat pasti kapan karir Tesy berakhir menjadi barang antik dan teronggok pula bersama saudara kembarnya Tessa.

Suzuki Jet Coulet legenda Summerbee

Aku tak pernah memberinya nama meski kenanganku bersama motorku kali ini lumayan banyak. Aku membelinya 2 juta saja pertengahan tahun 2003. Saat itu bensin masih seharga seribu perak dan motor ini kubeli dari bekas motor balapan sehingga bodynya sudah tak lengkap dan mesin termodifikasi. Paling parah bagian karburator adalah hasil hibrida milik karburator RX king sehiggga lajunya tambah kencang seiring juga dengan bensinya yang boros. Bagian gigi telah dimodifikasi pula sehingga walau bebek tapi punya presneleng khas motor sport.

Sebermula aku membelinya dengan surat-surat komplit sampai suatu ketika aku menabrak pantat mobil yang menyeretku untuk menanggung ganti rugi. Karena ganti rugi tak bisa kulinasi, akhirnya STNK tetap tertahan pemilik mobil, bahkan mungkin sampai sekarangpun STNK masih berada di sana. ‘Somewhere out there”

Suzuki Jet Coulet pernah mencelakai mas Rizki yang kini dikenal sebagai Rizky Summerbee. Suatu malam sekitar jam 1, di kantor LSM hijau, mas rizky meminjam motorku. Sampai di depan pagar dia menyalakan motor tersebut, namun tak disangka sang justru menyala dan langsung mengangkat gas tinggi. Suara motor semakin tinggi dan mengerang keras tetapi nampaknya setelan gas tak dapat membalik. Orang-orang kampung yang tengah meronda dan beberapa tietangga sekitar langsung berhamburan dan mengerumuti mas Rizky.  Beberapa saat karena kegugupan kami dan wajah orang-orang yang memerah barulah kami bisa mengatasi motor tersebut. Jalan satu-satunya dengan mencabut kabel busi.

Mas Rizky minta maaf ke orang-orang dan dengan terbata-bata menjelaskan betapa apesnya motor tersebut tak bisa dikembalikan gasnya.

Keapesan Rizky berlanjut lagi selang sehari kemudian. Di tengah jalan motorku yang dipinjamnya tiba-tiba mogok. Dikira kehabisan bensin lepas diisi bensin motor tetap saja mogok, bahkan lebih tragis lagi karburator Hibrida RX King tersebut tiba-tiba meloncat dari tempat bertenggernya. “Mak Pluk”

“Mak Pluk, Lex”, telepon Rizky ke HP, dengan panduan lewat HP kujelaskan bahwa hal itu sangat lumrah dibandingkan tiba-tiba copot rodanya.

“Ya dipasang lagi mas”

Memang, motorpun bisa melaju lagi dengan kesimpulan di dalam hati Mas Rizky untuk kapok tak akan meminjam lagi kalau tidak benar-benar kepepet.

Si Suzuki memang hebat di jalan, tentunya saat ia masih beraksi sebagai tunggangan untuk lomba balapan motor. Tapi selepasnya konon si empunya memang menjualnya dengan harga murah selepas si motor membuatnya jatuh. Selepas itu mitos pun terbukti kalau motor itu bikin apes saja. Nasibnya kini bisa dijumpai di lorong bengkel pula bersama pendahulunya Tessa dan Tessi.

 

Ketemu Pauline

Ketemu Pauline bukan mimpi. Sebenarnya Pauline benar-benar ada. Ia adalah temanya temanku dari perancis yang kemudian menjadi temanku pula. Rambutnya blonda dan hidungnya mancung 2 kali lipat dari hidungku. Matanya biru dan kesimpulan terakhirnya Pauline adalah perempuan cantik. Dia menguasai 4 bahasa; Prancis, Inggris, sedikit arab, dan Bahasa Indonesia tentunya. Barangkali lebih dari 4 karena kesukaanya pada jurnalistik dan petualangan. Petualangannya mengalahkan bolang, dari belantara Eropa, Palestina, sampai pulau-pulau di Indonesia. Maka pertemuanku dengan Pauline adalah di Yogyakarta. Pauline lah yang membukakan mata bahwa belajar bahasa Inggris Cas Cis Cus dengan modal keberanian adalah lebih penting dari pada ikut kursus yang mahal-mahal.

Tahun 2007 Pauline tinggal lama di Indonesia. Ia menikmati beasiswa setahun dan kesenangannya pada hobinya yang banyak, terbentang antara fotografi, jalan-jalan, tulis menulis, petualangan, membaca buku dan lain-lain. Untuk mempermudah wara wiri dia di sekujur tubuh jogja, akhirnya Pauline membeli Pauline. Ya, Pauline adalah tinggalan Pauline, sebuah kendaraan yamaha bebek keluaran tahun 76 an. Warnanya merah lengkap dengan bercak-bercak besi berkarat karena usia Pauline yang sudah berjarak puluhan tahun dengan usia kami.

Pauline dibeli pauline dengan harga 800 ribu lengkap dengan surat-surat dan bonus berupa helm butut dan jas hujan. Pauline juga baru belajar nyetir motor meski kelihaiannya mengendarai mobil dan naik sepeda sudah tak diragukan lagi. Maka pengalaman Pauline mengendarai pauline adalah pengalaman pertama mencengangkan yang membuatnya hampir terperosok di got.

Sewaktu Pauline pulang kembali ke negaranya di perancis, maka diwariskanlah Pauline padaku.

“Ku kan selalu menjaganya” kataku

Pauline terhitung tangguh di usianya. Kuajak ke rute-rute yang jauh sampai ke luar kota. Meskipun bila panas mesin mencapai titik jenuh dengan ditandai aroma oli yang menyeruak, Pauline kemudian ngambeg dan dan berangsur mati. Tapi Ia dapat melaju lagi setelah istirahat sebentar. Rumusnya sangat gampang, bensin dicampur sedikit oli, dan oli mesin diganti 2 bulan sekali sudah cukup membuatnya trengginas.

Tombol Bel Jarak Jauh

Aku pernah punya teman. Kedekatan kami juga karena nama tengah kami yang sama. Kenangan aku dan teman dekatku itu dan Pauline adalah karena Pauline ini rupa-rupanya adalah motor ajaib. Teman dekatku membuktikan keajaiban itu berkali-kali sampai aku percaya Pauline memang motor yang aneh. Keajaibannya karena suara motor Pauline yang melengking, bertalu-talu punya frekuensi yang bisa memicu bel yang di pasang dipagar kos-kosan teman dekatku itu. Maka belum sampai aku dan pauline masuk pagar dan menghentikan masin, bel pagar itu otomatis berbunyi.

------

Sebetulnya enggan aku selingkuh dengan motor lain kalau tidak karena karena dipaksa oper kredit motor dari Kakakku. Pauline kini masih dengan setia menunggu sampai penuh debu di lorong ruangan. Terima kasih Pauline. Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi ya…..