"masuklah ke dalam telingaku. Di dalam diriku, engkau akan menemukan apa yang kaucari” Kata Dewaruci pada Bima.
Malam ini aku membuka percakapan dengan Jakob di Massanger.
'Apa kabar Jake, bagaimana dengan telingamu?"
Sudah dua tahun dia kembali ke Negara Asalnya, Jerman. Konon katanya dia dari dari bagian Jerman timur dan keluarganya punya latar belakang mengalami masa kejayaan komunis. Jake', begitu saya memanggilnya selalu punya keluhan dengan fisiknya selama dia mendekam di Indonesia. Perjumpaan kami tidak genap setahun penuh, karena laiknya pelancong manca yang baru datang pertama kali ke Indonesia, menemukan segalanya adalah pengalaman baru, unik dan eksotik! Yup Inilah Indonesia. Tapi bukan Jake namanya (karena pada awalanya aku pikir tipikal, setidaknya anak-anak muda Jerman?) yang selalu 'mengeluh'. Keluhannya itu menyeluruh dari soal 'pelayanan' di Indonesia yang bertele-tele sampai dengan tak ada dokter yang cocok untuk penyakit ini itu.
Ketika pertama kali ia mengeluh soal 'pelayanan' dana beasiswa yang seharusnya didapatnya dari 'kampus' saban bulan yang datangnya selalu terlambat, aku meng'iya'kannya.
"Yup, Jake begitu sih yang namanya birokrasi di Indonesia. Coba berapa duit yang kamu terima? 1, 2jt tiap bulan? Mmm, ada yang dipotong?".
Keluhan selanjutnya, soal kesehatanya. Jake dan kawan-kawan lainnya dari eropa memang mau tak mau harus menyesuaikan iklim tropis yang kejam. Kulit mereka terlalu sensitif pada sengatan matahari, hingga kalau sebentar saja terpanggang, sebentar lagi akan berwarna merah-merah dan mengelupas. Bukan hanya soal sunbleach, tapi juga 'Malaria'. Mereka takut benar dengan nyamuk. ketakutannya bahkan menurutku terlalu berlebihan dengan menyamakan semua nyamuk dengan biang Malaria. Sampai pada titik ini, aku merasa beruntung punya genetis Homojavanensis yang 'kebal'.
Dari fisik sampai ke urusan telinga. Jake mengeluh telinganya tak kunjung sembuh. Sebermula hanya berdengung-dengung, kemudian bengkak, terutama telinga kirinya. Jake sudah ganti dari petugas puskesmas, dokter spesialis telinga sampai rumah sakit. Sudah ada 2 dokter spesialis telinga yang di datanginya, juga 3 rumah sakit dari betesda, Medical center sampai dengan Panti Rapih. Dari deretan dokter sebelumnya Ia banyak di berikan pil antibiotik.
Jake sangat berhati-hati pada pil antibiotik. Saat pil-pil itu sudah ada di tangannya, ia menelusur kandungannya di Internet. Sehingga ia sampai punya asumsi dokter-dokter itu memanfaatkannya. Pil-pil antibiotik sama saja dengan menciptakan ketergantungan.
"Yah, Jake! Kalau yang sakit telingaku, cukup puskesmas saja! 2000 rupiah! dan Pil yang diberikan selalu sama, yellow one, one one, pink one. Pil kecil-kecil, lebih kecil dari kancing baju! katanya sih vitamin!"
Jake yang bertubuh bongsor, hampir 1/2 kali ukuran tubuhku, meski 3 th lebiha muda dariku memang tak mempan pil-pil buatan Indonesia. Saya merasa kasihan pada titik ini, sampai suatu ketika saat ia demam, sakit sendirian meringkuk pada kamarnya yang bertutupkan kelambu (untuk mencegah masuknya mosquito, itupun masih ditambah ia menyulut baygon elektrik), aku membawakannya 'jambu klutuk' berikut pucuk-pucuk daunya.
"Ini buat mencegah demam berdarah Jake, juga buat obat sakit perutmu'
Entahlah apa hubungannya antara telinga dengan sakit perut, tapi kini jake mengeluh soal perutnya yang mual-mual diare, setelah sakit telinganya agak mereda (akhirnya ia menelan beberapa pil antibiotik). Lambat laun, efek dari antibiotik obat telinganya menimbulkan keluhan lain, yakni ada bentol-bentol merah di sekitar tangannya. Aku makin tambah kasihan padanya karena dari kawan-kawan lainyya hanya Jake yang paling punya banyak keluhan.
'I want to back home!' katanya saat ia meringkuk dalam kelambu.
Dan aku sadar betul Jake benar-benar takut kalau dengung telinganya berakibat fatal sampai dengan Tuli. Yah, Jake punya keinginan menjadi Musisi, dan apa jadinya musisi tanpa indera pendengaran?'
Suatu hari aku bercerita soal 'usus buntu'. Aku bercerita dulu aku adalah anak yang sakit-sakitan. Sebagai bungsu hampir sebulan sekali mengunjungi dokter dan keluar masuk rumah sakit. Konon aku juga lahir prematur sehingga harus dilatih berjalan tegak berbulan-bulan agar kakinya tak memebentuk huruf O atau X. (Aku jadi teringat mendiang ibuku yang sabar). Karena terlalu sering sakit sampai ada dua dokter langgananku. Dokter pertama untuk keluhan ringan dari influenza, batuk sampai diare. Dokter kedua, soerang lakilaki keturunan cina yang berkacamata, kurus dan sedikit beruban, adalah pilihan terakhir saat aku menderita sakit parah. Ia yang bakal merekomendasikan apakah aku opname atau rawat Jalan. Sampai pada usiaku yang sekitar 11, aku menderita Usus Buntu, persis beberapa bulan sebelum Ujian kelulusan SD. Aku berbaring di rumah sakit hampir 1 bulan dan dilanjut rawat jalan di rumah. Peristiwa itulah yang membuatku kapok sakit. Alasan utama adalah pada akhirnya aku menyesal, tak sedikit biaya pengobatan yang harus dibayar dari sakitku. Semenjak itu aku kapok sakit!, aku kapok masuk rumah sakit!
'Semenjak itu pula aku ndak pernah sakit Jake, paling cuma masuk angin!' kataku menutup ceritaku untuk Jake.'
Yup, sebenarnya aku hanya ingin bilang, sakit itu juga berasal dari 'pikiran' dan Jake sepertinya menangkap ceritaku.
"You alright! but I'ts relate also to health service and insurance in Indonesia. How terrible there are!'
'Sure, Jake. I'm agree that's why I don't want to be ill. Because it's mean to avoid visiting hospital doctor. A doctor also a drug seller!'
Entahlah, toh akhirnya Jake sembuh, atau sepertinya ia mulai terbiasa dengan gaya hidup Indonesia. Slowly Jake. Some of the problem will dissapeare by appearrance of another problem. Alon-alon waton klakon Jake!
Dan...2 bulan, 3 bulan, akhirnya Jake pun tidak peduli dengan program Darmasiswa yang diikutinya. Ia tidak pernah mengunjungi bangku kuliahnya lagi, tapi untuk soal dana bulanan yang didapatkanya ia tetap mengambilnya. 4, 5 sampai bulan-bulan terakirnya banyak ia banyak ia habiskan untuk melancong ke Bandung, Bali, Semarang bahkan Padang. Kini akhirnya ia merasa beruntung bisa punya visa kunjungan 1 tahun di Indonesia. Sebuah kesempatan yang mahal dan langka.