Ada banyak cara untuk bepergian jauh. Salah satunya kalau anda berpergian ke seputaran pulau Jawa, cobalah naik kereta api kelas ekonomi. Selain tiket kereta api ekonomi tiketnya dijual dengan harga murah, cukup merogoh kocek 3 lembaran uang 10 ribuan, itupun anda akan dapat uang kembalian, anda juga akan disuguhi pengalaman menantang. Tantangannya pertama adalah uji kesabaran, kedua ketabahan, ketiga ketahanan fisik, keempat dan seterusnya anda akan disuguhi pemandangan unik manusia sebagai homo economicus.
----
‘Tiket habis’ Begitu sebuah tulisan tertera pada deretan loket di stasiun. Sementara orang-orang banyak yang masih ngantri di depan loket. Calo sibuk menjulur-julurkan tiket yang naik dari harga bandrol. Lantas aku tak ada pilihan, ikut antrian dan mendapatkan tiket dengan tulisan ‘tanpa tempat duduk’ setelah menghadap sebentar dengan gadis penjaga loket yang tak banyak bicara. Ia hanya menyobek bundelan karcis, menerima lembaran uang dan kembalian dengan datar tanpa seulas senyumpun.
‘Sabar mas, nanti sampai purwakarta banyak penumpang turun kok’ Kata seorang bapak berkupiah dengan logat jawa timur’an. Dia mungkin ‘iba’ melihatku kebingungan melihat tiket ‘tanpa tempat duduk’ itu dan masing berdiri bengong dengan membawa dua buntalan besar, wajah berkeringat, lusuh dan sendirian.
‘Kalau mau, mas bisa ngikut saya, nembak di gerbong restorasi, lantas dapat tempat duduk’ Sungguh tawaran yang empuk, tetapi siapakah bapak berkupiah ini? aku tak melihat wajah nya sebagai tampang yang mencurigakan, tetapi terbersit pula rasa was-was kalau-kalau… ‘ akhinya aku pilih menampiknya dengan sopan’
‘Ndak pak, ntar mau duduk di dekat pintu aja sekalian melihat pemandangan’ Padahal kalau melihat apa yang bakal terjadi nantinya, mungkin aku bakal menerima ide bapak berkupiah itu.
------
Memasuki gerbong loko ekonomi, tak cukup beruntung aku kali ini, tak mendapat tempat duduk. Loko sudah berejejal penuh. Tiap orang membawa buntalan bawaan masing-masing. Ada yang membawa dua jinjing tas, kardus-kardus sampai ada yang membawa kompor gas. Di loko ekonomi tak ada larangan bagi siapapun tentang batasan jumlah barang jinjingan. Asalkan anda bisa membawanya, terserah saja. Maka akupun duduk berdesakan dengan orang-orang yang membawa jinjingan masing-masing.
Kereta belum jua berangkat, masih 10 menit, sementara untuk sementara ini, siasatku, aku berdiri di pintu masuk, persis berdekatan dengan pintu antara gerbong dan toilet. Sementara di kamar kecil itupun, terhitung ada 3 orang berjubal di dalam. Ada yang duduk di kloset, ada yang nangkring dekat jendela sempit sambil merokok. Di lorong gerbong, aku hampir tak bisa melihat kaki, kecuali kepala-kepala orang yang berjubalan, mirip kepala-kepala ikan dalam kaleng sarden yang megap-megap. Satu demi satu, pelan tapi pasti jumlah orang yang merengsek ingin masuk bertambah banyak. Kereta belum jua melaju, orang-orang yang ngantri di luar gerbong masih beberapa lusin, lengkap dengan barang jinjingan.
7 menit, kepala lokomotif mulai bunyi. Petugas membunyikan peringatan melalui corong peringatan; ”Perhatian-perhatian, kereta api jurusan surabaya akan segera diberangkatkan, penumpang harap bersiap-siap”, kurang lebih begitu, suara petugas perempuan yang syahdu yang lantas hilang ditelan terikan penumpang yang panik, belum masuk. Di loko itu, akupun semakin ringsek, bersama centang-perentang barang jinngan, orang-orang dengan keringat tumpah ruah, wajah yang asing, penjaja-penjaja makanan, penjaja mainan, pengemen dengan kotak amplifier aki sampai dengan penjaja pecel yang menumpuk makanannya di kepala. Aku dekap tak ranselku keras keras, bukan karena isinya adalah barang berharga, tetapi karena seorang penjaja minuman instant yang menerobos memaksa lewat. Dengan perasaan deg-degan tentang ‘bagaimana penjaja minuman instan itu bisa melewati pinnggangku yang kini telah menempel betul dengan rongga pintu, sesempit mungkin.
“Permisi mas, mijon-mijon, akua dingin, mijon2….. cel-pecel, yang makan, yang makan……”
“Tiiiiiiiiitttt” bunyi peluit panjang petugas jaga stasiun yang berseragam biru hampir saja tak kudengar. Loko bergerak pelan, pelan sekali, antara roda besi dan jelujur besi. “ jejeg….jejeg…jejeg…” lantas meluncur dengan pasti seperti meluncur bersama angin. Terkadang, aku bisa tau pasti kereta melewati jembatan ketika kudengar perubahan suara angin yang berdesing dari jendela….”jressssssssss…….”
Bahkan untuk melongok melihat jendela pun cukup sulit. Aku bedempet bagai tiang, kadangkala untuk menghilangkan penat, kusiasati bergantian tangan. Terkadang bergelantung dengan tangan kanan, terkadang dengan tangan kiri, terkadang mencoba mendesak sedikit pantat orang di sebelah kanan kiriku, sudah tak peduli lagi berapa kali kentut kubunyikan, toh bau kentutku akan dikalahkan dengan bau toilet gerbong yang mengering. Akupun tak habis pikir, dengan tiga orang, oww salah, kini empat orang, yang meringsek di dalam kotak toilet. Seorang darimereka kulihat kini asik mengunyah bungkusan nasi ayam sambil berdiri. “Hmmm yammmy…..”
Kereta terus melaju. Sudah hampir 3 jam, konon menurut bisikan orang-orang disebelahkan yang dengan cuek, jongkok persis di lipatan pintu; bahwa sampai di purwokerto banyak orang yang bakal turun. Yah, maklum musim akhir pekan para penaik gerbong ekonomi yang notabene kebanyakan pemudik asal tegal dan purwokerto ini berkesempatan pulang setelah sekian hari mengadu nasib di ibukota Jakarta jadi tukang batu, pengayuh ojek, buruh pabrik, sampai dengan (tentu saja) penjual nasi tegal. Dan tentu saja para pemudik musiman ini sambil pulang ke kampung halaman (ke Jawa, kata orang), membawa berbagai macam oleh-oleh buat anak bini, kerabat, orangtua, nenek kakek sampai moyang di rumah.
Kereta sudah sampai di garut, meskipun bukan karena semakin bertambahnya penjaja dodol garut yang masuk, toh sayapun heran dengan adanya penjual ‘wingko babat’ yang dibungkusnya bergambar segala macam moda transportasi canggih dari lokomotif kapal laut sampai pesawat jet yang tulisan mereknya tertera ‘aseli semarang’. Penjual wingko babat di Garut? Loko semakin ringsek, kali ini datang duo pegamen gerbong yang membuat heboh lorong gerbong. Keduanya wanita dengan kostum bahenol, bibir merah, maskara yang berkedip-kedip, celana pendek ketat, stocking lubang-lubang baju rumbai-rumbai ala Maia dan suara yang dibuat serak-serak. Turut dibawa oleh salah seorang dari mereka sebuah kotak amplifier bertenaga baterai Accu.
"Asyiiikkk,….goyang mas” Tak ingat jelas apa lagu yang dikumandangkan mereka, tapi diriku yang berdiri menghimpit bagi tugu di lorong itu cukup terganggu dengan goyangan dan gesekan pantat mereka.
“Ya tuhan, Ampuni hambamu ini” batinku, tak ayal aku harus merogoh sekeping limaratusan yang terselempit di dalam kantong saku.
“Ayooo yooh, goyang kimpul….”, Bukan karena suara perempuan itu yang tidak bagus, tetapi karena bunyi kotak amplifier bertenaga Accu yang kerasnya minta ampun dengan volume melebihi kerasnya TOA masjid itu, benar benar membuat suasana dalam gerbong sungguh meriah. Sontak para laki-laki di dalam gerbong itu banyak yang menggoda-goda dengan terikan-terikan ‘aduahai’ dan terkadang ada yang sengaja mencolek secara sembunyi-sembunyi ke grup duo pengamen gerbong itu.
Hmmm, ada sedikit harapan kalau sudah sampai Purwokerto, aku dapat tempat duduk, atau paling tidak bisa berjongkok meluruskan kaki menghirup udara segar dan menikmati pemandangan dalam perjalanan kereta. Tapi harapan ‘konon’ itu ternyata pupus juga sampai purwokerto. Bahkan loko ekonomi nan panjang dan berjubal itu saban kali berhenti di stasiun-stasiun kecil, selalu menambah jumlah penumpang. Gampang pula dihitung dengan kasat mata, separoh lebih penumpang adalah penjaja.
----
Kereta terus bergerak, melewati pinggiran kota, diantara deretan gubug-gubuk liar, terus menuju ke pelosok desa yang dipenuhi dengan landskap pematangsawah, punggung pegunungan dan langit yang mulai menggelap. Terkadang kereta melaju melewati terowongan dan jembatan, seperti kuketahui dari perubahan suara desing angin ….. jresssss! Aku masih bertahan untuk berdiri, sudah mati rasa lagi, apakah letih, apakah kesemutan, apakah gerah, apakah sesak, pening atau apapun, lambat laun aku sudah menyatu menjadi lipatan pintu lorong kereta itu. Setidaknya aku telah tiba dengan selamat di kotaku meskipun seluruh urat punggungku terasa kaku-kaku sampai 3 hari lamanya.
Dan, kereta apiku tak bunyi tut..tut..tut lagi, tetapi berbunyi ..mijon…mijon… akua dingin mijon….Jrejeg…jrejeg…jressss…”