4 Apr 2009

Tentang sebuah Poci

Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol ternyata
untuk sesuatu yang tak ada


Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi.
- Kwatrin tentang Sebuah Poci (Gunawan Muhammad)

 

Sudah menjadi tradisi di keluragaku, saban pagi dan saban sore kami mengadakan acara minum teh. Ritual yang dijalankan dari kurun ke kurun waktu, sejak dari moyang, turun ke buyut sampai dengan orangtuaku. Entah siapa yang memulai, tetapi yang jelas kedua pihak kakek, dari pihak ayah maupun pihak ibu mewarisi acara minum teh ini. Meskipun kedua pihak punya cara penyajian dan selerea rasa yang berbeda. Teh telah menjadi bagian keseharian, mengiringi pagi sebelum beraktivitas sepanjang hari dan menutup aktivitas keseharian di sore harinya. Teh pagi disiapkan dengan sebelum pagi buta oleh tangan kaum perempuan; istri buyut, istri eyang, sampai mendiang ibuku. Sedari pagi buta, sudah menjerang air panas, dan menyiapkan teko tanah liat. Di senja hari, kembali teko tanah liat itu cukup dibuang ampas tehnya, lantas ditaburi teh baru.

Embah dari pihak ayah, adalah seseorang terpandang yang menduduki sebuah desa di Sleman. Sebuah desa yang dikelilingi persawahan, dengan penduduk kampung yang notabene masih punya kekerabatan satu sama lain, dengan mayoritas adalah pemeluk NU. Desa ini cukup terkenal karena salahsatunya terdapat kawasan pesantren bernama "Mlangi'. Embahku yang satu ini tipikal kepala keluarga yang otoriter. Ia bak raja kecil di keluarga yang memiliki 2 orang istri dan berpuluh-puluh anak.

Seperti laiknya keluarga embahku, saban pagi ibuku sudah bangun paling awal, membersihkan setiap sudut rumah dari halaman depan sampai merambah ke belakang, di dapur. Terakhir disiapkannya secerek air untuk menyiapkan acara yang kami tunggu-tunggu bersama-sama: 'acara minum teh'.

Saya tidak tahu pasti setua apakah sebuah poci tanah liat yang biasa ibuku pakai untuk meracik teh. Konon kata ibuku, poci tanah liat itupun dibawanya dari rumah eyangku, setelah eyang putriku meninggal dan lantas tidak ada yang menggunakan poci tanah liat itu.

Teh keluarga kami adalah teh tang. Sebuah merk teh yang hanya dibungkus dengan lipatan kertas, membentuk kotak persegi dengan desain luar gambat tang. Aku perhatikan, desain teh tang ini tak jua berubah dari waktu ke waktu. Aroma teh tang adalah aroma melati dan bau apak teh yang khas. Kadangkala selain teh tang, kami juga meracik teh tjap pendawa lima. Teh ini desain luarnya bergambar wayang pendawa lima dan kemasan dalamnya dilapisi plastik sehingga aromanya lebih semerbak.

Apapun teh nya, racikan teh dalam poci tanah liat itu selalu hitam dan kental. Saat teh poci berikut satu set gelas-gelas kecil mendarat di meja, maka aroma yang keluar dari teh yang mengepul-kepul pun telah membuat kami semua tambah bersemangat.

Kini, tak ada lagi acara minum teh di keluargaku seiring satu demi satu anggota keluarga terpisah. Apalagi Ibunda sebagai pewaris peracik teh dalam teko tanah liat poci tua itu telah tiada. Si teko tanah liat tua kini teronggok di sudut dapur. Kadangkala aku menggunakannya untuk meracik teh ku sendiri, tetapi rasanya memang berbeda.

19 Des 2008

Nangkringan lembaga


Angkringan jadi merek dagang Yogyakarta, meskipun kini di kota lain sudah muncul wujud serupa. Tetapi riwayat Angkringan tak bisa lekang dari kemunculannya di Yogyakarta. Angkringan tidak hanya jadi ajang transaksi mencari penngganjal perut penhapus dahaga, tetapi jadi ruang publik dan menjadi titik pertemuan tumpah ruah pendapat, ide, grundelan, gosip bahkan strategi politik.

Fungsi itu sungguh kontras dengan wujud angkringan sendiri yang bersahaja, berupa gerobak kayu dengan dua roda sepeda yang menempel di kedua sisi kanan kiri, tempat duduk dari papan kayu sederhana dan tenda dari terpal plastik (biasanya warna biru atau oranye) untuk mengayomi keseluruhan areal angkringan. Untuk tempat duduk para klien hanya disediakan tiga buah kursi kayu yang disedikan, ditaruh mengelilingi gerobak angkringan, selebihnya bakul (penjual) angkringan menaruh tikar untuk lesehan.

Tak ada peraturan untuk membedakan siapa yang lebih berhak menempati kursi kayu itu, pengunjung yang datang lebih awal atau pengunjung yang datang belakangan. Walhasil semakin malam, karena angkringan umumnya buka pada sore hari, pegunjung semakin berdesak-desakkan. Tetapi sambil berdesak-desakkan seperti itu konsumen bisa menikmati menu khas Warung angkringan berupa racikan wedhang jahe, aneka gorengan dari mendoan sampai tahu, sampai makanan yang menurut orang eropa agak radikal; kepala ayam, ceker ayam, sate usus, sate kerang, sampai sate kikil. Makanannya pun serba porsi mini, seperti nasi ‘kucing’ untuk sebungkus nasi sekepalan tangan dengan sekelumit sambal atau oseng-oseng tempe di pucuknya, atau bungkusan beberapa butir kacang sampai dengan rokok yang bisa meng-ngecer. Tak ada larangan tentang seberapa lama pengunjung bisa menongkrong disitu, artinya siapapun boleh duduk disitu hanya dengan menghadap segelas wedang jahe dan mengecer rokok semaunya.

Tak ada undang-undang tentang apa saja topik pembicaraan yang boleh muncul disana. Sebatas pembicaraan itu bisa nyambung ke kepala orang lain, maka topik perbincangan akan melesat dari persoalan utang, gosip para artis sampai dengan masalah hangat kancah perpolitikan Nasional. Angkringan jadi ruang bebas dan kadangkala menjadi jendela informasi mengenai apa yang tengah hangat dibicarakan di lingkungan setempat.

Si penjual angkringan atau yang disebut bakul angkringan umumnya terkenal diantara konsumen fanatik setempat. Pembawaan bakul angkringan yang besahaja, enak diajak omong atau kadangkala sering curhat soal topik-topik sederhana di kesehariaanya akan menjadi daya tarik tersendiri. Sebaliknya, sering bakul angkringan adalah mediator, keranjang sampah tempat uneg-uneg, teman curhat dengan jaminan kerahasiaan, tempat menitip salam tempel, sampai dengan spionase untuk mencari-cari informasi tentang seorang target percintaan. Tetapi peran-peran khusus bakul angkring itu sendiri sangat tergantung dengan dimana letak angkringan itu berada.

Nangkringan lembaga

Angkringan lembaga adalah angkringan yang terletak tak jauh atau melekat dengan suatu kantor atau sekretariat. Sebagai mana hukum ekonomi klasik, supply mengikuti demand alias pernwaran mengikuti penawaran, maka alasan sebuah angkringan menyondorkan gerobaknya di tempat tertentupun bisa dijelaskan dengan hal itu. Apalagi kini dengan semakian ketatnya persaiangan antara bakul angkring, bak kemunculan franchise yang menggurita dimana-mana, maka si gerobak dengan tiga cerek air ini pun tak melewati tiap titik peluang yang ada. Kalau disitu ditengarai ada koloni masyarakat atau tempat hilir midik orang-orang, bisa dipastikan ada angkringan disana. Begitupun sebuah lembaga, atau komunitas yang ramai dengan hilir mudik manusia dengan berbagai kepentingan, berbagai omongan, angkringan menjadi tempat santai sambil yang terlepas keluar dari kotak formal bernama ‘kantor’, rapat atau ‘pekerjaan’. Walhasil angkringan lembaga adalah tempat alternative. Angkringan juga menjadi ajang untuk melepas gerundelan, kecemasan, atau ketidak puasan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kantor sampai dengan intrik-intrik seputar hubungan sesama rekan kerja di kantor.

Angkringan Lik Yanto IOM

Sang bakul, adalah Lik Yanto, Pria berbadan gempal, kumis tipis yang selalu mengenakan kemeja di outlet angkringannya. Dari caranya berpakaian yang selalu mengenakan kemeja, seakan-akan mencerminkan bagaimana Lik Yanto begitu mencintai profesinya sebagai bakul angkringan. Melayani para konsumennya yang datang dengan racikan khas wedang Jahe gula Jawa, atau teh dekok gula batu. Wedang Jahe pun diracik dengan dibakar terlebih dulu, lalu dikupas sampai bersih, baru diracik dalam segelas wedang.Lik Yanto adalah tipikal orang yang tak banyak omong, bahkan jarang tertawa lebar, kecuali ia akan menyambung pembicaraan tentang hal-hal umum keseharian seperti minyak tanah yang lenyap atau sepakbola.

Angkringan Pak Yanto menempel di sebelah kantor IOM. Dulunya, angkringan ini hanya meliputi tiga kursi panjang dengan daya kekuatan 3 cerek teko, kini semenjak berdiri kantor IOM yang penuh dengan hilir mudik relawan, ankringan LIk Yanto harus menambah kapasitas menjadi sekitar 6 buah cerek teko, 2 buah tungku arang yang dipersiapkan khusus untuk pembakaran apapun dari menu yang tersedia. Untuk tempat duduk ditambah dua unit kursi dengan bangku lebar.

Angkringan Lik Sugeng ‘Gelanggang’

Sebenarnya ada 2 awak angkringan yang me-nangkring di areal Gelanggang UGM. Tetapi kedua bakul nya berasal dari tempat yang sama, yakni Klaten (konon kebanyakan bakul angkringan berasal dari Klaten) dan disuplai dari tempat yang sama; gorengan, sate usus, bacem cakar sampai kerupuk jamur (disuplai oleh ‘Mungil’ soerang mantan aktivis gelanggang).

Satu awak angkringan, terletak dekat pintu masuk sebelah Utara Gelanggang UGM dimana kebanyakan yang berkumpul di sana koloni dari Unit Selam UGM, Unit Seni rupa dan koloni aktivis UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang berdekatan dengan tempat itu. Sedangkan Angkringan Lik Sugeng, letaknya membujur di sebelah barat dekat pintu masuk Barat. Jam buka keduanya nyaris sama, sekitaran jam 5 sore, tetapi angkringan Lik Sugeng yang agaknya paling malas datang, biasanya datang lebih terlambat daripada awak angkringan yang lain.

Lik Sugeng menghafali betul satu persatu nama dan wajah pelanggannya. Apalagi di Gelanggang UGM banyak bercokol wajah-wajah lama, yakni para mahasiswa yang muasalnya dan ‘takdirnya’ sudah tak kentara lagi, masih hilir mudik berkunjung di angkringan Lik Sugeng. Sebenarya tak ada menu khas dari Angkringan Lik Sugeng, kecuali ada tambahan mie rebus saja. Tetapi koloni di situ sangat kondusif untuk pembicaraan-pembicaraan ‘idelis’, diskursus, diskusi dan menyusun gerakan. Karenanya Angkringan Lik Sugeng setia melayani sampai dini hari, bahkan terkadang sampai lewat shubuh. Medan di sekitaran Gelangang yang berpetak petak, penuh dengan UKM-UKM yang berdesakan dan hilir mudik mahasiswa antah berantah sudah dihapali betul oleh Lik Sugeng. Kini, Lik Sugeng menambahi layanan delivery service, tak kalah dengan pizza Hut. Para Gelanggangers (Julukan untuk orang-orang penghuni Gelanggang UGM) bisa memesan lewat aneka wedhang SMS, Lik Sugeng akan menghantarkannya sampai ke sudut-sudut areal.

Bagi mahasiswa-mahasiswa di sana, angkringan Lik Sugeng adalah tempat untuk mencurahkan ide, mengagasan rencana kegiatan atau sekedar menitipkan salam tempel pada mahasiswa baru. Konon, banyak gagasan besar muncul dari sana

Angkringan ‘Umar Kayam’

Berbeda dengan angkringan yang lain yang kemunculannya alamiah, Angkringan Umar Kayam dibuka oleh pengelola yayasan Umar Kayam. Bakul Angkringannya juga merangkap penjaga kantor yayasan itu, sehingga kini kalau pas ada kegiatan apapun di tempat itu, angkringan selalu menjadi menu utama. DI Angkringan ini penyajiannya dikemas lebih modern dengan tempat yang dipasang ‘hot spot’, sebuah gitar, kotak catur dan televisi. Pengunjung bisa bercokol dan berkerumun dimana saja, di sekitar areal yayasan umar kayam.

Kebanyakan orang-orang yang datang kesana adalah anak-anak muda dari kalangan Fakultas Sastra, komunitas Blogger, atau komunitas tertentu yang ingin mencari tempat untuk Rapat. Tempatnya memang agak tertutup sehingga tak banyak orang di luar komunitas itu yang datang mengunjunginya.

Angkringan Mbak Dina ‘Trekkers’

Angkringan ini belum genap satu tahun ‘nangkring’ di depan toko Trekkers. Toko Trekkers sendiri adalah sebuah toko sepatu dan alat alat pendakian yang dimiliki oleh Ferry, seseorang aktivis LSM, aktivis lingkungan yang sekarang tengah getol turut mengkampanyakan gerakan bersepeda ke kantor (B2W). Angkringan Trekkers melengkapi dirinya dengan ‘hot spot’ dan beberapa alternatif tempat duduk dengan meja meja kecil. Karena latar belakang pengelolanya sendiri yang memiliki jaringan di lingkaran LSM Lingkungan, maka kebanyakan yang datang disana adalah para aktvisis-aktivis Lingkungan. Penjualnya sendiri salah satunya adalah Mbak Dina yang kalau siang hari masih aktif bekerja di sebuah kantor yayasan. Kini, angkringan itu juga menjadi ajang pertemuan diantara rekan-rekan aktivis lingkungan.

Angkringan kang Sulis ‘Lingkar’

Angkringan kang Sulis ‘Lingkar’ adalah angkringan yang terletak di seberang kantor Lingkar (sebuah LSM yang baru 2 tahun berdiri pasca gempa 29 Mei 2006). Angkringan ini dimiliki oleh kang Sulis, pra gempal berkacamata asli Muntilan. Angkringan ini berdiri persis di tengah-tengah kampung Banteng Baru yang umumnya lebih banyak rumah-rumah dari pendatang daripada penduduk asli dari sana. Dulu sewaktu di Lingkar masih banyak relawan-relawan, Angkringan kang Sulis menjadi tempat yang saban sore selalu ramai dikunjungi relawan Lingkar.


15 Des 2008

Sunset di tengah hujan

Jam 2 dini hari, aku terjebak Hujan. Perjalanan yang sudah kumulai semenjak jam 9 malam terpotong-potong karena hukan yang ber-fluktuasi seperti naik turunnya saham, dari lebat ke mereda lalu melebat lagi. Perjalanan sebenarnya adalah sekitar 30 km membelah kota Yogya yang sebenarnya dalam kondisi normal bisa ditempuh dalam waktu 45 menit dengan rata-rata kecepatan tercepat mesin turbo motor bobrok warna merah jambuku. Tapi mesin motorku di saat cuaca hujan begini bisa teramat manja, suka batuk-batuk dan mendadak mogok karena kemasukan biang air. Aku tak mau menemupuh resiko dan memilih berangkat dengan siasat "kutu loncat" alias bergerak dan berhenti dari satu titik emperan dan emperan lain. Karena malam yang sudah dini, dan semua deretan toko, kantor sudah tutup, sangat memudahkanku untuk memilih emperan mana yang bisa aku masuki. Alasan lain karena aku memang tak membawa jas hujan, sebuah kesialan (atau ketololan) yang lain yang tak mau kuterangkan dengan teliti karena ini sudah terjadi berkali-kali. Tapi kadangkala (seperti firasatku malam ini) pastinya aku akan menemukan pengaalaman yang dasyat malam ini.

Melirik pada jam di layar handphone aku tersentak, angka digital sudah menunjuk jam 2 dini hari, ini berarti, berarti sudah 5 jam aku terjebak Hujan. Berteduh dari satu emperan ke emperan lain, aku saksikan beberapa orang nekat lewat menembus hujan tanpa jas hujan. Pada jam segini, dini hari orang-orang masih keluyuran, seperti aku. Beberapa orang menggerombol di bawah tenda warung angkringan dengan cahaya lampu kerlap-kerlip dan tiga ceret di atas bara tungku yang mengepul-kepul. Aku jadi ingin menyeberang jalan dan menerobos hujan menuju ke sana. Tapi keinginan itu kuurungkan karena hujan mereda lagi dan aku segera menyepak starter motorku, tancap gas, meluncur di aspal yang basah penuh dengan aliran sungai-sungai kecil itu. Tempias hujan seperti ribuan jarum-jarum jatuh, masih turun dan memedihkan kedua mataku. Ya, aku jadi teringat dengan selarik sajak Gunawan Muhammad ;

"Gerimis turun seperti jarum-jarum jatuh /Seribu gugur dari sebuah jam yang jauh...."

Hanya selepas lemparan batu, hujan melebat lagi dan aku segera memutar manuver mencari emperan-emperan bangunan, rumah dan toko yang telah kesemuanya tutup. Sebuah toko kelontong dengan rolling door besi dan plat bertuliskan "dilarang parkir di depan pintu " kuhampiri. Di depanku deretan toko toko yang lain, dengan tumpukan billboard aneka warni, lampu-lampu neon yang berbendar dan lampu merkuri yang membayang pada aspal seperti bayang-bayang sunset warna kuning. Sunset? kenapa terbayang dikepalaku sebuah sunset yang hangat dan megah pada bayang-bayang kuning merkuri itu?

Sepi benar dini hari itu dan aku hampir terlupa ketika suara-suara hujan yang lebat turun membentuk kegaduhan diantara genting-genting, tembok-tembok, asbes dan plat-plat seng. Suaranya menggemuruh, tapi anehnya tidak memekakkan telingaku.

Aku memerosokkan diriku di pojok emperan toko, menyudut di situ, berjongkok, mengusap-usap kedua telapak tanganku dan mengumpati diriku sendiri saat tak kutemukan 'pematik api'. Ada rokok tapi tak ada pematik api adalah kesialan sempurna di bagi perokok di saat cuaca dingin begini.

Dari tikungan jalan kulihat seorang pengendara motor bergegas menghampiri sebuah emperan yang lain di seberang jalan ini.

"Hey kenapa ia tidak memilih emperan ini dan aku bisa meminjam pematik api darinya?"

Hujan makin lebat dan orkes hujan makin berdentum dengan hebat, persis disebelahku baru kusadari sebuah sepeda onthel dengan keranjang bambu bertengger dan dibawahnya sesosok orang terbuntal dalam sarung lusuh di atas alas kardus. Sepasang sandal jepit nampak tertata rapi (seperti sandal jepit yang sengaja di lepas di depan pintu masuk sebuah rumah) diletakkan di tepiannya.

Diam-diam aku mengambil fotonya. Dalam hati kupikir ;"Jahat benar mengambil foto orang lain tanpa ijin"

Sesosok yang tengah tidur pulas dalam buntalan sarung. Sedang bermimpi apakah dia? Di keranjang bambu itu tak penuh dengan muatan. Apakah ia seorang penjual? apa yang ia jual? Darimanakah asalnya? satu demi satu pertanyaan itu muncul.

Sesosok dalam buntalan sarung itu tak bergeming sama sekali. Tidur pulas di emperan toko yang kalau siang seingatku adalah toko kelontong yang penuh dengan hiruk pikuk orang dan tumpukan barang-barang. Berarti tinggal 4 jam lagi saat toko itu buka dan kalau sosok dalam buntalan sarung itu belum bangun, sesuatu akan terjadi.

Aku menggigil kedinginan, mungkin karena tak bergerak. Tetapi tak bisa bagiku untuk meniru sesosok dalam buntalan sarung itu. Untuk manusia sepertiku, tidur yang nyenyak hanya bisa dilakukan saat aku sudah tiba di Rumah dengan dinding bantal, kasur yang empuk dan selimut yang hangat.

Ya, Seperti biasa, aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali bersyukur aku masih lebih baik dari dia. Hujan pun reda dan aku segera menancap kunci, menyepak starter motor dan meluncur pulang ke "rumah". Rumah dengan dinding, kasur empuk, kopi hangat dan dua ekor kucing rumah yang melingkar. Mungkin segera kulupakan malam yang dingin ini dan sesosok dengan buntalan sarung itu.

"Selamat tinggal sesosok tidur dengan buntalan sarung, Aku mau pulang ke rumahku, semoga engkau tak terlambat bangun"

14 Nov 2008

Sekolah me-Lingkar

"Sekolah me - Lingkar mungkin hanya ada satu-satunya di dunia. Yah, karena adat tabiatnya yang luar biasa unik. Kepala sekolahnya ditunjuk langsung oleh murid-muridnya, tidak digaji, tapi justru dimak-maki jikakalau sang kepala sekolah terlalu membebankan PR atau tugas yang berat . Kerena beban berat ini, sang kepala sekolah sering absen buat perjalanan dinas yang tak ada hubungannya dengan sekolah pun" (dikutip dari sumber yang tak bisa dipercaya)

Suasana sekolah Lingkar pas dijunjungi mentor spesial dari Aceh, sebuah LSM
yang bergerak di Pendidikan PRB di Aceh. Kalau pas Mentornya 'menarik'
seperti itu, Murid-murid akan menampakkan muka lembut dan penurut
-diambil dari my activityFrom my activity

Sekolah Lingkar adalah sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga yang bernama Lingkar, sebuah LSM yang tumbuh akibat pulung Gempa 27 Mei di Yogyakarta lalu. Gempa memang bencana, tapi di satu sisi mendatangkan banyak lembaga baru yang mengurusi dari bantuan, recovery sampai sekedar numpang nama. Tapi Lingkar memang beda, awalanya hanya sebuah forum relawan yang kini bermufakat menjadi lembaga baru dengan isu yang lebih aktual "Penanganan Resiko Bencana". Yups, karena musibah pun ada asuransinya, bencanapun kini istilahnya di mitigasi, alias diteliti tanda-tandanya, ancaman, resiko sampaidengan antisipasinya. Nun, Lingkar berkutat pada soal-soal tersebut.

Seperti kisah asal muasal Lingkar, pada mulanya murid-murid sekolah Lingkar hanya meliputi relawan-relawan Lingkar dan jumlahnya kalau ditotal bisa mencapai 50 relawan lebih. Tetapi seiring waktu sekolah lingkar menyusut. Mungkin karena ruang kelas yang sempit hanya kira-kira sepetak 4 x 10m maka jumlah muridnya menyusut jadi rata-rata selusinan. Itupun karana kondisi tempat yang memang tak di set up untuk sebuah kelas yang 'wajar' maka amatlah biasa dalam sekolah Lingkar murid bisa duduk sambil selonjor di bawah bangku, sambil duduk di bawah tangga, sambil pijat-pijat an satu sama lain, atau duduk sekursi buat berdua.

Sekolah Lingkar dijalankan secara periodik di Lingkar tiap hari Jum'at, petang. Topik kelas berganti-ganti seusai dengan wilayah isu soal ke-LSM an seperti ; Fasilitasi , Gender, Susitanable Development, Lingkungan Hidup, isu-isu kontekstual kebencanaan, dan sebagainya dan sebagainya.

Uniknya, demi menyambung semangat untuk belajar di sekolah Lingkar, para murid-murid dengan sukaela membawa SPP. SPP-nya bukan sebentuk upeti uang buat kepala sekolah atau buat pengelola sekolah, tapi berwujud makanan ala kadarnya yang disajikan langsung di dalam kelas. Maka SPP di sekolah Lingkara adalah kepanjangan "Sumbangan Pangan dan Panganan". 'Pangan' untuk makanan berat yang dibungkus atau dibawa dalam kardus (yang berarti seseorang relawan atau murid mendapat bingkisan dari daerah 'dampingan') sedangkan panganan berwujud makanan-makanan kecil seperti bakwan, mendoan atau roti bakar (biasanya yang membawa adalah Abang Yosi yang nyambi bakul roti bakar). Hmmm, Kalau SPP melimpah, suasana kelas menjadi lebih meriah. Sudah biasa di dalam sekolah Lingkar murid-muridnya menyimak kelas sambil makan kacang, menyeruput kopi, menyrudug gorengan dan centang perentang bungkusan SPP.

Murid-murid sekolah Lingkar adalah komposisi yang cambur aduk dari relawan, buruh cetak mencetak, penjual Roti sampai ibu-ibu PKK, orang kampung.... Bahkan ada seorang Ibu yang mengikuti kelas sambil menggendong anaknya yang masih kecil dan seorang anak bleseteran Inggris-Suroboyo yang wara-wiri hilir mudik di dalam ruangan kelas Demi mengatasi kekacauan ini konon sedang dipikirkan untuk membuat sekolah Lingkar Yunior, untuk menampung anak-anak kecil generasi sekolah Lingkar berikutnya tersebut.

Dengan murid murid yang campur aduk dari usia sampai latar belakang ini maka materi yang disampaikan pun biasanya dimulai dari paling basic. Jadi, apapun tema pelakarannya, selalu ditambahi dengan '....blablabla for beginer'.

Di sekolah Lingkar, mereka menyebut guru dengan istilah "Mentor" yang didatangkan dari lembaga lain. Kebanyakan dari mereka kebetulan adalah rekan sejawat semasa masih kuliah murid-murid. Jika yang terjadi demikian pastilah 2/3 dari per-kelasan akan berupa Reuni yang mengharu biru....

"Wah, lama ndak ketemu, kamu masih ndak berubah juga"

"Dulu berkecimpung asyik masyuk di sudut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), eh kini ketemu lagi meng-LSM"

Kalau kita ingat murid-murid yang di asuh ibu guru Nur dalam laskar pelanginya andra Hirata itu, kurang lebih sama-sama mengenaskan. Perbedaanya, kalau murid asuhan Ibu Nur dalam Laskar pelangi itu sekolahnya sudah hampir roboh dan kapal pecah dengan genting bocor sana-sini dan sebuah poster roma irama menenteng gitar dengan jubag rumbai-rumbai dan mata mendongak menghamba "Hujan Duit", Nah kalau ruangan sekolah lingkar, adalah sebuah ruangan laiknya medan rapat (sebuah meja besar, billboard, gelas-gelas penuh kopi, asbak dengan puntung rokok, berkas berkas, dan centang perentang poster kampanye advokasi dari soal lingkungan sampai advokasi perempuan). Kesamaanya, murid-murid sekolah lingkar sama-sama "Tengil", dalam artian, mereka suka bikin ulah di dalam kelas. Karena kadangkala sang guru lebih takut di depan murid (murid nya ada yang punya tatto) maka murid-murid bebas melakukan apa saja sembari mengukuti kelas. Ada yang sambil makan minum, merokok, sambil kentut atau yang paling parah mengupil di dalam kelas dan menaruh upil di bawah meja. Beruntung, sang mentor tidak mendapat 'surat kaleng' atau disorak-sorai sampai berlumuran keringat karena dengan sengaja menggunakan kata-kata yang sulit dalam pidato kelas.


Kadangkala kalau sekolah membludag, murid-murid ada yang duduk di bawah-
tangga,sambil berdiri, duduk di lantai, bahkan ada yang sambil tidur.

Apa mau dikata, pada niat punya niat, sekolah Lingkar memang punya tujuan baik. Istilahnya, kalau sekarang ini sebuah LSM harus terus meningkatkan Capacity Building alias Peningkatan Kapasitas, supaya para murid lebih luwes di lapangan, punya inisiatif, bisa meng-LSM, menjadi pekerja sosial, Meng-Lingkar, atau apapun itu namanya dengan baik dan benar. Soalnya, konon kembang-kempisnya sebuah lembaga tergantung bagaimana LSM itu mengelola laporan-laporan dan mengelola isu yang ada sedemikian rupa. Biar bijakana dan selamat.

23 Sep 2008

indigenous 'beauty', indigenous children


Siapakah yang lebih tolol; anak-anak atau kita orang dewasa? Hmm, menghadapi anak-anak adalah pengalaman yang tidak ada habisnya. Sepertinya, sesering apapun kita menghadapi anak-anak tetap saja ada saat dimana kita merasa capek, kering energi, kehabisan otak dan kehabisan kata-kata untuk menjawab berondongan pertanyaan lugu, konyol mereka. Bagi mereka tak ada hal salah, tetapi semuanya soal permainan. Dalam permaian atau game hanya ada menang dan kalah dan menyengankan tidak menyenangkan. (Dikutip dari sumber yang tidak bisa dipercaya)

Alkisah, kami para volunteer LSM dapat kontrak kerja diturunkan di medan juang bernama Desa Salam dan Desa Pengkok, Patuk Gunungkidul. Dua buah desa yang nyempil (kalau dilihat dengan 'Google Earth' memang nampak se-upil) di bukit patuk Gunungkidul. Memang lokasinya belum sampai di Kota wonosari, tetapi jalan menuju dua desa tersebut harus menanjak bukit dan keduanya mengalir sebuah sungai yang melingkar seperti ular dengan air yang tak pernah habis, kadang berwarna kecoklatan kadang berwarna bening, adalah kali Nampu, harus ditempuh dengan jalan licin terjal penuh dengan batu-batu cadas lereng-lereng dengan pohon-pohon dominasi jati, akasia, jambu mete dan ilalalang antah berantah. Desa salam dan desa Pengkok terhitung harus kulalui saban hari, ulang alik dari Jalan Kaliurang (utara Kota Yogyakarta) adalah perjalanan darat dengan kendaraan bermotor berboncengan sambil membawa peralatan tempur standart seorang fasilitator LSM (Gulungan Plano, Spidol Besar, Metaplan, Buku Jurnal, Berkas Absensi, Kamera Digital). Jarak tempuh kurang lebih kalau mengebut mencapai bilangan 1,5 jam dengan rute paling rawan adalah tikungan setelah Piyungan, yakni (kalau ndak salah namanya) "Tikungan bokong semar" dan tikungan -tikungan lain yang harus antri dengan kendaraan-kendaraan truk dilapisi dengan muatan penuh material menggunung (biasanya kalau truk dari gunungkidul membawa batu gamping, hasil bumi, kayu dl). Maka kalau sang driver paling tidah harus punya talenta menyamai paman Rozzie sebelum akhirnya sampai pada sebuah tikungan dengan jalan aspal kecil dan sebuah palang kecil (balai desa Salam) . Tapi jangan merasa lega dulu, karena aspal itu hanya memutari sebagian kecil desa salam dan desa pengkok, selebihnya adalah urat-urat jalan berikut cabang-cabang jalan yang menghunungkan rumah-rumah yang tak beraturan mengikuti Tipografi perbukitan Gunungkidul, adalah ruas jalan yang bercadas mirip sungai yang mengering. Beruntung kalau musim kemarau, tetapi bilamanan musim pennghujan, kami benar-benar mengalami suasan off road, terguncang-guncang, terperosok lumpur dan menuntun motor.

Hmmm, tetapi kami, khususnya aku tiba-tiba bisa merasakan kebahagian tersendiri. Dibalik bukit perbukitan dengan suasana cadas, rumah-rumah kayu dan senyapnya suasana pededaan itu terdapat anak-anak yang lincah. Kalau anda pernah mendengar mitos mengenai cantik-cantiknya gadis Gunungkidul, maka aku tidak menyangkal lagi. Biar saja orang lain mengatakan 'Pedopilia', tetapi yah, apa mau dikata mata sudah terlanjur menangkap barang-barang ranum nyaman lentik-lentik molek-molek dan sliwar sliwer membuat 'darah muda' ala bang roma irama pun meluap-luap. Indigeneus Beuaty Indigenous Children!

Setidaknya terhitung ada sekitar 12 pertemuan dengan anak-anak telah kami tempuh. Kesemuanya dengan teman pendidikan Pengurangan Resiko Bencana. Kami menggunakan metode-metode permaianan seperti yang sudah dilakukan oleh pendidikan lingkungan. Anak-anak diajak ke tanah lapang, bermain-main dengan benda-benda sekeliling sambil diajak berdiskusi. Anak-anak juga diajak membuat sketsa desa mereka, tentu saja sambil mulut klecam-klecem membayangkan kalau saja mereka sesusiaku, langsung aku pinang jadi pacarku. Yah apa mau dikata, tugas tetap jalan tetapi naluri buaya darat kadang sulit dibebat.

13 Agu 2008

Paman datang

Paman adalah panggilan unik. Makna pertama bisa berarti seseorang memanggil anda dengan paman karena ingin mendudukkan anda lebih tua, tetapi tidak menyinggung bahwa secara fisik anda memang 'tua'. Anda akan terlihat lebih muda dengan panggilan 'Paman'. Makna kedua, bisa jadi seseorang yang memanggil anda jauh lebih muda usia dengan anda. Panggilan paman bisa juga untuk menekankan ada jarak usia diantara si penyebut dan si penyandang paman.

Aku telah menjadi paman dalam keluargaku, lingkaran sosial terkecil dalam lingkaran kehidupanku semenjak ada seekor bandit kecil yang tak pernah capek wara-wiri menggangguku, Gading namanya. Gading adalah anak pertama dan cucu laki-laki dari hasil buah cinta kakak laki-lakiku yang nomer dua dengan seorang gadis dari magelang.

Dalam lingkaran yang lebih besar lagi, aku juga menjadi paman bagi banyak keponakan-keponakanku yang lain, yakni anak-anak dari teman-teman satu kuliah. Separoh lebih dari teman seangkatanku, seusiaku, telah mengakhiri masa lajang, terutama para perempuan-perempuannya yang lansung  akan beberapa saat lamanya lenyap dari peredaran (sibuk dengan centang-perentang urusan domestik), hingga hampir tak muncul kabarnya sama sekali, kecuali....

Yah kecuali, satu keponakan lagi telah lahir, oh bahkan ada seoarang kawan yang melahirkan bayi kembar!

Di lingkaran yang lebih besar ini aku merayakan sandangan baruku sebagai paman bagi banyak keponakan. Sandangan ini juga berarti bahwa aku salah satu dari laki-laki dari lingkaran itu, yang masih mempertahankan lajang ku.

Paman jangan di ganggu!

Paman jangan di ganggu dulu, paman baru konsentrasi dulu, paman baru sibuk di depan komputer, cari kenalan! Bah!, keponakan ku satu-satunya telah menyerbu ruanganku. Maka sepersekian jam kemudian, kamarku adalah kapal pecah. Gading menyerbu dengan mainan-mainannya; ada tank yang bisa terbang, pistol-pistolan, Mobil yang bisa berubah jadi robot, ada kereta api-kereta apian yang bagian relnya telah hilang entah kemana, ada topeng 'ultramen gaya', boneka gajah, macan, singa, monyet, rusa, kudanil,....

dor! dor! dor!

Hhhmmm, baiklah, kali ini paman menyerah! takluuuuukkk!

Dunia keponakan tengah menyerang dunia paman. Dunia keponakan menyerbu membabi buta dengan segala peralatan tempurnya!

16 Jul 2008

telinga yang sakit

"masuklah ke dalam telingaku. Di dalam diriku, engkau akan menemukan apa yang kaucari” Kata Dewaruci pada Bima.


Malam ini aku membuka percakapan dengan Jakob di Massanger.
'Apa kabar Jake, bagaimana dengan telingamu?"
Sudah dua tahun dia kembali ke Negara Asalnya, Jerman. Konon katanya dia dari dari bagian Jerman timur dan keluarganya punya latar belakang mengalami masa kejayaan komunis. Jake', begitu saya memanggilnya selalu punya keluhan dengan fisiknya selama dia mendekam di Indonesia. Perjumpaan kami tidak genap setahun penuh, karena laiknya pelancong manca yang baru datang pertama kali ke Indonesia, menemukan segalanya adalah pengalaman baru, unik dan eksotik! Yup Inilah Indonesia. Tapi bukan Jake namanya (karena pada awalanya aku pikir tipikal, setidaknya anak-anak muda Jerman?) yang selalu 'mengeluh'. Keluhannya itu menyeluruh dari soal 'pelayanan' di Indonesia yang bertele-tele sampai dengan tak ada dokter yang cocok untuk penyakit ini itu.
Ketika pertama kali ia mengeluh soal 'pelayanan' dana beasiswa yang seharusnya didapatnya dari 'kampus' saban bulan yang datangnya selalu terlambat, aku meng'iya'kannya.
"Yup, Jake begitu sih yang namanya birokrasi di Indonesia. Coba berapa duit yang kamu terima? 1, 2jt tiap bulan? Mmm, ada yang dipotong?".

Keluhan selanjutnya, soal kesehatanya. Jake dan kawan-kawan lainnya dari eropa memang mau tak mau harus menyesuaikan iklim tropis yang kejam. Kulit mereka terlalu sensitif pada sengatan matahari, hingga kalau sebentar saja terpanggang, sebentar lagi akan berwarna merah-merah dan mengelupas. Bukan hanya soal sunbleach, tapi juga 'Malaria'. Mereka takut benar dengan nyamuk. ketakutannya bahkan menurutku terlalu berlebihan dengan menyamakan semua nyamuk dengan biang Malaria. Sampai pada titik ini, aku merasa beruntung punya genetis Homojavanensis yang 'kebal'.

Dari fisik sampai ke urusan telinga. Jake mengeluh telinganya tak kunjung sembuh. Sebermula hanya berdengung-dengung, kemudian bengkak, terutama telinga kirinya. Jake sudah ganti dari petugas puskesmas, dokter spesialis telinga sampai rumah sakit. Sudah ada 2 dokter spesialis telinga yang di datanginya, juga 3 rumah sakit dari betesda, Medical center sampai dengan Panti Rapih. Dari deretan dokter sebelumnya Ia banyak di berikan pil antibiotik.
Jake sangat berhati-hati pada pil antibiotik. Saat pil-pil itu sudah ada di tangannya, ia menelusur kandungannya di Internet. Sehingga ia sampai punya asumsi dokter-dokter itu memanfaatkannya. Pil-pil antibiotik sama saja dengan menciptakan ketergantungan.
"Yah, Jake! Kalau yang sakit telingaku, cukup puskesmas saja! 2000 rupiah! dan Pil yang diberikan selalu sama, yellow one, one one, pink one. Pil kecil-kecil, lebih kecil dari kancing baju! katanya sih vitamin!"
Jake yang bertubuh bongsor, hampir 1/2 kali ukuran tubuhku, meski 3 th lebiha muda dariku memang tak mempan pil-pil buatan Indonesia. Saya merasa kasihan pada titik ini, sampai suatu ketika saat ia demam, sakit sendirian meringkuk pada kamarnya yang bertutupkan kelambu (untuk mencegah masuknya mosquito, itupun masih ditambah ia menyulut baygon elektrik), aku membawakannya 'jambu klutuk' berikut pucuk-pucuk daunya.
"Ini buat mencegah demam berdarah Jake, juga buat obat sakit perutmu'
Entahlah apa hubungannya antara telinga dengan sakit perut, tapi kini jake mengeluh soal perutnya yang mual-mual diare, setelah sakit telinganya agak mereda (akhirnya ia menelan beberapa pil antibiotik). Lambat laun, efek dari antibiotik obat telinganya menimbulkan keluhan lain, yakni ada bentol-bentol merah di sekitar tangannya. Aku makin tambah kasihan padanya karena dari kawan-kawan lainyya hanya Jake yang paling punya banyak keluhan.
'I want to back home!' katanya saat ia meringkuk dalam kelambu.
Dan aku sadar betul Jake benar-benar takut kalau dengung telinganya berakibat fatal sampai dengan Tuli. Yah, Jake punya keinginan menjadi Musisi, dan apa jadinya musisi tanpa indera pendengaran?'
Suatu hari aku bercerita soal 'usus buntu'. Aku bercerita dulu aku adalah anak yang sakit-sakitan. Sebagai bungsu hampir sebulan sekali mengunjungi dokter dan keluar masuk rumah sakit. Konon aku juga lahir prematur sehingga harus dilatih berjalan tegak berbulan-bulan agar kakinya tak memebentuk huruf O atau X. (Aku jadi teringat mendiang ibuku yang sabar). Karena terlalu sering sakit sampai ada dua dokter langgananku. Dokter pertama untuk keluhan ringan dari influenza, batuk sampai diare. Dokter kedua, soerang lakilaki keturunan cina yang berkacamata, kurus dan sedikit beruban, adalah pilihan terakhir saat aku menderita sakit parah. Ia yang bakal merekomendasikan apakah aku opname atau rawat Jalan. Sampai pada usiaku yang sekitar 11, aku menderita Usus Buntu, persis beberapa bulan sebelum Ujian kelulusan SD. Aku berbaring di rumah sakit hampir 1 bulan dan dilanjut rawat jalan di rumah. Peristiwa itulah yang membuatku kapok sakit. Alasan utama adalah pada akhirnya aku menyesal, tak sedikit biaya pengobatan yang harus dibayar dari sakitku. Semenjak itu aku kapok sakit!, aku kapok masuk rumah sakit!
'Semenjak itu pula aku ndak pernah sakit Jake, paling cuma masuk angin!' kataku menutup ceritaku untuk Jake.'
Yup, sebenarnya aku hanya ingin bilang, sakit itu juga berasal dari 'pikiran' dan Jake sepertinya menangkap ceritaku.
"You alright! but I'ts relate also to health service and insurance in Indonesia. How terrible there are!'
'Sure, Jake. I'm agree that's why I don't want to be ill. Because it's mean to avoid visiting hospital doctor. A doctor also a drug seller!'
Entahlah, toh akhirnya Jake sembuh, atau sepertinya ia mulai terbiasa dengan gaya hidup Indonesia. Slowly Jake. Some of the problem will dissapeare by appearrance of another problem. Alon-alon waton klakon Jake!

Dan...2 bulan, 3 bulan, akhirnya Jake pun tidak peduli dengan program Darmasiswa yang diikutinya. Ia tidak pernah mengunjungi bangku kuliahnya lagi, tapi untuk soal dana bulanan yang didapatkanya ia tetap mengambilnya. 4, 5 sampai bulan-bulan terakirnya banyak ia banyak ia habiskan untuk melancong ke Bandung, Bali, Semarang bahkan Padang. Kini akhirnya ia merasa beruntung bisa punya visa kunjungan 1 tahun di Indonesia. Sebuah kesempatan yang mahal dan langka.

1 Jul 2008

ADGI

Saban hari sepasang mata kita menangkap berbagai macam centang perentang gambar yang terpampang, dari kemasan rokok, sabun mandi, bedak sampai deodoran semua dikemas dengan warna warni, dengan tulisan-tulisan yang saling bersaing, sahut menyahut; "Sabun Mandi A, menghaluskan kulit, Sabun Mandi B menghaluskan sekaligus meremajan kulit, Obat Salep anu berkhasiat anu, Balsem nyamuk anu mengusir anu dan bla-bla-bla".
Bagi yang tinggal di perkotaan, menyusuri lorong kota, saat berhenti di perempatan, seekor makhluk cantik bernama entah itu 'Dian Sastro, Nirina, Bella Saphira sampai Inul Daratista tengah bertengger di Baliho raksasa, tersenyum manis ke arah kita dan seakan-akan tak ada hubungannya dengan sebuah benda yang kebetulan ikut nangkring disana.
Produk-produk gambar telah menyebar ke mana-mana. Saling memburu dan mengisi ruang-ruang imajinasi kita. Dari semenjak bangun tidur sampai kita tidur lagi, coba hitung berapa kali gambar-gambar fantastis itu muncul di depan mata kita.

24 Jun 2008

Mbah Maryati

Mbah Maryati berjalan tertatih-tatih karena kaki kirinya pincang. Kaki kirinya terpeleset dan jatuh saat mencoba menyelamatkan diri dari gempa 27 mei 2006 kemarin. Saat itu suaminya masih hidup dan tepat saat Syawal tahun itu pula suaminya meninggal. Mbah Maryati kini sendiri, tidak ada laki-laki yang selama 50 tahun lebih menemaninya mereguk teh nasgitel tiap pagi. Tidak ada laki-laki yang dulu dengan gagah memboncengkannya dengan 'sepeda onthel'. Laki-laki tua yang kadangkala masih juga mencerminkan masa kanak, tertawa memperlihatkan gigi-gigi yang telah ompong, menerima omelan-omelannya seperti 'radio transistor' tua yang selalu tak bosan mendendangkan 'uyon-uyon monosuko' dari gelombang AM.
Mbak Maryati terpaksa pindah dari rumah lama, karena rumah induk menjadi kasus hak waris, pindah dari rumah satu anaknya ke anaknya yang lain. Kemudian pada saat rumah anaknya tengah dipugar, Maryati terpaksa pindah ke rumah Cucunya.
Di rumah Cucunya, Mbah Maryati saban hari menyibukkan diri mencuci baju-bajunya yang hanya 3 stel kebaya, 2 lembar batik, 2 lembar kerudung dan satu mekena. Kini ia tak bisa menyiapkan teh hangatnya seorang diri. Menunggu dari salah satu cucunya untuk menghidangkannya, menyiapkan sarapan dan mendengarkan 'cerita-ceritanya' yang jalan berulang-ulang.
Bagiku, Mbah Maryati bukan nama sebenarnya, karena aku lebih akrab memanggilnya 'Simbok'. 'Simbok' yang melahirkan 7 anak pinak yang salah satunya adalah Ibuku. Kadangkala pada wajah letih, penuh dengan kerutan dan helai-helai rambut beruban yang tersisa itu, aku mencoba menerka-nerka bagaimanakah wajah 'simbok' di masa mudanya?
Aku memanggilnya 'simbok', juga karena imej 'simbok' adalah simbol seorang ibu dari ibu. 'Simbok' yang kukenal semenjak aku lahir seperti hampir tak pernah berubah; tubuh yang sudah agak bungkuk, kebaya motif bunga-bunga, kutang dari kain, stagen, bawahan kain batik dan sandal jepit.
'Simbok' terkadang datang dalam mimpi-mimpiku, karena dulu 'simbok' pernah menjadi sosok pencerita sebelum tidurku. 'Simbok' punya banyak stok ceritera dan legenda dari 'timun mas', 'kancil nyolong timun', 'ande-ande lumut' sampai ceritera tentang 'laki-laki' muda yang berjalan kaki dari Anyer sampai Jogja dengan tanpa alas kaki, suaminya sendiri.
"Nini, nini sing mususi, sopo ngerti popok beruk keli... Paman-paman sing ngguyang sapi, sopo ngerti popok beruk keli..."

'Simbok' adalah bayangan masa lalu, tapi juga terkadang ketakutanku di masa depan. Karena, kalau toh aku sampai pada usia tua, setidaknya akan sebijaksana 'simbokkah?

20 Jun 2008

Bencana

Ngomong soal ancaman bencana, aku teringat dengan guru SD ku dulu, Pak Bambang namanya, bertubuh gempal dengan kumis tipis dan rambut yang senantiasa klimis mirip Harmoko (hey dimana sekarang pak Harmoko berada? yuhuiii). Nah, Pak Harmoko, eh Pak Bambang selalu antusias saat memaparkan tentang 'Nusantara' yang diapit dua samudra, dua benua, garis weber dan wallace sampai dengan pertemuan dua sabuk api (sirkum pasifik dan sirkum mediteranian). Sampai pada titik itu, Pak Bambang menyambung soal banyaknya gunung-gunung berapi di Indonesia, mirip bisul, sewaktu-waktu bisa meletus. Semenjak itu aku mulai akrab melihat gunung Merapi di utara Yogya yang saban hari terlihat mengepul-kepul tanpa henti.
Kejadian gempa Bumi 27 Mei di Yogya kemarin adalah pengalaman yang mencekam. Meski seluruh keluarga selamat, tapi bagian belakang rumah dan atap rumah porak poranda. Selama 2 pekan aku hanya berani tidur di emperan rumah dengan tenda 'biru'. Selama dua pekan itu pula gempa-gempa susulan terus menerus muncul berangsur-angsur dan memicu reflek untuk 'mendadak' lari keluar. 'Ini lebih menegangkan dari film die hard 3 ', pikirku saat itu.
Yah, mau tidak mau, telinga kita saban hari juga mendengar soal bencana ini. Panen 'bencana' yang dipetik bencana oleh media massa pun macam-macam, tergantung pada tempatnya, meskipun tidak tergantung pada musim. Dari gempa di Aceh, di padang, gunung meletus, tanah longsor, banjir di Jakarta, banjir di pantura, rob di semarang, kerusuhan di Jakarta, kebakaran hutan di Kalimantan, lumpur lapindo, dan seterusnya. Semuanya muncul bertubi-tubi dan acak seperti rumus 'fraktal'.


3 Jun 2008

das community haus



Rumah itu berada di tengah-tengah kampung di pinggiran kota. Lurus memasuki jalan yang membelah kampung pinggiran kota itu, jalan beraspal kasar dengan permukaannya sudah bopeng-bopeng, di kanan kiri jalan rumah-rumah khas kampung pinggiran kota yang sangat beragam, seakan akan berlomba menunjukkan status; rumah si kaya dibangun bertingkat dengan garasi dan pagar yang tinggi, sedang pada rumah orang-orang kebanyakan adalah rumah-rumah tembok, centang perentang dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda.
Tetapi rumah di tengah-tengah kampung itu, kira-kira 300 meter masuk ke lorong jalan gang yang membelah kampung, mempunyai bentuk yang berbeda. Temboknya corat moret warna-warni yang hampit tiap taun berganti warna, yang memiliki rerimbun tanaman pagar 'teh-tehan', pohon jambu klutuk, pohon pelem sampai melati. Sekilas rumah itu adalah dua buah rumah yang berbeda yang dihubungkan dengan lorong berpintu. Memang, dulunya adalah dua rumah berbeda yang dibangun pada waktu yang berbeda pula. Bagian rumah yang lebih besar dulunya joglo semi permanen dengan dinding gedeg kutangan dari anyaman bambu yang kini setelah dijadikan satu turut dibangun tembok, menyatu dengan bangunan sebelahnya yang usianya lebih baru. Bagian rumah yang lebih kecil usianya muda, tetapi konstruksinya hanya dinding yang terlalu banyak campuran gamping, sehingga mudah untuk dilubangi dengan paku.
Nah, di rumah itulah tinggal diriku sendiri, dua kakak laki-laki yang dulu sempat kuliah di ISI, seorang kakak Ipar perempuan , satu keponakan kecil dan dua ekor kucing bernama Paijo dan Bejo. Tentang dua ekor kucing ini, si Bejo kucing berbulu putih dengan sedikit totol-totol hitam tumbuh besar, kupelihara sejak kecil, sebagai satu-satunya pertalian kucing terakhir yang turun temurun induk semang kucing belang bermata sipit. Si bejo punya 2 saudara kembar lain yang satu demi satu mati saat masih kecil. Meskipun kupelihara semenjak kecil, si Bejo punya sifat liar, keluar masuk rumah dengan leluasa, mengobrak-abrik genting, sampai dengan mencuri lauk pauk tetangga. Si bejo yang liar tidak pernah mau dipegang.
Satu kucing lagi, Si Paijo adalah kucing yang sekonyong-konyong ada semenjak gempa 27 mei 2006 kemarin. Sebagai kucing pulung 'gempa', Si Paijo punya perawakan besar, kecoklatan dan sangat pemalas. Saking malasnya, sehingga gampang menemu Si Paijo ini, kalau tidak tidur melingkar di sudut-sudut rumah, paling ia sedang duduk termenung di atas jok motor atau kursi. Jika sudah begitu, walau dikagetkanpun si Paijo cuek saja……
Das Haus adalah ekosistem yang unik
Nama Das communiy haus berarti rumah komunitas, bukan nama yang mengada-ada. Di Das Community haus, selain anak pinak, satu kemenakan kecil dan dua ekor kucing yang hilir mudik itu, ada banyak orang-orang berdatangan, pergi, datang, pergi, lalu datang lagi untuk kembali lagi atau untuk pamit selama-lamanya. Das Community haus, adalah nama yang diberikan seorang Jerman Bernama Jakob yang dalam kurun waktu 6 bulan pernah hilir mudik dan tinggal di rumah ini.
Setelah ibunda meninggal, ayahku yang tinggal dengan istri baru dan keluarga baru, anak-anak baru, masalah-masalah kelaurga baru, dari C1 sampai bayar SPP, dari arisan sampai ronda, dari digerutui mertua sampai digerutui istri yang nagih uang belanja. Lantas sekurun waktu kami anak berpinak, satu ipar, satu kemenakan dan dua ekor kucing ini jadi maklum kalau sang ayah, the godfather yang dulu terkenal galak dan tegas itu, lambat laun jarang inspeksi ke rumah ini.
Dengan begitu Suasana das community haus makin cair, tak ada ‘the god father’, figur partonisme yang galak, kalaupun ada sudah pasrah pada anak-pinak, satu ipar, satu kemenakan dan dua ekor kucing untuk mengelolanya.
Pada hari-hari biasa, kakak iparku jadi ‘the only beutifull women’ di Das Community Haus. Dengan, kompisisi gender yang tak setimbang ini maka bisa dibayangkan bagaimana ekosistem rumah adalah ‘kapal pecah’ dengan bagian-bagiannya lebih banyak menonjolkan hal-hal maskulin, seperti tumpukan-tumpukan baju, tumpukan-tumpukan barang bekas, centang-perentang perkakas, dapur yang penuh dengan perkakas kotor.
Komunitas-komunitas yang pertama muncul adalah 'sanggar bakat anak salam' atau yang disingkat SABANA yang hadir pada sekitaran tahun 1998 sampai 2000. Di dalamnya adalah dua kakakku, teman-teman main yang dulu juga teman sekolah, anak-anak muda dari kampung dan teman-teman dari kampus. Gerombolan kawan-kawan itu masing-masing juga membawa kawan-kawan lain atau pacar yang sengaja di gandeng masuk das community haus. Walhasil, sanggar SABANA ini jadi penuh berjejal dengan anak-anak muda dari berbagai bentuk. SABANA mengalami perpecahan yang sporadis, untuk bahasa halusnya bubar tanpa kejelasan, setelah sukses besar menyelenggarakan Lomba Lukis 'Jogja Ceria'.

Ide terus bergulir dalam Das Commuity haus, seperti halnya usaha-usaha mandiri 'jatuh bangun ' diusahakan oleh dua orang kakakku dan teman-temannya. Deretan usaha itu dari tukang sablonase kaos, spanduk, stiker sampai bandana beralih ke tukang buat reklame. Kemudian beralih lagi membuat aneka kerajinan dari kayu dengan yang pernah mencatat sukses memperkerjakan ibu-ibu dan perempuan di kampung ponggalan dengan upah Rp. 125 rupiah tiap merakit souvenir pulpen kayu. Sayang ekspor 'pulpen kayu' yang konon ke Norwegia itu dengan omset pertama sampai bilangan 7 jutaan gagal di tengah pengiriman karena kena 'ngengat'.
Gagal dengan usaha kerajinan pertama, berpindah nama dari Sanggar Sabana menjadi Studio Bebekku. Nama ini asal comot dari usaha ternak bebek 3 ekor yang hanya menghasilkan telur-telur yang selalu jadi rebutan buat sarapan. 3 ekor bebek itupun setelah berbulan-bulan lamanya berakhir tragis jadi 'potong bebek' di 'bakar' pakai kecap pada pesta ulang tahun dari siapa, sudah tak ingat!
Dengan kibaran nama baru Studio Bebekku, usaha beralih jadi tukang buat tas. Berawal dari seseorang yang 'ndak jelas' kedatangannya yang mempunyai keahlian 'bikin tas' dan memulai 'hidup baru'nya di Das community haus. Usaha tas berkembang pesat, dari mulai memenuhi pesanan personal, tas gunung, tas kantor sampai pesanan tas-tas seminar. Bahkan sampai menambah tenaga tukang jahit yang didatangkan dari bandung, Asep namanya. Usaha ini berakhir dengan perginya sik tukang Jahit dan memilih kontrak usaha sendiri setelah menikah. Lalu, bubar dengan usaha produksi tas, beralih ke usaha cetak fiberglass. Usaha fiberglass ini mencatat sukses dengan membuat berbagai macam souvenir yang kemudian mesti gulung tikar karena gagal produksi membuat helm dari fiberglass. Helm yang kalah harga dengan helm berbahan plastik yang cuma dijual Rp. 25.000 per kepala.


29 Apr 2008

Alit

Karena Van Gogh mengiris telinga kirinya, Leonardo membedah mayat dan sederet eksperimen 'nyleneh', Bob Sick menutupi sekujut tubuhnya dengan Tatto, sampai dengan akhir yang tragis seorang pelukis muda bernama Alit Sembodo yang konon memilih mengakiri hidupnya pada rentang usia yang masih muda, maka lengkaplah sudah menjadi pelukis adalah 'kutukan'. Ini mungkin terlalu ekstrim, tetapi sebagian dari mereka mengamini bahwa menjadi pelukis adalah sebuah perjuangan berat yang melalui berbagai lapis ‘ring’ pertarungan.

Lingkaran pertama, adalah dalam diri sendiri, si individu akan menghadapi pertentangan-pertentangan semisal; benarkah ini sebuah profesi? Pada ring selanjutnya adalah keluarga. Keluarga yang merupakan unit sosial terkecil pada awalnya menjadi ruang untuk basis awal untuk berlindung dalam segenap aspek, baik ekonomi sampai dengan psikologis. Tapi seperti juga yang dialami Alit, pada pertarungan di ring kedua ini, ia akan menghadapi kesulitan tentang ;seberapa relevankah menjadi pelukis sebagai sebuah pekerjaan yang punya prospek kedepan? Apalagi jika dalam ring keluarga itu belum si seniman (pelukis) adalah satu-satunya yang keluar dari tradisi ‘pilihan’ yang sudah turun-temurun. Maka pilihan itu menjadi sangat sulit seperti juga yang dialami seniman muda sang Alit.

Lukisan meskipun itu benda yang muncul dari cipta rasa dan karsa bukan seperti halnya gerabah yang bisa dengan merta diperbanyak lantas dipajang untuk kemudian segera laku menjadi duit. Tetapi, lukisan juga meliputi daya dukung si pelukisnya yang meliputi bagaimana ia bergaul, bergelut, melewati ring demi ring pertarungan, atau bahkan mungkin pertaruhan itu.

Jika ring pertarungan di keluarga itu sudah bisa dilalui, pelukis/seniman akan menghadapi ring yang lebih besar lagi bernama masyarakat. Tergantung dimana lingkungan ia bercokol dan menempatkan diri tetapi masyarakat kebanyakan sudah memiliki label-label yang melekat tentang pelukis/senimant. Bahwa seorang pelukis/seniman adalah orang-orang ‘nyleneh’ berpenampilan eksentrik, rambut gondrong atau gimbal. Bahwa pelukis sibuk dengan imajinasinya sendiri, tak punya kontribusi berarti mengenai ‘bagaimana menurunkan inflasi dan bla-bla-bla…”

Mereka mungkin tak melihat bahwa pelukis-pelukis muda ini, seniman-seniman muda ini, adalah kawan di garis pinggir. Dalam masyarakat yang dinamis yang didalamnya dipenuhi nuansa gerakan sosial, maka pelukis-pelukis muda ini, seperti juga Alit sembodo adalah kawan-kawan yang tak pernah habis-habisnya menjadi energi bagi gerakan sosial.


12 Des 2007

Manusia Pohon


Si manusia pohon....

Hijau adalah tempat bercokolku semenjak keluar dari majalah blank!, sebuah majalah desain grafis yang harus gulung tikar pada edisi 6 thok!